BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kurikulum
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran
serat cara yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas belajar
mengajar. Kurikulum merupakan salah satu komponen yang menentukan dalam suatu sistem pendidikan karena merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Apabila masyarakat
dinamis, kebutuhan anak didik pun akan dinamis, maka perkembangan
kurikulum dinamis, sehingga peserta didik tidak terasing dalam masyarakat.
Seiring
dengan berkembangnnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat, dan
dinamis, menuntut kemajuan masyarakat sebagai pelaku pendidikan juga
berkembang, untuk itu pemerintah melalui guru berusaha mewujudkan sumber daya
manusia yang kompeten sebagai produk hasil dari proses pendidikan. Maka
dari itu perlu adanya pengembangan kurikulum sebagai modal dasar agar
pembelajaran dapat berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam
pengembangan kurikulum, banyak model-model yang digunakan dalam pengembangan
kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan
atas kelebihan dan kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal,
tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan
pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan.
Dari
beberapa penjelasan diatas, pengembangan kurikulum sangat penting sekali bagi
dunia pendidikan, agar tujuan daripada pendidikan dapat terwujud dengan baik. Ada beberapa model yang diungkapkan oleh para ahli dalam pengembangan kurikulum, yang dalam hal itu, akan dibahas dalam
makalah penulis yang berjudul “model pengembangan kurikulum”.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah definisi Model Pengembangan
Kurikulum?
2.
Apa sajakah Model Pengembangan
Kurikulum?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi
Model Pengembangan Kurikulum
2. Untuk mengetahui apa
saja Model Pengembangan Kurikulum
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Model Pengembangan Kurikulum
Kurikulum
secara umum dapat didefinisikan sebagai rencana (plan) yang dikembangkan untuk
dapat tercapainya proses belajar mengajar dengan arahan atau bimbingan sekolah
serta anggota stafnya. (H.M. Ahmad, Dkk, 1997: 59).
Pengembangan
kurikulum adalah proses yang mengaitkan satu komponen kurikulum lainnya untuk
menghasilkan kurikulum yang lebih baik. (H.M. Ahmad, Dkk, 1997: 62) .
Menurut
Good (1972) dan Travers (1973), model adalah abstraksi dunia nyata atau
representasi peristiwa kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis,
grafis, serta lambang-lambang lainnya. Model bukanlah realitas, akan tetapi
merupakan representasi realitas yang dikembangkan dari keadaan. Dengan
demikian, model pada dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat digunakan
untuk menerjemahkan sesuatu sarana untuk mempermudah berkomunikasi, atau
sebagai petunjuk yang bersifat perspektif untuk mengambil keputusan, atau
sebagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan.
Model
atau konstruksi merupakan ulasan teoritis tentang suatu konsepsi dasar (Zainal
Abidin (2012: 137). Dalam pengembangan kurikulum, model dapat merupakan ulasan
teoritis tentang suatu proses kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula
merupakan ulasan tentang salah satu bagian kurikulum. Sedangkan menurut (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) model adalah pola, contoh, acuan, ragam dari sesuatu
yang akan dihasilkan. Dikaitkan dengan model pengembangan kurikulum berarti
merupakan suatu pola, contoh dari suatu bentuk kurikulum yang akan menjadi
acuan pelaksanaan pendidikan/pembelajaran.
Model
pengembangan kurikulum adalah model yang digunakan untuk mengembangkan suatu
kurikulum, dimana pengembangan kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah atau sekolah.
Nadler
(1988) menjelaskan bahwa model yang baik adalah model yang dapat menolong si
pengguna untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan
menyeluruh. Selanjutnya ia menjelaskan manfaat model adalah model dapat
menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia, model dapat
mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian, model
dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks, dan model dapat
digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan.
Jadi
model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam rangka
mendesain (designing), menerapkan (impelementation), dan
mengevaluasi (evaliatoon) suatu kurikulum. Oleh karena itu, model
pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan suatu proses sistem
perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan standar
keberhasilan dalam pendidikan.
2.2 Model Pengembangan Kurikulum
1.
Model
Administratif (line staff)
Pengembangan kurikulum model
administratif merupakan model yang paling dikenal, karena dikembangkan dari
atas ke bawah (sentralisasi). Pengembangan kurikulum model administratif,
inisiatifnya menggunakan prosedur administratif, sehingga dinas pendidikan
memiliki beberapa komisi, dari komisi tingkat atas (BSNP atau Puskur) yang
menentukan kebijakan kurikulum sampai komisi tingkat bawah (sekolah/MGMP) yang
melaksanakan kurikulum tersebut dan kegiatan pembelajaran. Komisi paling atas
adalah komisi pengarah, yang terdiri dari petugas administratif tingkat tinggi
(direktorat) dan para ahli pendidikan. Komisi ini bertugas merencanakan
perencanaan umum berdasarkan suatu filsafat tertentu. Komisi berikutnya adalah
komisi penasehat (advisory committees), yang bertugas membantu komisi pengarah
dengan personalia dalam merumuskan perencanaan, prinsip dan tujuan. Komisi
ketiga adalah komisi kerja (BSNP dan Puskur), yang bertanggungjawab untuk
mengkonstruksi kurikulum. Komisi ini antara lainbertugas untuk merumuskan
standart isi, standart kompetensi, standart proses dan standart penilaian.
Komisi terakhira adalah komisi administrasi, yang bekerja selama kurikulum
diperbaiki, uji coba, sampai mengahsilakn kurikulum yang benar benar siap untuk
diseminasikan. Model pengembangan kurikulum ini sering mendapat kritikan,
karena dipandang tidak demokratis dan kurang memperhatikan inisiatif para guru.
Di Indonesia model ini digunakan dalam penerapan kurikulum 1968 dan kurikulum
1975.
2.
Model
Akar Rumput ( grass-roots)
Penerapan kurikulum model akar
rumput bertolak belakang dengan model administratif dalam beberapa poin yang
sangat berarti, misalnya dalam hal inisiatif guru, dan pembuatan keputusan
dalam pengembangan program pembelajaran. Model akar rumput yang berorientasi
demokratis mengakui dua hal sebagai berikut: 1). Kurikulum hanya dapat
diimplementasikan dengan sukses bila guru dilaibatkan dalam proses
penyusunandan pengembangannya, 2). Tidak hanya orang-orang professional tetapi
peserta didik, guru, dan angota masyarakat lainnya yang harus dilibatkan dalam
proses perencanaan kurikulum.untuk kepentingan tersebut para kepala sekolah, guru,
ahli kurikulum, dan ahli bidang studi harus berperan dalam rekayasa kurikulum.
Pentingnya guru sebagai kunci
keberhasilan penerapan kurikulum digambarkan dalam 4 prinsip yang mendasari grass-roots
model :
1.
Kurikulum akan meningkat bila kompetensi
professional guru meningkat.
2.
Kompetensi guru akan meningkat bila mereka
terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah perubahan dan perbaikan
kurikulum.
3.
Keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan
perbaikan kurikulum sampai dengan penilaian hasilnya, akan sangat meningkatkan
keyakinannya.
4.
Dalam kelompok tatap muka, guru akan dapat
memahami satu sama lain secara lebih baik, dan memperkaya consensus pada
prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan
rencana pembelajaran.
Prinsip-prinsip tersebut sangat mendorong guru untuk bekerja sama dalam
menerapkan kurikulum baru.
Kelemahan model grass-roots antara lain disebabkan oleh tuntutan keterlibatan
berbagai pihak dalam pengembangan kurikulum, padahal tidak semua orang mengerti
dan tertarik untuk melibatkan dirinya.[1]
3.
Model Demonstrasi
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat graas roots datangnya dari
bawah. Model ini diprakasai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru berkerja
sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini hanya
berskala kecil model ini hanya mencakup satu atau beberapa sekolah, suatu
komponen atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin
mengubah atau mengganti kurikulum yang ada, mendapat tentangan dari banyak
pihak.
Menurut Smith, Stanley dan Shores, model demonstrasi dilaksanakan dalam
dua bentuk, yakni :
a.
Bentuk pertama, guru-guru yang
diorganisasi dalam kelompok melaksanakan suatu proyek pengembangan
eksperimental kurikulum. Unit ini melakukan pengembangan dan riset intemal
sekolah, yang bermaksud menghasilkan segmen baru dari kurikulum, lalu
dipertunjukan kepada sekolah dengan harapan dapat diserap oleh sekolah secara
keseluruhan. Jadi model ini dimulai dan diorganisasi oleh hirarki administratif
serta menyajikan suatu variasi model administratif perekayasaan kurikulum.
b.
Bentuk kedua, model demonstrasi
disusun kurang formal dibandingkan dengan model pertama. Beberapa orang guru
yang tidak puas terhadap kurikulum yang ada kemudian melakukan eksperimen dalam
area tertentu dalam kurikulum dengan maksud menemukan altematif pelaksanaan
kurikulum. Berdasarkan eksperimen ini diciptakan unit-unit kurikulum yang
dinilai berhasil oleh suatu regu penelitian dan pengembangan informal dan
kemudian diajukan untuk diserap oleh sekolah. Jadi bentuk model demonstrasi ini
mewakili pendekatan the Grass Roots untuk merekayasa kurikulum.
Kesimpulan model ini antara lain:
a. Kurikulum
yang dihasilkan melalui proses ini telah diuji dalam situasi-situasi
eksperimental, dan oleh karenanya menyediakan alternatif kurikulum yang dapat
dilaksanakan dalam praktek dan sistem sekolah
b. Perubahan
dalam bentuk yang spesifik yakni segmen-segmen kurikulum yang dapat dilaksanakan
memudahkan untuk menghadapi hambatan yang sering terjadi bila hendak melakukan
revisi secara menyeluruh (sistem yang luas)
c. Hakekat
model demonstrasi berskala kecil memudahkan pendekataan Front terhadap inovasi
kurikulum untuk menghindarkan kesenjangan antara dokumen dan pelaksanaannya
yang ada pada model administratif
d. Model
demonstrasi khususnya dalam bentuk Grass Roots menggerakkau inisiatif dan
sumber guru-guru dan memberdayakan sumber-sumber administratif untuk memenuhi
kebutuhan dan minat guru-guru dalam upaya mengembangkan program-program baru.
4. Model
Sistemik dari Beauchamp
Kurikulum model sistemik Beauchamp mengidentifikasi
serangkaian pembuatan keputusan penting dalam dunia pendidikan yang saat ini
masih terpakai dalam pengimplementasian rangkaian materi ajar. Menurut
Beauchamp , teori kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan
pengembangan teori dan ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting dalam pengembangan
teori kurikulum adalah penggunaan istilah-istilah teknis yang tepat dan
konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan, penggunaan
penelitian-penelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau
kaidah-kaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan
fenomena kurikulum.
Dari semua uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan teori
kurikulum, Beauchamp mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan teori
kurikulum, yaitu:
1.
Adanya arena rekayasa kurikulum.
Untuk mengimplemntasikan kurikulum pendidikan harus ada wadah yang tepat berupa
wadah / lembaga pendidikan guna bagaimana menerapkan, mengevaluasi dan
merevisi pengembangan rekayasa kurikulum tersebut. Dengan adanya arena rekayasa
kurikulum maka diharapkan mampu menunjukkan perbandingan ketepatan-mana yang
bisa terpakai dan mana yang memerlukan perbaikan yang berlanjut.
2.
Memilih dan melibatkan:
a.
spesialis, tenaga spesialis
merupakan tenaga ahli dalam bidang rancang bangun kurikulum pendidikan. Tenaga
spesialis ini mampu menciptakan bentuk yang tepat dengan membaca perkembangan
zaman sehingga pendidikan secara terus menerus berkembang,
b.
guru kelas, tenaga pendidik
sebagai ujung tombak pendidikan karena guru yang mengajar di kelas paling
banyak mengetahui perkembangan materi ajar, dengan demikian guru 99%
keterlibatannya dalam me-update kurikulum pendidikan setiap saat,
c.
para profesional dalam sistem
sekolah, tenaga profesional bisa menjadi sumber inspirasi bagi perkembangan
pendidikan karena dengan hadirnya tenaga profesional berarti melakoni satu
bidang ilmu dengan sebaik dan seoptimal mungkin dengan tujuan menerampilkan
peserta didik itu sendiri.
d.
para profesional ditambah beberapa
anggota masyarakat dari berbagai lapisan yang diambil secara refresentatif.
Tenaga profesional dan masyarakat sebagai pemilik product pendidikan maka
sangat diperlukan saran kritikan yang hadir dari mereka.
3.
Organisasi dan prosedur
perencanaan kurikulum, yakni langkah-langkah yang harus diikuti dalam
merumuskan tujuan, menganalisis kompetensi, memilih materi dan kegiatan
belajar. Tujuan merupakan hakikat dari sebuah rancangan, peserta didik
mampu melakukan, terampil mengerjakan sesuatu yang ada dari materi ajar,
peserta didik mampu mengembangkan bermacam-macam tiori sesuai dengan perkembangan.
Lalu, menganalisis perkembangan kurikulum terkait dengan materi ajar-apakah
relevan dengan kekinian atau tidak. Selanjutnya, memilih materi pelajaran perlu
dilakukan karena menyesuaikan dengan konteks yang ada, dan melakukan kegiatan
belajar dengan berbagai usaha dengan tujuan agar peserta didik dengan mudah
memahami, menguasai, memperaktikkannya, menyenangkan dan terus menerus senang
belajar.
4.
Implementasi kurikulum. Penerapan
kurikulum merupakan reaksi masukan dari berbagai elemen dan sesuai dengan perkembangan
pendidikan sehingga akan menghasilkan pengetahuan objektif dan mampu/trampil
meningkatkan tarap hidup masyarakat.
5.
Evaluasi kurikulum. Dalam hal ini
minimal memiliki empat dimensi:
a.
evaluasi terhadap kurikulum yang
digunakan guru.
b.
evaluasi desain kurikulum.
c.
evaluasi lulusan.
d.
evaluasi sistem kurikulum.
Gambaran di atas, menunjukkan bahwa
evaluasi terhadap pengembangan kurikulum model Beaucham ini digunakan untuk
memberikan kesinambungan serta pertumbuhan dari tahun ketahun atau perseuaian
dengan konteks. Secara umum, model ini sudah dianggap lengkap (ada rancangan,
tujuan, analisis, dan evaluasi), namun masih terdapat berbagai pertanyaan yang
tak terjawab dalam proses rekayasa kurikulum. Dalam beberapa hal, model ini
hampir sama dengan model administratif, terutama dalam orientasinya dari atas
kebawah (bersifat sentralistik)
5.
Model Taba
Menurut cara yang bersifat tradisional,
pengembangan kurikulum dilakukan secara deduktif, dengan urutan :
1)
Penentuan prinsip-prinsip dan
kebijaksanaan dasar,
2)
Merumuskan desain kurikulum yang
bersifat menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen tertentu,
3)
Menyusun unit-unit kurikulum
sejalan dengan desain yang menyeluruh,
4)
Melaksanakan kurikulum di dalam
kelas.
Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok sebab
tidak merangsang timbulnya inovasi – inovasi. Menurutnya pengembangan
kurikulum yang lebih mendorong inovasi dan kreativitas guru – guru adalah yang
bersifat induktif, yang merupakan inversi atau arah terbalik dari model
tradisional.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model taba ini.
yaitu :
1.
Mengadakan
unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini diadakan studi
yang seksama tentang hubungan antara teori dan praktik. Ada
delapan langkah dalam kegiatan unit eksperimen ini :
a.
Mendiagnosis kebutuhan
b.
Merumuskan tujuan-tujuan khusus
c.
Memilih isi
d.
Mengorganisasikan isi
e.
Memilih pengalaman belajar
f.
Mengorganisasi pengalaman belajar
g.
Mengevaluasi
h.
Melihat sekuens dan keseimbangan
2.
Menguji unit eksperimen. Meskipun
unit eksperimen ini telah diuji dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi
masi harus diuji di kelas-kelas atau tempat lain untuk menetapkan validitas dan
kepraktisannya, serta menghimpun data bagi penyempurnaan.
3.
Mengadakan revisi dan konsolidasi.
Dari langkah pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut digunakan untuk
mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan
penyempurnaan diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan
tentang hal-hal lebih yang bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang
lebih luas. Hal ini dilakukan sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup
valid dan praktis pada suatu sekolah belum tentu demikian juga pada sekolah
yang lainnya. Untuk menguji keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu
adanya kegiatan konsolidasi.
4.
Pengembangkan keseluruhan kerangka
kurikulum. Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh
sifatnya yang lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus
dikaji oleh para ahli kurikulum dan para profesional kurukulum lainnya.
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah konsep-konsep dasar atau
landasan-landasan teori yang dipakai sudah masuk dan sesuai.
5.
Implementasi dan diseminasi, yaitu
menerapkan kurikulum baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas.
Di dalam langkah ini masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan tetapi dihadapi,
baik berkenaan dengan kesiapan guru-guru, fasilitas, alat dan bahan juga
biaya. [2]
6.
Roger’s interpersonal relations
model.
Model
ini berasal dari seorang psikolog Carl Rogers. Rogers berasumsi bahwa kurikulum
diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes, dan adaptif
terhadap situasi perubahan, Kurikulum yang demikian hanya dapat disusun dan
diterapkan oleh pendidik yang terbuka, luwes, dan beriorentasi pada proses.
Untuk itu diperlukan pengalaman kelompok untuk melatih hal-hal yang bersifat
sensitif.
Menurut Rogers
manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing) yang
mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri. Guru bukan pemberi
informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan
pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah
pengembangan kurikulum model Rogers yaitu sebagai berikut:
1.
Pemilihan target dari sistem
pendidikan. Dalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi
pegangan adalah adanya kesedian dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam
kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu minggu para administrator melakukan
kegiatan kelompok dalam suasana yang relaks, tidak formal. Melalui kegiatan ini
mereka akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut.
·
He is less protective of
his own beliefs and can listen more accurately.
·
He finds it easier and less
threatening to accept innovative ideas.
·
He has less need to protect
bureaucratic rules.
·
He communicates more
clearly and realistically to superiors, peers, and sub-ordinates because hi is
more open and less self-protective.
·
He is more person oriented
and democratic.
·
He openly confronts
personal emotional frictions between himself and colleagues.
·
He is more able to accept
both positive and negative feedback and use it constructively.
2.
Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok
yang intensif. Sama seperti para administrator, guru juga turut serta dalam
kegiatan kelompok. Keikutsertaan guru dalam kelompok sebaiknya bersifat
sukarela. Efek yang akan diterima guru-guru sejalan dengan para adminnistrator,
dengan beberapa tambahan berikut.
·
He is more able to listen
to students.
·
He accepts innovative,
torublesome ideas from students, rather than insisting on conformity.
·
He pays as much attention
to his relationships with student as he does to course content.
·
He works out problems with
students rather than responding in a disciplinary and punitive manner.
·
He develops an equalitarian
and democratic classroom climate
3.
Pengembangan pengalaman kelompok
yang intensif untuk kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa
ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau
administrator atau fasilitator dari luar. Dari kegiatan ini para siswa akan
mendapatkan:
·
He feels freer to express
both positive and negative feeling in class.
·
He works through these
feeling toward a realistic solution.
·
A has more energy for
learning because he has less fear of constant evaluation and punishment.
·
He discovers that he is
responsible for his own learning.
·
He a we and fear of
authority diminish as he finds teachers and admnistrators to be fallible human
being.
·
He finds that the learning
process enables him to deal with his life.
4. Partisipasi kegiatan orang tua dalam kelompok. Kegiatan ini
dikoordinasi oleh BP3 masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok dapat tiga
jam tiap sore hari selam seminggu atau 24 jam secara terus menerus. Kegiatan
ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua,
dengan anak, dan dengan guru.
Model pengembangan kurikulum model Rogers ini berbeda dengan yang lain,
sepertinya tidak ada rencana pembelajaran yang bersifat tertulis, yang ada
hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Roger, ia tidak
mementingkan formalitas, rancangan tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers
yang penting adalah aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas
dalam interaksi ini individu akan berubah, metode pendidikan yang diutamakan
Rogers adalah sensitivity training, encounter group dan Training Group ( T
Group).[3]
7.
The systematic
action-research model
Model kurikululum ini didasarkan pada
asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal ini
mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua, siswa, guru,
strukrtur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan
masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut, model ini menekankan pada tiga hal :
hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari
pengetahuan professional. Penyusunan kurikulum harus memasukkan pandangan
masyarkat dan salah satu hal yang dapat dicapai adalah dengan prosedur action
research.[4]
Langkah pertama,
mengadakan kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa
pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasikan
faktor-faktor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. Dari
hasil kajian tersebut dapat disusun rencana yang menyluruh tentang cara-cara
mengatasi masalah tersebut, serta tindakan pertama yang harus diambil.
Kedua, implementasi
dari keputusan yang diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikuti
oleh kegiatan pengumpulan data dan fakta-fakta. Kegiatan pengumpulan data ini
mempunyai beberapa fungsi, (1) menyiapkan data bagi evaluasi tindakan, (2)
sebagai bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi, (3) sebagai bahan untuk
menilai kembali dan mengadakan modifikasi, (4) sebagai bahan untuk menentukan
tindakan lebih lanjut.[5]
8.
Emerging Technical
Model
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta nilai-nilai [6]efisiensi
efektivitas dalam bisnis juga mempengaruhi perkembangan perkembangan
model-model kurikulum. Tumbuh kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan
atas hal tersebut yang menurut Sukmadinata (2012:170) diantaranya:
1) The behavioral Analysis Model, menekankan pada penguasaan
perilaku atau kemampuan. Perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi
perilaku-perilaku perilaku sederhana yang tersusun secara hierarkis. Siswa
mempelajari perilaku tersebut secara berangsur-angsur mulai dari yang sederhana
menuju yang lebih kompleks.
2) The System Analysis Model, berasal dari gerakan efisiensi
bisnis. Langkah pertama dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat
hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusun
instrumen untuk menilai ketercapaian hasil belajar tersebut. Langkah ketiga
adalah mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya
yang diperlukan. Langkah keempat membandingkan biaya dan keuntungan dari
beberapa program pendidikan.
3) Computer-Based Model, suatu model pengembangan kurikulum dengan
memanfaatkan komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentfikasi seluruh
unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil yang
diharapkan. Guru dan siswa diwawancarai tentang pencapaian tujuan tersebut.
Data tersebut disimpan di dalam komputer dan dimanfaatkan dalam menyusun materi
pelajaran untuk peserta didik.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur
dalam rangka mendesain (designing), menerapkan (impelementation),
dan mengevaluasi (evaliatoon) suatu kurikulum. Oleh karena itu, model
pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan suatu proses sistem
perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan standar
keberhasilan dalam pendidikan.
2.
Model Pengembangan
Kurikulum :
a.
Model Administratif (line staff)
b.
Model Akar Rumput ( grass-roots)
c.
Model Demonstrasi
d.
Model Sistemik dari
Beauchamp
e.
Model Taba
f.
Model Roger’s interpersonal
relations
g.
The systematic action-research
h.
Model Emerging technical
DAFTAR PUSTAKA
Dakir, 2004. Perencanaan
dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA
Mulyasa. 2009. Kurikulum Yang Disempurnakan. Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA
Sukamadinata, Nana Syaodih. 2013. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
http://emahannasijada.blogspot.co.id/2012/11/model-model-pengembangan-kurikulum.html.10/4/15.
[1] Mulyasa,
Kurikulum yang Disempurnakan, (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2009), hal.99
[2] Sukamadinata, Nana Syaodih.
Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013)
hal.166
[3] Sukamadinata,
Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA, 2013) hal 167.
[4]Ibid, 169.
[5] Sukamadinata,
Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA, 2013) hal 169.
[6] Dakir. Perencanaan
dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004) hal.98.
[7] https://noerdiandana.wordpress.com/2013/10/19/model-pengembangan-kurikulum/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar