Senin, 27 Juli 2015

Sejarah Perkembangan Fikih



BAB 1
Pendahuluan
1.1  Latar belakang
Fikih adalah ilmu tentang hokum-hukum syaria’at yang bersifat praktis, yaitu hokum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf. Atau fiqih adalah hukum-hukum itu sendiri.
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matludan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.
Penerus Nabi Muhammad SAW diteruskan oleh para sahabat,tabi’in dan ulama’ hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih bisa kita klasifikasikan secara periodik menurut masanya, yaitu: Masa Rosulullah SAW, Masa Para Sahabat, Masa Tabi’in, Masa Imam Mujtahid (masa pembukuan Fiqh), dan masa kontemporer.
Dalam makalah ini, kami mencoba menjelaskan perkembangan Ilmu Fiqh  yang teratur dalam beberapa perumusan masalah di bawah ini.

1.2 Rumusan masalah
1.Bagaimana sejarah perkembangan fikih zaman rosulullah saw?
2.Bagaimana sejarah perkembangan fikih zaman sahabat?
3.Bagaimana sejarah perkembangan fikih zaman tabi’in?
4.Bagaimana sejarah perkembangan fikih zaman kontemporer?

1.3 Tujuan
            1.Mengetehui  sejarah perkembangan fikih zaman rosulullah saw
            2.Mengetehui  sejarah perkembangan fikih zaman sahabat
            3.Mengetahui  sejarah perkembangan fikih zaman tabi’in
            4.Mengetahui  sejarah perkembangan fikih zaman kontemporer

1.4 Manfaat
            Denga membaca makalah ini,kita akan mengetahui bagaimana sejarah perkembangan ilmu fikih berdasarkan urutan-urutannya,di awali dengan sejarah perkembangan fikih zaman rosulullah,zaman sahabat,zaman tabi’in,zaman ulama hingga zaman kontemporer.begitu banyak manfaat dari pada pembuatan makalah ini.


                                                                    BAB II 
Pembahasan

2.1 Sejarah Perkembangan Fiqih Zaman Rosulullah SAW
            ini Zaman berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang di bagi menjadi dua masa yakni,masa makkah dan masa madinah.masa ini juga di sebut sebagai periode pertumbuhan,masa ini di mulai sejak kebangkitan(bi’tsah) nabi muhammad saw hingga beliau wafat(12 rabi’ul awwal 11hijriyah /8 juni 632 masehi)
pada masa mekkah yaitu ketika nabi masih melakukan dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan memberikan penekanan kepada aspek tauhid.kemudian diikuti dengan dakwa terbuka.masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan hanya sedikit ayat hukum yg di turunkan.hal ini memang wajar bagaikan mendirikan sebuah bangunan,fondasilah yg di buat terlebih dahulu.setelah itu di  bangunlah bagian lainnya di atas fondasi itu.begitu pula membangun manusi beragama,keimanan dan tauhidlah yang perlu di tanamkanterlebih dahulu karena memang itulah dasar dari pada agama itu sendiri.[1]
 pada masa ini risalah kenabian beridsi tentang ajaran-ajaran akidah dan ahlaq.kesemua ini  di masa rosulullah di terangkan dalam al-qur’an sendiri dan kemudian di perjelas lagi oleh rosulullah dalam sunahnya.hukum yang di tetapkan dalam al-qu’an atau sunnah kadana-kadang dalam bentuk jawaban dari sebuah pertanyaan atau di sebabkan terjadinya sesuatu kasus atau merupakan keputusan yg di keluarkan rosulullah ketika memutuskan sesuatu perkara.
pada masa itu hanya ada dua sumber fikih yaitu al-qur’an dan sunnah.pada masa ini dalam mengambil keputusan amaliyah para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri karena,mereka dapat bertanya langsung pada rosulullah jika mendapati suatu masalah  yang belum mereka ketahui.demikian pula untuk memahami kedua sumber hukum syari’ah ini para sahabat tidak membutuhkan metodologi khusus,karena mereka mendengarkannya langsung dari rosulullah saw.
            Pada masa selanjutnya ialah masa madinah yakni sejak rosulullah hijrah ke madinah.pada masa rosulullah ini terbentuklah negara islam di madinah.pada masa ini islam dengan sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum yang dapat mengatur sistem kehidupan masyarakat islam di madinah itu.olehkarena itu,secara berangsur-angsur wahyu allah swt mulai berisi hukum-hukum,baik karena suatu peristiwa kemasyarakatan yang memang memerlukan penanganan yuridis dari rosulullah saw,ataupun karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh masyarakat,atau juga wahyu yang di turunkan allah swt tanpa suatu sebab.[2]
            Pada masa ini ilmu fikih lebih bersifat praktis dan realis dalam arti hal ini kaum muslim mencari hukum dari suatu peristiwa tersebut betul-betul terjadi.misal pada masa itu ada seorang muslim/muslimin yang mengalami suatu kasus atau peristiwa yang memerlukan pemecahan masalah atau bisa di sebut di perlukan solusi,jadi pada masa ini para kaum islam itu langsung mencari hukum-hukumnya langsung dengan menanyakan kepada rosulullah saw untuk menemukan suatu solusi dari peristiwa/kasus itu.
kebanyakan pada masanya rosulullah ini adalah ayat turun setelah terjadinya suatu peristiwa jadi,ada peristiwa dahulu dan setelah itu baru turun ayat dari allah swt.sumber hukum pada masa rosulullah ini adalah wahyu yang di turunkan kepada nabi muhammad saw baik yang kata-kata dan maknanya langsung dari allah swt (al-qur’an) maupun hanya maknanya dari allah swt,sedang kata-katanya dari rosulullah saw(hadis).masa ini berlangsung sekitar pada 622 masehi hingga rosulullah wafat 11 hijriyah.perjalanan fikih tidak berhenti pada masa rosulullah saw ini namun di lanjutukan/di teruskan oleh para sahabat nabi.

2.2  Sejarah Perkembangan Fiqih Zaman Sahabat
            Periode ini bermula dari 11 hijriyah sejak rosulullah wafat hingga akhir abad pertama hijriyah kurang lebih 101 hijriyah. pada masa sahabat dunia islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum di tandai dengan penafsiran para dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Disamping itu juga  terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu pecahnya masyarakat islam menjadi beberapa kelompok yang bertentangan secara tajam. Yang menurut Ammer Ali, pada hakikatnya: ”permusuhan suku dan permusuhan padang pasir yang di korbankan oleh perselisihan dinasti”.[3]Perselisihan suku ini memang ada pada zaman jahiliyah, kemudian pada zaman Rasulullah dinetralisasi dengan konsep dan perlaksanaan ukhuwah islamiyah.
           Diperiode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang sempurna berupa Alquran dan Hadis Rasul. Hanya tidak semua orang dapat memahami materi atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber (Alquran dan Hadis) itu secara benar karena,
1.      Tidak semua orang yang mempunyai kemampuan yang sama maupun karena masa atau pergaulan mereka yang tidak begitu dekat denga nabi, banyak di antara kaum Muslimin yang tidak memahami sumber tersebut seorang diri tanpa bantuan orang lain.
2.      Belum tersebar luasnya materi atau teori-teori hukum itu dikalangan kaum      Muslimin  akibat parluasan daerah seperti diatas.
3.      Banyaknya peristiwa hukum baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah yang ketentuan hukmnya secara pasti tidak ditemukan dalam nash syariat.
          Didorong oleh ketiga hal tersebut , para sahabat merasa dituntut untuk  memberikan     tantangan segala hal yang perlu dijelaskan, memberi tafsiran terhadap ayat atau hadis serta memberi fatwa tentang kasus-kasus yang terjadi pada masa itu, tapi tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam nash denga melakukan ijtihad.
         Para sahabat dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan pendapat yaitu:                                                                                                                                                                                                   1. Kebanyakan ayat alquran dan hadis bersifat zhanny dari sudut pengertiannya.                    2.  Belum termodifikasinya hadis nabi yang dapat dipedomani secara utuh dan menyeluruh.                                                                                                                                                               3.   Linkungan dan kondisi daerah yang dialami serta dihadapi  oleh sahabat tidak sama.[4]
        Cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nashnya dalam Alquran, apabila tidak ada, dicari dalam hadis, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah diantara para sahabat. Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan umum. Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum ada nashnya para sahabat berijtihad.
          Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Quran, Alsunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi
         Untuk  bentuk ijtihad fardhi, ada kemungkinan terjadi perpedaan pendapat dikalangan          1. Tidak semua ayat Al-Quran dan Sunnah itu qath’i dalilnya dan penunjukannya                  2. Hadis belum terkumpul dalam satu kitab dan tidak semua sahabat hafal hadist.                        3. Lingkungan di mana para sahabat brdomisili tidaklah sama, keperluan-keperluannya
    berbeda dan penerapan juga berlainan.[5]
          Pada masa sahabat, islam sudah menyebar luas misalnya kenegeri Persia, Irak, Syam Dan mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu,peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya islam dengan selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seprti misalnya kasus Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus muallaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khattab.
2.3  Sejarah Perkembangan Fiqih pada zaman tabi’in
         Periode Tabi’in dimulai setelah lepas kekuasaan Ali sebagai khalifah dan kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan yang berakhir pada awal abad 2 H, seiring dengan berakhirnya dinasti Umayah. Tokoh-tokoh fiqih pada masa ini adalah murid-murid dari sahabat Nabi. Beberapa fenomena yang berkembang pada waktu itu diantaranya :
a)      Kaum muslimin terpecah menjadi beberapa firqah karena motif politik.
b)      Ulama-ulama muslimin telah menyebar ke beberapa negara besar islam.
c)      Tersiar riwayat hadist yang sebelumnya hal itu dilarang dan belum dibukukan.
d)     Terdapat manipulasi hadist karena moptif politik.
            Secara umum, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Nabi SAW, sedangkan para tabi’in mengambil pendapat-pendapat tersebut dari para sahabat. Mereka menghafal apa yang mereka dengar berupa Hadist dari Nabi SAW dan pendapat-pendapat para sahabat sekali  us memahaminya, mengumpulkan apa saja yang diperselisihkan dikalangan sahabat, dan mentarjih sebagian pendapat atas sebagian yang lainnya. Dalam pendapat mereka, suatu pendapat meskipun berasal dari para sahabat senior, bisa lenyap (tidak berlaku), semisal pendapat tersebut menyeselisihi Hadist Nabi SAW yang masyhur di tengah-tengah mereka.
           Dengan demikian, masing-masing ulama tabi’in memiliki madzhab yang dianutnya, sehingga masing-masing daerah memiliki imam panutan,seperti : Sa’id bin Musayyib dan Salim bin Abdillah bin Umar di Madinah. Ulama Madinnah yang terkenal setslah mereka adalah Az-Zuhri, Yahya bin Sa’id dan Rabi’ah bin Abdirrahman, Atha’ bin Abi Rabbah di Mekkah, Ibrahim An Nakha’i dan Asy Sya’bi di Kufah, Al Hasan di Bashrah, Thawus bin Kaisan di Yaman,dan Makhul di Syam.
           Allah SWT menjadikan orang-orang haus akan ilmu mereka, ingin mendapat ilmu serta mengambil darinya Hadist Rasulullah SAW, serta mengambil madzhab dan penelitian para ulama tersebut. Dan juga meminta fatwa, dan mengajukan berbagai kasus yang berkembang di tengah-tengah mereka kepada para ulama tersebut.
          Jadi, masing-masing kelompok memiliki pandangan tersendiri tentang suatu masalah menurut hasil penelitian yang mereka lakukan. Namun, perkara yang sudah menjadi kesepakatan para ulama, mereka pegang dengan kuat. Adapun masalah-masalah ikhtilaf (perselisihan pendapat), mereka pilih mana yang terkuat dan paling rajih. Apabila tidak menemukan jawaban atas suatu persoalan dari hadist-hadistn yang mereka hafal, Mereka tidak serta merta menggunakan isyarat dan petunjuk (dari dalil-dalil yang mereka hafal). Dengan cara itu, mereka merndapatkan permasalahan yang cukup banyak dalam setia bab fiqih.[6]

2.5  Sejarah Perkembangan Fiqih Pada Zaman Kontemporer
        Perkembangan fiqih kontemporer pada intinya merupakan respon fiqih terhadap masalahp-masalah baru yang tidak memiliki legitimasi (mengesahkan) klasik. Walaupun fiqih klasik tidak memiliki legitimasi terhadap persoalan baru bukan berarti fiqih klasik tidak mampu mampu menjawab persoalan baru, justru salah satu prinsip pembentukan fiqih kontemporer harus berpijak kepada fiqih klasik, dan metedologi pembentukan fiqih sebagai pijakan dasar pembentukan fiqih kontemporer (dasar ini sering terlupakan oleh pakar fiqih ketika menyelesaikan persoalan baru).
         Semakin majunya perkembangan teknologi dunia, tak heran kalau fiqih klasik menjadi sorotan orang-orang modernis (liberaris) yang beranggapan fiqih klasik sudah tidak akurat lagi pada zaman ini dan harus direnovasi kembali, bagi mereka tidak semua permasalahan di zaman serba mesin ini mampu dijawab dan di respon oleh kitab yamg dikarang pada ratusan tahun yang silam, ketika zaman mesin “sederhana”. Oleh karenanya, kata kelompok modernis ini, diperlukan kajian atau bahkan ijtihad baru, karena kitab kuning lahir dan tercipta untuk menjawab permasalahan di masanya.      
          Menurut persepsi orang-orang modernis mereka beranggapan bahwa akal ( rasio) di atas segala-galanya dalam penentuan hukum. Menurur mereka setiap individu bebas menentukan hukum permasalahannya. Kelompok ini juga berpandangan bahwa ulama-ulama dulu juga manusia biasa yang karangannya masih perlu dikritisi dan di kaji ulang, sehingga di perlukan ijtihad baru yng lebih toleran dan bebas.
         Menurut Dr.Yusuf Al-qardawy dalam menganalisa fiqih kontemporer, beliau membagi dalam tiga golongan besar, yaitu tradisionalis, liberalis, dan mederatis.       
1.      Golongan pertama adalah golongan yang mengedepankan pemahaman literalistikatas teks-teks agama tanpa memandang perubahan zaman sehingga dalam golongan ini terjadi taqlid buta atas ulama-ulama terdahulu, tanpa adanya pembaharuan sama sekali. Dalam pandangan mereka, nash-nash yang sudah ada tidak boleh lagi digugat atau di kritis sehingga dengan adanya keyakinan seperti ini, pola fikir mereka menjadi kaku dan jumud. Maka tidak heran kalau banyak dari golongan ini yang berpikiran ekstim dan fundamental. Akibatnya mereka mengklaim golongan yang selain mereka adalah kafir
2.      Golongan yang kedua yaitu golonga liberalis yang selalu mengedepankan rasio dari pad wahyu tuhan. Sehingga terjadilah pembentukan sautu hukum , karena suatu masalah apabila di hukumi oleh akal tanpa berpegangpada nash-nash Al-Qur’an dan hadist maka akan terjadi  kontroversi melihay minimnya kemampuan akal dalam menandingi kalam tuhan.
3.      Golongan yang ketiga adalah golongan orang-orang moderat atau kalau tidak berlebihan penulis namakan golonagan ini dengan golongan yang mencoba mengkolaborasi antara teks- teks klasik dengan teks-teks yang lebih bebas dan terbuka sehingga tidak terjadi lagi ke diskuki kakuan dan taqlid buta, di antatanya dengadi bukanya forum-fourm atau seminar-seminar untuk menetukan suatu hukum msalah



BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Begitu panjang perjalanan ilmu fikih dari kemunculannya hingga sekarang dan mungkin hingga puluhan tahun ke depan fikih akan selalu berkembang  karena memang hukum islam yang ada di dalam al-qur’an sebagai sumber utama islam dan ilmu fikih  dan menjadi tempat olah berpikir para ahli agama untuk merespon  masalah yang muncul sehingga syariat islam akan selalu relevan  sebagai sumber solusi masalah yang muncul sepanjang zaman.
            Ketika datang imam-imam yang bermpat ,mereka mengikuti tradisi generasi yang sebelum mereka .imam-imam itu telah mencurahkan segala kemampuan yang ada pada mereka untuk memperkenalkan ilmu fikih ini dan membimbing manusia.dan mereka melarang orang bertaklid atau mengikuti secara membabi buta tanpa mengetahui dalil-dalil atau alasannya.

3.2. Rekomendasi
            Penulisan makalah ini  di harapkan dapat bermanfaat untuk memperdalam pemahaman mahasiswa Agar mempunyai wawasan yang luas tentang hokum-hokum islam,mempunyai kepekaan yang tinggi dalam bermadzhab dan mempunyai tanggung jawab besar dalam beragama .
            Makalah ini baik untuk dijadikan leteratur bacaan,rujukan penulisan ilmiah islamiah dan bahan kajian-kajian keagamaan lainnya.
            Mmenurut kelompok kami,ilmu fikih adalah ilmu yang sangat penting,karena isi dari pada pokok bahasan yang terkandung di dalamnya adalah hukum-hukum dalam islam.dan demikian fikih akan selalu berkembang dan terus berkembang dan aka selalu aktual dan di terima oleh berbagai elemen masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq, fiqhus sunnah, beirut , tahun 1968
Sulaiman Rasyid, H. Fiqh islam, penerbit at-thahiriyah, jakarta, tahun 1976
Abdul wahab khalaf, ilmu ushulil fiqh,majlisul ala al indunisilid da’watil islamiah,  jakarta, 1972
Arnold, Thomas w., 1983. The chalipate,routladge, london.
Baqillani,al,i’jaz al-qur’an,Daar al-maarif,t.th.kairo
Beik,muhammad al-khudhari, 1969. Ushul fikih,Darul fikri, Mesir
Yahya, imam Dinamika ijtihad Nu cet. Isemarang:wali songo press, 2009.
Yasid, abu,fiqh realitas, yogyakarta: pustaka belajar, 2005
Proyek Perguruan Tinggi Agama , pengantar ilmu fikih, jakarta, 1981




[1]
[2]
[3] Ammer Ali, Sayed, The spirit of islam, Alih bahasa Djamadi. PT. Pembangunan Jakarta, 1996, Jilid II, Hal.158.
[4]
[5] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968.
[6]  Shahih Fiqih  Sunnah(judul asli: Shahih Fiqh As Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al A-immah),    karya Abu Malik Kamal bin As Sayyid, cet.III At Tazkia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar