مَنْصُوْبَاتُ
اْلأَسْمَاءِ
(Isim-Isim yang
Dibaca Nashab)
1
|
Maf’ul bih (المَفْعُوْلُ بِهِ)
|
2
|
Maf’ul muthlaq (المَفْعُوْلُ المُطْلَقُ)
|
3
|
Maf’ul li ajlih (المَفْعُولُ لِأَجْلِهِ)
|
4
|
Maf’ul ma’ah (المَفْعُوْلُ مَعَهُ)
|
5
|
Maf’ul fiih/ dzaraf (المَفْعُوْلُ
فِيْهِ الظَّرْفُ)
|
6
|
Hal (الحَالُ)
|
7
|
Tamyiz (التَمْيِيْزُ)
|
8
|
Munada (المُنَادَى)
|
9
|
Mustatsna (المُسْتَثْنَى)
|
10
|
Isim laa al-lati linafyi al-jinsi (اِسْمُ لاَ
الَّتِى لِنَفْيِ الْجِنْسِ)
|
11
|
Isim اِنَّ (اِسْمُ اِنَّ)
|
12
|
Khabar كَانَ (خَبَرُ كَانَ)
|
13
|
Tawabi’ (التَّوَابِعُ)
|
مَفْعُوْلٌ
بِهِ
(Maf’ul
Bih)
Maf’ul Bihadalah isim yang dibaca nashab yang jatuh setelah fi’il muta’ddi yang
sekaligus berkedudukan sebagai objek. Maf’ul bih ini terbagi
menjadi dua, yaitu maf’ul bih sharih dan maf’ul bih ghairu sharih.
a.
Maf’ul bih sharih
Adalah maf’ul bihyang sudah
jelas (bukan terbentuk dari jer majrur). Yang tergabung dalam kategori maf’ul
bih sharih adalah isim dhahir,isim dlamir, dan masdar muawwal.
·
Maf’ul Bih isim dzahir.
Contoh:ضَرَبَ
مُحَمَّدٌكَلْباً
·
Maf’ul Bih isim dlamir.
Contoh:جَعَلَنَا
اللهُ
·
Maf’ul Bih isim Mashdar
Muawwal.
Contoh:عَلِمْتُأَنَّكَ
مَاهِرٌ
b.
Maf’ul Bih Ghairu Sharih
Maf’ul bih ghairu sharih adalah maf’ul bih yang tidak jelas. Ketidak jelasan disebabkan karena maf’ul bih ini tersusun darijer majrur.
Contoh:ذَهَبَ اللهُبِنُوْرِهِمْ
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
ذَهَبَ اللهُبِنُوْرِهِمْ
(Allah telah
melenyapkan cahaya mereka)
|
Lafadz ذَهَبَmerupakan fi’il yang secara arti menunjukkan muta’addi. Oleh
karena itu dia butuh terhadap maf’ul bih (objek). Maf’ul bihnya adalah
jer majrur yang berupa بِنُوْرِهِمْ. Perlu untuk diketahui bahwa
tidak selalu jer majrur akan ditentukan sebagai maf’ul bih. Ketentuan jer
majrur dapat dijadikan sebagai maf’ul bih yang ghairu sharih apabila
jatuh setelah fi’il muta’addi, sedang fi’il muta’addi tersebut tidak memiliki
maf’ul bih yang sharih sehingga –mau tidak mau- jer majrur yang jatuh
sesudahnyalah yang dijadikan sebagai maf’ul bih. Akan tetapi apabila
yang jatuh setelah fi’il muta’addi tersebut masih ada yang memungkinkan untuk
dijadikan sebagai maf’ul bih yang sharih, maka harus lebih didahulukan
sehingga jer majrurnya dianggap sebagai jer majrur biasa.
|
ü Kode maf’ul bih adalahمف, dibaca ”ing” dalam bahasa jawa.
مَفْعُوْلٌ
مُطْلَقٌ
(Maf’ul Muthlaq)
Maf’ul muthlaqadalah isim yang dibaca nashab yang
terbentuk dari mashdar fi’ilnya dan berfungsi:
a) Menunjukkanالتَّوْكيْدُ/taukid (penguat) dan mashdar tersebut terbentuk dari mashdar yang asli dari fi’ilnya, yang sesuai dengan tasrifan-nya.
Contoh:ضَرَبَ
مُحَمَّدٌالكَلْبَضَرْبًا( muhammad telah memukul anjing
dengan sunggug-sungguh) atau dalam bahasa jawa,
kata ضَرْبًا diartikan dengan kelawan
mukul temenan.
b) Menunjukkanالعَدَدُ/‘adad (bilangan)
dan mengikuti wazan fa’latan (فَعْلَةً). Contoh:ضَرَبَ
مُحَمَّدٌالكَلْبَضَرْبَةً( muhammad telah memukul anjing
dengan satu kali pukulan)
c) Menunjukkan النَّوْعُ/nau’ (model) dan mengikuti wazan fi’latan
(فِعْلَةً). Contoh: ضَرَبَ
مُحَمَّدٌالكَلْبَ ضِرْبَةَ اْلاُسْتَاذِ( muhammad telah memukul anjing
seperti pukulannya ustadz).
Secara umum, mashdar
yang membentuk
maf’ul muthlaq itu dibagi menjadi dua, ada mashdar lafdzi
dan mashdar ma’nawi.
1)
Mashdar lafdziadalah mashdar yang secara tulisan sama dengan
bentuk fi’il-nya.
Contoh:ضَرَبَ مُحَمَّدٌ الْكَلْبَضَرْبًا
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
ضَرَبَ مُحَمَّدٌ
الْكَلْبَ ضَرْبًا
( muhammad
telah memukul anjing dengan sunggug-sungguh)
|
Antara lafadz ضَرَبَdan lafadzضَرْبًاmemiliki
kesamaan dari segi hurufnya. Karena demikian masdar yang berupa ضَرْبًاini disebut sebagai masdar lafdzi karena sesuai dengan bentuk
fi’ilnya.
|
2) Mashdar ma’nawiadalah masdar yang secara tulisan tidak sama,
namun secara arti memiliki kesamaan.
Contoh:قَامَ مُحَمَّدٌوُقُوْفًا
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
قَامَ مُحَمَّدٌ وُقُوْفًا
( muhammad
telah berdiri dengan sungguh-sungguh).
|
Antara lafadz قَامَ dan lafadz وُقُوْفًا dari aspek tulisan tidak ada
kesamaan. Lafadz وُقُوْفًا itu berasal dari fi’il madli وَقَفَ, bukan قَامَ. Namun dari segi artinya,
antara lafadz وَقَفَ dan قَامَ memiliki arti yang sama, yaitu
sama-sama menunjukkan arti “berdiri”. Karena demikian, maka masdar yang
berupa lafadz وُقُوْفًا disebut dengan masdar
ma’nawi.
|
ü Kode maf’ul muthlaq adalahمط, dibaca “kelawan” dalam bahasa
jawa.
Skema Maf’ul
Muthlaq
مَفْعُوْلٌ لِأَجْلِهِ
(Maf’ul li Ajlih)
Maf’ul li
ajlih adalah isim yang dibaca nashab yang terbentuk dari mashdar qalbi(mashdar
yang menunjukkan perbuatan hati)dan merupakan alasan terjadinya sebuah
perbuatan.
Contoh:قَامَ مُحَمَّدٌإِكْرَامًا
لِأُسْتَاذِهِ
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
قَامَ مُحَمَّدٌ إِكْرَامًا
لِأُسْتَاذِهِ
(muhammad
berdiri karena ingin memuliakan ustadznya).
|
Lafadz إِكْرَامًا dikatakan sebagai maf’ul li ajlih karena lafadz ini terbentuk dari
masdar qalbi. Selain itu إِكْرَامًا juga
menunjukkan sebuah alasan kenapa tiba-tiba muhammad berdiri. Karena itulah,
maka alasan itulah إِكْرَامًا dikatakan
sebagai maf’ul li ajlih.
|
ü Kode maf’ul li ajlihadalah ع, dibaca “kerono” dalam bahasa
jawa.
مَفْعُوْلٌ
مَعَهُ
(Maf’ul Ma’ah)
Maf’ul ma’ah adalah isim yang dibaca nashab yang jatuh setelah wawu ma’iyah. Isim yang dibaca nashab ini dinyatakan
untuk menjelaskan sesuatu dan
menyertakan perbuatan pelakunya).
Contoh:جاَءَ الْاَمِيْرُوَالْجَيْسَ
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
جاَءَ
الْاَمِيْرُ وَالْجَيْسَ
(seorang
pemimpin dan bala tentaranya telah datang)
|
Lafadz الْجَيْسَdikatakan sebagai maf’ul ma’ah karena jatuh setelah wawu ma’iyyah
(وَ). Terkadang kita mungkin sulit untuk membedakan antara wawu
ma’iyyah dengan wawu ‘athaf.Ketika الْجَيْسُdibaca rafa’, maka lafadz الْجَيْسَ tidak ada kemungkinan lain
kecuali dijadikan ma’thuf karena jatuh setelah wawu ‘athaf. Hanya saja
kalau wawu ‘athaf lebih cenderung memiliki faidah sebagai limutlaq
al-jam’i ( mutlak berkumpul), sehingga tidak ada ketentuan apakah antara الْاَمِيْرُdan الْجَيْسَdatangnya bersamaan ataukah secara
bergiliran maupun bergantian. Sedangkan kalau wawu ma’iyyah lebih khusus yang
menunjukkan bahwaantara الْاَمِيْرُ dan الْجَيْسَdatangnya bersamaan. Dan yang membedakan lagi adalah apabila
lafadz yang jatuh setelah wawu ‘athaf hukum i’rabnya disamakan
dengan ma’thufun ‘alaihnya sedangkan yang jatuh setelah wawu ma’iyyah wajib
dibaca nashab.
|
Catatan:
Dalam beberapa
literatur kitab yang modern (baru) dapat dipastikan bahwa wawu yang
jatuh setelah lafadzيَتَّفِقُadalah wawuma’iyah(wawu
yang mempunyai arti bersama atau beserta).
Contoh:لَا
يَتَّفِقُ وَآخرَ(dia tidak bersepakat beserta
yang lainnya)
مَفْعُوْلٌ فِيْهِ
(Maf’ul Fih atau Dzaraf)
Maf’ul fiih atau dzarah adalah isim yang dibaca nashab yang menunjukkan
keterangan tempat atau waktu, dan memperkirakan maknanya في (menjadikan arti في).Maf’ul fiih atau yang
lebih akrab dikenal dengan nama dzaraf ini dibagi menjadi dua, ada dzaraf
makan dan dzaraf zaman.
a)
Dzaraf Makan (ظَرْفُ
اْلمَكَانِ) adalah dzaraf yang menunjukkan keterangan tempat.
Contoh:قَامَ الْاُسْتَاذُأَمَامَ
الْمَدْرَسَةِ
Analisa contoh:
الأمثلة
|
Keterangan
|
قَامَ
الْاُسْتَاذُ أَمَامَ الْمَدْرَسَةِ
( ustadz
telah berdiri di depan sekolah).
|
Lafadz yang digaris
bawahi yakni أَمَامَ dikatakan sebagai dzaraf makan
karena dia menunjukkan keterangan tempat.Dan hukumnya adalah mabni fathah.
Selain itu, lafadz أَمَامَtermasuk
lafadz yang ghairu mutasharrif, maksudnya lafadz ini tidak dapat
digunakan selain dharaf. Dia secara khusus dipersiapkan untuk menjadi dharaf.
|
b)
Dzaraf Zaman (ظَرْفُ
الزَّمَانِ) adalahdzaraf yang menunjukkan keterangan waktu.
Contoh: رَجَعْتُ مِنَ
الْمَدرَسَةِنَهَارًا
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
رَجَعْتُ مِنَ الْمَدرَسَةِ نَهَارًا
( saya telah
kembali dari sekolah siang hari)
|
Lafadz yang digaris
bawahi yakni نَهَارًا dikatakan sebagai dzaraf
zaman karena dia menunjukkan keterangan waktu. Dan hukumnya adalah mabni
fathah juga. Akan tetapi, lafadz نَهَارًا termasuk lafadz yang mutasharrif,
maksudnya lafadz ini dapat digunakan selain dharaf. Mungkin dapat dijadikan
sebagai fa’il, mubtada’, ataupun yang lainnya.
|
ü Kode maf’ul
fih atau dzaraf adalahظ, dibaca “ingdalem” dalam bahasa
jawa.
Skema maf’ul
fiih atau dzaraf
حَالٌ
(Hal)
Hal adalah isim yang dibaca nashab
yang menjelaskan keadaan dari shahibal-hal (pelaku).Persyaratan haladalah harus terbuat dari isim nakirah dan juga isim sifat (isim
fa’il, isim maf’ul, ataupun isim sifat musyabbahah biismial-fa’il). Sedangkan
persyaratan dari shahib al-hal harus terbuat dari isim ma’rifah.
Antara hal dan shahib al-hal harus sesuai dari segi:
ü Mufrad,
tatsniyah dan jamak
ü Mudzakkar dan
muannatsnya
Adapun hal itu
terbagi menjadi dua, hal mufrad dan hal jumlah.
a) Hal mufradadalah hal yang bukan berbentuk jumlah.
Contoh:جَاءَ مُحَمَّدٌرَاكِبًاdan جَاءَ فَاطِمَةُرَاكِبَةً
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
جَاءَ
مُحَمَّدٌ رَاكِبًا
(Muhammad
datang dengan berkendara)
|
Lafadz رَاكِبًا dijadikan sebagai hal karena dia sudah memenuhi
persyarat dari hal, yakni terbentuk dari isim sifat dan berupa isim
nakirah. Selain itu رَاكِبًا juga sudah sudah sesuai dengan
shahib al-hal-nya yaitu, مُحَمَّدٌ. Kesesuaiannya adalah sama
berbentuk mudzakkar. Dan yang terpenting lagi adalah رَاكِبًا menjelaskan keadaan مُحَمَّدٌ ketika dia datang.
|
جَاءَ
فَاطِمَةُ رَاكِبَةً
(Fatimah
datang dengan berkendara)
|
Lafadz رَاكِبَةً dijadikan sebagai hal karena dia sudah memenuhi
persyarat dari hal, yakni terbentuk dari isim sifat dan berupa isim
nakirah. Selain itu رَاكِبَةً juga sudah sudah sesuai dengan
shahib al-hal-nya yaitu, فَاطِمَةُ. Kesesuaiannya adalah sama
berbentuk muannatsa. Dan yang terpenting lagi adalah رَاكِبَةً menjelaskan keadaan فَاطِمَةُ ketika dia
datang.
|
b) Haljumlahadalah hal yang berupa jumlah, baik jumlah ismiyah atau jumlah fi’liyah.
Ketentuan dari jumlahnya adalah harus jatuh setelah isim ma’rifah.
Contoh:جَاءَ الرَّجُلُيَرْكَبُ
السَّيَّارَةَ
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
جَاءَ
الرَّجُلُ يَرْكَبُ السَّيَّارَةَ
(orang
tersebut telah datang dengan mengendarai mobil)
|
Jumlah fi’liyyah yang
berupa يَرْكَبُ السَّيَّارَةَadalah berkedudukan
sebagai hal karena jumlah tersebut jatuh setelah isim ma’rifat.
Jumlah ini juga merupakan kalimat yang ingin menjelaskan datangnya
seseorang tersebut. Karena demikian, maka jumlah ini dikatakan sebagai hal
jumlah.
|
Catatan:
Secara teori, hal
harus selalu terbentuk dari isim nakirah, akan tetapi terdapat sebuah isim
ma’rifat yang masuk dalam bagian pengecualian, yakni lafadz وَحْدَهُ, itupun harus dita’wili dengan isim nakirah yaitu مُنْفَرِدًا.
ü Kode hal (حال) adalahحا,
dibaca “hale atau tingkahe ” dalam bahasa jawa.
Adapun untuk
lebih jelasnya tentang hal, dapat melihat skema yang ada di bawah ini.
Skema unsur dari Hal
Skema pembagian Hal
تَمْيِيْزٌ
(Tamyiz)
Tamyizadalah isim yang dibaca nashab yang menjelaskan benda yang masih bersifat
samar. Kesamaran atau ketidak jelasan itu muncul karena banyaknya alternatif
yang bisa masuk.Adapun syarat dari tamyizharus berupa isim
nakirah. Dalam banyak kesempatan, tamyiz selalu jatuh setelah isim tafdlil
(isim yang memiliki arti paling atau lebih) dan isim ‘adad (isim yang
menunjukkan bilangan).
Contoh:
·
Isim tafdlil:أَنَا أَكْثَرُ
مِنْكَمَالًا
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
أَنَا أَكْثَرُ
مِنْكَ مَالًا
(saya lebih
banyak dari pada kamu hartanya)
|
Lafadz مَالًاdikatakan sebagai tamyiz karena lafadz ini sebagai penegas kalimat
sebelumnya. Selain itu, dia juga terbentuk dari isim nakirah. Misalnya
kalimat sebelumnya hanya berupa kalimat “saya lebih banyak dari pada kamu”
dengan tanpa diberi tamyiz, tentu orang diajak bicara akan menimbulkan
pertanyaan, yakni “kira-kira apa ya yang kamu miliki itu yang lebih banyak
dariku”. Yang lebih banyak itu bisa bukunya, bisa makanannya, bisa
mobilnya, dan juga bisa yang lainnya. Karena demikian, untuk menhindari
adanya kabingunan yang muncul dari orang yang diajak bicara, adanya tamyiz
sangatlah perlu sekali untuk disebutkan karena dapat menjadi penegas dan
penghilang rasa tanya yang muncul dari orang lain tersebut.
|
· Isim ‘adad: اِشْتَرَيْتُ
عِشْرِيْنَكِتَابًا
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
اِشْتَرَيْتُ
عِشْرِيْنَ كِتَابًا
(saya telah
membeli 20 kitab)
|
Lafadz كِتَابًا sangat perlu ditampakkan karena masih belum jelas apabila
hanya menyampaikan “saya telah membeli 20”. Orang lain akan muncul pertanyaan
kira-kira apa yang telah dibeli tersebut. Akan banyak anggapan-anggapan yang
bisa masuk. Untuk membatasi anggapan dan agar supaya orang lain tidak salah
paham dalam memahami ucapan tersebut, maka adanya tamyiz sebagai penjelas
sangat sekali dibutuhkan. Selain itu juga lafadz كِتَابًاjuga termasuk isim nakirah sehingga dia sudah pas untuk dijadikan sebagai
tamyiz.
|
ü Kode tamyizadalah تم, dibaca “apane” dalam bahasa
jawa.
مُنَادَى
(Munada)
Munada adalah isim
yang dibaca nashab yang jatuh setelah huruf nida’ (panggilan). Huruf nida’
merupakan penyempitan kalimat dari lafadz أَدْعُوْ,
karena munadapada dasarnya diasumsikan sebagai maf’ul bih (objek).Diantara yang termasuk huruf nida’ adalahيَا، أَيَا، هَيَا، أَيُّ، أ .
Contoh:يَا رَسُوْلَ اللهِpada awalnya lafadz ini adalah أَدْعُوْ رَسُوْلَ اللهِ
Munada terbagi menjadi lima bagian, yaitu mufrad ‘alam/ma’rifat, nakirah
maqshudah, nakirah ghairu maqshudah, mudlaf, dan syibhu al-mudlaf.
a. Mufrad ‘alam/ ma’rifat adalah munada yang
berbentuk isim ma’rifat. Seperti yang biasa ditegaskan bahwa istilah mufrad
tidaklah kemudian diartikan dengan satu (tunggal), akan tetapi istilah mufrad
dipakai hanya sekedar istilah saja. Dengan kata lain bahwa mufrad ma’rifat/
‘alam adalah munada yang bukan nakirahmaqsushudah, bukan nakirah
ghairu maqshudah, bukan mudlaf danbukan pula syibhu al-mudlaf.
Contoh:يَا مُحَمَّدُ(wahai muhammad),يَا اَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ( wahai orang-orang yang kafir)
b.
Nakirahmaqshudah adalah munada yang berupa isim
nakirah. Akan tetapi nakirah yang dimaksud adalah nakirah yang sifatnya sudah khusus
sehingga tingkatannya disamakan dengan isim ma’rifat. Munada ini bisa
digambarkan dengan kita sedang berada dalam sebuah ruangan. Kita seolah-olah
sedang berada di atas mimbar dan dihadapan kita terdapat ratusan orang. Dari
ratusan orang ini, kita ingin memanggil salah satu saja, namun kita tidak tahu
nama dari orang yang hendak kita panggil tersebut. Maka kita boleh menggunakan
munada ini akan tetapi harus disertai dengan sebuah isyarat yang menunjukkan
bahwa kita sedang menunjuk salah satu orang tersebut di antara mereka.
Contoh: يَا رَجُلُ(wahai orang laki-laki “ disertai dengan sebuah
isyarat” )
c. Nakirah ghairu maqshudah adalah munada yang berupa isim nakirah. Nakirah
yang dimaksud dalam munada ini adalah nakirah yang sebagaimana yang sudah kita
kenal sehingga nakirah ini sifatnya lebih umum dan tingkatannya tidak disamakan
dengan isim ma’rifat.
Contoh: يَا رَجُلاً(wahai orang laki-laki semuanya)
d. Mudlaf adalah munada yang terbentuk dari susunan idlafah.
Contoh: يَا طَالِبَ
الْعِلْمِ(wahai orang yang mencari ilmu)
Syibhu
al-mudlaf adalah munada yang diserupakan dengan mudlaf. Maksudnya adalah dalam
munada ini dari aspek maknanya hampir tidak ada bedanya dengan yang ada dalam
munada mudlaf. Yang membedakan hanyalah dari segi tulisannya saja.
Contoh: يَا طَالِباًعِلْماً (wahai orang yang mencari ilmu)
Adapun hukum i’rab yang terdapat dalam munada dibagi menjadi 2, yaitu مَبْنِيٌّ
عَلَى مَا يُرْفَعُ بِهِ (dimabnikan menggunakan tanda
rafa’nya sendiri) dan مُعْرَبٌ مَنْصُوبٌ(dii’rabi nashab). Yang tergolong dalam مَبْنِيٌّ
عَلَى مَا يُرْفَعُ بِهِadalah munada mufrad ‘alam/ ma’rifat, munada
nakirah maqshudah. Sedangkan yang termasuk dalam مُعْرَبٌ مَنْصُوبٌ(dii’rabi nashab) adalah munada
nakirah ghairu maqshudah, munada mudlaf dan syibhu al-mudlaf.
Catatan:
ü
Ketika sebuah
kalimat sudah dihukumi mabni, maka sepenuhnya kita harus ikuti ketentuan
tersebut, tak terkecuali dengan munada yang mudrad ma’rifat/ ‘alam dan nakirah
maqshudah. Karena kedua munada ini hukumnya adalah mabni, maka pertanyaan yang
mengatakan bahwa kenapa munadanya dibaca rafa’ akan gugur dengan sendirinya.
Hal ini disebabkan karena harakat pada kalimat yang hukumnya mabni adalah tidak
dapat diganggu gugat.Akan tetapi meskipun secara dzahir seperti dibaca rafa’,
akan tetapi kedudukannya tetap nashab karena menjadi munada.
ü
Ketika
munadanya berupa isim ma’rifah yang menggunakanال (Al), maka huruf nida’nya
yang berupa ya’ (يا) tidak bisa masuk secara
langsung kepada munadanya seperti الْكَافِرُوْنَيَا , tetapi harus ada tambahanأَيٌّ وُصْلَةٌ(ayyun wuslah/ ayyun
penyambung)danتَنْبِيْهٌ هَا (ha’ tanbih/ ha’ peringatan)terlebih
dahulu.
Contoh:يَاأَيُّهَا
الْكَافِرُوْنَ(wahai orang-orang yang kafir)
ü
Ketika munada
yang berupa isim ma’rifat yang menggunakanال (Al) sudah diberi أَيٌّ وُصْلَةٌ(ayyun wuslah/ ayyun penyambung)danتَنْبِيْهٌ هَا (ha’ tanbih/ ha’ peringatan), maka memungkin huruf
nida’nya dibuang.
Contoh: أَيُّهَا
النَّبٍيُّ
ü
Khusus pada
lafadz الله, isim ma’rifah yang ketambahan الini bisa
secara langsung dimasuki oleh huruf nida’ (يا).
Contoh:يَا أَللهُ
ü Huruf nida' (يا) pada lafadz يَا
أَللهُjuga dapat diganti
dengan mim yang ditasydid (مّ)
dan diletakkan di akhir lafadz اللهُ.
Contoh:أَللّهُمَّ
Untuk lebih jelasnya
tentang pembagian munada dapat dilihat bagan berikut ini.
Bagan munada
اِسْتِثْنَاءٌ
\ مُسْتَثْنَى
(Istitsna’ atau Mustatsna)
Mustatsna adalah isim yang dibaca nashab
yang jatuh setelah ‘adadul istitsna’
(perangkat atau huruf yang digunakan untuk mengecualikan). Contoh:قَامَ الْقَوْمُ إِلاَّ زَيْدًا
Unsur-unsur
yang ada dalam istitsna’ itu ada tiga hal,yaitu:
a)
أَدَاةُ
الْاِسْتِثْنَاء(huruf
yang berfungsi mengecualikan)
b)
مُسْتَثْنَى (isim yang dikecualikan)
c)
مُسْتَثْنَى
مِنْهُ
(isim yang dikecualikan dari mustatsna)
‘Adat
al-istitsna’ atau huruf-huruf
istitsna’ diantaranya: إِلاَّ, غَيْرُ, سِوًى,
سُوًى, سَوَاءٌ, خَلاَ, عَدَا, حَشَا
Berbicara tentang mustatsna, ada
sebuah istilah popular yang digunakan dalam pembahasan إِلاَّ , yaitu istilah kalam. Istilah kalam ini dibagi menjadi dua, kalam تام (taam) dan kalam نَاقِسٌ (naqis).
a. Kalam taam(تام)artinya sempurna, maksudnya
adalah kalam yang telah memuat mustatsna minhu. Kalam taam (تام) ini dibagi menjadi dua, yaitu taam mujab dan taam manfi.
1) Taam mujab (مُجَابٌ) atau positif, maksudnyatidak
diawali oleh huruf nafi. Tam mujab (مُجَابٌ) ini i’rabnya adalah nashab
karena menjadi mustatsna.
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ إِلاَّزَيْدًا
2)
Taammanfi (مَنْفِيْ) atau negatif, maksudnya diawali
oleh huruf nafi. Taam manfi (مَنْفِيْ) ini i’rabnya ada duamacam, yaitu:
a)
Nashab, karena menjadi mustatsna.
Contoh:مَاقَامَ الْقَوْمُ
إِلاَّ زَيْدًا
b)
Menjadi badal, sehingga bisa
dibaca rafa’, nashab, maupun jer sesuai dengan hukum mubdal minhu-nya.
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ
إِلاَّ زَيْدٌ
b. Kalam naqis (نَاقِسٌ) atau tidak sempurna, maksudnya
di dalam kalam ini tidak ada unsur mustatsnaminhu, yang ada hanya ‘adatul
istitsna’ dan mustatsnasaja. Kalam naqis (نَاقِسٌ) ini tergolong kalam yang hukum i’rabnya itu tergantung oleh tuntutan
amil yang memasukinya (عَلَى حَسَبِ الْعَوامِلِ), artinya apabila amilnya adalah
amil yang menuntut rafa’maka mustatsna-nya dibaca rafa’.Apabila
amilnya menuntut nashab maka mustatsna-nya dibaca nashab
dan apabila amilnya menuntut jer/khafad maka mustatsnanya dibaca jer/
khafad.
Contoh:
مَا قَامَ إِلاَّ زَيْدٌ
مَا رَأَيْتُ إِلاَّ زَيْدًا
مَا مَرَرْتُ إِلاَّ بِزَيْدٍ
Pembahasan ‘adat al-istitsna’yang berupaغَيْرُ, سِوًى,
سُوًى, سَوَاءٌ,hukumi’rabnya mustatsnaterbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Wajib dibaca jer, karena menjadi mudlafun ilaih dari huruf istitsna’ tersebut (وَجَبَ جَرُّهُ عَلَى إِضَافَتِهَا إلَيْهِ).
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ
غَيْرَ زَيْدٍ
Catatan!
Khusus untuk
lafadz غَيْر, ada pembahasan tersendiri.
Hukumnya غَيْرadalah sebagaiman hukum isim yang jatuh setelah lafadz إِلاَّ. Seandainya dikatakanقَامَ الْقَوْمُ غَيْرَ زَيْدٍ dengan membaca nashab lafadz غَيْرَ,itu tidak lain karena kalamnya termasuk kalam tam yang
mujab. Seandainya dikatakan مَاقَامَ
الْقَوْمُ غَيْرُ زَيْدٍatauمَا قَامَ
الْقَوْمُ غَيْرَ زَيْدٍdengan dibaca rafa’ lafadz غَيْرُnya karena menjadi badal dari lafadz الْقَوْمُyang kebetulan termasuk kalam tam yang manfi.Sedangkan dibaca nashab
sebagaimanamustatsnamestinya karena termasuk kalam tam yang manfi.
b. Hukum i’rabnya disamakan dengan pembahasan إِلاَّyang
dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya (فَلَهَاحُكْمُ الْمُسْتَثْنَى
بِإِلاَّ السَّابِقِ), yang mana dikhususkan pada
pembahasanإِلاَّ yang taam manfi yang nashab
Sedangkan pembahasan huruf istitsna’ خَلَا, عَدَا, حَشَا ,hukum i’rabnya mustatsna ada dua, yaitu:
a.
Dibaca nashab, karena menjadi maf’ul bih (مَنْصُوْبٌ عَلَى الْمَفْعُوْلِ بِهِ), karena huruf
atau ‘adat al-istitsna’-nya dianggap sebagai fi’il madli yang
fa’ilnya berupa dlamir mustatir yang kembalinya kepada lafadz
sebelumnya.
(عَلَى تَقْدِيْرِهَا
أَفْعَالاً وَ فَاعِلُهَا مُسْتَتِيْرٌ يَعُوْدُ عَلَى الْقَائِمِ).
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ خَلَازَيْدًا
b.
Dibaca jer, karena menjadi majrur (مَجْرُوْرٌ), karena menganggap ‘adat
al-istitsna’ atau huruf istitsna’-nya adalah sebagai huruf jer/khafad.
(عَلَى تَقْدِيْرِهَا
حُرُوْفًا ).
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ خَلَازَيْدٍ
Skema istitsna’
Skema
pembagian kalam
إِسِمُ لاَ
الَّتِيْ لِنَفْيِ الْجِنْسِ
(Isim La Allati li Nafyi al-Jinsi)
إِسِمُ لاَ
الَّتِيْ لِنَفْيِ الْجِنْسِ adalah لاَ yang berfungsi menafikan atau meniadakan jenis. لاَ berpengalaman sebagaimana pengamalan dari إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا yaitu تَنْصِبُ الاِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ (menashabkan isim dan merafa’kan khabar), hanya saja
yang membedakan adalah apabila لاَ الَّتِيْ لِنَفْيِ الْجِنْسِsecara khusus hanya masuk pada isim nakirah.Karena pengalamannya
sama dengan إِنَّ maka di samping memiliki isim
juga akan memiliki khabar.
· Isim la
allati li nafyi al-jinsidibagi menjadi tiga, yaitu:
a.
Mufrad(مُفْرَدٌ)
Seperti pembahasan-pembahasan
sebelumnya, istilah mufrad dalam إِسِمُ لاَ الَّتِيْ
لِنَفْيِ الْجِنْسِ tidaklah ada hubungannya dengan isim
tatsniyah dan jamak, akan tetapi istilah mufrad ini adalah bukan berbentuk
idlafah dan juga bukan berbentuk sesuatu yang diserupakan dengan mudlaf (شِبْهُ الْمُضَافِ). Hukum i’rab dari mufrad
ini adalah dimabnikan
sesuai dengan tanda mabninya(مَبْنِيٌّ عَلَى
مَايُنْصَبُ بِهِ).
Contoh:لاَ رَجُلَ
فِي الدَّارِ
b.
Mudlaf (مُضَافٌ)
Isim لاَ
nya dimudlafkan.
Contoh:لاَ طَالِبَ عِلْمٍ
فِي الدَّارِ
c.
Diserupakan dengan mudlaf (شِبْهُ
الْمُضَافِ)
شِبْهُ
الْمُضَافِadalah susunan
kata yang menyerupai mudlof atau idlafah, yang mana antara satu dengan
yang lainnya saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan.
Contoh:لاَ طَالِبًا عِلْمًا
فِي الدَّارِ
· Khabar la
allati li nafyi al-jinsidibagi menjadi dua. Yaitu:
a.
Ma’lum (مَعْلُوْمٌ)
artinya khabarnya sudah diketahui, karena sudah bersifat umum, sehingga khabarnya secara lafadz
tidak ditampakkan atau wajib dibuang (وَجَبَ حَذْفُهُ).
Contoh:لاَ رَجُلَفِي
الدَّارِ
b.
Majhul (مَجْهُوْلٌ)
artinya khabarnya tidak diketahui, karena bersifat khusus. Sehingga khabarnya
secara lafadz harus ditampakkan
atau khabarnya wajib disebutkan (وَجَبَ ذِكْرُهُ).
Contoh:لاَ رَجُلَ قَائِمٌ
فِي الدَّارِ
Catatan:
Pada isim لاَterdapat sebuah keanehan
yaitu tidak dibaca tanwin. Padahal sebuah kalimat isim tidak ditanwin apabila ada ال (Al)nya, dimudlafkan dan juga berupa isim
ghairu munsharif.Akan tetapi kenyataannya isim لاَtersebut tidak ditanwin. Karena demikian, maka kemudian ulama’
menganggapnya sebagai مَبْنِيٌّ عَلَى مَايُنْصَبُ بِهِ (dimabnikan sesuai dengan tanda nashabnya).
Skema Isim Laa
Allati li Nafyi al-Jinsi
اِسْمُ اِنَّوأخواتها
(IsimInna wa
Akhwatuha)
Isim inna wa
akhwatuhaadalah mubtada’ yang ada dalam jumlah ismiyyah yang di masuki إِنَّوَأَخْوَاتُهَا (inna wa akhwatuha).
Seperti yang sudah dipaparkan dalam bab isim-isim yang dibaca rafa’, إِنَّ memiliki pengemalanتَنْصِبُ الاِسْمَ وَتَرْفَعُ
الْخَبَرَ(menashabkan isim dan merafa’kan khabar).
Contoh:إِنَّ زَيْدًا
قَائِمٌ
خَبَرُكَانَوأخواتها
(Khabar Kaana
wa Akhwatuha)
Khabarkaana wa
akhwatuhaadalah khabaryang ada dalam jumlah ismiyyah yang dimasuki oleh كَانَ
وَأَخْوَاتُهَا(kaana dan saudara-saudaranya). Sama seperti pembahasan
dalam isim-isim yang dibaca rafa’, kaana dan saudara-saudaranyamemiliki
pengamalan تَرْفَعُ الاِسْمَ وَ تَنْصِبُ الْخَبَرَ (merafa’kan isim dan
menashabkan khabar)
Contoh:كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا
التَّوَابِعُ
(Tawabi’)
Tawabi’ (تَوَابِعُ)merupakan bentuk jamak dari adalah lafadz تَابِعٌ (pengikut). Akan tetapi
dalam pembahasan ini tawabi’ didefinisikan dengan lafadz yang hukum i’rabnya
mengikuti hukum i’rab مَتْبُوْعٌ (lafadz yang diikuti), baik dari segi rafa’, nashab,
maupun jer/khafadnya. Tawabi’ (التَّوَابِعُ) dibagi menjadi empat, yaitu:
a.
Na’at
b.
‘Athaf
c.
Taukid
d.
Badal
Tambahan:
Ketika dalam sebuah teks, realitanya terdapat sebuah kalimat isim yang
dibaca nashab, akan tetapi tidak termasuk dalam pembagian isim-isim yang dibaca
nashab, maka isim tersebut lebih dikenal dengan sebutanمَنْصُوْبٌ
عَلَى نَزْعِ الْخَافِضِ(dibaca nashab atas dasar
membuang huruf jer). Dalam aplikasinya,
isim ini sering mengira-ngirakan huruf jer فِي .
Contoh: * لُغَةً dikira-kirakan dengan lafadz فِي اللُّغَةِ
* اِصْطِلَاحًا dikira-kirakan dengan lafadz فِي
الاِصْطِلَاحِ