Rabu, 12 Agustus 2015

مَنْصُوْبَاتُ اْلأَسْمَاءِ




مَنْصُوْبَاتُ اْلأَسْمَاءِ
(Isim-Isim yang Dibaca Nashab)

1
Maf’ul bih (المَفْعُوْلُ بِهِ)
2
Maf’ul muthlaq (المَفْعُوْلُ المُطْلَقُ)
3
Maf’ul li ajlih (المَفْعُولُ لِأَجْلِهِ)
4
Maf’ul ma’ah (المَفْعُوْلُ مَعَهُ)
5
Maf’ul fiih/ dzaraf (المَفْعُوْلُ فِيْهِ  الظَّرْفُ)
6
Hal (الحَالُ)
7
Tamyiz (التَمْيِيْزُ)
8
Munada (المُنَادَى)
9
Mustatsna (المُسْتَثْنَى)
10
Isim laa al-lati linafyi al-jinsi (اِسْمُ لاَ الَّتِى لِنَفْيِ الْجِنْسِ)
11
Isim اِنَّ (اِسْمُ اِنَّ)
12
Khabar كَانَ (خَبَرُ كَانَ)
13
Tawabi’ (التَّوَابِعُ)

مَفْعُوْلٌ بِهِ
(Maf’ul Bih)


Maf’ul Bihadalah isim yang dibaca nashab yang jatuh setelah fi’il muta’ddi yang sekaligus berkedudukan sebagai objek. Maf’ul bih ini terbagi menjadi dua, yaitu maf’ul bih sharih dan maf’ul bih ghairu sharih.
a.    Maf’ul bih sharih
Adalah maf’ul bihyang sudah jelas (bukan terbentuk dari jer majrur). Yang tergabung dalam kategori maf’ul bih sharih adalah isim dhahir,isim dlamir, dan masdar muawwal.
·      Maf’ul Bih isim dzahir.
Contoh:ضَرَبَ مُحَمَّدٌكَلْباً
·      Maf’ul Bih isim dlamir.
Contoh:جَعَلَنَا اللهُ
·      Maf’ul Bih isim Mashdar Muawwal.
Contoh:عَلِمْتُأَنَّكَ مَاهِرٌ
b.    Maf’ul Bih Ghairu Sharih
Maf’ul bih ghairu sharih adalah maf’ul bih yang tidak jelas. Ketidak jelasan disebabkan karena maf’ul bih ini tersusun darijer majrur.
Contoh:ذَهَبَ اللهُبِنُوْرِهِمْ
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
ذَهَبَ اللهُبِنُوْرِهِمْ
(Allah telah melenyapkan cahaya mereka)
Lafadz ذَهَبَmerupakan fi’il yang secara arti menunjukkan muta’addi. Oleh karena itu dia butuh terhadap maf’ul bih (objek). Maf’ul bihnya adalah jer majrur yang berupa بِنُوْرِهِمْ. Perlu untuk diketahui bahwa tidak selalu jer majrur akan ditentukan sebagai maf’ul bih. Ketentuan jer majrur dapat dijadikan sebagai maf’ul bih yang ghairu sharih apabila jatuh setelah fi’il muta’addi, sedang fi’il muta’addi tersebut tidak memiliki maf’ul bih yang sharih sehingga –mau tidak mau- jer majrur yang jatuh sesudahnyalah yang dijadikan sebagai maf’ul bih. Akan tetapi apabila yang jatuh setelah fi’il muta’addi tersebut masih ada yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai maf’ul bih yang sharih, maka harus lebih didahulukan sehingga jer majrurnya dianggap sebagai jer majrur biasa.

ü Kode maf’ul bih adalahمف, dibaca ”ing” dalam bahasa jawa.
Skema maf’ul bih


 
مَفْعُوْلٌ مُطْلَقٌ
(Maf’ul Muthlaq)


Maf’ul muthlaqadalah isim yang dibaca nashab yang terbentuk dari mashdar fi’ilnya dan berfungsi:
a)    Menunjukkanالتَّوْكيْدُ/taukid (penguat) dan mashdar tersebut terbentuk dari mashdar yang asli dari fi’ilnya, yang sesuai dengan tasrifan-nya.
Contoh:ضَرَبَ مُحَمَّدٌالكَلْبَضَرْبًا( muhammad telah memukul anjing dengan sunggug-sungguh) atau dalam bahasa jawa, kata ضَرْبًا diartikan dengan kelawan mukul temenan.
b)   Menunjukkanالعَدَدُ/adad (bilangan) dan mengikuti wazan fa’latan (فَعْلَةً). Contoh:ضَرَبَ مُحَمَّدٌالكَلْبَضَرْبَةً( muhammad telah memukul anjing dengan satu kali pukulan)
c)    Menunjukkan النَّوْعُ/nau’ (model) dan mengikuti wazan fi’latan (فِعْلَةً). Contoh: ضَرَبَ مُحَمَّدٌالكَلْبَ ضِرْبَةَ اْلاُسْتَاذِ( muhammad telah memukul anjing seperti pukulannya ustadz).
Secara umum, mashdar yang membentuk maf’ul muthlaq itu dibagi menjadi dua, ada mashdar lafdzi dan mashdar ma’nawi.
1)   Mashdar lafdziadalah mashdar yang secara tulisan sama dengan bentuk fi’il-nya.
Contoh:ضَرَبَ مُحَمَّدٌ الْكَلْبَضَرْبًا
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
ضَرَبَ مُحَمَّدٌ الْكَلْبَ ضَرْبًا
( muhammad telah memukul anjing dengan sunggug-sungguh)

Antara lafadz ضَرَبَdan lafadzضَرْبًاmemiliki kesamaan dari segi hurufnya. Karena demikian masdar yang berupa ضَرْبًاini disebut sebagai masdar lafdzi karena sesuai dengan bentuk fi’ilnya.

2)   Mashdar ma’nawiadalah masdar yang secara tulisan tidak sama, namun secara arti memiliki kesamaan.
Contoh:قَامَ مُحَمَّدٌوُقُوْفًا
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
قَامَ مُحَمَّدٌ وُقُوْفًا
( muhammad telah berdiri dengan sungguh-sungguh).
Antara lafadz قَامَ dan lafadz وُقُوْفًا dari aspek tulisan tidak ada kesamaan. Lafadz وُقُوْفًا itu berasal dari fi’il madli وَقَفَ, bukan قَامَ. Namun dari segi artinya, antara lafadz وَقَفَ dan قَامَ memiliki arti yang sama, yaitu sama-sama menunjukkan arti “berdiri”. Karena demikian, maka masdar yang berupa lafadz وُقُوْفًا disebut dengan masdar ma’nawi.

ü Kode maf’ul muthlaq adalahمط, dibaca “kelawan” dalam bahasa jawa.

Skema Maf’ul Muthlaq



 












مَفْعُوْلٌ لِأَجْلِهِ
(Maf’ul li Ajlih)


Maf’ul li ajlih adalah isim yang dibaca nashab yang terbentuk dari mashdar qalbi(mashdar yang menunjukkan perbuatan hati)dan merupakan alasan terjadinya sebuah perbuatan.
Contoh:قَامَ مُحَمَّدٌإِكْرَامًا لِأُسْتَاذِهِ
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
قَامَ مُحَمَّدٌ إِكْرَامًا لِأُسْتَاذِهِ
(muhammad berdiri karena ingin memuliakan ustadznya).

Lafadz إِكْرَامًا dikatakan sebagai maf’ul li ajlih karena lafadz ini terbentuk dari masdar qalbi. Selain itu إِكْرَامًا juga menunjukkan sebuah alasan kenapa tiba-tiba muhammad berdiri. Karena itulah, maka alasan itulah إِكْرَامًا dikatakan sebagai maf’ul li ajlih.

ü Kode maf’ul li ajlihadalah ع, dibaca “kerono” dalam bahasa jawa.


مَفْعُوْلٌ مَعَهُ
(Maf’ul Ma’ah)


Maf’ul ma’ah adalah isim yang dibaca nashab yang jatuh setelah wawu ma’iyah. Isim yang dibaca nashab ini dinyatakan untuk menjelaskan sesuatu  dan menyertakan perbuatan pelakunya).
Contoh:جاَءَ الْاَمِيْرُوَالْجَيْسَ



Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
جاَءَ الْاَمِيْرُ وَالْجَيْسَ
(seorang pemimpin dan bala tentaranya telah datang)
Lafadz الْجَيْسَdikatakan sebagai maf’ul ma’ah karena jatuh setelah wawu ma’iyyah (وَ). Terkadang kita mungkin sulit untuk membedakan antara wawu ma’iyyah dengan wawu ‘athaf.Ketika الْجَيْسُdibaca rafa’, maka lafadz الْجَيْسَ tidak ada kemungkinan lain kecuali dijadikan ma’thuf karena jatuh setelah wawu ‘athaf. Hanya saja kalau wawu ‘athaf lebih cenderung memiliki faidah sebagai limutlaq al-jam’i ( mutlak berkumpul), sehingga tidak ada ketentuan apakah antara الْاَمِيْرُdan الْجَيْسَdatangnya bersamaan ataukah secara bergiliran maupun bergantian. Sedangkan kalau wawu ma’iyyah lebih khusus yang menunjukkan bahwaantara الْاَمِيْرُ dan الْجَيْسَdatangnya bersamaan. Dan yang membedakan lagi adalah apabila lafadz yang jatuh setelah wawu ‘athaf hukum i’rabnya disamakan dengan ma’thufun ‘alaihnya sedangkan yang jatuh setelah wawu ma’iyyah wajib dibaca nashab.

Catatan:
Dalam beberapa literatur kitab yang modern (baru) dapat dipastikan bahwa wawu yang jatuh setelah lafadzيَتَّفِقُadalah wawuma’iyah(wawu yang mempunyai arti bersama atau beserta).
Contoh:لَا يَتَّفِقُ وَآخرَ(dia tidak bersepakat beserta yang lainnya)


مَفْعُوْلٌ فِيْهِ
(Maf’ul Fih atau Dzaraf)


Maf’ul fiih atau dzarah adalah isim yang dibaca nashab yang menunjukkan keterangan tempat atau waktu, dan memperkirakan maknanya في (menjadikan arti في).Maf’ul fiih atau yang lebih akrab dikenal dengan nama dzaraf ini dibagi menjadi dua, ada dzaraf makan dan dzaraf zaman.
a)    Dzaraf Makan (ظَرْفُ اْلمَكَانِ) adalah dzaraf yang menunjukkan keterangan tempat.
Contoh:قَامَ الْاُسْتَاذُأَمَامَ الْمَدْرَسَةِ
Analisa contoh:
الأمثلة
Keterangan
قَامَ الْاُسْتَاذُ أَمَامَ الْمَدْرَسَةِ
( ustadz telah berdiri di depan sekolah).

Lafadz yang digaris bawahi yakni أَمَامَ  dikatakan sebagai dzaraf makan karena dia menunjukkan keterangan tempat.Dan hukumnya adalah mabni fathah. Selain itu, lafadz أَمَامَtermasuk lafadz yang ghairu mutasharrif, maksudnya lafadz ini tidak dapat digunakan selain dharaf. Dia secara khusus dipersiapkan untuk menjadi dharaf.

b)   Dzaraf Zaman (ظَرْفُ الزَّمَانِ) adalahdzaraf yang menunjukkan keterangan waktu.
Contoh: رَجَعْتُ مِنَ الْمَدرَسَةِنَهَارًا
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
رَجَعْتُ مِنَ الْمَدرَسَةِ نَهَارًا
( saya telah kembali dari sekolah siang hari)

Lafadz yang digaris bawahi yakni نَهَارًا dikatakan sebagai dzaraf zaman karena dia menunjukkan keterangan waktu. Dan hukumnya adalah mabni fathah juga. Akan tetapi, lafadz نَهَارًا termasuk lafadz yang mutasharrif, maksudnya lafadz ini dapat digunakan selain dharaf. Mungkin dapat dijadikan sebagai fa’il, mubtada’, ataupun yang lainnya.

ü Kode maf’ul fih atau dzaraf adalahظ, dibaca “ingdalem” dalam bahasa jawa.
Skema maf’ul fiih atau dzaraf



 


حَالٌ
 (Hal)


Hal adalah isim yang dibaca nashab yang menjelaskan keadaan dari shahibal-hal (pelaku).Persyaratan haladalah harus terbuat dari isim nakirah dan juga isim sifat (isim fa’il, isim maf’ul, ataupun isim sifat musyabbahah biismial-fa’il). Sedangkan persyaratan dari shahib al-hal harus terbuat dari isim ma’rifah. Antara hal dan shahib al-hal harus sesuai dari segi:
ü Mufrad, tatsniyah dan jamak
ü Mudzakkar dan muannatsnya
Adapun hal itu terbagi menjadi dua, hal mufrad dan hal jumlah.
a)    Hal mufradadalah hal yang bukan berbentuk jumlah.
Contoh:جَاءَ مُحَمَّدٌرَاكِبًاdan جَاءَ فَاطِمَةُرَاكِبَةً
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
جَاءَ مُحَمَّدٌ رَاكِبًا
(Muhammad datang dengan berkendara)
Lafadz رَاكِبًا dijadikan sebagai hal karena dia sudah memenuhi persyarat dari hal, yakni terbentuk dari isim sifat dan berupa isim nakirah. Selain itu رَاكِبًا juga sudah sudah sesuai dengan shahib al-hal-nya yaitu, مُحَمَّدٌ. Kesesuaiannya adalah sama berbentuk mudzakkar. Dan yang terpenting lagi adalah رَاكِبًا menjelaskan keadaan مُحَمَّدٌ ketika dia datang.
جَاءَ فَاطِمَةُ رَاكِبَةً
(Fatimah datang dengan berkendara)
Lafadz رَاكِبَةً dijadikan sebagai hal karena dia sudah memenuhi persyarat dari hal, yakni terbentuk dari isim sifat dan berupa isim nakirah. Selain itu رَاكِبَةً juga sudah sudah sesuai dengan shahib al-hal-nya yaitu, فَاطِمَةُ. Kesesuaiannya adalah sama berbentuk muannatsa. Dan yang terpenting lagi adalah رَاكِبَةً menjelaskan keadaan فَاطِمَةُ ketika dia datang.

b)   Haljumlahadalah hal yang berupa jumlah, baik jumlah ismiyah atau jumlah fi’liyah. Ketentuan dari jumlahnya adalah harus jatuh setelah isim ma’rifah.
Contoh:جَاءَ الرَّجُلُيَرْكَبُ السَّيَّارَةَ
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
جَاءَ الرَّجُلُ يَرْكَبُ السَّيَّارَةَ
(orang tersebut telah datang dengan mengendarai mobil)
Jumlah fi’liyyah yang berupa يَرْكَبُ السَّيَّارَةَadalah berkedudukan sebagai hal karena jumlah tersebut jatuh setelah isim ma’rifat. Jumlah ini juga merupakan kalimat yang ingin menjelaskan datangnya seseorang tersebut. Karena demikian, maka jumlah ini dikatakan sebagai hal jumlah.

Catatan:
Secara teori, hal harus selalu terbentuk dari isim nakirah, akan tetapi terdapat sebuah isim ma’rifat yang masuk dalam bagian pengecualian, yakni lafadz وَحْدَهُ, itupun harus dita’wili dengan isim nakirah yaitu مُنْفَرِدًا.

ü Kode hal (حال) adalahحا, dibaca “hale atau tingkahe ” dalam bahasa jawa.
Adapun untuk lebih jelasnya tentang hal, dapat melihat skema yang ada di bawah ini.
Skema unsur dari Hal
Rounded Rectangle: حال
Skema pembagian Hal


تَمْيِيْزٌ
(Tamyiz)


Tamyizadalah isim yang dibaca nashab yang menjelaskan benda yang masih bersifat samar. Kesamaran atau ketidak jelasan itu muncul karena banyaknya alternatif yang bisa masuk.Adapun syarat dari tamyizharus berupa isim nakirah. Dalam banyak kesempatan, tamyiz selalu jatuh setelah isim tafdlil (isim yang memiliki arti paling atau lebih) dan isim ‘adad (isim yang menunjukkan bilangan).
Contoh:
·      Isim tafdlil:أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَمَالًا
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا
(saya lebih banyak dari pada kamu hartanya)

Lafadz مَالًاdikatakan sebagai tamyiz karena lafadz ini sebagai penegas kalimat sebelumnya. Selain itu, dia juga terbentuk dari isim nakirah. Misalnya kalimat sebelumnya hanya berupa kalimat “saya lebih banyak dari pada kamu” dengan tanpa diberi tamyiz, tentu orang diajak bicara akan menimbulkan pertanyaan, yakni “kira-kira apa ya yang kamu miliki itu yang lebih banyak dariku”. Yang lebih banyak itu bisa bukunya, bisa makanannya, bisa mobilnya, dan juga bisa yang lainnya. Karena demikian, untuk menhindari adanya kabingunan yang muncul dari orang yang diajak bicara, adanya tamyiz sangatlah perlu sekali untuk disebutkan karena dapat menjadi penegas dan penghilang rasa tanya yang muncul dari orang lain tersebut.


·      Isim ‘adad:  اِشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَكِتَابًا
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
اِشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَ كِتَابًا
(saya telah membeli 20 kitab)
Lafadz كِتَابًا sangat perlu ditampakkan karena masih belum jelas apabila hanya menyampaikan “saya telah membeli 20”. Orang lain akan muncul pertanyaan kira-kira apa yang telah dibeli tersebut. Akan banyak anggapan-anggapan yang bisa masuk. Untuk membatasi anggapan dan agar supaya orang lain tidak salah paham dalam memahami ucapan tersebut, maka adanya tamyiz sebagai penjelas sangat sekali dibutuhkan. Selain itu juga lafadz كِتَابًاjuga termasuk isim nakirah sehingga dia sudah pas untuk dijadikan sebagai tamyiz.

ü Kode tamyizadalah تم, dibaca “apane” dalam bahasa jawa.

مُنَادَى
(Munada)


Munada adalah isim yang dibaca nashab yang jatuh setelah huruf nida’ (panggilan). Huruf nida’ merupakan penyempitan kalimat dari lafadz أَدْعُوْ, karena munadapada dasarnya diasumsikan sebagai maf’ul bih (objek).Diantara yang termasuk huruf nida’ adalahيَا، أَيَا، هَيَا، أَيُّ، أ .
Contoh:يَا رَسُوْلَ اللهِpada awalnya lafadz ini adalah أَدْعُوْ رَسُوْلَ اللهِ
Munada terbagi menjadi lima bagian, yaitu mufrad ‘alam/ma’rifat, nakirah maqshudah, nakirah ghairu maqshudah, mudlaf, dan syibhu al-mudlaf.
a.    Mufrad ‘alam/ ma’rifat adalah munada yang berbentuk isim ma’rifat. Seperti yang biasa ditegaskan bahwa istilah mufrad tidaklah kemudian diartikan dengan satu (tunggal), akan tetapi istilah mufrad dipakai hanya sekedar istilah saja. Dengan kata lain bahwa mufrad ma’rifat/ ‘alam adalah munada yang bukan nakirahmaqsushudah, bukan nakirah ghairu maqshudah, bukan mudlaf danbukan pula syibhu al-mudlaf.
Contoh:يَا مُحَمَّدُ(wahai muhammad),يَا اَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ( wahai orang-orang yang kafir)
b.    Nakirahmaqshudah adalah munada yang berupa isim nakirah. Akan tetapi nakirah yang dimaksud adalah nakirah yang sifatnya sudah khusus sehingga tingkatannya disamakan dengan isim ma’rifat. Munada ini bisa digambarkan dengan kita sedang berada dalam sebuah ruangan. Kita seolah-olah sedang berada di atas mimbar dan dihadapan kita terdapat ratusan orang. Dari ratusan orang ini, kita ingin memanggil salah satu saja, namun kita tidak tahu nama dari orang yang hendak kita panggil tersebut. Maka kita boleh menggunakan munada ini akan tetapi harus disertai dengan sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa kita sedang menunjuk salah satu orang tersebut di antara mereka.
Contoh: يَا رَجُلُ(wahai orang laki-laki disertai dengan sebuah isyarat)
c.    Nakirah ghairu maqshudah adalah munada yang berupa isim nakirah. Nakirah yang dimaksud dalam munada ini adalah nakirah yang sebagaimana yang sudah kita kenal sehingga nakirah ini sifatnya lebih umum dan tingkatannya tidak disamakan dengan isim ma’rifat.
Contoh: يَا رَجُلاً(wahai orang laki-laki semuanya)
d.   Mudlaf adalah munada yang terbentuk dari susunan idlafah.
Contoh: يَا طَالِبَ الْعِلْمِ(wahai orang yang mencari ilmu)
Syibhu al-mudlaf adalah munada yang diserupakan dengan mudlaf. Maksudnya adalah dalam munada ini dari aspek maknanya hampir tidak ada bedanya dengan yang ada dalam munada mudlaf. Yang membedakan hanyalah dari segi tulisannya saja.
Contoh: يَا طَالِباًعِلْماً (wahai orang yang mencari ilmu)

Adapun hukum i’rab yang terdapat dalam munada dibagi menjadi 2, yaitu مَبْنِيٌّ عَلَى مَا يُرْفَعُ بِهِ (dimabnikan menggunakan tanda rafa’nya sendiri) dan مُعْرَبٌ مَنْصُوبٌ(dii’rabi nashab). Yang tergolong dalam مَبْنِيٌّ عَلَى مَا يُرْفَعُ بِهِadalah munada mufrad ‘alam/ ma’rifat, munada nakirah maqshudah. Sedangkan yang termasuk dalam مُعْرَبٌ مَنْصُوبٌ(dii’rabi nashab) adalah munada nakirah ghairu maqshudah, munada mudlaf dan syibhu al-mudlaf.
Catatan:
ü Ketika sebuah kalimat sudah dihukumi mabni, maka sepenuhnya kita harus ikuti ketentuan tersebut, tak terkecuali dengan munada yang mudrad ma’rifat/ ‘alam dan nakirah maqshudah. Karena kedua munada ini hukumnya adalah mabni, maka pertanyaan yang mengatakan bahwa kenapa munadanya dibaca rafa’ akan gugur dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena harakat pada kalimat yang hukumnya mabni adalah tidak dapat diganggu gugat.Akan tetapi meskipun secara dzahir seperti dibaca rafa’, akan tetapi kedudukannya tetap nashab karena menjadi munada.
ü Ketika munadanya berupa isim ma’rifah yang menggunakanال (Al), maka huruf nida’nya yang berupa ya’ (يا) tidak bisa masuk secara langsung kepada munadanya seperti الْكَافِرُوْنَيَا , tetapi harus ada tambahanأَيٌّ وُصْلَةٌ(ayyun wuslah/ ayyun penyambung)danتَنْبِيْهٌ هَا (ha’ tanbih/ ha’ peringatan)terlebih dahulu.
Contoh:يَاأَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ(wahai orang-orang yang kafir)
ü Ketika munada yang berupa isim ma’rifat yang menggunakanال (Al) sudah diberi أَيٌّ وُصْلَةٌ(ayyun wuslah/ ayyun penyambung)danتَنْبِيْهٌ هَا (ha’ tanbih/ ha’ peringatan), maka memungkin huruf nida’nya dibuang.
Contoh: أَيُّهَا النَّبٍيُّ 
ü Khusus pada lafadz الله, isim ma’rifah yang ketambahan الini bisa secara langsung dimasuki oleh huruf nida’ (يا).
Contoh:يَا أَللهُ
ü Huruf nida' (يا) pada lafadz يَا أَللهُjuga dapat diganti dengan mim yang ditasydid (مّ) dan diletakkan di akhir lafadz اللهُ.
Contoh:أَللّهُمَّ



Untuk lebih jelasnya tentang pembagian munada dapat dilihat bagan berikut ini.
Bagan munada



 











اِسْتِثْنَاءٌ \ مُسْتَثْنَى
(Istitsna’ atau Mustatsna)


Mustatsna adalah isim yang dibaca nashab yang  jatuh setelah ‘adadul istitsna’ (perangkat atau huruf yang digunakan untuk mengecualikan). Contoh:قَامَ الْقَوْمُ إِلاَّ زَيْدًا
Unsur-unsur yang ada dalam istitsna’ itu ada tiga hal,yaitu:
a)    أَدَاةُ الْاِسْتِثْنَاء(huruf yang berfungsi mengecualikan)
b)   مُسْتَثْنَى (isim yang dikecualikan)
c)    مُسْتَثْنَى مِنْهُ (isim yang dikecualikan dari mustatsna)
‘Adat al-istitsna’ atau huruf-huruf istitsna’ diantaranya: إِلاَّ, غَيْرُ, سِوًى, سُوًى, سَوَاءٌ, خَلاَ, عَدَا, حَشَا
Berbicara tentang mustatsna, ada sebuah istilah popular yang digunakan dalam pembahasan إِلاَّ , yaitu istilah kalam. Istilah kalam ini dibagi menjadi dua, kalam تام (taam) dan kalam نَاقِسٌ (naqis).
a.    Kalam taam(تام)artinya sempurna, maksudnya adalah kalam yang telah memuat mustatsna minhu. Kalam taam (تام) ini dibagi menjadi dua, yaitu taam mujab dan taam manfi.
1)   Taam mujab (مُجَابٌ) atau positif, maksudnyatidak diawali oleh huruf nafi. Tam mujab (مُجَابٌ) ini i’rabnya adalah nashab karena menjadi mustatsna.
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ إِلاَّزَيْدًا
2)   Taammanfi (مَنْفِيْ) atau negatif, maksudnya diawali oleh huruf nafi. Taam manfi (مَنْفِيْ) ini i’rabnya ada duamacam, yaitu:
a)    Nashab, karena menjadi mustatsna.
Contoh:مَاقَامَ الْقَوْمُ إِلاَّ زَيْدًا
b)   Menjadi badal, sehingga bisa dibaca rafa’, nashab, maupun jer sesuai dengan hukum mubdal minhu-nya.
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ إِلاَّ زَيْدٌ
b.    Kalam naqis (نَاقِسٌ) atau tidak sempurna, maksudnya di dalam kalam ini tidak ada unsur mustatsnaminhu, yang ada hanya ‘adatul istitsna’ dan mustatsnasaja. Kalam naqis (نَاقِسٌ) ini tergolong kalam yang hukum i’rabnya itu tergantung oleh tuntutan amil yang memasukinya (عَلَى حَسَبِ الْعَوامِلِ), artinya apabila amilnya adalah amil yang menuntut rafa’maka mustatsna-nya dibaca rafa’.Apabila amilnya menuntut nashab maka mustatsna-nya dibaca nashab dan apabila amilnya menuntut jer/khafad maka mustatsnanya dibaca jer/ khafad.
Contoh:
مَا قَامَ إِلاَّ زَيْدٌ
مَا رَأَيْتُ إِلاَّ زَيْدًا
مَا مَرَرْتُ إِلاَّ بِزَيْدٍ
Pembahasan ‘adat al-istitsna’yang berupaغَيْرُ, سِوًى, سُوًى, سَوَاءٌ,hukumi’rabnya mustatsnaterbagi menjadi dua, yaitu:
a.    Wajib dibaca jer, karena menjadi mudlafun ilaih dari huruf istitsna’ tersebut (وَجَبَ جَرُّهُ عَلَى إِضَافَتِهَا إلَيْهِ).
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ غَيْرَ زَيْدٍ
Catatan!
Khusus untuk lafadz غَيْر, ada pembahasan tersendiri. Hukumnya غَيْرadalah sebagaiman hukum isim yang jatuh setelah lafadz إِلاَّ. Seandainya dikatakanقَامَ الْقَوْمُ غَيْرَ زَيْدٍ dengan membaca nashab lafadz غَيْرَ,itu tidak lain karena kalamnya termasuk kalam tam yang mujab. Seandainya dikatakan مَاقَامَ الْقَوْمُ غَيْرُ زَيْدٍatauمَا قَامَ الْقَوْمُ غَيْرَ زَيْدٍdengan dibaca rafa’ lafadz غَيْرُnya karena menjadi badal dari lafadz الْقَوْمُyang kebetulan termasuk kalam tam yang manfi.Sedangkan dibaca nashab sebagaimanamustatsnamestinya karena termasuk kalam tam yang manfi.
b.    Hukum i’rabnya disamakan dengan pembahasan إِلاَّyang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya (فَلَهَاحُكْمُ الْمُسْتَثْنَى بِإِلاَّ السَّابِقِ), yang mana dikhususkan pada pembahasanإِلاَّ yang taam manfi yang nashab
Sedangkan pembahasan huruf istitsna’ خَلَا, عَدَا, حَشَا ,hukum i’rabnya mustatsna ada dua, yaitu:
a.    Dibaca nashab, karena menjadi maf’ul bih (مَنْصُوْبٌ عَلَى الْمَفْعُوْلِ بِهِ), karena huruf atau ‘adat al-istitsna’-nya dianggap sebagai fi’il madli yang fa’ilnya berupa dlamir mustatir yang kembalinya kepada lafadz sebelumnya.
(عَلَى تَقْدِيْرِهَا أَفْعَالاً وَ فَاعِلُهَا مُسْتَتِيْرٌ يَعُوْدُ عَلَى الْقَائِمِ).
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ خَلَازَيْدًا
b.    Dibaca jer, karena menjadi majrur (مَجْرُوْرٌ), karena menganggap ‘adat al-istitsna’ atau huruf istitsna’-nya adalah sebagai huruf jer/khafad.
(عَلَى تَقْدِيْرِهَا حُرُوْفًا ).
Contoh:قَامَ الْقَوْمُ خَلَازَيْدٍ
Skema istitsna’
Skema pembagian kalam






إِسِمُ لاَ الَّتِيْ لِنَفْيِ الْجِنْسِ
(Isim La Allati li Nafyi al-Jinsi)


إِسِمُ لاَ الَّتِيْ لِنَفْيِ الْجِنْسِ adalah لاَ yang berfungsi menafikan atau meniadakan jenis. لاَ berpengalaman sebagaimana pengamalan dari  إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا yaitu تَنْصِبُ الاِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ (menashabkan isim dan merafa’kan khabar), hanya saja yang membedakan adalah apabila لاَ الَّتِيْ لِنَفْيِ الْجِنْسِsecara khusus hanya masuk pada isim nakirah.Karena pengalamannya sama dengan إِنَّ maka di samping memiliki isim juga akan memiliki khabar.
·      Isim la allati li nafyi al-jinsidibagi menjadi tiga, yaitu:
a.    Mufrad(مُفْرَدٌ)
Seperti pembahasan-pembahasan sebelumnya, istilah mufrad dalam إِسِمُ لاَ الَّتِيْ لِنَفْيِ الْجِنْسِ tidaklah ada hubungannya dengan isim tatsniyah dan jamak, akan tetapi istilah mufrad ini adalah bukan berbentuk idlafah dan juga bukan berbentuk sesuatu yang diserupakan dengan mudlaf (شِبْهُ الْمُضَافِ). Hukum i’rab dari mufrad ini adalah dimabnikan sesuai dengan tanda mabninya(مَبْنِيٌّ عَلَى مَايُنْصَبُ بِهِ).
Contoh:لاَ رَجُلَ فِي الدَّارِ
b.    Mudlaf (مُضَافٌ)
Isim لاَ nya dimudlafkan.
Contoh:لاَ طَالِبَ عِلْمٍ فِي الدَّارِ
c.    Diserupakan dengan mudlaf (شِبْهُ الْمُضَافِ)
شِبْهُ الْمُضَافِadalah susunan kata yang menyerupai mudlof atau idlafah, yang mana antara satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan.
Contoh:لاَ طَالِبًا عِلْمًا فِي الدَّارِ

·      Khabar la allati li nafyi al-jinsidibagi menjadi dua. Yaitu:
a.    Ma’lum (مَعْلُوْمٌ) artinya khabarnya sudah diketahui, karena sudah bersifat umum, sehingga khabarnya secara lafadz tidak ditampakkan atau wajib dibuang (وَجَبَ حَذْفُهُ).
Contoh:لاَ رَجُلَفِي الدَّارِ
b.    Majhul (مَجْهُوْلٌ) artinya khabarnya tidak diketahui, karena bersifat khusus. Sehingga khabarnya secara lafadz harus ditampakkan atau khabarnya wajib disebutkan (وَجَبَ ذِكْرُهُ).
Contoh:لاَ رَجُلَ قَائِمٌ فِي الدَّارِ

Catatan:
Pada isim لاَterdapat sebuah keanehan yaitu tidak dibaca tanwin. Padahal sebuah kalimat isim tidak ditanwin apabila ada ال (Al)nya, dimudlafkan dan juga berupa isim ghairu munsharif.Akan tetapi kenyataannya isim لاَtersebut tidak ditanwin. Karena demikian, maka kemudian ulama’ menganggapnya sebagai مَبْنِيٌّ عَلَى مَايُنْصَبُ بِهِ (dimabnikan sesuai dengan tanda nashabnya).
Skema Isim Laa Allati li Nafyi al-Jinsi


اِسْمُ اِنَّوأخواتها
(IsimInna wa Akhwatuha)


Isim inna wa akhwatuhaadalah mubtada’ yang ada dalam jumlah ismiyyah yang di masuki إِنَّوَأَخْوَاتُهَا (inna wa akhwatuha). Seperti yang sudah dipaparkan dalam bab isim-isim yang dibaca rafa’, إِنَّ memiliki pengemalanتَنْصِبُ الاِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ(menashabkan isim dan merafa’kan khabar).
Contoh:إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ

خَبَرُكَانَوأخواتها
(Khabar Kaana wa Akhwatuha)


Khabarkaana wa akhwatuhaadalah khabaryang ada dalam jumlah ismiyyah yang dimasuki oleh كَانَ وَأَخْوَاتُهَا(kaana dan saudara-saudaranya). Sama seperti pembahasan dalam isim-isim yang dibaca rafa’, kaana dan saudara-saudaranyamemiliki pengamalan تَرْفَعُ الاِسْمَ وَ تَنْصِبُ الْخَبَرَ (merafa’kan isim dan menashabkan khabar)
Contoh:كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا

التَّوَابِعُ
(Tawabi’)


Tawabi’ (تَوَابِعُ)merupakan bentuk jamak dari adalah lafadz تَابِعٌ (pengikut). Akan tetapi dalam pembahasan ini tawabi’ didefinisikan dengan lafadz yang hukum i’rabnya mengikuti hukum i’rab مَتْبُوْعٌ (lafadz yang diikuti), baik dari segi rafa’, nashab, maupun jer/khafadnya. Tawabi’ (التَّوَابِعُ) dibagi menjadi empat, yaitu:
a.    Na’at
b.    ‘Athaf
c.    Taukid
d.   Badal


Double Wave: Keterangan!!
Keterangan tawabi’ ini sudah dijelaskan secara gamblang pada bab  marfu’at al-asma’ (isim-isim yang dibaca rafa’).
 






Tambahan:
Ketika dalam sebuah teks, realitanya terdapat sebuah kalimat isim yang dibaca nashab, akan tetapi tidak termasuk dalam pembagian isim-isim yang dibaca nashab, maka isim tersebut lebih dikenal dengan sebutanمَنْصُوْبٌ عَلَى نَزْعِ الْخَافِضِ(dibaca nashab atas dasar membuang huruf  jer). Dalam aplikasinya, isim ini sering mengira-ngirakan huruf jer فِي .
Contoh: *  لُغَةً dikira-kirakan dengan lafadz فِي اللُّغَةِ
* اِصْطِلَاحًا dikira-kirakan dengan lafadz فِي الاِصْطِلَاحِ