BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seringkali pengembang intruksional termasuk pengajar
menyusun tes setelah proses instruksional berakhir. Ia menyusunnya dalam waktu
yang singkat berdasarkan isi pelajaran yang telah diajarkan dan masih segar
dalam ingatannya. Keadaan yang seperti itu sangat memungkinkan tidak
berfungsinya tujuan intruksional yang telah dirumuskannya. Tes yang disusunnya
mungkin konsisten dengan isi pelajaran, tetapi tidak konsisten dengan perilaku
yang seharusnya diukur.
Tes yang seharusnya disusun adalah tes yang mengatur tingkat
pencapaian siswa terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan intruksional. Tes
tersebut mungkin tidak dapat mengukur penguasaan siswa terhadap seluruh uraian
pengajar dalam proses intruksional, sebab apa yang diberikan pengajar selama
proses tersebut belum tentu seluruhnya relevan dengan tujuan intruksional. Isi
pelajaran bukanlah kriteria untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan
intruksional.
Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya suatu tes hasil belajar dapat
dipakai untuk menyatakan:
- Deretan kedudukan siswa yang relatif, atau
- Memberikan suatu gambaran tentang tugas-tugas yang dapat atau belum dapat dilakukan oleh siswa.
Hasil tes jenis pertama secara relatif menunjukkan deretan
kedudukan siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Metode menafsirkan hasil
tes seperti ini disebut tafsiran yang mengacu kepada sebuah norma.
Hasil tes jenis kedua dinyatakan dengan jenis-jenis
pengetahuan dan ketrampilan yang dapat diperlihatkan oleh setiap siswa. Metode
penafsiran seperti ini disebut mengacu kepada sebuah patokan.
Untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dapat
dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan tes-tes
dengan standar-standar tertentu sesuai dengan perkembangannya. Maka dari itu
bagi seorang pendidik harus mengetahui bagaimana cara atau teknik-teknik yang
baik untuk mengevaluasi anak didiknya, sejauh mana pencapaian siswa dalam
menguasai materi yang telah disampaikan.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa
pengertian tes acuan patokan?
1.2.2
Apa
pengertian tes acuan norma?
1.2.3
Apa
persamaan dan perbedaan tes acuan norma dan tes acuan patokan?
1.2.4
Bagaimana
prosedur penyusunan tes acuan patokan?
1.2.5
Bagaimana
penggunaan tes acuan patokan?
1.2.6
Bagaimana
contoh menyusun tes acuan patokan?
1.3
Tujuan
1.3.1
Menjelaskan
pengertian tes acuan patokan
1.3.2
Menjelaskan
pengertian tes acuan norma
1.3.3
Menjelaskan
persamaan dan perbedaan tes acuan norma dan tes acuan patokan
1.3.4
Menjelaskan
prosedur penyusunan tes acuan patokan
1.3.5
Menjelaskan
penggunaan tes acuan patokan
1.3.6
Menjelaskan
contoh menyusun tes acuan patokan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tes Acuan Patokan
Penilaian acuan patokan dilakukan untuk menilai pengusaan terhadap materi
pembelajaran sesuai dengan perilaku yang diharapkan dalam tujuan intruksional
khusus. Oleh sebab itu, dalam penilaian atau tes acuan patokan, peranan tujuan
intruksional khusus yang berisi rumusan perilaku yang diinginkan dikuasai
peserta didik menjadi unsur penting sebagai dasar dan acuan tes.
Apabila dalam penilaian hasil belajar yang digunakan adalah tes
acuan patokan maka akan ada standar mutlak yang artinya peserta didik akan
diberikan nilai dengan cara membandingkan antara skor mentah yang dimiliki oleh
peserta didik ketika menjawab tes hasil belajar dengan skor maksimum ideal yang
mungkin saja didapat oleh peserta didik ketika menjawab semua pertanyaan dengan
benar.
Oleh karena itu, tinggi rendahnya nilai yang didapat oleh peserta
didik tergantung pada kemampuannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan dan juga menunjukkan pada ketercapaian peserta didik dalam mencapai
tujuan intruksional khusus.
Berikut ini adalah rumus nilai dalam tes acuan patokan :
Skor
mentah
Tingkat
Penguasaan = x 100%
Skor
maksimum ideal
Kriteria
tingkat penguasaan belajar yang diperoleh ditentukan menurut ketentuan sebagai
berikut :
90% - 100% = Baik sekali
80% - 89% = Baik
70% - 79% = Sedang
… - 69% = Kurang
Jika peserta
didik mencapai tingkat penguasaan 80% keatas, berarti ia telah memahami materi
pelajaran dan mencapai tujuan intruksional khususyang diminta serta dapat
melanjutkan belajar selanjutnya.. Tetapi jika peserta didik dibawah 80%, maka
ia harus mengulang kembali kegiatan belajar sesuai dengan bagian-bagian yang
belum dikuasai. Penentuan batas minimal penguasaan tergantung ada tidaknya
prasyarat dalam menguasai pokok bahasan.
Apabila dilihat
dari model rumus penguasaan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tes
acuan patokan sangat baik atau sangat sesuai diterapkan untuk tes formatif. Dengan
menggunakan tes acuan patokan, pendidik dapat mengetahui seberapa besar tingkat
penguasaan tujuan intruksional khusus terhadap peserta didik, jika rendah maka
diperlukan upaya-upaya lebih lanjut bagi pendidik untuk meningkatkan penguasaan
terhadap tujuan intruksional khusus.
Berikut ini
adalah ciri-ciri penilaian acuan patokan.
1)
Kelulusan
seseorang ditentukan oleh satu patokan atau persyaratan tertentu, bukan
ditentukan oleh ranking dalam kelompok tertentu.
2)
Satu
bentuk penilaian berbasis kompetensi.
3)
Digunakan
dalam belajar tuntas, semua kompetensi standar/tujuan pembelajaran/tujuan
intruksional dikuasai.
4)
Peserta
didik dinilai dengan kriteria yang telah ditentukan.
5)
Seringkali
dihubungkan dengan penguasaan pembelajaran, misalnya lulus-gagal dalam tes
mengemudi.
Berikut ini
adalah kelebihan penilaian acuan patokan.
a)
Penilaian
lebih transparan dengan menggunakan rubrik atau skema penilaian.
b)
Penilaian
lebih dapat diandalkan, karena menggunakan standard an kriteria minimal.
c)
Nilai
dan peringkat lebih dapat dirundingkan.
d)
Nilai
atau skor dapat dipertanggungjawabkan secara objektif, karena berdasarkan
prestasi yang disesuaikan dengan kriteria dan standar yang telah ditentukan.
e)
Lebih
banyak partisipasi dan motivasi peserta didik serta fokus pada pembelajaran.
f)
Lebih
andil dan fair, karena peserta didik diukur berdasarkan standar
prestasi, bukan dengan membandingkan peserta didik yang satu dengan yang
lainnya.
g)
Prestasi
tergantung pada tingkat kebaikan kinerja yang ditunjukkan peserta didik.
h)
Lebih
dapat dipertanggungjawabkan kualitas dan prestasi peserta didik.
i)
Mengakui
subjektivitas dan penilaian yang professional dalam pemberian nilai.
j)
Cocok
digunakan untuk penempatan kegiatan belajar bersyarat atau berseri.
k)
Cocok
digunakan untuk mendiagnosis kemampuan seseorang dalam proses pembelajaran.
l)
Cocok
digunakan untuk memonitor kemampuan setiap peserta didik atau kelompok dalam
proses pembelajaran.
Berikut ini
adalah kekurangan penilaian acuan patokan.
a)
Relatif
agak rumit, karena perlu waktu untuk menyetujui sebuah kriteriaa dan standar.
b)
Beresiko
mengembangkan daftar nama kriteria yang berlainan.
c)
Lebih
menekankan hasil daripada proses.
d)
Peringkat
dapat dinyatakan dengan tidak sebenarnya secara positif atau negatif.
2.2 Pengertian Tes Acuan Norma
Tes acuan norma
dimaksudkan untuk membandingkan hasil belajar peserta didik dengan hasil
belajar peserta didik lainnya dalam satu kelompok. Pada tes acuan norma,
penilaian yang dilakukan bersifat relatif karena tergantung pada kemampuan
akademis dari setiap peserta didik dalam kelompok tersebut. Tes acuan norma
dapat menimbulkan ketidakadilan dikarenakan bagi peserta didik yang berada pada
kelompok yang pandai maka diharruskan baginya untuk juga memperoleh nilai yang
tinggi agar lulus karena akan semakin tinggi pula batas kriteria kelulusan yang
ada dalam kelompok tersebut.
Ciri-ciri
penilaian acuan norma antara lain:
1)
Tidak
untuk menentukan kelulusan seseorang, tetapi untuk menentukan ranking peserta
didik dalam kelompok tertentu.
2)
Untuk
memetakan perbandingan antarpeserta didik, peserta didik dinilai dan diberi
ranking antara satu dengan yang lainnya.
3)
Menggarisbawahi
perbedaan prestasi antarpeserta didik.
4)
Hanya
mengandalkan nilai tunggal dan peringkat tunggal.
5)
Penilaian
didasarkan pada distribusi skor dengan menggunakan satu rumus.
Berikut ini adalah kelebihan penilaian acuan norma.
a)
Kebiasaan
penggunaan penilaian berdasarkan referensi norma atau kelompok di pendidikan
tinggi.
b)
Asumsi
bahwa tingkat kinerja yang sama diharapkan terjadi pada setiap kelompok peserta
didik.
c)
Hasil
kelompok tengah cocok dengan presentase untuk setiap tahun.
d)
Bermanfaat
untuk membandingkan peserta didik lintas mata pelajaran, kuliah, ataupun diklat
dan memberikan hadiah atau penghargaan utama untuk sejumlah peserta didik
tertentu.
e)
Mendukung
ide tradisional kekakuan akademis dan menggunakan standar.
Berikut ini adalah
kekurangan penilaian acuan norma.
a)
Sedikit
menyebutkan tujuan pembelajaran atas kompetensi peserta didik: apa yang mereka
ketahui atau apa yang dapat mereka lakukan.
b)
Sedikit
menyebutkan kualitas pembelajaran.
c)
Tidak
fair karena peringkat peserta didik tidak hanya tergantung pada tingkat
prestasi, tetapi juga atas prestasi peserta didik lain.
d)
Tidak
dapat diandalkan: peserta didik yang gagal sekarang mungkin dapat lulus pada
tahun berikutnya.
2.3 Persamaan dan Perbedaan Tes Acuan Norma dan Tes Acuan Patokan
Berikut ini
Gronlund (1990) mengemukakan persamaan dan perbedaan dari kedua jenis tes
sebagai berikut,
1)
Keduanya
mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.
2)
Keduanya
disusun dari sampel-sampel butir tes yang relevan dan representatif.
3)
Keduanya
menggunakan macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes
penampilan atau keterampilan.
4)
Keduanya
menggunakan ketentuan yang sama dalam menulis butir tes, kecuali untuk
kesulitan tes. Ini berarti bahwa keduanya sama-sama membutuhkan kalibrasi daya
pembeda dan analisis option.
5)
Keduanya
dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
6)
Keduanya
digunakan kedalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.
Sedangkan perbedaannya :
1)
Tes
acuan norma biasanya mengukur sejumlah perilaku khusus dengan sedikit butir tes
untuk setiap perilaku. Tes acuan patokan biasanya untuk mengukur perilaku
khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap
perilaku.
2)
Tes
acuan norma menekankan perbedaan diantara peserta tes dari segi tingkat
pencapaian belajar secara relatif. Tes acuan patokan menekankan penjelasan
tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap
peserta tes.
3)
Tes
acuan norma lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan
sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan yang terlalu sulit. Tes
acuan patokan mementingkan butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan
diukur tanpa peduli dengan tingkt kesulitannya.
4)
Tes
acuan norma digunakan terutama (tetapi tidak khusus) untuk tes survey. Tes
acuan patokan digunakan terutama (tetapi tidak khusus) untuk tes penguasaan.
5)
Penafsiran
hasil tes acuan norma membutuhkan pendefinisian kelompok secara jelas.
Penafsiran hasil tes acuan patokan membutuhkan pendefinisian perilaku yang
diukur secara jelas dan terbatas.
2.4
Prosedur Penyusunan Tes Acuan Patokan
Untuk
mengembangkan tes pengukur keberhasilan atau tes yang didesain untuk tes acuan
patokan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan .
1.
Item tes diturunkan dari indikator hasil belajar atau tujuan
intruksional khusus. Artinya, setiap item dirumuskan untuk melihat
keberhasilan peserta didik mencapai tujuan intruksional khusus. Dengan
demikian, item tes tidak dikembangkan dari materi pelajaran yang harus
dikuasai.
2.
Item tes harus berorientasi pada hasil belajar. Artinya, item-item
tes harus mampu mengukur apakah siswa telah berhasil meyelesaikan tugas
tertentu.
3.
Item
tes perlu menjelaskan dalam kondisi yang bagaimana hasil belajar
itu dapat ditunjukkan.
4.
Setiap
tujuan intruksional khusus sebaiknya disusun lebih dari satu item tes.
5.
Sebaiknya
tes disusun dalam berbagai tipe item, misalnya tes benar-salah, pilihan
ganda, memasangkan, dan lain sebagianya.
Adapun
langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menyusun tes acuan patokan, sebagai
berikut.
1.
Langkah
pertama, menentukan maksud tes.
Tes yang akan disusun digunakan
untuk dua maksud utama sebagai berikut.
a.
Memberikan
umpan balik bagi peserta didik tentang hasil belajarnya dalam setiap tahap
proses belajarnya.
b.
Menilai
efektivitas sistem intruksional secara keseluruhan.
2.
Langkah
kedua, membuat table spesifikasi untuk
setiap tes untuk maksud penyusunan tes yang terdiri atas empat kolom yaitu
daftar perilaku, bobot perilaku, jenis tes dan jumlah butir tes.
Kerangka Tabel
Spesifikasi
Daftar perilaku
|
Bobot perilaku
|
Jenis Tes
|
Jumlah butir tes
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
|
|
|
Tabel spesifikasi ini disebut pula
kisi-kisi atau blue print untuk penyusunan tes.
3.
Langkah
ketiga, yaitu menulis butir tes. Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam menulis setiap butir tes adalah:
a.
Macam
dan jumlah butir tes sesuai dengan tabel spesifikasi.
b.
Menggunakan
komponen kondisi dalam TIK sebagai dasar dalam menyusun pertanyaan.
c.
Setiap
menyelesaikan penulisan satu butir tes atau satu kelompok butir tes yang
mengacu pada satu TIK, pendidik atau pengembang intruksional harus menanyakan
kepada dirinya sendiri dengan pertanyaan sebagai berikut: “Seandainya peserta
didik dapat menjawab pertanyaan atau melakukan prilaku yang dikehendakioleh
butir tes tersebut dengan benar, apakah peserta didik berarti telah mampu
melakukan atau menguasai perilaku seperti yang tercantum dalam TIK?” Bila
jawabnya ragu-ragu atau belum tentu, butir tes atau kelompok butir tes itu
harus direvisi. Proses seperti ini sangat penting dilakukan dengan seksama
karena merupakan kunci validitas isi suatu tes.
Setelah menulis seluruh butir tes, pendesain intruksional harus
memeriksa kembali apakah bobot tes atau kelompok butir tes itu telah sesuai
dengan bobot presentase yang ditentukan dalam tabel spesifikasi.
4.
Langkah
keempat, butir tes yang telah selesai
ditulis dikelompokkan atas dasar jenis kemudian diberi nomor 1 sampai
seterusnya.
5.
Langkah
kelima, menulis petunjuk.
2.5 Penggunaan Tes Acuan Patokan
Tes acuan patokan bisa digunakan apabila pendidik menggunakan tes
sebagai berikut ini.
1)
Tes
prasyarat
Tes prasyarat digunakan manakala pendidik ingin mengukur apakah peserta
didik telah memiliki kemampuan tertentu sebagai syarat untuk memiliki kemampuan
lain.
2)
Tes
awal (pretest)
Tes awal adalah tes yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh
peserta didik telah memiliki kemampuan mengenai hal-hal yang akan dipelajari.
3)
Tes
akhir (posttest)
Tes akhir adalah tes yang digunakan untuk mengukur apakah peserta
didik telah menguasai kompetensi tertentu seperti yang dirumuskan dalam tujuan
instruksional khusus.
4)
Tes
pengukur kemajuan (progress test)
Tes
ini diberikan secara incidental selama peserta didik sedang dalam proses
mempelajari satu unit pelajaran.
Tes yang akan
dikembangkan dalam hal ini adalah tes acuan patokan karena dimaksudkan untuk
mengukur tingkat penguasaan setiap peserta didik terhadap perilaku yang
tercantum dalam tujuan intruksional khusus.
2.6 Contoh Cara Menyusun Tes Acuan
Patokan
Hal pertama
yang perlu dilakukan dalam menyusun tes acuan patokan adalah menentukan maksud
tes. Dalam hal ini, dimisalkan pemberian tes acuan patokan untuk mengukur
pencapaian kompetensi peserta didik di setiap tujuan pembelajaran. Oleh karena
itu butir-butir soal yang terdapat dalam tes acuan patokan akan mengacu pada
tujuan pembelajaran yang ada di dalam Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP).
Langkah kedua
adalah membuat tabel spesifikasi untuk setiap butir tes. Sebelum itu, akan
diberikan tentang RPP mata pelajaran Bahasa Arab untuk kelas VI MI yang memuat
tujuan pembelajaran dibidang kognitif. Untuk tujuan pembelajaran dibidang
proses dan produk akan mengikuti seperti contoh di bawah ini.
Tujuan Pembelajaran: Kognitif
Proses:
1.
Setelah
dibacakan penggalan cerita, siswa dapat mengidentifikasi nama-nama tokoh cerita
yang didengarkan dengan benar.
2.
Setelah
dibacakan penggalan cerita, siswa dapat mengidentifikasi watak masing-masing
tokoh cerita yang didengarkan dengan benar.
3.
Setelah
dibacakan penggalan cerita, siswa dapat mengidentifikasi nama-nama tempat
terjadinya peristiwa dalam cerita yang didengarkan dengan benar.
Berdasarkan
tujuan pembelajaran diatas maka selanjutnya dibuat tabel spesifikasi. Beberapa
kata kerja yang tercantum dalam tujuan pembelajaran tersebut semuanya mengacu
pada kata mengidentifikasi. Kata kerja mengidentifikasi sesuai
untuk jenis tes mengisi/melengkapi, tes pilihan ganda dan tes menjodohkan.
Jumla butir tes yang akan dibuat memperhatikan jumlah waktu yang tersedia bagi
peserta didik untuk mengerjakan tes tersebutdan juga dipengaruhi oleh jenis
tes. Hal yang perlu diingat adalah jumlah tes karangan lebih sedikit daripada
jumlah tes objektif. Untuk tes objektif jumlah butir tes harus konsisten atau
proporsional terhadap bobot setiap perilaku yang akan diukur. Dikarenakan
tujuan pembelajaran yang menjadi contoh penyusunan tes acuan patokan hanya tiga
rumusan, maka bobot perilaku menjadi lebih tinggi lalu jumlah butir tes pun
tidak banyak.
Berikut ini
tabel spesifikasi butir tes yang merupakan kisi-kisi untuk penyusunan tes.
Daftar perilaku
|
Bobot perilaku
|
Jenis tes
|
Jumlah butir tes
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Mengidentifikasi
|
30
|
Tes pilihan
ganda
|
30
|
Mengidentifikasi
|
40
|
Tes pilihan
ganda
|
40
|
Mengidentifikasi
|
30
|
Tes pilihan
ganda
|
30
|
|
100
|
|
100
|
Bobot perilaku
berbeda meskipun ketiganya memiliki rumusan kata kerja yang sama yaitu
mengidentifikasi. Perbedaanya terletak dari tingkat kedalaman maupun
kompleksitas dari kompetensi yang diharapkan dari siswa. Tes yang dipilih
adalah tes pilihan ganda dengan jumlah butir tes yang konsisten dan
proporsional.
Langkah
berikutnya, dapat menulis butir tes dengan jenis tes pilihan ganda sebanyak 30,
40 dan 30 butir. Jika dijumlahkan keseluruhannya ada 100 butir.
Selanjutnya
adalah merakit tes. Perakitan tes maksudnya adalah mengklasifikasikan jenis
tes, mana yang termasuk pilihan ganda, karangan, melengkapi, menjodohkan dan
lai-lain, diurutkan sesuai jenisnya dan diberi nomor. Dikarenakan tabel
spesifikasi diatas hanya memuat tes pilihan ganda maka tidak perlu lagi
dilakukan rakit tes.
Langkah
berikutnya adalah peserta didik diberikan petunjuk di dalam mengisi tes dan
diberikan pula tentang waktu yang diperlukan untuk menjawab semua soal. Langkah
terakhir, menulis kunci jawaban. Di dalam bahan ajar perlu diberikan kunci
jawaban atas tes acuan patokan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap
tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran diambil dalam penyusunan tes acuan
patokan ini dikarenakan merupakan unsur yang palin lengkap karena mengandung
unsur ABCD sehingga mudah diketahui bentuk penilaian dan pemberian nilainya.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1
Penilaian
acuan patokan dilakukan untuk menilai pengusaan terhadap materi pembelajaran
sesuai dengan perilaku yang diharapkan dalam tujuan intruksional khusus. Oleh
sebab itu, dalam penilaian atau tes acuan patokan, peranan tujuan intruksional
khusus yang berisi rumusan perilaku yang diinginkan dikuasai peserta didik
menjadi unsur penting sebagai dasar dan acuan tes.
3.2
Tes
acuan norma dimaksudkan untuk membandingkan hasil belajar peserta didik dengan
hasil belajar peserta didik lainnya dalam satu kelompok. Pada tes acuan norma,
penilaian yang dilakukan bersifat relatif karena tergantung pada kemampuan
akademis dari setiap peserta didik dalam kelompok tersebut.
3.3
Persamaan
dan perbedaan dari tes acuan patokan dan tes acuan norma sebagai berikut,
a.
Keduanya
mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.
b.
Keduanya
disusun dari sampel-sampel butir tes yang relevan dan representatif.
c.
Keduanya
menggunakan macam tes yang sama.
d.
Keduanya
menggunakan ketentuan yang sama dalam menulis butir tes, kecuali untuk
kesulitan tes.
e.
Keduanya
dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
f.
Keduanya
digunakan kedalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.
Sedangkan
perbedaannya :
a.
Tes
acuan norma biasanya mengukur sejumlah perilaku khusus dengan sedikit butir tes
untuk setiap perilaku. Tes acuan patokan biasanya untuk mengukur perilaku
khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap
perilaku.
b.
Tes
acuan norma menekankan perbedaan diantara peserta tes dari segi tingkat
pencapaian belajar secara relatif. Tes acuan patokan menekankan penjelasan
tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap
peserta tes.
c.
Tes
acuan norma lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan
sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan yang terlalu sulit. Tes
acuan patokan mementingkan butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan
diukur tanpa peduli dengan tingkt kesulitannya.
d.
Tes
acuan norma digunakan terutama (tetapi tidak khusus) untuk tes survey. Tes
acuan patokan digunakan terutama (tetapi tidak khusus) untuk tes penguasaan.
e.
Penafsiran
hasil tes acuan norma membutuhkan pendefinisian kelompok secara jelas.
Penafsiran hasil tes acuan patokan membutuhkan pendefinisian perilaku yang
diukur secara jelas dan terbatas.
3.4 Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menyusun tes
acuan patokan yaitu:
1.
Langkah
pertama, menentukan maksud tes.
2.
Langkah
kedua, membuat table spesifikasi untuk
setiap tes.
3.
Langkah
ketiga, yaitu menulis butir tes.
4.
Langkah
keempat, butir tes yang telah selesai
ditulis dikelompokkan atas dasar jenis kemudian diberi nomor 1 sampai
seterusnya.
5.
Langkah
kelima, menulis petunjuk.
3.5 Tes acuan patokan bisa digunakan apabila pendidik menggunakan tes
awal, tes prasyarat (pretest), tes akhir (posttest), dan tes
pengukur kemajuan (progress test).
3.6 Hal yang perlu dilakukan dalam menyusun tes acuan patokan:
1)
Menentukan
maksud tes
2)
Membuat
tabel spesifikasi untuk setiap butir tes
3)
Menulis
butir tes
4)
Merakit
tes
5)
Memberi
petunjuk kepada peserta didik di dalam mengisi tes dan waktu yang diperlukan
untuk menjawab semua soal
6)
Menulis
kunci jawaban
DAFTAR
PUSTAKA
Lestari,
Ika. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Kompetensi (sesuai dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Padang: Akademia