Rabu, 12 Agustus 2015

NAQDU AL-HADITS


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut petunjuk Al-Qur’an, hadits nabi adalahsumber ajaran islam disamping Al-Qur’an. Itu berarti, untuk mengetahui ajaran islam yang benar, diseamping diperlukan petunjuk Al-Quran, juga diperlukan hadits nabi. Sebagian ulama’ memberi istilah untuk hadits nabi dengan wahyu ghoir al matluw, sebagai imbangan terhadap istilah untuk Al-Qur’an yang disebutnya dengan wahyu al matluw. Pendapat itu memang mengundang masalah, sebab dengan menyatakan bahwa seluruh hadits nabi sebagai wahyu, maka berarti semua jenis hadits atau apasaja yang disandarkan kepada nabi, sebagaimana pengertian hadits menurut ulama’ hadits adalah wahyu.
Terlepas dari tepat atau tidak tepatnya pernyataan bahwa hadits nabi adalah wahyu ghair al matluw, maka yang pasti bahwa Allah telah memberi kedudukan kepada nabi Muhammad SAW sebagai rosulullah dengan fungsi dan atau tugas antara lain untuk: 1. Menjelaskan Al-Qur’an, 2. Dipatuhi oleh orang-orang yang beriman, 3. Menjadi uswah hasanah dan rahmat bagi sekalian alam.
Selanjutnya, menurut sejarah, tidaklah seluruh hadits telah ditulis pada zaman nabi. Hadits yang tertulis, baik secara resmi, misalnya berup surat-surat nabi kepada para penguasa nonmuslim dalam rangka dakwah , maupun yang tidak resmi yang berupa catatan-catatan yang dibuat oleh para sahabat tertentu atas inisiatif memerka sendiri, jumlahnya tidak banyak. Dalam pada itu hadits nabi telah pernah mengalami pemalsuan-pemalsuan. Pada zaman nabi pemalsuan hadits belum pernah terjadi. Dalam sejarah, pemalsuan hadis mulai berkembang pada zaman khalifah ali bin abi tholib (w. 40 H/ 661 M).
Hal-hal berkenaan hadits tersebut merupakan sebagian dari factor-faktor yang melatar belakangi pentingnya penelitian hadits. Factor-faktor penting lainnya, adalah proses penghimpunan hadits kedalam kitab-kitab hadits yang memakan waktu cukup lama setelah nabi wafat, jumlah kitab hadits yang begitu banyak dengan metode penyusunan yang beragam, dan telah terjadinya periwayatan hadits secara makna.
Akibat lebih lanjut dari factor-faktor tersebut adalah keharusan adanya penelitian sanad dan matan hadits dalam kedudukan hadits sebagai hujjah. Dengan dilakukan kegiatan kritik sanad dan matan, maka akan dapat diketahui apa yang dinyatakan sebagai hadits nabi itu memang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan berasal dari beliau. Dalam pada itu, karena sanad dan matan sama-sama harus diteliti, maka terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan kualitas antara sanad dan matan hadits.

B.     Fokus Penulisan
1.      Apa definisi Naqd al-hadits?
2.      Bagaimana Sejarah Naqd al-Hadits?
3.      Apa Saja Unsur-Unsur Dalam Naqd al-Hadits?
4.      Bagaimana Standarisasi Naqd al-Hadits?
5.      Bagaimana Metodologi Naqd Al-Hadits?
6.      Bagaimana Kualitas Hadits dan Kehujjahannya?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui definisi Naqd al-hadits
2.      Mengetahui Sejarah Naqd al-Hadits
3.      Mengetahui Unsur-Unsur Dalam Naqd al-Hadits
4.      Mengetahui Standarisasi Naqd al-Hadits
5.      Mengetahui Metodologi Naqd Al-Hadits
6.      Mengetahui Kualitas Hadits dan Kehujjahannya
7.      Untuk memenuhi  tugas mata kuliah Ulumul Hadits
  BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian naqd al-hadist
            Kata kritik dalam literature bahasa arab menggunakan kata Naqd ( نقد ). Kata ini digunakan oleh beberapa ulama hadist pada abad kedua hijriah.[1]
            Secara etimologis, kata al-naqd mempunyai arti :
            1.  Kontan, lawan dari kata al-Nasi’ah ( النسيئة   ) yang berarti tempo.
            2.  Al-Tamyiz ( membedakan / memisahkan)
            3.  Qabadh ( menerima)
            4.  Al-Dirham ( uang )
            5.  Naqasy ( membantah / mendebat )
            6.  Laqathal / Nafara ( Mencongkel dengan jari/ mematuk )
            7.  Ikhtalas al-Nadhar ( pandangan yang terfokus/ terarah )
            8.  Ladagha ( menggigit )
            9.  Dharaba ( memukul )
            Pengertian kritik dengan menggunakan kata naqd mengindikasikan bahwa kritik harus dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pengimbang yang baik, ada timbale balik, menerima dan member, terarah pada sasaran yang dikritik, adanya unsure perdebatan, karena perdebatan berarti mengeluarkan pemikiran-pemikiran masing-masing.
            Pengertian naqd al-hadist secara istilah yaitu :
1.      Muhammad Thahir al-Jawaby
Ilmu kritik hadist adalah ketentuan terhadap para perawi  hadist baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang dikenal oleh ulama’-ulama’ hadist. Kemudian meniliti matan-matan hadist yang telah dinyatakan shahih ( sanadnya) untuk menentukan kshahihan atau kedhaifan matan hadist tersebut, mengatasi kesulitan ( pemahaman ) dari hadist yang telah dinyatakan shahih, mengatasi kontradiksi ( pemahaman ) hadist dengan pertimbangan  yang mendalam.
2.      Muhammad  Mustafa Azami
Kemungkinan definisi kritik hadist adalah  membedakan ( al-Tamyiz) antara hadist-hadist shahih dar hadist-hadist dhaif dan menentukan kedudukan para perawi hadis ketsiqatanmaupau kecacatannya.
Jadi , naqdul hadist atau kritik hadist merupakan upaya untuk menyeleksi hadist agar dapat diketahui mana hadist yang  shahih dan mana hadist yang tidak shahih.
2.2 Sejarah Kritik Hadits
·         Kritik Hadits pada Masa Rosulullah SAW
Suatu malam ketika Umar bin Al-khattab sedang berbincang-bincang tentang adanya kabar bahwa Ratu Ghassan sedang mempersiapakan pasukannya untuk menyerbu kaum muslimin, tiba-tiba pintu rumah beliau diketuk keras oleh seorang yang belum diketahui identitasnya. “Apakah Umar sudah tidur?” begitu terdengar suara lantang dari luar pintu.
Maka dengan penuh tanda tanya, Umar berjalan untuk membukakan pintu. Begitu pintu dibuka, beliau terkejut karena yang mengetuk pintu keras-keras dan berteriak tadi adalah tetangganya sendiri, seorang anshar dari keuarga Umayah bin zeid. Ia baru pulang dari mengikuti pengajian Nabi Muhammad SAW.
“Ada apa, apakah pasukan Ghassan sudah datang?” tanya Umar memburu.
“Tidak,” jawabnya.
“Ada peristiwa yang lebih gawat dari itu,” tambahnya.
“Apakah itu?” tanya Umar penasaran.
“Rasulullah SAW telah menceraikan istri-istrinya,” jawabnya.
Tercengang Umar mendengar jawaban itu. Bukan lantaran salah seorang istri Nabi SAW, itu kebetulan putri Umar sendiri yang bernama Hafshah, melainkan kebenaran barita itu.
 Untuk meyakinkan kebenaran berita itu, esok harinya pagi-pagi benar Umar menghadap Nabi SAW. Dan setelah diijinkan masuk, Umar bertanya kepada beliau, “Apakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?”
Sambil menegakkan kepalanya dan memandangi Umar, Nabi menjawab, “Tidak.” Begitulah, akhirnya Umar mengetahui bahwa Nabi SAW hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-istrinya selama satu bulan.
Kisah di atas menjelaskan atas yang selengkapnya dituturkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari telah melakukan pengecekan terhadap kebenaran suatu berita yang bersumber dari Rasulullah SAW. Pengecekan ini langsung kepada sumber berita yang pertama yaitu Rasulullah SAW. Selain Umar, ada beberapa sahabat Nabi yang melakukan pengecekan seperti itu, antara lain Abu Bakar as-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq, dan lain-lain. Bahkan Abu Bakar terkadang minta didatangkan saksi bhwa Rasulullah SAW pernah mengatakan sesuatu.
Pengecekan Hadits yang dilakukan para sahabat itu bukan karena mereka curiga terhadap pembawa berita (rawi) bahwa ia berdusta. Melainkan semata-mata untuk menyakinkan bahwa berita atau hadits yang berasal dari Rasulullah SAW itu benar-benar ada. Karenanya pengecekan seperti itu jumlahnya sangat sedikit dan lingkunganya terbatas. Namun demikian, hal itu diakui sebagai cikal bakal timbulnya Ilmu Kritik Hadits (‘Ilm Naqd al-Hadits) yang belakangan berkembang menjadi salah satu cabang ilmu-ilmu Hadits yang berjumlah 93 cabang.
·         KRITIK MATERI HADITS
Dalam kisah tadi Umar tidak mengecek atau melihat identitas rawi sebagai pembawa berita, karena sebagai tetangga Umar sudah mengetahui karakter dan perilaku orang tersebut. Apa yang dilakukan Umar adalah kritik materi Hadits (naqd matn al-Hadits) bukan kritik rawi Hadits (naqd al-rijal).
Pada masa Nabi, kritik Hadits seperti itu sangat mudah, karena keputusan tentang otentitas sebuah Hadits berada di tangan Nabi sendiri. Tetapi sesudah Nabi wafat, Kritik Hadits tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada Nabi, melainkan dengan menanyakan orang lain yang ikut mendengar Hadits itu dari Nabi, seperti yang dilakukan Abu Bakar al-Shiddiq.
Adakalanya Kritik Hadits juga ditempuh dengan membandingkan dengan ayat Al-Qur’an. Seperti yang dilakukan oleh Aisyah binti Abu Bakar ketika Umar bin Al-Khattab wafat terbunuh. Ibnu Abbas mengatakan kepada Aisyah bahwa menjelang menghembuskan nafas terakhir Umar berpesan agar tidak ada seorang pun dari keluarganya yang menangisinya. Alasannya, karena Umar pernah mendengar Nabi SAW bersabda, “Mayat itu akan disiksa karena ia ditangisi oleh keluarganya.
Mendengar berita itu Aisyah langsung berkomentar, “Semoga Umar dirahmati Allah. Rasulullah SAW Tidak pernah bersabda bahwa mayat orang mukmin itu akan disiksa karena ia ditangisi keluarganya. Beliau hanya bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menambah siksa mayat orang kafir yang ditangisi keluarganya.” Kata Aisyah selanjutnya, “Cukuplah bagi kalian sebuah ayat yang mengatakan bahwa seorang tidak akan menanggung dosa orang lain. (al-An’am:164).
Dalam Hadits di atas, Aisyah telah melakukan kritik materi Hadits (naqd matn al-Hadits), yaitu beiau dengan mencocokannya kembali dengan apa yang pernah beliau dengar sendiri dari Nabi, kemudian dengan membandingkannya dengan ayat Al-Qur’an. Dari sini kemudian timbul dua versi periwayatan Hadits tersebut. Menurut versi Umar, seorang mati akan disiksa apabila ia ditangisi oleh keluarganya, baik yang mati itu muslim atau kafi. Sementara menurut versi Aisyah, mayat yang disiksa itu apabila ia kafir, sedangkan mayat muslim tidak disiksa. Karena baik Umar maupun Aisyah tidak mungkin berdusta, maka kedua versi ini tetap diterima sebagai Hadits Shahih.
Kontroversi Hadits seperti ini akhirnya melahirkan cabanng Ilmu Hadits baru disebut Ikhtilaf al-Hadits, yaitu ilmu yang menjelaskan Hadits-hadits yang kontroversial, baik kontroversinya itu dengan sesama Hadits, dengan Al-Qur’an, maupun dengan akal. Imam al-Syafi’i (w.204 H) tercatat sebagai orang yang berandil besar dalam masalah ini karena beliau merupakan orang yang pertama membahas masalah ini dan menulis kitab Ikhtilaf Hadits (kontroversialitas Hadits). Begitulah pula Ibnu Qutaibah al-Dainuri (w. 276 H) karena menulis kitab Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits. Karenanya, sebuah Hadits yang kelihatannya kontroversi dengan Hadits lain, al-Qur’an dan akal, tidak dengan sendirinya mesti terlempar, karena cabang ilmu Hadits ini memberikan jawaban-jawaban yang mamuaskan.
·         KRITIK SANAD HADITS
Terbunuhnya Umar bin al-khattab pada tahun 24 H tidak banyak mempengaruhi perkembangan ilmu Kritik Hadits. Namun terbunuhnya Utsman bin ‘Affaan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein bin Ali pada tahun 61 H, Yang diiringi lahirnya kelompo-kelompok politik dalam tubuh umat Islam, sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu Kritik Hadits. Karena itu memperoleh legitimasinya, masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari Hadits Nabi SAW. Apabila Hadits yang diarinya tidak ditemukan, mereka kemudian membuat Hadits palsu.
Maka sejak saat itu para ulama Kritikus Hadits dalam menyeleksi Hadits tidak hanya mengkritiknya dari segi Matan (materi)-nya, melainkan juga meneliti dengan identitas periwayat Hadits tersebut. Imam Muhammad bin Sirin (38-110 H) menuturkan, “pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad (transmisi Hadits). Namun setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman bin ‘Affan), apabila mendengar Hadits mereka selalu menanyakan dari siapa Hadits itu diperoleh. Apabila diperoleh dari Ahlus-Sunnah, Hadits itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid’ah, Hadits itu ditolak.
Di sinilah sebenarnya letak urgensinya sanad Hadits, sebab tanpa sanad, setiap orang dapat mengaku dirinya pernah bertemu dengan Nabi SAW. Karenanya, tepat sekali ucapan Abdullah bin al-Mubarok (w 181 H), “Sistem sanad itu merupakan bagian yang tak pernah terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa adanya sistem sanadsetiap orang dapat mengatakan apa yang dikendakinya.” Bahkan sistem sanad itu merupakan salah satu keistimewaan umat Islam, di mana sistem itu tidak dimiliki umat-umat yang lain. Maka sejak itu, para ulama ahli Hadits membuat persyaratan-persyaratan yang sangat ketat untuk rawi-rawi yang dapat diterima Haditsnya, di samping kriteria-kriteria teks Hadits yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam, seperti disinggung di muka.
·         WARISAN INTELEKTUAL
Betapapun, sementara pakar Ilmu-ilmu Hadits menilai bahwa abad pertma hijrah merupakan periode pertumbuhan Ilmu-ilmu Hadits. Sementara sejak awal abad kedua sampai abad awal ketiga dinilai sebagai periode penyempurnaan. Sedangkan masa berikutnya, sekaj awal abad ketiga sampai pertengahan abad keempat merupakan masa pembukuan. Pada masa ini para ahli Hadits mulai membukukan Ilmu-ilmu Hadits, meskipun secara persial. Misalnya, Yahya bin Ma’in (w 234 H) menulis Tarikh al-Rijal (sejarah Rawi-rawi), Ahmad bin Hambal (w 241 H) menulis al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (cacat-cacat Hadits dan mengetahui Rawi-rawi). Bahkan sebelum mereka, Muhammad bin  Sa’d (w 230 H) telah menulis al-Tabaqot al-Kubra (Generasi-generasi Agung), terdiri 11 jilid dan berisi biografi Nabi SAW para sahabat, Tabi’in, dan tokoh-tokoh yang hidup sampai awal abad ketiga hijrah.
Ibnu Abi Hatim al-Razi (w 327 H) juga menulis buku kritik terhadap Rawi-rawi Hadits, berjudul al-Jarh wa al-Ta’dil (Evaluasi Negatif dan Positif), terdiri dari 9 jilid. Sementara Ibnu Hibban al-Busti (w 354 H) menulis buku yang khusus mengkritik rawi-rawi yang ditolak Haditsnya, berjudul kitab al-Majruhin (Kitab Orang-orang yang dilukai). Imam Bukhari (w 256 H) juga menulis buku kritik Hadits, berjudul al-Tarikh al-Kabir (Sejarah yang Agung). Dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini.
Sementara Ilmu-ilmu Hadits secara komprehensif baru pertama kali dibukukan oleh al-Ramahurmuzi (w 360 H) dalam bukunya al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’ie (Ahli Hadits dan pemisah antara periwayat dan Penampung). Disusul kemudian oleh al-Hakim al-Naisapuri (w 405 H), al-Khatib al-Baghdadi (w 464 H) dan lain-lain. Belum lagi bila ditambah dengan karya Ahli-ahli Hadits yang hidup sesudah mereka, seperti Ibnu Hajar al-Asqalani (w 852 H) yang menulis kitab Fath al-Bari komentar Shahih al-Bukhari, berikut mukaddimahnya, berjudul Hady al-Sari, yang semuanya berjumlah 30 jilid, dan masing-masing jilid rata-rata 350 halaman, dan lain-lain.
Sungguh mengaggumkan dan luar biasa karya-karya ilmiah dan warisan intelektual mereka. Dan semua itu mereka lakukan dalam rangka Kritik Hadits, agar dapat diseleksi mana Hadits-hadits yang otentik dan mana yang palsu. Meskipun demikian, ada juga orang modern yang tidak puas, bahkan mencurigai mereka.
2.3  Unsur-unsur dalam Naqd al-hadist
            Dalam hal ini, unsur-unsur tersebut dibagi menjadi dua yaitu:
a)      Sanad 
Sanad secara bahasa berarti “bagian tanah yang tinggi” ,”puncak gunung”, “naik”, “sandaran”.[2]  Kata sanad berasal dari kata sanada, yasnudu,sanadan,, secara bahasa berarti mu’tamad ( sandaran, tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya, yang sah). Dikatakan demikian karena hadist itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[3]
Menurut istilah, sanad berarti :
 الرواة الذي نقلوا المتن عن مصدر الأول  سلسلة  
“Rangkaian para perawi hadist yang menyampaikan kepada materi ( matan ) hadist dari sumber asalnya ( Rasulullah SAW ).
b)      Matan
Secara etimologi “matan” berarti “bagian tanah yang keras dan tinggi”. Matan, Mutun, Amtan ( bentuk plural) mempunyai pengertian” kuat” seperti  “ Hablal-Matin ( tali yang kuat ). [4]
Menurut  istilah , matan berarti :
ألفاظ الحديث التي تتقوّم بها معانيه
“Lafal-lafal hadist yang menunjukkan maksud hadist tersebut.”
Materi ( isi ) hadist disebut matan karena itulah tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam sebuah hadist.

Perlu ditegaskan disini,bahwa kritik positif dan negative atas hadist dimaksudkan sebagai seleksi diterimanya suatu hadist, sekaligus sebagai penangkal dari berbagai aktivitas para pemalsu hadist. Jadi kritik atas tidak ditujukan untuk mengungkap kelemahan perkataan Muhammad SAW yang oleh al-quran dinyatakan ma’shum , akan tetapi di arahkan pada telaah prosedur guna menetapkan keabshahan suatu hadist, baik melalui kritik ekstenal ( sanad ) maupun internal ( matan ).
·         Unsur-unsur kaidah Mayor kritik sanad dan matan[5]
Kaidah kritik sanad dan matan hadist dapat diketahui dari pengertian istilah hadist shahih. Dari pengertian istilah tersebut , dapat di urai unsure-unsur hadis shahih menjadi :  1. Sanad bersambung, 2. Periwayat bersifat adil, 3. Periwayat bersifat dhabith,4. Dalam hadist itu tidak terdapat kejanggalan, 5. Dalam hadist itu tidak terdapat cacat.
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedang dua unsure berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan. Persyaratan umum itu dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsrnay memiliki syarat-syarat khusus; dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.

·         Unsur-unsur kaidah minor kritik sanad[6]
Apabila masing-masing unsure kaidah mayor bagi bagi keshahihan sanad disertakan unsure-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut :
a.       Unsure kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsure-unsur kaidah minor : muttashil, marfu’, mahfuzh, dan bukan mu’alal;
b.      Unsur kaidah mayor yang kedua , periwayat bersifat adil, mengandung unsure-unsur kaidah minor : beragama islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama islam; dan memelihara muruah;
c.       Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat dhabith dan atau adhbath, mengandung unsure-unsur kaidah minor : hafal dengan baik hadist yang diriwayatkannya;mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadistyang dihafalnya kepada orang lain; terhindar dari syudzudz; dan terhindar dari illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad dilaksanakan. sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilakan  kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.
·         Unsur-unsur kaidah minor kritik matan
Adapun tolak ukur penelitian matan yang telah dikemukakan oleh ulama tidaklah seragam. Al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H = 1072 M ) menjelaskan bahwa matan hadist yang maqbul ( diterima sebagai hujjah,pen.) haruslah : 1. Tidak betentangan dengan akal yang sehat; 2. Tidak bertentangan dengan hukum al-quran yang telah muhakam; 3. Tidak bertentangan dengan hadist muttawatir; 4. Tidak bertentangan dengan amalyang telah menjadi kesepakatan ulama’ masa lalu  ( ulama’ salaf ) ; 5. Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; 6. Tidak bertentangan dengan hadist yang ahadyang kualitas kshahihan nya lebih kuat.
Shalah al-din al-Adlabi mengemukakan bahwa pokok-pokok tolak ukur penelitian ke shahihan matan ada empat macam, yakni : 1. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-quran; 2. Tidak bertentangan dengan hadist yang kualitasnyalebih kuat; 3. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah; 4. Susunan pernyataannya menunjukkan cir-ciri sabda kenabian. Tolak ukur tersebut masih bersifat globaldan masih dimungkinkan untuk dikembangkan.
Jadi, menurut imam al-Nawawi (w.676 H= 1277 M ) menyatakan bahwa hubungan hadist dengan sanadnya semisal hubungan hewan dengan kakinya. Jadi, penelitian matan barulah bermanfaat bila sanad hadist yang bersangkutan memenuhi syarat untuk hujjah. Bila sanad cacat berat, maka matan tidak perlu diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujjah.
2.4  Standarisasi  Kritik hadist
·         Kritik Sanad ( eksternal )
            Kritik eksternal merupakan telaah atau prosedur periwayatan sanad dari sejumlah rawi yang sacara runtut menyampaikan matan hingga rawi terakhir. Keabshahan suatu sanad diukur dengan lima krteria:
a)      Rangakaian sanad ( perawi hadist ) yang bersambung ( muttasil )
Maksudnya adalah tiap rawi hadist terebut menerima hadist dari rawi terdekat sebelumnya. Keterputusan sanad dan ketidaklayakannya akan mengakibatkan matan yang dibawakannya tertolak.
Adapun tatacara yang harus ditempuh untuk mengetahui ke-muttasilan-nya sanad adalah sbb:
a.       Mencatat semua rawi dalam sanad tersebut
b.      Mempelajari biografi dan aktivitas keilmuan dari setiap rawi.
c.       Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dengan rawi terdekat dalam sanad. Apakah kata-kata yang dipakai berupa haddastsana, akhbarana, dan lain-lain.
Sedangkan ketidak-muttasil-an suatu sanad dimungkinkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
a.       Gugurnya sanad , baik ditingkat tabi’in ( mu’allaq ) , maupun sahabat (mursal) , dengan dua atau lebih gugurnya rawi secara berurutan (mu’dhal) , ataupun tidak berurutan (mun-qhat’i).
b.      Adanya bukti bahwa rawi yang menerima hadist tidak pernah berkunjung atau bertemu ketempat orang yang menyampaikan hadist itu kepadanya, bahkan dalam kasus lain penyampai hadist telah meninggal dunia sewaktu penerima hadist  belum lahir. Kajian kasus ini memerlukan penguasaan kalender lahir dan wafatnya rawi, daerah yang pernah dikunjungi dan ilmu thabaqhat.
b)      Adil-nya Rawi
Adil-nya rawi menurut al-Khathib al-Baghdadi tercermin dalam kemantapan beragamanya, sekaligus terhindar dari segala bentuk kefasikan , dan rendahnya muruah.
Adapun kriteria yang digunakan untuk menetapkan ke’adilan rawi adalah berdasarkan :
a.       Popularitas keutamaan dan kemuliaannya dikalangan ulama’ hadist.
b.      Penilaian dari para kritikus rawi yang berisi pengungkapan terhadap kelebihan dan kekurangan yang ada pada rawi tersebut.
c.       Penerapan kaidah al-jarh wa ta’dil yang dipakai ketika para kritikus rawi tidak sepakat dalam menilai seorang rawi.
Jadi , dengan demikian penetapan ka’adilan rawi hadist diperlukan kesaksian dari para ulama’.
c)      Dhabit-nya Rawi
Dhabit-nya rawi dapat diketahui melalui kekuatan ingatannya atau periwayatannya melalui hafalan dan kecermatan dalam tulisan dan kearsipan untuk periwayatan hadist melaui tulisan. Ke-Dhabit-an nya ini diperlukan untuk menghindari kekeliruan dan prasangka  tertentu terhadap hadist.
Guna menetapkan ke-Dhabit-an seorang rawi hadist, maka cara yang ditempuh adalah sebagai berikut :
a.       Berdasarkan kesaksian ulama’.
b.      Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh rawi lain yang sudah dikenal ke-dhabitannya. Tingkat  kesesuaian ini mungkin hanya sampai ketingkat makna da harfiah saja..
d)     Keterhindaran isnad dari syadz
Tidak ada kejanggalan ( syadz ) dalam matannya. Yang dimaksud dengan syaz adalah periwayatan orang yang tsiqoh bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh ( autsaq minhu ).
Keadaan syadz suatu hadist dapat diketahui apabila ditempuh  beberapa cara dibawah ini :
a.       Semua sanad yang mengambil matan hadist yang pokok masalahnya sama dikumpulkan menjadi satu, dan kemudian diperbandingkan.
b.      Para rawi  pada seluruh sanad diteliti kualitasnya.
c.       Apabila seluruh rawi tsiqoh dan ternayata ada seorang rawi yang sanadnya menyalahi sanad lainya , maka sanad yang menyalahi inilah yang dimasukkan dalam kategori syadz, dan dikalahkan oleh sanad lainnya yang dinamakan sanad  mahfuz.

e)      Keterhindaran dari illat ( cacat )
Menurut Ibnu ash-Shalah dan An-Nawawi bahwa pengertian ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas suatu hadist. Keberadaan dan kehadiran ‘illat tersebut bisa mengakibatkan tidak shahihnya suatu hadist.
Ulama’ hadist umumnya menyatakan ‘illat kebanyakan terjadi dan berbentuk :
a.       sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttasil dan mauquf.
b.      Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata setelah diselidiki muttasil dan mursal.
c.       Terjadi percampuran hadist dengan bagian hadist lain.
d.      Terjadi kesalahan dalam hal penyebutan rawi karena adanya rawi-rawi yang punya kemiripan nama sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya tsiqoh.
Cacat hadist ini dapat diketahui dengan cara kecerdasan seseorang, intuisi ( ilham ) , hafalan hadist yang banyak,mendalam pengetahuannya tentang berbagai kedhabitan para rawi serta ahli dalam bidang sanad dan matan hadist.

·         Kritik matan ( internal )
                   Kritik internal adalah kajian dan pengujian atas keabshahan suatu matan hadist.
            Untuk menentukan keshahihan matan suatu hadist, maka para ulama’ telah mengadakan penelitian dan kritik secara seksama terhadap matan hadist, sehingga mereka memberikan kriteria bahwa hadist yang matannya shahih adalah hadist yang matannya memenuhi kriteria – kriteria dibawah ini :
a.       Sempurnanya formasi kata dan kalimat
Kehalusan bahasa Muhammad SAW bukan saja teruji oleh kaidah bahasa, tetapi terseleksi dalam pilhan kata-katanya , sehingga problema seksual pun beliau ungkapkan dengan dan melalui keindahan dan kesopanan berbahasa.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Ashqalani menyatakan standar lemahnya suatu kata terletak pada makna yang dikandungnya dan bukan langsung pada kata dan redaksinya itu sendiri.
b.      Kesempurnaan makna
Makna hadist seharusnya dan semestinya tidak bertentangan dengan potensi positif manusia dan juga tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan penalaran logis dan juga sunnatullah. Matan yang tidak memenuhi ketentuan diatas dapat dilihat dalam contoh-contoh dibawah ini :
الباذنجان شفاء من كل داء
“ terong adalah obat segala macam penyakit “
النظر إلى الوجه الجميل عبادة
“ memandang wajah yang cantik adalah ibadah “
إن سفينة نوح طافت بالبيت سبعا وصلت عند المقامركعتين
“ Kapal Nabi Nuh thawaf dibaitullah tujuh putaran dan shalat dua rakaat di maqam Ibrahim “.
c.       Sesuai dengan Al-quran dan hadist mutawatir
Hadist yang ditelaah dengan kritis analitis dapat tergolong shahih al-matanbila tidak berlawanan dengan al-quran dan hadist mutawatir. Contoh matan hadist yang berlawanan dengan al-quran adalah :
ولد الزنى لايدخل الجنة إلى سبعة أبناء
“ Anak zina tidak akan masuk surga sampai tujuh turunan “.
Yang berlawanan dengan surat al-an’am : 164 :
لانزر وازرة وزر أخرى . ( الأنعام : 164  )
“ Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosaorang lain .”
Sedangkan matan hadist yang bertentangan dengan hadist mutawatir adalah :
إذا حدثتم عنى بحديث يوافق الحق فخذوا به حدثت به أو لم أحدث
“ Jika kamu meriwayatkan sebuah hadist dariku yang sesuai dengan kebenaran maka ambillah , baik aku memang menyatakannya atau tidak menyatakannya.”
Hal ini bertentangan dengan sabda Nabi :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“ siapa yang sengaja berdusta kepada ku maka bersiaplah menduduki tempatnya dineraka.”
d.      Sesuai dengan fakta sejarah
Matan suatu hadist dalam banyak hal perlu dikonfirmasikan dengan fakta sejarah. Matan hadist yang menyalahi fakta sejarah digolongkan kedalam matan ghairu shahih. Sebagai contoh riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menetapkan pembayaran upeti atas penduduk Khaibar, sekaligus melenyapkan eksploitasi dan perbudakan diantara mereka setelah perang Khaibar itu. Hal ini jelas menyalahi fakta dan kenyataan sejarah, karena upeti ( jizyah ) baru diundangkan setelah perang Tabuk yang terjadi dua tahun setelah perang Khaibar.
e.       Matan hadist tidak syadz dan tidak ber’illat
Setelah suatu hadist melewati dua pos sensor  yaitu aspek sanad dan aspek matan, maka nilai hadist tersebut tidak akan lepas dari empat kemungkinan :
a.       Sanad dan matan hadist bernilai shahih, sehingga hadist tersebut masuk dalam kelompok hadis shahih.
b.      Sanad dan matannya tidak shahih, sehingga hadist tersebut masuk dalam barisan hadist ghairu shahih.
c.       Matan hadisnya shahih sementara sanadnya tidak shahih, sehingga hadist versi ini masuk dalam barisan hadist ghairu shahih.
d.      Sanadnya shahih sedangkan matannya tidak shah, versi ini juga masuk kedalam kelompok ghairu shahih.




2.5  Metodologi Kritik Hadist
·         Metodologi Kritik Sanad
                  Untuk mengkritik sanad mempunyai dua cara :
a.       Melalui naskah-naskah yang telah disusun oleh ulama’ jarh wa ta’dil.
b.      Melalui kemasyhurannya dikalangan ulama’-ulama’ hadist dan masyarakat, seperti Malik bin Anas, Sofyan al-tsauri, Al-Auza’iy,laits bin sa’ad, imam-imam madzhab yang empat dan ulama’-ulama’ lainnya.
Biasanya orang yang  mengkritik sanad , memiliki kriteria :
a.       Terpercaya ( amanah ) dan ikhlas dalam memutuskan hukum, karena mereka harus memaparkan tentang keberadaan seorang perawi baik sisi negative ataupun positifnya.
b.      Teliti dan cermat dalam mengambil keputusan.
c.       Berpegang pada kode etik.
d.      Global dalam ta’dil dan terinci dalam tajrih.
Adapun bagi ulama’ yang melakukan kritik harus memenuhi persyaratan :
1.      alim ( berilmu )
2.      bertaqwa
3.      wara’
4.      jujur
5.      tidak cacat
6.      tidak panatik mazhab
7.      mengetahui secara pasti dan mendalam orang yang dikritiknya.
·         Metodologi Kritik Matan
                Metode perbandingan dapat dipraktekkan dengan beberapa cara, diantaranya :
a.       Perbandingan antara hadist-hadist dari berbagai murid seorang guru ( syeikh ).
b.      Perbandingan antara pernyataan –pernyataan dari seorang ulama’ yang dikeluarkan pada waktu yang berlainan.
c.       Perbandingan antara pembacaan lisann dengan dokumen tertulis.
d.      Perbandingan antara  hadist dengan ayat alquran yang berkaitan.
Dalam prakteknya metode perbandingan dapat juga diterapkan dalam beberapa cara :
a.       Perbandingan antara hadist dengan al-quran.
b.      Perbandingan antara beberapa riwayat ( jalur sanad ) dalam satu tema.
c.       Pembandingan antara satu hadist dengan hadis yang lain yang terkesan kontradiktif.
d.      Perbandingan antara matan (materi) hadist dengan fakta sejarah.
e.       Meneliti matan hadist yang terdapat kerancuan bahasa dan pengertian yang jauh menyimpang.
f.       Meneliti hadist yang bertentangan dengan kaidah-kaidah lain yang yang telah ditetapkan.
g.      Menghindari hadist yang mengandung kemunkaran dan hal-hal yang mustahil.
2.6  Kualitas Hadist dan kehujjahannya
·         Macam-macam kualitas hadist
            Menurut Ibnu Taimiyah (w.728 H / 1328 M ), ulama’ sebelum zaman imam Turmudzi membagi kualitas hadist kepada shahih dan dhaif. Mulai imam Turmudzi , kualitas hadist dibagi tiga , yakni shahih,hasan, dan dhaif.
            Pendapat ibnu Taimiyyah tersebut telah dikritik oleh ulama’. Alasannya ,istilah hasan telah dikenal sebelum zaman Turmudzi. Kritik tersebut tidak kuat sebab yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyyah tampaknya bukanlah tentang dimulai dikenalnya istilah hasan itu, melainkan tentang digunakannya istilah tersebut sebagai istilah yang baku bagi salah satu kualitas hadist.
            Tiga macam kualitas hadist yang umum itu lalu dibagi lagi. Hadist shahih dibagi menjadi shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Hadist shahih yang disebutkan terakhir pada asalnya bukanlah hadist shahih, tetapi karena ada dukungan dalil lain yang kuat, maka meningkat kualitasnya menjadi shahih. Untuk hadist hasan , pembagiannya adalah hasan li dzatih dan hasan li ghairih. Kualitas hasan yang disebutkan terakhr pada asalnya adalah hadist dhaif tertentu lalu ada pendukung dalil lain yang kuat. Untuk kualitas hadist yang dhaif, Ibnu hibban al-Busti membaginya menjadi empat puluh Sembilan macam. Dengan demikian dapat difahami , mengapa hadist dhaif  begitu banyak jumlahnya sebab alternative letak kedhaifannya hadist sangat bervariasi, baik dipersambungan sanad dan keadaan para periwayat maupun dimatan.
·         Kualitas hadist ditentukan oleh hasil kritik sanad dan matan
            Persyaratan yang telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam menerima sebuah periwayatan ( hadist ) baik dari tinjauan  sanad maupun matan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.  Sebuah hadist tidak dapat dikatakan shahih hanya berdasarkan seleksi sanad atau matan saja, keduanya berjalan secara bersamaan sebagaimana definisi hadist :
ما اتّصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علّة
            “ Hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabith seluruhnyadari awal sampai akhir sanad, serta selamat dari kejanggalan ( syadz ) dan cacat (‘illat )”.
            Sekiranya kritik matan dilakukan untuk kualitas sanad yang bagaimanapun juga , maka kemungkinan hasil penelitian kualitas hadistnya adalah : ( 1 ) sanad-nya shahih dan matannya shahih; ( 2 ) sanad-nya shahih dan matannya dhaif; ( 3 ) sanadnya dhaif dan matannya shahih; ( 4 ) sanadnya dhaif dan matannya dhaif.
             Dengan adanya beberapa kemungkinan kualitas itu, maka yang disebut sebagai hadist shahih adalah hadist yang sanadnya shahih dan matannya shahih. Dan hadist dhaif adalah hadist yang sanadnya dhaif dan matannya dhaif. Untuk hadist yang sanadnya shahih tetapi matannya dhaif atau sanad yang dhaif tetapi matannya shahih tidak disebut sebagai hadist shahih ataupun hadist shahih. Istilah yang lazim dipakai , misalnya isnaduhu shahih wa matnuhu dhaif atau isnaduhu dhaif wa matnuhu shahih.
    Bab III
Penutup
Kesimpulan
naqdul hadist atau kritik hadist merupakan upaya untuk menyeleksi hadist agar dapat diketahui mana hadist yang  shahih dan mana hadist yang tidak shahih.
 Daftar Pustaka
1.      Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
2.      Sya’roni, [1] Usman. OtentisitasHadist Menurut Ahli hadist dan Kaum sufi, hlm .9 ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008 ) cet. Ke-2.
3.      Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits.Yogyakarta: Teras, 2004
4.      Fudhaili, [1] Ahmad. Perempuan di lembaran suci  Kritik atas hadis-hadis shohih, hlm.50 ( Jakarta Pusat: Kemenag RI ,2012 ) cet. Ke-1
5.      Ilyas, Yunahar. Pengembangan pemikiran terhadap hadis, hlm.6 ( LPPI Yogyakarta: 1996.) cet. Ke-1




[1]
[2] Ahmad Fudhaili, Perempuan di lembaran suci  Kritik atas hadis-hadis shohih, hlm.50 ( Jakarta Pusat: Kemenag RI ,2012 ) cet. Ke-1
[3] Usman Sya’roni, OtentisitasHadist Menurut Ahli hadist dan Kaum sufi, hlm .9 ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008 ) cet. Ke-2.
[4] Ahmad Fudhaili, Perempuan di lembaran suci  Kritik atas hadis-hadis shohih, hlm.58 ( Jakarta Pusat: Kemenag RI ,2012 ) cet. Ke-1

[5] Drs. Yunahar Ilyas,Lc. Pengembangan pemikiran terhadap hadis, hlm.6 ( LPPI Yogyakarta: 1996.) cet. Ke-1
[6]

4 komentar:

  1. tulisan ini sangat bermanfaat, khususnya bagi pengembangan nilainilai akademik

    BalasHapus
  2. alhamdulillah, syukron 'alahusni timamik

    BalasHapus
  3. izin ambil isi webnya buat presentasi kuliah, syukron

    BalasHapus
  4. tulisannya sangat bermanfaat, tapi bisa diberikan contoh dari mazhab Naqdh?

    BalasHapus