Rabu, 12 Agustus 2015

مَرْفُوْعَاتُ الْأَسْمَاءِ




مَرْفُوْعَاتُ الْأَسْمَاءِ
(Isim-Isim yang Dibaca Rafa’)


1
Fa’il (الفَاعِلُ)
2
Na’ib al-Fa’il(نَائِبُ اْلفَاعِلِ)
3
Mubtada’ (الْمُبْتَدَأُ )
4
Khabar (الْخَبَرُ)
5
Isim (اِسْمُ كَانَ) كَانَ
6
Khobar (خَبَرُ اِنَّ) اِنَّ
7
Tawabi’(التَّوَابِعُ)

1.       Fa’il
a.       Definisi
Fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah fi’il mabni ma’lum atau sesuatu yang diserupakan dengan dengan fi’il mabni ma’lum. Contoh: حَضَرَ مُحَمَّدٌ
Secara umum antara fi'il dan fa'il harus sama antara mudzakkar dan muannatsnya, kecuali ada fasil (pemisah). fi'il harus selalu dalam keadaan mufrad sekalipun fa'ilnya dalam kondisi tatsniyah dan jamak. keberadaa fa'il selamanya tidak mungkin didahulukan dari fi'ilnya.
Setiap kita menemukan fi’il ma’lum atau isim yang diserupakan dengan fi’i mabni majhul, maka tugas selanjutnya kita harus menemukan fa’il. Fa’il bisa jadi berupa isim dhahir, isim dzamir (baik bariz maupun mustatir), atau bisa berupa masdar muawwal. Tiga kategori ini merupakan pembagian dari fa’il. Selanjutnya lihat skema berikut ini.

Adapun kode fa’il dalam makna jawa ialah menggunakan sopo untuk manusia dan opo untuk selain manusia.Bagan di bawah ini adalah menunjukkan pembagian fa’il beserta contohnya.

نَائِبُ اْلفَاعِلِ
(Naib al-Fa’il)


Naib al-Fa’il adalah isim yang di baca rafa’ yang jatuh setelah fi’il mabni majhul atau isim yang diserupakan dengan isim mabni majhul.Sesungguhnya, naib al-fa’il ini bisa dikatakan telah mengalami beberapa proses karena awal mulanya naib al-fa’il ini merupakan maf’ul bih (objek kalimat). Namun karena adanya suatu alasan tertentu, mengakibatkan maf’ul bih tersebut berubah setatus menjadi naib al-fa’il.Adapun langkah-langkah pencapaian perubahan dari maf’ul bih menjadi naib al-fa’il, dapat dilihat pada contoh berikut ini.
Contoh: ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبًاyang hendak diproses menjadi naib al-fa’il.
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
ضَرَبَ
ضَرَبَmerupakan fi’il lazim karena menunjukkan arti aktif dan tidak diikutkan kepada kaidah majhul. Oleh karena itu fi’il ini membutuhkan fa’il (pelaku pekerjaan). Selain itu, fi’il ini juga termasuk fi’ilmuta’addi karena dari segi arti, fi’il ini dapat dipasifkan. Karena termasuk fi’il muta’addi, maka membutuhkan maf’ul bih (objek pekerjaan).
مُحَمَّدٌ
مُحَمَّدٌadalah fa’il (pelaku pekerjaan) dari ضَرَبَ. Karena menjadi fa’il, maka harus dibaca rafa’. Tanda rafa’nya adalah menggunakan dlammah karena berupa isim mufrad.
كَلْبًا
كَلْبًاadalah maf’ul bih (objek kalimat). Karena maf’ul bih, maka harus dibaca nashab. Tanda nashabnya adalah menggunakan fathah karena berupa isim mufrad.

Proses perubahan:
ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبًا
·      Awal mulanya fa’ilnya dibuang sehingga menjadi ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبًا
·      Kemudian fi’ilnya harus dimajhulkan (dipasifkan) karena ingin menciptakan naib al-fa’il. Maka menjadiضُرِبَ كَلْبًا
·      Selanjutnya maf’ul bih yang berupa كَلْبًاmenggantikan posisi fa’il yang telah dibuang sehingga harus dibaca rafa’, sehingga menjadiضُرِبَ كَلْبٌ
Proses perubahan status dari maf’ul bih menjadi naib al-fa’il karena ingin menjadikan fa’il (pelaku perbuatan) agar tidak diketahui orang lain ataupun karena pelakunya sejak awal tidak dapat diketahui sehingga menggunakan konsep fi’il majhul&naib al-fa’il.

نحو :      ضُرِبَزَيْدٌ    
            ضُرِبَرَجُلَانِ  نائب الفاعل
            ضُرِبَالْمُسْلِمُوْنَ
Kodenaib al-fail adalah (نف) diucapkan sama dengan fail yaitu (Sopo/Opo: red jawa). Selanjutnya naib al-fa’il terbagi menjadi 4, yaitu isim dhahir, isim dlamir, masdar muawwal dan jer majrur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan di bawah ini.
اْلمُبْتَدَأُ
(Mubtada')


Mubtada’ adalah isim ma’rifat yang dibaca rafa’ yang jatuh diawal kalimat atau jumlah. Mubtada’ ini terbagi menjadi dua, lahu al-khabaru dan lahu al-marfu’ sadda masadda al-khabar. Adapun komponen-komponen yang masuk dalam keduanya adalah seperti skema berikut ini.
  
Keterangan!!
1.     لَهُالْخَبَرُadalah mubtada’ yang mempunyai khabar.Mubtada’ ini memiliki 3 cabang pembagian, yaitu:
a. Isim Dhohir, contoh :مُحَمَّدٌ قَائِمٌ
b. Isim Dlomir, contoh :هُوَ مُحَمَّدٌ
c. Masdar Mu’awal, contoh : وَأَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ
2.     لَهُ الْمَرْفُوْعُ سَدَّ مَسَدَّ الْخَبَرُ maksudnya adalah mubtada’ yang tidak memiliki khabar, akan tetapi mubtada’ ini memiliki isim yang dibaca rafa’ yang menempati posisi khabar. Mubtada’ ini ada yang menyebutnya dengan mubtada’ sifat karena terbentuk dari isim sifat yang berupa isim fa’il dan isim maf’ul ataupun juga isim sifat musyabbahah bi al-ismi al-fa’il. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk membentuk mubtada’ ini, yaitu: diawaliolehhuruf istifham atau huruf nafi.
Contoh: أَضَارِبٌ مُحَمَّدٌ زَيْدًا

Adapun kriteria yang harus dimiliki agar isim nakirah diperbolehkan untuk menjadi mubatada’ itu sangatlah banyak, namun pada pembahasan ini hanya diberikan beberapa contoh saja, di antaranya:
a.     Apabila ada isim nakirah didahului oleh huruf nafi atau istifham.
Contoh: هَلْرَجُلٌ جَالِسٌ – مَا رَجُلٌ قَائِمٌ
b.    Apabila ada isim nakirah yang dina’ati/disifati.
Contoh: عَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ
c.     Apabila mubtada’nya susunan idlafah.
Contoh: خَمْسُ صَلَوَاتٍكَتَبَهُنَّ اللهُ
d.    Apabila ada isim nakirah didahului oleh jer majrur atau dlaraf.
Contoh: عِنْدَكَرَجُلٌ – فِي الدَّارِاِمْرَأَةٌ
Tambahan!!
Pada umumnya, sebuah jer majrur maupun dlaraf bisa dijadikan sebagai khabar muqaddam (khabar yang didahulukan dari mubtada’nya) selama yang jatuh sesudahnya terdapat kalimat yang pantas untuk dijadikan sebagai mubtada’ muakkhar (mubtada’ yang diakhirkan).  Di antara kalimat yang pantas untuk dijadikan sebagai mubtada’ muakkhar biasanya adalah:
a.     Isim nakirah
Contoh: فِي الْبَيْتِ وَلَدٌ
b.    Isim maushul yang musytarak
Contoh: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ
c.     Masdar muawwal.
Contoh: وَمِنَ الْمَعْلُوْمِ أَنَّ التِّلْمِيْذَ

الْخَبَرُ
(Khabar)


Khabar adalah isim yang di baca rafa’ yang berfungsi sebagai penyempurna faidah dari mubtada’ (مُتِمُّ فَائِدَةِ المُبْتَدَاِ).Ada sebuah cara yang mudah yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mengetahui keberadaan sebuah khabar. Cara tersebut adalah dengan mengira-ngirakan kata-kata adalah atau itu. Ketika kita bertemu dengan mubtada’ dan selanjutnya terdapat kalimat yang pantas untuk disisipi adalah atau itu, maka kalimat tersebut biasanya cenderung untuk dijadikan sebagai khabar.
Contoh:زَيْدٌ جَالِسٌ (zaid adalah orang yang berdiri)
Adapun khabar sendiri itu terbagi menjadi dua, ada khabar mufrad dan ada juga khabar ghairu mufrad.
1)    Khabar mufrad
Khabar mufrad adalah khabar yang bukan berupa jumlah maupun syibhu al-jumlah.Pengertian yang sederhana ini muncul karena mengingat lawan dari khabar mufrad adalah khabar ghairu mufrad yang di dalamnya mengandung unsur jumlah dan shibhu al-jumlah.
Perlu untuk diketahui bahwa pengertian mufrad yang ada dalam bab khabar sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengertian murfad yang tawarkan dalam bab isim mufrad, tatsniyahdan jugajamak yang memiliki arti satu atau tunggal. Akan tetapi maksud dari mufrad yang ada dalam khabar hanya sebatas sebuah istilah karena merupakan kebalikan dari ghairu mufrad. Karena demikian, maka meskipun khabarnya berupa isim mufrad, tatsniyah, maupun jamak sekalipun, khabar akan selalu dikatakan khabar mufrad. Untuk lebih jelasnya tentang khabar mufrad, baik yang terbentuk dari isim mufrad, tatsniyah, maupun jamak adalah seperti tabel berikut ini.
Khabar Mufrad
Contoh
Isim mufrad
مُحَمَّدٌ قَائِمٌ
Isim tatsniyah
مُحَمَّدَانِ قَائِمَانِ
Isim jamak
مُحَمَّدُوْنَ قَائِمُوْنَ

2)    Khabar ghairu mufrad
Khabar ghairu mufrad adalah khabar yang terdiri dari jumlah dan syibhu al-jumlah. Adapun jumlah terdiri dari jumlah ismiyyah dan jumlahfi’liyyah. Sedangkan syibhual-jumlah terdiri dari jermajrur dan dharaf.
Contoh:
Khabar  Jumlah
ü Jumlah ismiyah:اَبُوْهُ مَاهِرٌزَيْدٌ
ü Jumlah fi’liyah:الْكِتَابَزَيْدٌيَقْرَاُ
Khabarsyibhu al-jumlah
ü Jer majrur:فِي الْمَدْرَاسَةِزَيْدٌ
ü Dharaf:مُحَمَّدٌأَمَامَ الْمَسْجِدِ         



اِسْمُ كَانَ وَأَخْوَاتِهَا
(Isim Kaana wa Akhwatuha)


Isim kaana wa akhwatuhaadalah mubtada’ yang ada dalam jumlah ismiyyah yang dimasuki oleh كَانَ وَأَخْوَاتُهَا(kaana dan saudara-saudaranya).
كَانَ وَأَخْوَاتُهَاmemiliki pengamalan yaituتَرْفَعُ الْاِسْمَ وَتَنْصِبُ الْخَبَرَyang artinya merafa’kan isimnya dan menashabkan khabarnya. Contoh mudahnya adalah مُحَمَّدٌ قَائِمٌ :. Setelah kemasukan كَانَ وَأَخْوَاتُهَاberubah harakatnya menjadiكَانَ مُحَمَّدٌ قَائِمًا.
Ada beberapa catatan yang perlu untuk diperhatikan bahwa كَانَ وَأَخْوَاتُهَاmemiliki variasi pembahasan.Pertama, كَانَ وَأَخْوَاتُهَاmampu beramal tanpa ada syarat apapun(بلا شرط). Yang termasuk dalam kategori ini adalah (كَانَ, أَمْسَى أَضْحَى, ظَلَّ, بَاتَ, صَارَ, لَيْسَ, أَصْبَحَ).
Contoh:صَارَ الْبَرَدُ شَدِيْدًا
Kedua, كَانَ وَأَخْوَاتُهَاdapat beramal tapi dengan syarat (بشرط)harus didahului oleh huruf nafi. Yang tergolong dari kelompok ini adalah (مَازَالَ, مَافَتِئَ, مَااِنْفَكَ, مَازَالَ, مَابَرِحَ, مَالَيْسَ, مَادَامَ)
Contoh: مَا فَتِئَ زَيْدٌ داَرِسًا
Selain dari variasi pembahasan di atas, كَانَ وَأَخْوَاتُهَاyang sering diperbincangkan adalah apakah كَانَ وَأَخْوَاتُهَاtermasuk dalam kawasan yang taam atau yang naqis.
ü Kaana taam adalah kaana yang hanya difungsikan sebagai susunan yang terdiri dari jumlah fi’liyyah saja dan tidak lagi beramal sebagai mana amalnya kaana.
Contoh: كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ
ü Kaana naqis adalah kaana yang dapat beramal sebagai mana pengamalan yang berupa تَرْفَعُ الْاِسْمَ وَتَنْصِبُ الْخَبَرَ.
Contoh: كَانَ مُحَمَّدٌ قَائِمًا

خَبَرُإِنَّ وَأَخْوَاتُهَا
(Khabar Inna wa Akhwatuha)


Khabar inna wa akhwatuha adalah khabar yang ada dalam jumlah ismiyyah yang di masuki إِنَّ وَأَخْوَاتُهَا (inna wa akhwatuha).إِنَّ وَأَخْوَاتُهَاmemiliki pengamalan yaituتَنْصِبُ الْاِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَyang artinya menashabkan isimnya dan merafa’kan khabarnya. Contoh mudahnya adalah مُحَمَّدٌ قَائِمٌ :. Setelah kemasukan إِنَّ وَأَخْوَاتُهَاberubah harakatnya menjadi إِنَّ مُحَمَّدًا قَائِمٌ. Di antara saudara-saudaranya inna adalah:((إِنَّ، أَنَّ، لَكِنَّ، كَأَنَّ، لَيْتَ، لَعَلَّ.
Selanjutnyadari masing-masing saudaranya inna, terdapat perbedaan dari segi fungsinya. Adapun fungsi dari masing-masing adalah:
a)     إِنَّdan أَنَّ[1]berfungsi sebagai penguat (لِلتَّوْكِيْدِ)
Contoh: إِنَّ مُحَمَّدًا قَائِمٌ
b)    لَكِنَّ berfungsi sebagai susulan atau yang berikutnya (لِلْإِسْتِدْرَاكِ)
Contoh: زَيْدٌغَنِيٌّ لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ
c)     كأن berfungsi sebagai menyerupakan (لِلتَّشْبِيْهِ)
Contoh: كَأَنَّ زَيْدًا أَسَدٌ
d)    لَيْتَ berfungsi sebagai mengharapkan sesuatu yang sulit terjadi (لِلتَّمَنِّي)
Contoh: لَيْتَ الشَّبَابَيَعُوْدُ يَوْمًا
e)     لَعَلَّmemiliki dua fungsi, yaitu:
ü berfungsi sebagai mengharapkan sesuatu yang disenangi (لَلتَّرَجِّي)
Contoh: لَعَلَّ اْلَحبِيْبَ وَصَلَ
ü berfungsi sebagai mengharapkan sesuatu yang tidak disenangi (لِلتَّوَقُّعِ)
Contoh:لَعَّلَ اْلعَدُوَّ يَمُوْتُ

تَوَابِعُ
(Tawabi’)


Tawabi’ (تَوَابِعُ)merupakan bentuk jamak dari adalah lafadz تَابِعٌ (pengikut). Akan tetapi dalam pembahasan ini tawabi’ didefinisikan dengan lafadz yang hukum i’rabnya mengikuti hukum i’rabمَتْبُوْعٌ (lafadz yang diikuti), baik dari segi rafa’, nashab, maupun jer/khafadnya.
Tawabi’ terbagi menjadi 4, yaitu na’at, ‘athaf, taukid, dan juga badal. Terkait dengan pembagian tawabi’ ini, ada beberapa istilah yang digunakan dalam masing-masing anggota tawabi’, yaitu:
a)     Na’at selalu mengikuti man’ut-nya
b)    Athaf selalu mengikuti ma’thufun‘alaihi-nya
c)     Taukid selalu mengikuti muakkad-nya
d)    Badal selalu mengikuti mubdal minhu-nya.

Ketentuan hukumi’rab rafa’, nashab dan Jer/khafad padana’at, athaf, taukid dan juga badalitu sangat sekali dipengaruhi oleh apakah man’ut, ma’thufun ‘alaihi, muakkad, serta mubdal minhujuga dibaca nashab dan Jer/khafad.Karena demikian, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tabi’ yang terdiri dari na’at, ‘athaf, taukid, dan badal itu akan selalu mengikuti i’rab matbu’nya (man’ut, ma’thufunalaihi, muakkad, serta mubdal minhu).
Adapun selanjutnya akan dipaparkan penjelasan masing-masing dari anggota tawabi’ yang disertai dengan contoh-contohnya yang sederhana.

a.    نَعْتٌ (na’at)
Na’at adalah lafadz yang menjelaskan sifat dari man’ut-nya atau menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan man’ut-nya.Syarat yang harus dimiliki oleh na’at adalah harus selalu terbentuk dari isim sifat yang ada 9, yaitu 1) isim fa’il, 2) isim maf’ul, 3) isim sifat musyabbahah bi ismi al-fa’il, 4) isim mansub, 5) isim tafdlil, 6) sighat mubalaghah, 7) isim ‘adad, 8) isim isyarah, 9) isim maushul.
Antarana’at dan manutnya harus sama dari aspek:
1.     Mufrad, tatsniyah atau jamak-nya
2.     Mudzakkar, muannats-nya
3.     Nakirah, ma’rifat-nya
4.     I’rab-nya
Kode na’at yang biasa digunakan dalam pemaknaan jawa adalah dengan menggunakan (ص) diucapkan dengan kata “Kang.
Berkaitan dengan persyaratan na’at dan man’ut yang berupa harus sesuai dari segi mufrad, tatsniyah, dan jamaknya, terdapat sebuah kaidah pengecualian, yang maksudnya adalah ketika yang menjadi man’ut adalah jamak yang tidak berakal, maka harus mengikuti sebuah kaidah yang berbunyi:


كُلُّ جَمْعٍ غَيْرِ عَاقِلٍ مُؤَنَّثٌ مُفْرَدٌ
adapunsetiap ada jama’  yang tidak berakal itu dihukumi sebagai mu’annats mufrad”.
Contoh: بِالْأَخْلَاقِاْلحَسَنَةِ
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
بِالْأَخْلَاقِ اْلحَسَنَةِ
الْأَخْلَاقadalah lafadz yang pada akhirnya ingin disifati. Oleh karena itu, maka lafadz ini disebut dengan man’ut. الْأَخْلَاقmerupakan bentuk jamak dari lafadzالْخُلُقُ. Karena ingin disifati/dina’ati, maka na’atnya juga harus jamak. Namun kenyataannya na’atnya justru berbentuk muannats mufrad yang berupaاْلحَسَنَةِ. Hal ini tidak lain karena menganggap man’ut yang berupa jamak dan tidak berakal dihukumi muannats mufrad sesuai dengan kaidah di atas.

Berlawanan dengan pernyataan sebelumnya yang mengatakan bahwa man’ut yang berupa jamak yang tidak berakal dihukumi sebagai muannats yang mufrad, maka man’ut yang berbentuk jamak yang berakal harus tetap dianggap sebagai jamak sehingga na’atnya juga harus jamak.
Contoh: الْأَئِمَّةُ الْمُجْتَهِدُوْنَ حَاضِرُوْنَ فِى اْلمسَاجِدِ
Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
الْأَئِمَّةُ الْمُجْتَهِدُوْنَ
الْأَئِمَّةُmerupakan bentuk jamak dariالإِمَامُ. Lafadz ini adalah man’ut yang hendak disifati. Karena demikian, maka na’atnya juga harus berbentuk jamak. Dalam masalah ini, tidaklah masuk kaidah yang menganggap bahwa jamak yang hendak disifat harus dihukumi muannats mufrad karena lafadzالْأَئِمَّةُtermasuk jamak yang berakal sehingga na’atnya juga harus jamak. Sepertiالْمُجْتَهِدُوْنَ.
Pembahasan na’at tidaklah selesai hanya sampai ini saja, akan tetapi pembahasannya masih akan berlanjut pada macam-macam na’at yang terdiri dari na’at hakiki dan na’at sababi. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.
a.     Na’at Hakiki
Na’at hakiki adaalah na’at yang menjelaskan man’utnya secara langsung atau juga bisa didefinisikan dengan na’at yang merafa’kan isim dlamir.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara na’at dan man’ut dalam na’at hakiki, persyaratan tersebut adalah antara na’at dan man’ut harus sesuai dari segi:
§  Mufrad, tatsniyah, jamak.
§  Mudzakkar, muannat.
§  Nakirah, ma’rifat.
§  I’rab
Contoh:
منعوت
 
جَاءَ رَجُلٌمَاهِرٌ


 


b.     Na’atSababi
Na’at sabai adalah na’at yang menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan man’utnya atau juga bisa didefinisikan dengan na’at yang merafa’kan isim dhahir.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara na’at dan man’ut dalam na’at hakiki, persyaratan tersebut adalah antara na’at dan man’ut harus sesuai dari segi:
§  Nakirah & Ma’rifatnya
§  Irabnya
§  Na’at sababi harus selalu dalam keadaan mufrad
§  Mudzakkar & Muannatsnya harus disesuaikan dengan ma’mulnya.
Contoh: جَاءَمُحَمَّدٌالمَاهِرَةُأُمُّهُ
  


Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
جَاءَ مُحَمَّدٌ المَاهِرَةُ أُمُّهُ
مُحَمَّدٌ adalah calon lafadz yang hendak disifati/dina’ati. Bentuknya pun adalah mufrad, mudzakkar, ma’rifat dan juga dibaca rafa’ karena menjadi fa’il dari جَاءَ. الماَهِرَةُ adalah lafadz yang menjadi na’at sehingga harus mengikuti man’utnya dari i’rab dan ma’rifat-nakirahnya. Untuk mufrad-tatsniyah-dan jamaknya, المَاهِرَةُ sudah memenuhi syarat karena berbentuk mufrad. Sedangkan mudzakkar-muannatsnya telah mengikuti ma’mulnya yang berupa أُمُّهُ.

b.   
منعوت
 
عطف  (athaf)
‘Athaf adalah kalimat baik isim atau fi’il yang hukum i’rabnya disamakan dengan ma’thufun alaih-nya. Sesuatuyang menghubungkan antara ma’thuf dan ma’thufunalaihnya adalah dinamakan dengan huruf ‘athaf.Adapun yang tergolong dalam huruf ‘athaf di antaranya adalah (و، ف، أُوْ، أَمْ، ثُمَّ، حَتَّى، بَلْ، لاَ، لَكِنْ، إِمَّا).
Pada umumnya, antara ma’thuf dan ma’thufun alaihnya selalu bersesuaian dari segi shighat, seperti:
a)     Isim dengan isim
b)    Fi’il dengan fi’il
c)     Masdar dengan masdar
d)    Isim shifat dengan isim sifat
Yang perlu perlu ditekankan dalam menentukan athaf(ma’tuf) dan ma’thufun alaih adalah sighat dan juga murad.
Contoh: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَdanاَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ


Analisa contoh
الأمثلة
Keterangan
الأمثلة
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kata وَسَلَّمَmerupakan ‘athaf atau disebut juga ma’thuf . Sedangkan ma’thufun ‘alaih-nya adalah صَلَّى yang kebetulan bersighat fi’il madli, sehingga tidak bisa tidak  وَسَلَّمَ juga dianggap sebagai fi’il madli. Bandingkan dengan lafadz وَسَلِّمْ, dia sighatnya adalah fi’il amar karena ma’thufun ‘alaih-nya juga bersighat amar, yakni lafadz صَلِّ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ

Sebenarnya, konsep ‘athaf yang telah dijelaskan di atas adalah konsep tentang ‘athaf nasaq, yakni ‘athaf yang menggunakan huruf ‘athaf sebagai penghubung. Sedangkan pembagian ‘athaf yang kedua adalah ‘athaf bayan. ‘Athaf bayan adalah ‘athaf yang tidak menggunakan perantara huruf ‘athaf.
Adapun posisi dan letak dari ‘athaf bayan adalah:
1.     اللَّقَبُ بَعْدَ الاِسْمِ (laqob atau gelar setelah nama asli).
Contoh:عَلِيٌّ زَيْنُ الْعَابِدِيْنَ
2.     الاِسْمُ بَعْدَ الْكُنْيَةِ (nama asli setelah kun-yah).
Contoh:أَبُوْ حَفْصٍ عُمَرُ
3.     الظَّاهِرُ بَعْدَ الاِشَارَةِ (isim zhahir setelah isim isyarat).
Contoh:هَذَا الْكِتَابُ
4.     الْمَوْصُوْفُ بَعْدَ الصِّفَةِ (maushuf setelah shifat).
Contoh:الْكَلِيْمُ مُوْسَى
5.     التَّفْسِيْرُ بَعْد الْمُفَسَّرِ(tafsir setelah mufassar).
Contoh:الْعَسْجَدُ أَيْ الذَّهَبُ

c.    التوكيد(taukid )
Taukid adalah lafadz yang hukum i’rabnya mengikuti muakkad (sesuatu yang dikuatkan) dan berfungsi untuk menguatkan atau menegaskan muakkad.Taukid ini dibagi menjadi 2, yaitu taukid lafdzi dan taukid ma’nawi.
Taukid lafdziadalahtaukid yang menggunakan lafadznya muakkad.
Contoh: جَاءَ أُسْتَاذٌأُسْتَاذٌ
Sedangkantaukid ma’nawi adalah taukid yang menggunakan lafadz- lafadz tertentu yang memang sejak awal dipersiapkan untuk menjadi taukid. Lafadz-lafadz yang dipersiapkan untuk menjadi taukid di antaranya adalah نَفْسٌ، عَيْنٌ، كُلٌّ، أَجْمَعٌ.
Contoh: جَاءَ اْلقَوْمُ كُلُّهُمْ

d.   البدل(badal)
Badaladalah lafadz yang hukum i’rabnya disamakan dengan hukum i’rab dari mubdal minhunya,karena:
a)     Sejenis dengan mubdal minhunya
b)    Bagian dari mubdal minhunya
c)     Merupakan suatu yang terkandung dalam mubdal minhunya
Adapunbadalitu dibagi menjadi empat, yaitu 1) badal kul min kul, 2) badal ba’dun min kul, 3) badal isytimal, 4) badal ghalath. Adapun penjelasan dari masing-masing badal tersebut akan disampaikan di bawah ini.
1)    كُلٌّ مِنْ كُلٍّ(badal kul min kul)adalah badal yang sejenis dengan mubdal minhu-nya
Contoh:جَاءَ مُحَمَّدٌاَخُوْكَ(muhammad telah datang, yakni saudara laki-lakimu).
2)    بَعْضٌ مِنْ كُلٍّ(badal ba’dun min kul) adalah badal yang menunjukkan sebagian dari mubdal minhu-nya
Contoh:أَكَلْتُ الرَّغِيْفَثُلُثَهُ(saya telah makan sepertiga roti)
3)    إِشْتِمَالٌ (badal isytimal) adalah badal yang terkandung dalam mubdal minhu-nya.
Contoh: أُعْجَبَنِيْ مُحَمَّدٌعِلْمُهُ( sungguh ilmu muhammad telah membuat aku kagum). Dikatakan isytimal karena badal yang berupa عِلْمُ (ilmu) ini tidak bisa dipisahkan dari mubdal minhunya, yaitu مُحَمَّدٌ.
4)    غَلَطٌ (badal ghalath) adalah badal yang terjadi karena salah ucap.
Contoh: جَاءَ مُحَمَّدٌاْلبَقَرُ. Sebenarnya dalam contoh ini, seseorang ingin mengatakan bahwa yang telah datang adalahاْلبَقَرُ(seekor sapi), akan tetapi orang tersebut terlanjur mengatakan مُحَمَّدٌ sehingga setelah mengatakan مُحَمَّدٌ, maka orang tersebut menyusul dengan mengucapkanاْلبَقَرُ.
Catatan:
·      badal ba’dun min kul kebanyakan menyimpan dlamir yang kembalikepada mubdal minhu-nya.
Contoh :    أكلت الرغيف ثلثه









 
                        بدل             مبدل منه
·      badal isytimal selalu mengandung dlamir yang kembali kepada mubdal minhunya
Contoh: أعجبني محمدعلمه









 
                                مبدل منه       بدل



[1]Ada perbedaan yang mendasar antara إِنَّdan أَنَّ. Perbedaannya terletak pada fungsi dari keduanya. keduanya sama-sama berfungsi penguat dan beramal تَنْصِبُ الْاِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ, akan tetapi إِنَّhanya sebatas huruf sedangkanأَنَّtermasuk huruf masdariyyah sehingga أَنَّ adalah isim. Karena isim, maka harus memiliki kedudukan i’rab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar