مَرْفُوْعَاتُ الْأَسْمَاءِ
(Isim-Isim yang Dibaca Rafa’)
1
|
Fa’il (الفَاعِلُ)
|
2
|
Na’ib
al-Fa’il(نَائِبُ اْلفَاعِلِ)
|
3
|
Mubtada’ (الْمُبْتَدَأُ )
|
4
|
Khabar (الْخَبَرُ)
|
5
|
Isim (اِسْمُ كَانَ) كَانَ
|
6
|
Khobar (خَبَرُ اِنَّ) اِنَّ
|
7
|
Tawabi’(التَّوَابِعُ)
|
1. Fa’il
a. Definisi
Fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah fi’il
mabni ma’lum atau sesuatu yang diserupakan dengan dengan fi’il mabni ma’lum. Contoh: حَضَرَ مُحَمَّدٌ
Secara umum antara fi'il dan fa'il
harus sama antara mudzakkar dan muannatsnya, kecuali ada fasil (pemisah). fi'il
harus selalu dalam keadaan mufrad sekalipun fa'ilnya dalam kondisi tatsniyah
dan jamak. keberadaa fa'il selamanya tidak mungkin didahulukan
dari fi'ilnya.
Setiap kita menemukan fi’il ma’lum
atau isim yang diserupakan dengan fi’i mabni majhul, maka tugas selanjutnya
kita harus menemukan fa’il. Fa’il bisa jadi berupa isim dhahir, isim dzamir
(baik bariz maupun mustatir), atau bisa berupa masdar muawwal. Tiga kategori
ini merupakan pembagian dari fa’il. Selanjutnya lihat skema berikut ini.
Adapun kode fa’il dalam makna jawa
ialah menggunakan sopo untuk manusia
dan opo untuk selain manusia.Bagan di
bawah ini adalah menunjukkan pembagian fa’il beserta contohnya.
نَائِبُ
اْلفَاعِلِ
(Naib
al-Fa’il)
Naib al-Fa’il adalah isim yang di baca rafa’ yang
jatuh setelah fi’il mabni majhul atau
isim yang diserupakan dengan isim mabni majhul.Sesungguhnya, naib al-fa’il ini bisa dikatakan telah
mengalami beberapa proses karena awal mulanya naib al-fa’il ini merupakan maf’ul
bih (objek kalimat). Namun karena adanya suatu alasan tertentu,
mengakibatkan maf’ul bih tersebut
berubah setatus menjadi naib al-fa’il.Adapun
langkah-langkah pencapaian perubahan dari maf’ul bih menjadi naib
al-fa’il, dapat dilihat pada contoh berikut ini.
Contoh: ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبًاyang hendak diproses menjadi naib
al-fa’il.
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
ضَرَبَ
|
ضَرَبَmerupakan fi’il lazim karena
menunjukkan arti aktif dan tidak diikutkan kepada kaidah majhul. Oleh karena itu fi’il ini
membutuhkan fa’il (pelaku pekerjaan). Selain itu, fi’il ini juga
termasuk fi’ilmuta’addi karena dari segi arti, fi’il ini dapat dipasifkan. Karena termasuk fi’il
muta’addi, maka membutuhkan maf’ul bih (objek pekerjaan).
|
مُحَمَّدٌ
|
مُحَمَّدٌadalah fa’il (pelaku
pekerjaan) dari ضَرَبَ. Karena menjadi fa’il, maka
harus dibaca rafa’. Tanda rafa’nya adalah menggunakan dlammah karena berupa isim mufrad.
|
كَلْبًا
|
كَلْبًاadalah maf’ul bih (objek kalimat).
Karena maf’ul bih, maka harus dibaca nashab. Tanda nashabnya adalah
menggunakan fathah karena berupa isim mufrad.
|
Proses
perubahan:
ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبًا
· Awal mulanya fa’ilnya dibuang sehingga menjadi ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبًا
· Kemudian fi’ilnya harus dimajhulkan
(dipasifkan) karena ingin menciptakan naib al-fa’il. Maka menjadiضُرِبَ كَلْبًا
· Selanjutnya maf’ul bih yang berupa كَلْبًاmenggantikan posisi fa’il yang
telah dibuang sehingga harus dibaca rafa’, sehingga menjadiضُرِبَ كَلْبٌ
Proses perubahan status dari maf’ul bih
menjadi naib al-fa’il karena ingin menjadikan fa’il (pelaku perbuatan) agar
tidak diketahui orang lain ataupun karena pelakunya sejak awal tidak dapat
diketahui sehingga menggunakan konsep fi’il majhul&naib al-fa’il.
نحو : ضُرِبَزَيْدٌ
ضُرِبَرَجُلَانِ نائب الفاعل
ضُرِبَالْمُسْلِمُوْنَ
Kodenaib al-fa’il adalah (نف)
diucapkan sama dengan fa’il
yaitu (Sopo/Opo: red jawa). Selanjutnya naib al-fa’il terbagi
menjadi 4, yaitu isim dhahir, isim dlamir, masdar muawwal
dan jer majrur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan di bawah ini.
اْلمُبْتَدَأُ
(Mubtada')
Mubtada’ adalah isim ma’rifat yang dibaca rafa’ yang jatuh diawal kalimat
atau jumlah. Mubtada’
ini terbagi menjadi dua, lahu al-khabaru dan lahu al-marfu’ sadda
masadda al-khabar. Adapun komponen-komponen yang masuk dalam keduanya
adalah seperti skema berikut
ini.
Keterangan!!
1. لَهُالْخَبَرُadalah
mubtada’ yang mempunyai khabar.Mubtada’ ini memiliki 3 cabang pembagian, yaitu:
a. Isim Dhohir, contoh :مُحَمَّدٌ قَائِمٌ
b. Isim Dlomir, contoh :هُوَ مُحَمَّدٌ
c. Masdar Mu’awal, contoh : وَأَنْ
تَصُوْمُوْا
خَيْرٌ لَّكُمْ
2. لَهُ
الْمَرْفُوْعُ سَدَّ مَسَدَّ الْخَبَرُ maksudnya
adalah mubtada’ yang tidak
memiliki khabar, akan tetapi mubtada’ ini memiliki isim yang dibaca rafa’ yang
menempati posisi khabar. Mubtada’ ini ada yang menyebutnya dengan mubtada’
sifat karena terbentuk dari isim sifat yang berupa isim fa’il dan isim
maf’ul ataupun juga isim sifat musyabbahah bi al-ismi al-fa’il. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk membentuk mubtada’ ini, yaitu: diawaliolehhuruf
istifham atau huruf nafi.
Contoh: أَضَارِبٌ
مُحَمَّدٌ زَيْدًا
Adapun kriteria yang harus dimiliki
agar isim nakirah diperbolehkan untuk menjadi mubatada’ itu sangatlah banyak,
namun pada pembahasan ini hanya diberikan beberapa contoh saja, di antaranya:
a. Apabila ada isim nakirah didahului oleh huruf nafi atau istifham.
Contoh: هَلْرَجُلٌ جَالِسٌ –
مَا رَجُلٌ قَائِمٌ
b. Apabila ada isim nakirah yang dina’ati/disifati.
Contoh: عَبْدٌ مُؤْمِنٌ
خَيْرٌ
c. Apabila mubtada’nya susunan
idlafah.
Contoh: خَمْسُ صَلَوَاتٍكَتَبَهُنَّ
اللهُ
d. Apabila ada isim nakirah didahului oleh jer majrur atau dlaraf.
Contoh: عِنْدَكَرَجُلٌ – فِي
الدَّارِاِمْرَأَةٌ
Tambahan!!
Pada umumnya, sebuah jer majrur
maupun dlaraf bisa dijadikan sebagai khabar muqaddam (khabar yang
didahulukan dari mubtada’nya) selama yang jatuh sesudahnya terdapat kalimat
yang pantas untuk dijadikan sebagai mubtada’ muakkhar (mubtada’ yang
diakhirkan). Di antara kalimat yang
pantas untuk dijadikan sebagai mubtada’ muakkhar biasanya adalah:
a. Isim nakirah
Contoh: فِي الْبَيْتِ وَلَدٌ
b. Isim maushul yang musytarak
Contoh: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَقُوْلُ
c. Masdar muawwal.
Contoh: وَمِنَ الْمَعْلُوْمِ أَنَّ
التِّلْمِيْذَ
الْخَبَرُ
(Khabar)
Khabar
adalah isim yang di baca rafa’ yang berfungsi sebagai penyempurna faidah dari
mubtada’ (مُتِمُّ فَائِدَةِ المُبْتَدَاِ).Ada sebuah cara yang mudah yang dapat dijadikan sebagai
alternatif untuk mengetahui keberadaan sebuah khabar. Cara tersebut adalah
dengan mengira-ngirakan kata-kata adalah atau itu. Ketika kita
bertemu dengan mubtada’ dan selanjutnya terdapat kalimat yang pantas untuk
disisipi adalah atau itu, maka kalimat tersebut biasanya
cenderung untuk dijadikan sebagai khabar.
Contoh:زَيْدٌ
جَالِسٌ (zaid adalah orang yang berdiri)
Adapun khabar sendiri itu terbagi
menjadi dua, ada khabar mufrad dan ada juga khabar ghairu mufrad.
1) Khabar mufrad
Khabar mufrad adalah khabar yang bukan berupa jumlah
maupun syibhu al-jumlah.Pengertian yang sederhana ini muncul karena
mengingat lawan dari khabar mufrad adalah khabar ghairu mufrad
yang di dalamnya mengandung unsur jumlah dan shibhu al-jumlah.
Perlu untuk diketahui bahwa pengertian mufrad yang
ada dalam bab khabar sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengertian murfad
yang tawarkan dalam bab isim mufrad, tatsniyahdan jugajamak yang
memiliki arti satu atau tunggal. Akan tetapi maksud dari mufrad
yang ada dalam khabar hanya sebatas sebuah istilah karena merupakan kebalikan
dari ghairu mufrad. Karena demikian, maka meskipun khabarnya berupa isim
mufrad, tatsniyah, maupun jamak sekalipun, khabar akan selalu dikatakan khabar
mufrad. Untuk lebih jelasnya tentang khabar mufrad, baik yang terbentuk
dari isim mufrad, tatsniyah, maupun jamak adalah seperti tabel berikut ini.
Khabar Mufrad
|
Contoh
|
Isim mufrad
|
مُحَمَّدٌ
قَائِمٌ
|
Isim tatsniyah
|
مُحَمَّدَانِ
قَائِمَانِ
|
Isim jamak
|
مُحَمَّدُوْنَ
قَائِمُوْنَ
|
2) Khabar ghairu mufrad
Khabar ghairu mufrad adalah khabar yang
terdiri dari jumlah dan syibhu al-jumlah. Adapun jumlah
terdiri dari jumlah ismiyyah dan jumlahfi’liyyah. Sedangkan syibhual-jumlah
terdiri dari jermajrur dan dharaf.
Contoh:
Khabar
Jumlah
ü
Jumlah ismiyah:اَبُوْهُ مَاهِرٌزَيْدٌ
ü
Jumlah fi’liyah:الْكِتَابَزَيْدٌيَقْرَاُ
Khabarsyibhu al-jumlah
ü
Jer majrur:فِي الْمَدْرَاسَةِزَيْدٌ
ü
Dharaf:مُحَمَّدٌأَمَامَ
الْمَسْجِدِ
اِسْمُ
كَانَ وَأَخْوَاتِهَا
(Isim Kaana wa Akhwatuha)
Isim kaana
wa akhwatuhaadalah
mubtada’ yang ada dalam jumlah
ismiyyah yang dimasuki oleh
كَانَ
وَأَخْوَاتُهَا(kaana dan saudara-saudaranya).
كَانَ
وَأَخْوَاتُهَاmemiliki pengamalan yaituتَرْفَعُ الْاِسْمَ وَتَنْصِبُ
الْخَبَرَyang artinya merafa’kan isimnya dan
menashabkan khabarnya. Contoh mudahnya adalah مُحَمَّدٌ قَائِمٌ :. Setelah kemasukan كَانَ
وَأَخْوَاتُهَاberubah
harakatnya menjadiكَانَ
مُحَمَّدٌ قَائِمًا.
Ada beberapa
catatan yang perlu untuk diperhatikan bahwa كَانَ وَأَخْوَاتُهَاmemiliki variasi pembahasan.Pertama,
كَانَ
وَأَخْوَاتُهَاmampu beramal tanpa
ada syarat apapun(بلا
شرط). Yang termasuk dalam kategori ini adalah (كَانَ,
أَمْسَى أَضْحَى, ظَلَّ, بَاتَ, صَارَ, لَيْسَ, أَصْبَحَ).
Contoh:صَارَ الْبَرَدُ شَدِيْدًا
Kedua, كَانَ وَأَخْوَاتُهَاdapat beramal tapi dengan syarat (بشرط)harus didahului oleh huruf nafi. Yang tergolong dari kelompok ini adalah (مَازَالَ,
مَافَتِئَ, مَااِنْفَكَ, مَازَالَ, مَابَرِحَ, مَالَيْسَ, مَادَامَ)
Contoh: مَا فَتِئَ زَيْدٌ داَرِسًا
Selain dari variasi
pembahasan di atas, كَانَ
وَأَخْوَاتُهَاyang sering diperbincangkan adalah
apakah كَانَ
وَأَخْوَاتُهَاtermasuk dalam
kawasan yang taam atau yang naqis.
ü Kaana taam adalah kaana yang hanya
difungsikan sebagai susunan yang terdiri dari jumlah fi’liyyah saja dan tidak
lagi beramal sebagai mana amalnya kaana.
Contoh: كَانَ يَوْمُ
الْجُمْعَةِ
ü Kaana naqis adalah kaana yang dapat beramal sebagai
mana pengamalan yang berupa تَرْفَعُ الْاِسْمَ وَتَنْصِبُ الْخَبَرَ.
Contoh: كَانَ مُحَمَّدٌ
قَائِمًا
خَبَرُإِنَّ
وَأَخْوَاتُهَا
(Khabar Inna wa Akhwatuha)
Khabar inna wa akhwatuha adalah khabar yang ada dalam jumlah ismiyyah yang di masuki إِنَّ
وَأَخْوَاتُهَا (inna wa akhwatuha).إِنَّ
وَأَخْوَاتُهَاmemiliki pengamalan yaituتَنْصِبُ الْاِسْمَ وَتَرْفَعُ
الْخَبَرَyang artinya menashabkan isimnya dan merafa’kan khabarnya. Contoh mudahnya adalah مُحَمَّدٌ قَائِمٌ :. Setelah kemasukan إِنَّ وَأَخْوَاتُهَاberubah harakatnya menjadi إِنَّ مُحَمَّدًا قَائِمٌ. Di antara saudara-saudaranya inna adalah:((إِنَّ، أَنَّ،
لَكِنَّ، كَأَنَّ، لَيْتَ، لَعَلَّ.
Selanjutnyadari masing-masing saudaranya inna,
terdapat perbedaan dari segi fungsinya. Adapun fungsi dari masing-masing
adalah:
Contoh: إِنَّ مُحَمَّدًا قَائِمٌ
b) لَكِنَّ berfungsi sebagai susulan atau yang
berikutnya (لِلْإِسْتِدْرَاكِ)
Contoh: زَيْدٌغَنِيٌّ لَكِنَّهُ
بَخِيْلٌ
c) كأن berfungsi sebagai menyerupakan (لِلتَّشْبِيْهِ)
Contoh: كَأَنَّ زَيْدًا أَسَدٌ
d) لَيْتَ berfungsi sebagai mengharapkan sesuatu
yang sulit terjadi (لِلتَّمَنِّي)
Contoh: لَيْتَ الشَّبَابَيَعُوْدُ
يَوْمًا
e) لَعَلَّmemiliki dua fungsi, yaitu:
ü
berfungsi sebagai mengharapkan sesuatu yang disenangi (لَلتَّرَجِّي)
Contoh: لَعَلَّ اْلَحبِيْبَ وَصَلَ
ü
berfungsi sebagai mengharapkan sesuatu yang tidak disenangi
(لِلتَّوَقُّعِ)
Contoh:لَعَّلَ اْلعَدُوَّ يَمُوْتُ
تَوَابِعُ
(Tawabi’)
Tawabi’ (تَوَابِعُ)merupakan
bentuk jamak dari adalah lafadz تَابِعٌ (pengikut). Akan tetapi dalam pembahasan ini tawabi’
didefinisikan dengan lafadz yang hukum i’rabnya mengikuti hukum i’rabمَتْبُوْعٌ
(lafadz yang diikuti), baik
dari segi rafa’, nashab, maupun jer/khafadnya.
Tawabi’ terbagi menjadi 4, yaitu na’at, ‘athaf,
taukid, dan juga badal. Terkait dengan pembagian tawabi’ ini, ada
beberapa istilah yang digunakan dalam masing-masing anggota tawabi’, yaitu:
a) Na’at selalu mengikuti man’ut-nya
b) ‘Athaf
selalu mengikuti ma’thufun‘alaihi-nya
c) Taukid selalu mengikuti muakkad-nya
d) Badal selalu mengikuti mubdal minhu-nya.
Ketentuan hukumi’rab rafa’, nashab dan Jer/khafad padana’at, ‘athaf, taukid dan juga badalitu sangat sekali
dipengaruhi oleh apakah man’ut, ma’thufun ‘alaihi, muakkad,
serta mubdal minhujuga dibaca nashab
dan Jer/khafad.Karena demikian, maka dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa tabi’ yang terdiri dari na’at, ‘athaf, taukid,
dan badal itu akan selalu mengikuti i’rab matbu’nya (man’ut,
ma’thufun ‘alaihi, muakkad, serta mubdal minhu).
Adapun selanjutnya akan
dipaparkan penjelasan masing-masing dari anggota tawabi’ yang disertai dengan
contoh-contohnya yang sederhana.
a.
نَعْتٌ (na’at)
Na’at adalah lafadz yang menjelaskan sifat dari man’ut-nya atau menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan man’ut-nya.Syarat yang harus
dimiliki oleh na’at adalah harus selalu terbentuk dari isim sifat yang ada 9,
yaitu 1) isim fa’il, 2) isim maf’ul, 3) isim sifat musyabbahah
bi ismi al-fa’il, 4) isim mansub, 5) isim tafdlil, 6) sighat
mubalaghah, 7) isim ‘adad, 8) isim isyarah, 9) isim
maushul.
Antarana’at dan man’utnya harus sama dari aspek:
1. Mufrad, tatsniyah atau jamak-nya
2. Mudzakkar,
muannats-nya
3. Nakirah,
ma’rifat-nya
4. I’rab-nya
Kode na’at yang biasa
digunakan dalam pemaknaan jawa adalah dengan menggunakan (ص)
diucapkan dengan kata “Kang”.
Berkaitan dengan
persyaratan na’at dan man’ut yang berupa harus sesuai dari segi mufrad,
tatsniyah, dan jamaknya, terdapat sebuah kaidah pengecualian, yang
maksudnya adalah ketika yang menjadi man’ut adalah jamak yang tidak berakal,
maka harus mengikuti sebuah kaidah yang berbunyi:
كُلُّ
جَمْعٍ غَيْرِ عَاقِلٍ مُؤَنَّثٌ مُفْرَدٌ
“adapunsetiap ada jama’ yang tidak
berakal itu dihukumi sebagai mu’annats mufrad”.
Contoh: بِالْأَخْلَاقِاْلحَسَنَةِ
Analisa
contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
بِالْأَخْلَاقِ
اْلحَسَنَةِ
|
الْأَخْلَاقadalah lafadz yang pada akhirnya ingin disifati. Oleh
karena itu, maka lafadz ini disebut dengan man’ut. الْأَخْلَاقmerupakan bentuk jamak dari lafadzالْخُلُقُ. Karena ingin disifati/dina’ati, maka na’atnya juga
harus jamak. Namun kenyataannya na’atnya justru berbentuk muannats mufrad
yang berupaاْلحَسَنَةِ. Hal ini tidak lain karena menganggap man’ut yang berupa
jamak dan tidak berakal dihukumi muannats mufrad sesuai dengan kaidah di atas.
|
Berlawanan dengan
pernyataan sebelumnya yang mengatakan bahwa man’ut yang berupa jamak yang tidak
berakal dihukumi sebagai muannats yang mufrad, maka man’ut yang berbentuk jamak
yang berakal harus tetap dianggap sebagai jamak sehingga na’atnya juga harus
jamak.
Contoh: الْأَئِمَّةُ
الْمُجْتَهِدُوْنَ حَاضِرُوْنَ فِى اْلمسَاجِدِ
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
الْأَئِمَّةُ الْمُجْتَهِدُوْنَ
|
الْأَئِمَّةُmerupakan bentuk jamak dariالإِمَامُ. Lafadz ini adalah man’ut yang hendak disifati. Karena
demikian, maka na’atnya juga harus berbentuk jamak. Dalam masalah ini,
tidaklah masuk kaidah yang menganggap bahwa jamak yang hendak disifat harus
dihukumi muannats mufrad karena lafadzالْأَئِمَّةُtermasuk jamak yang berakal sehingga na’atnya juga
harus jamak. Sepertiالْمُجْتَهِدُوْنَ.
|
Pembahasan na’at tidaklah selesai hanya sampai ini saja,
akan tetapi pembahasannya masih akan berlanjut pada macam-macam na’at yang
terdiri dari na’at hakiki dan na’at sababi. Untuk lebih jelasnya
akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.
a.
Na’at Hakiki
Na’at hakiki adaalah na’at yang menjelaskan
man’utnya secara langsung atau juga bisa didefinisikan dengan na’at yang
merafa’kan isim dlamir.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara na’at
dan man’ut dalam na’at hakiki, persyaratan tersebut adalah antara na’at
dan man’ut harus sesuai dari segi:
§
Mufrad, tatsniyah, jamak.
§ Mudzakkar, muannat.
§ Nakirah, ma’rifat.
§ I’rab
Contoh:
|
b.
Na’atSababi
Na’at sabai adalah
na’at yang menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan man’utnya atau juga bisa
didefinisikan dengan na’at yang merafa’kan isim dhahir.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara na’at
dan man’ut dalam na’at hakiki, persyaratan tersebut adalah antara na’at dan
man’ut harus sesuai dari segi:
§ Nakirah & Ma’rifatnya
§ Irabnya
§ Na’at sababi harus selalu dalam keadaan mufrad
§
Mudzakkar &
Muannatsnya harus disesuaikan dengan ma’mulnya.
Contoh: جَاءَمُحَمَّدٌالمَاهِرَةُأُمُّهُ
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
جَاءَ
مُحَمَّدٌ المَاهِرَةُ أُمُّهُ
|
مُحَمَّدٌ adalah calon lafadz yang hendak
disifati/dina’ati. Bentuknya pun adalah mufrad, mudzakkar, ma’rifat dan juga
dibaca rafa’ karena menjadi fa’il dari جَاءَ. الماَهِرَةُ adalah lafadz yang menjadi na’at
sehingga harus mengikuti man’utnya dari i’rab dan ma’rifat-nakirahnya. Untuk
mufrad-tatsniyah-dan jamaknya, المَاهِرَةُ sudah memenuhi syarat karena berbentuk
mufrad. Sedangkan mudzakkar-muannatsnya telah mengikuti ma’mulnya yang berupa
أُمُّهُ.
|
b.
|
‘Athaf adalah
kalimat baik isim atau fi’il yang hukum i’rabnya disamakan dengan ma’thufun
alaih-nya. Sesuatuyang menghubungkan antara ma’thuf dan ma’thufunalaihnya
adalah dinamakan dengan huruf ‘athaf.Adapun yang tergolong dalam huruf
‘athaf di antaranya adalah (و، ف، أُوْ، أَمْ، ثُمَّ،
حَتَّى، بَلْ، لاَ، لَكِنْ، إِمَّا).
Pada umumnya,
antara ma’thuf dan ma’thufun alaihnya selalu bersesuaian dari segi shighat,
seperti:
a) Isim dengan isim
b) Fi’il dengan fi’il
c) Masdar dengan masdar
d) Isim shifat dengan isim
sifat
Yang perlu perlu
ditekankan dalam menentukan athaf(ma’tuf) dan ma’thufun alaih adalah sighat dan
juga murad.
Contoh: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَdanاَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ
Analisa contoh
الأمثلة
|
Keterangan
|
الأمثلة
|
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
|
Kata وَسَلَّمَmerupakan ‘athaf atau disebut juga ma’thuf
. Sedangkan ma’thufun ‘alaih-nya adalah صَلَّى yang kebetulan bersighat fi’il madli,
sehingga tidak bisa tidak وَسَلَّمَ juga dianggap sebagai fi’il madli.
Bandingkan dengan lafadz وَسَلِّمْ, dia sighatnya adalah fi’il amar karena
ma’thufun ‘alaih-nya juga bersighat amar, yakni lafadz صَلِّ.
|
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ
|
Sebenarnya, konsep
‘athaf yang telah dijelaskan di atas adalah konsep tentang ‘athaf nasaq,
yakni ‘athaf yang menggunakan huruf ‘athaf sebagai penghubung. Sedangkan
pembagian ‘athaf yang kedua adalah ‘athaf bayan. ‘Athaf bayan
adalah ‘athaf yang tidak menggunakan perantara huruf ‘athaf.
Adapun posisi dan
letak dari ‘athaf bayan adalah:
1. اللَّقَبُ بَعْدَ
الاِسْمِ (laqob atau gelar setelah nama asli).
Contoh:عَلِيٌّ زَيْنُ الْعَابِدِيْنَ
2. الاِسْمُ بَعْدَ الْكُنْيَةِ
(nama asli setelah kun-yah).
Contoh:أَبُوْ حَفْصٍ عُمَرُ
3. الظَّاهِرُ بَعْدَ
الاِشَارَةِ (isim zhahir setelah isim isyarat).
Contoh:هَذَا الْكِتَابُ
4. الْمَوْصُوْفُ بَعْدَ
الصِّفَةِ (maushuf setelah shifat).
Contoh:الْكَلِيْمُ مُوْسَى
5. التَّفْسِيْرُ بَعْد
الْمُفَسَّرِ(tafsir
setelah mufassar).
Contoh:الْعَسْجَدُ أَيْ الذَّهَبُ
c.
التوكيد(taukid )
Taukid adalah
lafadz yang hukum i’rabnya mengikuti muakkad (sesuatu yang dikuatkan)
dan berfungsi untuk menguatkan atau menegaskan muakkad.Taukid ini dibagi
menjadi 2, yaitu taukid lafdzi dan taukid ma’nawi.
Taukid lafdziadalahtaukid yang menggunakan lafadznya muakkad.
Contoh: جَاءَ
أُسْتَاذٌأُسْتَاذٌ
Sedangkantaukid
ma’nawi adalah taukid yang menggunakan lafadz- lafadz tertentu yang memang
sejak awal dipersiapkan untuk menjadi taukid. Lafadz-lafadz yang dipersiapkan untuk menjadi taukid di
antaranya adalah نَفْسٌ،
عَيْنٌ، كُلٌّ، أَجْمَعٌ.
Contoh: جَاءَ اْلقَوْمُ كُلُّهُمْ
d. البدل(badal)
Badaladalah lafadz yang hukum i’rabnya
disamakan dengan hukum i’rab
dari mubdal minhunya,karena:
a) Sejenis dengan
mubdal minhunya
b) Bagian dari mubdal
minhunya
c) Merupakan suatu
yang terkandung dalam mubdal minhunya
Adapunbadalitu dibagi menjadi
empat, yaitu 1) badal kul min kul, 2) badal ba’dun min kul, 3) badal
isytimal, 4) badal ghalath. Adapun penjelasan dari masing-masing
badal tersebut akan disampaikan di bawah ini.
1) كُلٌّ
مِنْ كُلٍّ(badal kul
min kul)adalah badal yang sejenis dengan mubdal minhu-nya
Contoh:جَاءَ مُحَمَّدٌاَخُوْكَ(muhammad telah datang, yakni saudara laki-lakimu).
2) بَعْضٌ
مِنْ كُلٍّ(badal ba’dun min kul) adalah badal yang
menunjukkan sebagian
dari mubdal minhu-nya
Contoh:أَكَلْتُ الرَّغِيْفَثُلُثَهُ(saya telah makan sepertiga roti)
3) إِشْتِمَالٌ (badal
isytimal) adalah badal yang terkandung
dalam mubdal minhu-nya.
Contoh: أُعْجَبَنِيْ مُحَمَّدٌعِلْمُهُ( sungguh ilmu muhammad telah membuat aku kagum). Dikatakan isytimal
karena badal yang berupa عِلْمُ (ilmu) ini tidak bisa
dipisahkan dari mubdal minhunya, yaitu مُحَمَّدٌ.
4) غَلَطٌ (badal
ghalath) adalah badal yang terjadi karena salah ucap.
Contoh: جَاءَ مُحَمَّدٌاْلبَقَرُ. Sebenarnya dalam contoh ini, seseorang ingin mengatakan bahwa
yang telah datang adalahاْلبَقَرُ(seekor
sapi), akan tetapi orang tersebut terlanjur mengatakan مُحَمَّدٌ
sehingga setelah mengatakan مُحَمَّدٌ, maka orang
tersebut menyusul dengan mengucapkanاْلبَقَرُ.
Catatan:
· badal ba’dun min kul kebanyakan
menyimpan dlamir yang kembalikepada mubdal minhu-nya.
Contoh : أكلت الرغيف
ثلثه
بدل مبدل منه
·
badal isytimal selalu mengandung dlamir yang kembali kepada mubdal minhunya
Contoh: أعجبني
محمدعلمه
مبدل منه
بدل
[1]Ada
perbedaan yang mendasar antara إِنَّdan أَنَّ. Perbedaannya terletak pada fungsi dari keduanya. keduanya
sama-sama berfungsi penguat dan beramal تَنْصِبُ الْاِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ, akan tetapi إِنَّhanya sebatas huruf sedangkanأَنَّtermasuk huruf masdariyyah sehingga أَنَّ adalah isim. Karena isim, maka
harus memiliki kedudukan i’rab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar