BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut petunjuk Al-Qur’an, hadits nabi adalahsumber ajaran islam
disamping Al-Qur’an. Itu berarti, untuk mengetahui ajaran islam yang benar,
diseamping diperlukan petunjuk Al-Quran, juga diperlukan hadits nabi. Sebagian
ulama’ memberi istilah untuk hadits nabi dengan wahyu ghoir al matluw, sebagai imbangan terhadap istilah untuk Al-Qur’an
yang disebutnya dengan wahyu al matluw. Pendapat itu memang mengundang masalah,
sebab dengan menyatakan bahwa seluruh hadits nabi sebagai wahyu, maka berarti
semua jenis hadits atau apasaja yang disandarkan kepada nabi, sebagaimana
pengertian hadits menurut ulama’ hadits adalah wahyu.
Terlepas dari tepat atau tidak tepatnya pernyataan bahwa hadits
nabi adalah wahyu ghair al matluw, maka yang pasti bahwa Allah telah memberi
kedudukan kepada nabi Muhammad SAW sebagai rosulullah dengan fungsi dan atau
tugas antara lain untuk: 1. Menjelaskan Al-Qur’an, 2. Dipatuhi oleh orang-orang
yang beriman, 3. Menjadi uswah hasanah dan rahmat bagi sekalian alam.
Selanjutnya, menurut sejarah, tidaklah seluruh hadits telah ditulis
pada zaman nabi. Hadits yang tertulis, baik secara resmi, misalnya berup
surat-surat nabi kepada para penguasa nonmuslim dalam rangka dakwah , maupun
yang tidak resmi yang berupa catatan-catatan yang dibuat oleh para sahabat
tertentu atas inisiatif memerka sendiri, jumlahnya tidak banyak. Dalam pada itu
hadits nabi telah pernah mengalami pemalsuan-pemalsuan. Pada zaman nabi
pemalsuan hadits belum pernah terjadi. Dalam sejarah, pemalsuan hadis mulai
berkembang pada zaman khalifah ali bin abi tholib (w. 40 H/ 661 M).
Hal-hal berkenaan hadits tersebut merupakan sebagian dari
factor-faktor yang melatar belakangi pentingnya penelitian hadits.
Factor-faktor penting lainnya, adalah proses penghimpunan hadits kedalam
kitab-kitab hadits yang memakan waktu cukup lama setelah nabi wafat, jumlah
kitab hadits yang begitu banyak dengan metode penyusunan yang beragam, dan
telah terjadinya periwayatan hadits secara makna.
Akibat lebih lanjut dari factor-faktor tersebut adalah keharusan
adanya penelitian sanad dan matan hadits dalam kedudukan hadits sebagai hujjah.
Dengan dilakukan kegiatan kritik sanad dan matan, maka akan dapat diketahui apa
yang dinyatakan sebagai hadits nabi itu memang benar-benar dapat dipertanggung
jawabkan berasal dari beliau. Dalam pada itu, karena sanad dan matan sama-sama
harus diteliti, maka terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan kualitas antara
sanad dan matan hadits.
B.
Fokus
Penulisan
1.
Apa
definisi Naqd al-hadits?
2.
Bagaimana
Sejarah Naqd al-Hadits?
3.
Apa
Saja Unsur-Unsur Dalam Naqd al-Hadits?
4.
Bagaimana
Standarisasi Naqd al-Hadits?
5.
Bagaimana
Metodologi Naqd Al-Hadits?
6.
Bagaimana
Kualitas Hadits dan Kehujjahannya?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
definisi Naqd al-hadits
2.
Mengetahui
Sejarah Naqd al-Hadits
3.
Mengetahui
Unsur-Unsur Dalam Naqd al-Hadits
4.
Mengetahui
Standarisasi Naqd al-Hadits
5.
Mengetahui
Metodologi Naqd Al-Hadits
6.
Mengetahui
Kualitas Hadits dan Kehujjahannya
7.
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian naqd al-hadist
Kata kritik dalam
literature bahasa arab menggunakan kata Naqd ( نقد
). Kata ini digunakan oleh beberapa ulama hadist pada abad kedua hijriah.[1]
Secara etimologis,
kata al-naqd mempunyai arti :
1. Kontan, lawan dari kata al-Nasi’ah ( النسيئة ) yang berarti tempo.
2. Al-Tamyiz ( membedakan / memisahkan)
3. Qabadh ( menerima)
4. Al-Dirham ( uang )
5. Naqasy ( membantah / mendebat )
6. Laqathal / Nafara ( Mencongkel dengan jari/
mematuk )
7. Ikhtalas al-Nadhar ( pandangan yang terfokus/
terarah )
8. Ladagha ( menggigit )
9. Dharaba ( memukul )
Pengertian kritik
dengan menggunakan kata naqd mengindikasikan bahwa kritik harus dapat
membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pengimbang yang baik, ada timbale
balik, menerima dan member, terarah pada sasaran yang dikritik, adanya unsure
perdebatan, karena perdebatan berarti mengeluarkan pemikiran-pemikiran
masing-masing.
Pengertian naqd
al-hadist secara istilah yaitu :
1.
Muhammad
Thahir al-Jawaby
Ilmu
kritik hadist adalah ketentuan terhadap para perawi hadist baik kecacatan atau keadilannya dengan
menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang dikenal oleh ulama’-ulama’ hadist.
Kemudian meniliti matan-matan hadist yang telah dinyatakan shahih ( sanadnya) untuk
menentukan kshahihan atau kedhaifan matan hadist tersebut, mengatasi kesulitan
( pemahaman ) dari hadist yang telah dinyatakan shahih, mengatasi kontradiksi (
pemahaman ) hadist dengan pertimbangan
yang mendalam.
2.
Muhammad Mustafa Azami
Kemungkinan
definisi kritik hadist adalah membedakan
( al-Tamyiz) antara hadist-hadist shahih dar hadist-hadist dhaif dan menentukan
kedudukan para perawi hadis ketsiqatanmaupau kecacatannya.
Jadi
, naqdul hadist atau kritik hadist merupakan upaya untuk menyeleksi hadist agar
dapat diketahui mana hadist yang shahih
dan mana hadist yang tidak shahih.
2.2 Sejarah Kritik Hadits
·
Kritik Hadits pada Masa Rosulullah SAW
Suatu malam ketika Umar bin Al-khattab sedang
berbincang-bincang tentang adanya kabar bahwa Ratu Ghassan sedang
mempersiapakan pasukannya untuk menyerbu kaum muslimin, tiba-tiba pintu rumah
beliau diketuk keras oleh seorang yang belum diketahui identitasnya. “Apakah
Umar sudah tidur?” begitu terdengar suara lantang dari luar pintu.
Maka dengan penuh tanda tanya, Umar berjalan
untuk membukakan pintu. Begitu pintu dibuka, beliau terkejut karena yang
mengetuk pintu keras-keras dan berteriak tadi adalah tetangganya sendiri,
seorang anshar dari keuarga Umayah bin zeid. Ia baru pulang dari mengikuti
pengajian Nabi Muhammad SAW.
“Ada apa, apakah pasukan Ghassan sudah
datang?” tanya Umar memburu.
“Tidak,” jawabnya.
“Ada peristiwa yang lebih gawat dari itu,”
tambahnya.
“Apakah itu?” tanya Umar penasaran.
“Rasulullah SAW telah menceraikan
istri-istrinya,” jawabnya.
Tercengang Umar mendengar jawaban itu. Bukan
lantaran salah seorang istri Nabi SAW, itu kebetulan putri Umar sendiri yang
bernama Hafshah, melainkan kebenaran barita itu.
Untuk
meyakinkan kebenaran berita itu, esok harinya pagi-pagi benar Umar menghadap
Nabi SAW. Dan setelah diijinkan masuk, Umar bertanya kepada beliau, “Apakah
Anda telah menceraikan istri-istri Anda?”
Sambil menegakkan kepalanya dan memandangi
Umar, Nabi menjawab, “Tidak.” Begitulah, akhirnya Umar mengetahui bahwa Nabi
SAW hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-istrinya selama satu bulan.
Kisah di atas menjelaskan atas yang
selengkapnya dituturkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari
telah melakukan pengecekan terhadap kebenaran suatu berita yang bersumber dari
Rasulullah SAW. Pengecekan ini langsung kepada sumber berita yang pertama yaitu
Rasulullah SAW. Selain Umar, ada beberapa sahabat Nabi yang melakukan
pengecekan seperti itu, antara lain Abu Bakar as-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib,
Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq, dan lain-lain. Bahkan Abu Bakar terkadang minta
didatangkan saksi bhwa Rasulullah SAW pernah mengatakan sesuatu.
Pengecekan Hadits yang dilakukan para sahabat
itu bukan karena mereka curiga terhadap pembawa berita (rawi) bahwa ia
berdusta. Melainkan semata-mata untuk menyakinkan bahwa berita atau hadits yang
berasal dari Rasulullah SAW itu benar-benar ada. Karenanya pengecekan seperti
itu jumlahnya sangat sedikit dan lingkunganya terbatas. Namun demikian, hal itu
diakui sebagai cikal bakal timbulnya Ilmu Kritik Hadits (‘Ilm Naqd
al-Hadits) yang belakangan berkembang menjadi salah satu cabang ilmu-ilmu
Hadits yang berjumlah 93 cabang.
·
KRITIK MATERI HADITS
Dalam kisah tadi Umar tidak mengecek atau
melihat identitas rawi sebagai pembawa berita, karena sebagai tetangga Umar
sudah mengetahui karakter dan perilaku orang tersebut. Apa yang dilakukan Umar
adalah kritik materi Hadits (naqd matn al-Hadits) bukan kritik rawi
Hadits (naqd al-rijal).
Pada masa Nabi, kritik Hadits seperti itu
sangat mudah, karena keputusan tentang otentitas sebuah Hadits berada di tangan
Nabi sendiri. Tetapi sesudah Nabi wafat, Kritik Hadits tidak dapat dilakukan
dengan menanyakan kembali kepada Nabi, melainkan dengan menanyakan orang lain
yang ikut mendengar Hadits itu dari Nabi, seperti yang dilakukan Abu Bakar
al-Shiddiq.
Adakalanya Kritik Hadits juga ditempuh dengan
membandingkan dengan ayat Al-Qur’an. Seperti yang dilakukan oleh Aisyah binti
Abu Bakar ketika Umar bin Al-Khattab wafat terbunuh. Ibnu Abbas mengatakan
kepada Aisyah bahwa menjelang menghembuskan nafas terakhir Umar berpesan agar
tidak ada seorang pun dari keluarganya yang menangisinya. Alasannya, karena
Umar pernah mendengar Nabi SAW bersabda, “Mayat itu akan disiksa karena ia
ditangisi oleh keluarganya.
Mendengar berita itu Aisyah langsung
berkomentar, “Semoga Umar dirahmati Allah. Rasulullah SAW Tidak pernah bersabda
bahwa mayat orang mukmin itu akan disiksa karena ia ditangisi keluarganya.
Beliau hanya bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menambah siksa mayat orang
kafir yang ditangisi keluarganya.” Kata Aisyah selanjutnya, “Cukuplah bagi
kalian sebuah ayat yang mengatakan bahwa seorang tidak akan menanggung dosa
orang lain. (al-An’am:164).
Dalam Hadits di atas, Aisyah telah melakukan
kritik materi Hadits (naqd matn al-Hadits), yaitu beiau dengan
mencocokannya kembali dengan apa yang pernah beliau dengar sendiri dari Nabi,
kemudian dengan membandingkannya dengan ayat Al-Qur’an. Dari sini kemudian
timbul dua versi periwayatan Hadits tersebut. Menurut versi Umar, seorang mati
akan disiksa apabila ia ditangisi oleh keluarganya, baik yang mati itu muslim
atau kafi. Sementara menurut versi Aisyah, mayat yang disiksa itu apabila ia
kafir, sedangkan mayat muslim tidak disiksa. Karena baik Umar maupun Aisyah
tidak mungkin berdusta, maka kedua versi ini tetap diterima sebagai Hadits
Shahih.
Kontroversi Hadits seperti ini akhirnya
melahirkan cabanng Ilmu Hadits baru disebut Ikhtilaf al-Hadits, yaitu
ilmu yang menjelaskan Hadits-hadits yang kontroversial, baik kontroversinya itu
dengan sesama Hadits, dengan Al-Qur’an, maupun dengan akal. Imam al-Syafi’i
(w.204 H) tercatat sebagai orang yang berandil besar dalam masalah ini karena
beliau merupakan orang yang pertama membahas masalah ini dan menulis kitab Ikhtilaf
Hadits (kontroversialitas Hadits). Begitulah pula Ibnu Qutaibah al-Dainuri
(w. 276 H) karena menulis kitab Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits. Karenanya, sebuah
Hadits yang kelihatannya kontroversi dengan Hadits lain, al-Qur’an dan akal,
tidak dengan sendirinya mesti terlempar, karena cabang ilmu Hadits ini
memberikan jawaban-jawaban yang mamuaskan.
·
KRITIK SANAD HADITS
Terbunuhnya Umar bin al-khattab pada tahun 24
H tidak banyak mempengaruhi perkembangan ilmu Kritik Hadits. Namun terbunuhnya
Utsman bin ‘Affaan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein bin Ali
pada tahun 61 H, Yang diiringi lahirnya kelompo-kelompok politik dalam tubuh
umat Islam, sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu Kritik Hadits. Karena
itu memperoleh legitimasinya, masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari
Hadits Nabi SAW. Apabila Hadits yang diarinya tidak ditemukan, mereka kemudian
membuat Hadits palsu.
Maka sejak saat itu para ulama Kritikus Hadits
dalam menyeleksi Hadits tidak hanya mengkritiknya dari segi Matan (materi)-nya,
melainkan juga meneliti dengan identitas periwayat Hadits tersebut. Imam
Muhammad bin Sirin (38-110 H) menuturkan, “pada mulanya kaum muslimin tidak
pernah menanyakan sanad (transmisi Hadits). Namun setelah terjadi fitnah
(terbunuhnya Utsman bin ‘Affan), apabila mendengar Hadits mereka selalu
menanyakan dari siapa Hadits itu diperoleh. Apabila diperoleh dari
Ahlus-Sunnah, Hadits itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila
diperoleh dari orang-orang penyebar bid’ah, Hadits itu ditolak.
Di sinilah sebenarnya letak urgensinya sanad
Hadits, sebab tanpa sanad, setiap orang dapat mengaku dirinya pernah bertemu
dengan Nabi SAW. Karenanya, tepat sekali ucapan Abdullah bin al-Mubarok (w 181
H), “Sistem sanad itu merupakan bagian yang tak pernah terpisahkan dari agama
Islam. Sebab tanpa adanya sistem sanadsetiap orang dapat mengatakan apa yang
dikendakinya.” Bahkan sistem sanad itu merupakan salah satu keistimewaan umat
Islam, di mana sistem itu tidak dimiliki umat-umat yang lain. Maka sejak itu,
para ulama ahli Hadits membuat persyaratan-persyaratan yang sangat ketat untuk
rawi-rawi yang dapat diterima Haditsnya, di samping kriteria-kriteria teks
Hadits yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam, seperti disinggung di
muka.
·
WARISAN INTELEKTUAL
Betapapun, sementara pakar Ilmu-ilmu Hadits
menilai bahwa abad pertma hijrah merupakan periode pertumbuhan Ilmu-ilmu
Hadits. Sementara sejak awal abad kedua sampai abad awal ketiga dinilai sebagai
periode penyempurnaan. Sedangkan masa berikutnya, sekaj awal abad ketiga sampai
pertengahan abad keempat merupakan masa pembukuan. Pada masa ini para ahli
Hadits mulai membukukan Ilmu-ilmu Hadits, meskipun secara persial. Misalnya,
Yahya bin Ma’in (w 234 H) menulis Tarikh al-Rijal (sejarah Rawi-rawi), Ahmad
bin Hambal (w 241 H) menulis al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (cacat-cacat Hadits
dan mengetahui Rawi-rawi). Bahkan sebelum mereka, Muhammad bin Sa’d (w 230 H) telah menulis al-Tabaqot
al-Kubra (Generasi-generasi Agung), terdiri 11 jilid dan berisi biografi Nabi
SAW para sahabat, Tabi’in, dan tokoh-tokoh yang hidup sampai awal abad ketiga hijrah.
Ibnu Abi Hatim al-Razi (w 327 H) juga menulis
buku kritik terhadap Rawi-rawi Hadits, berjudul al-Jarh wa al-Ta’dil (Evaluasi
Negatif dan Positif), terdiri dari 9 jilid. Sementara Ibnu Hibban al-Busti (w
354 H) menulis buku yang khusus mengkritik rawi-rawi yang ditolak Haditsnya,
berjudul kitab al-Majruhin (Kitab Orang-orang yang dilukai). Imam Bukhari (w
256 H) juga menulis buku kritik Hadits, berjudul al-Tarikh al-Kabir (Sejarah
yang Agung). Dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu
disini.
Sementara Ilmu-ilmu Hadits secara komprehensif
baru pertama kali dibukukan oleh al-Ramahurmuzi (w 360 H) dalam bukunya
al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’ie (Ahli Hadits dan pemisah
antara periwayat dan Penampung). Disusul kemudian oleh al-Hakim al-Naisapuri (w
405 H), al-Khatib al-Baghdadi (w 464 H) dan lain-lain. Belum lagi bila ditambah
dengan karya Ahli-ahli Hadits yang hidup sesudah mereka, seperti Ibnu Hajar
al-Asqalani (w 852 H) yang menulis kitab Fath al-Bari komentar Shahih
al-Bukhari, berikut mukaddimahnya, berjudul Hady al-Sari, yang semuanya
berjumlah 30 jilid, dan masing-masing jilid rata-rata 350 halaman, dan
lain-lain.
Sungguh mengaggumkan dan luar biasa
karya-karya ilmiah dan warisan intelektual mereka. Dan semua itu mereka lakukan
dalam rangka Kritik Hadits, agar dapat diseleksi mana Hadits-hadits yang
otentik dan mana yang palsu. Meskipun demikian, ada juga orang modern yang
tidak puas, bahkan mencurigai mereka.
2.3 Unsur-unsur dalam Naqd al-hadist
Dalam hal ini, unsur-unsur tersebut
dibagi menjadi dua yaitu:
a)
Sanad
Sanad
secara bahasa berarti “bagian tanah yang tinggi” ,”puncak gunung”, “naik”,
“sandaran”.[2] Kata sanad berasal dari kata sanada,
yasnudu,sanadan,, secara bahasa berarti mu’tamad ( sandaran, tempat bersandar,
tempat berpegang, yang dipercaya, yang sah). Dikatakan demikian karena hadist
itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[3]
Menurut
istilah, sanad berarti :
الرواة الذي نقلوا المتن عن مصدر الأول سلسلة
“Rangkaian para
perawi hadist yang menyampaikan kepada materi ( matan ) hadist dari sumber
asalnya ( Rasulullah SAW ).
b)
Matan
Secara
etimologi “matan” berarti “bagian tanah yang keras dan tinggi”. Matan, Mutun,
Amtan ( bentuk plural) mempunyai pengertian” kuat” seperti “ Hablal-Matin ( tali yang kuat ). [4]
Menurut istilah , matan berarti :
ألفاظ
الحديث التي تتقوّم بها معانيه
“Lafal-lafal hadist yang
menunjukkan maksud hadist tersebut.”
Materi
( isi ) hadist disebut matan karena itulah tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai dalam sebuah hadist.
Perlu
ditegaskan disini,bahwa kritik positif dan negative atas hadist dimaksudkan
sebagai seleksi diterimanya suatu hadist, sekaligus sebagai penangkal dari
berbagai aktivitas para pemalsu hadist. Jadi kritik atas tidak ditujukan untuk
mengungkap kelemahan perkataan Muhammad SAW yang oleh al-quran dinyatakan
ma’shum , akan tetapi di arahkan pada telaah prosedur guna menetapkan
keabshahan suatu hadist, baik melalui kritik ekstenal ( sanad ) maupun internal
( matan ).
·
Unsur-unsur
kaidah Mayor kritik sanad dan matan[5]
Kaidah kritik sanad dan matan hadist dapat diketahui dari
pengertian istilah hadist shahih. Dari pengertian istilah tersebut , dapat di
urai unsure-unsur hadis shahih menjadi :
1. Sanad bersambung, 2. Periwayat bersifat adil, 3. Periwayat bersifat
dhabith,4. Dalam hadist itu tidak terdapat kejanggalan, 5. Dalam hadist itu
tidak terdapat cacat.
Ketiga
unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedang dua unsure
berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan. Persyaratan umum itu dapat diberi
istilah sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsrnay memiliki
syarat-syarat khusus; dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat
diberi istilah sebagai kaidah minor.
·
Unsur-unsur
kaidah minor kritik sanad[6]
Apabila masing-masing unsure kaidah mayor bagi bagi keshahihan
sanad disertakan unsure-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan
butir-butirnya sebagai berikut :
a.
Unsure
kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsure-unsur kaidah
minor : muttashil, marfu’, mahfuzh, dan bukan mu’alal;
b.
Unsur
kaidah mayor yang kedua , periwayat bersifat adil, mengandung unsure-unsur
kaidah minor : beragama islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama islam;
dan memelihara muruah;
c.
Unsur
kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat dhabith dan atau adhbath,
mengandung unsure-unsur kaidah minor : hafal dengan baik hadist yang
diriwayatkannya;mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadistyang dihafalnya
kepada orang lain; terhindar dari syudzudz; dan terhindar dari illat.
Dengan
acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad
dilaksanakan. sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka
penelitian akan menghasilakan kualitas
sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.
·
Unsur-unsur
kaidah minor kritik matan
Adapun tolak ukur penelitian matan yang telah dikemukakan oleh
ulama tidaklah seragam. Al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H = 1072 M ) menjelaskan
bahwa matan hadist yang maqbul ( diterima sebagai hujjah,pen.) haruslah : 1.
Tidak betentangan dengan akal yang sehat; 2. Tidak bertentangan dengan hukum
al-quran yang telah muhakam; 3. Tidak bertentangan dengan hadist muttawatir; 4.
Tidak bertentangan dengan amalyang telah menjadi kesepakatan ulama’ masa
lalu ( ulama’ salaf ) ; 5. Tidak
bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; 6. Tidak bertentangan dengan hadist
yang ahadyang kualitas kshahihan nya lebih kuat.
Shalah
al-din al-Adlabi mengemukakan bahwa pokok-pokok tolak ukur penelitian ke
shahihan matan ada empat macam, yakni : 1. Tidak bertentangan dengan petunjuk
Al-quran; 2. Tidak bertentangan dengan hadist yang kualitasnyalebih kuat; 3.
Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah; 4. Susunan
pernyataannya menunjukkan cir-ciri sabda kenabian. Tolak ukur tersebut masih
bersifat globaldan masih dimungkinkan untuk dikembangkan.
Jadi, menurut
imam al-Nawawi (w.676 H= 1277 M ) menyatakan bahwa hubungan hadist dengan
sanadnya semisal hubungan hewan dengan kakinya. Jadi, penelitian matan barulah
bermanfaat bila sanad hadist yang bersangkutan memenuhi syarat untuk hujjah.
Bila sanad cacat berat, maka matan tidak perlu diteliti sebab tidak akan
bermanfaat untuk hujjah.
2.4 Standarisasi Kritik hadist
·
Kritik
Sanad ( eksternal )
Kritik eksternal
merupakan telaah atau prosedur periwayatan sanad dari sejumlah rawi yang sacara
runtut menyampaikan matan hingga rawi terakhir. Keabshahan suatu sanad diukur
dengan lima krteria:
a)
Rangakaian
sanad ( perawi hadist ) yang bersambung ( muttasil )
Maksudnya
adalah tiap rawi hadist terebut menerima hadist dari rawi terdekat sebelumnya.
Keterputusan sanad dan ketidaklayakannya akan mengakibatkan matan yang
dibawakannya tertolak.
Adapun
tatacara yang harus ditempuh untuk mengetahui ke-muttasilan-nya sanad adalah
sbb:
a.
Mencatat
semua rawi dalam sanad tersebut
b.
Mempelajari
biografi dan aktivitas keilmuan dari setiap rawi.
c.
Meneliti
kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dengan rawi terdekat dalam sanad.
Apakah kata-kata yang dipakai berupa haddastsana, akhbarana, dan lain-lain.
Sedangkan
ketidak-muttasil-an suatu sanad dimungkinkan oleh beberapa hal sebagai berikut
:
a.
Gugurnya
sanad , baik ditingkat tabi’in ( mu’allaq ) , maupun sahabat (mursal) , dengan
dua atau lebih gugurnya rawi secara berurutan (mu’dhal) , ataupun tidak
berurutan (mun-qhat’i).
b.
Adanya
bukti bahwa rawi yang menerima hadist tidak pernah berkunjung atau bertemu
ketempat orang yang menyampaikan hadist itu kepadanya, bahkan dalam kasus lain
penyampai hadist telah meninggal dunia sewaktu penerima hadist belum lahir. Kajian kasus ini memerlukan
penguasaan kalender lahir dan wafatnya rawi, daerah yang pernah dikunjungi dan
ilmu thabaqhat.
b)
Adil-nya
Rawi
Adil-nya
rawi menurut al-Khathib al-Baghdadi tercermin dalam kemantapan beragamanya,
sekaligus terhindar dari segala bentuk kefasikan , dan rendahnya muruah.
Adapun
kriteria yang digunakan untuk menetapkan ke’adilan rawi adalah berdasarkan :
a.
Popularitas
keutamaan dan kemuliaannya dikalangan ulama’ hadist.
b.
Penilaian
dari para kritikus rawi yang berisi pengungkapan terhadap kelebihan dan
kekurangan yang ada pada rawi tersebut.
c.
Penerapan
kaidah al-jarh wa ta’dil yang dipakai ketika para kritikus rawi tidak sepakat
dalam menilai seorang rawi.
Jadi
, dengan demikian penetapan ka’adilan rawi hadist diperlukan kesaksian dari
para ulama’.
c)
Dhabit-nya
Rawi
Dhabit-nya
rawi dapat diketahui melalui kekuatan ingatannya atau periwayatannya melalui
hafalan dan kecermatan dalam tulisan dan kearsipan untuk periwayatan hadist
melaui tulisan. Ke-Dhabit-an nya ini diperlukan untuk menghindari kekeliruan
dan prasangka tertentu terhadap hadist.
Guna
menetapkan ke-Dhabit-an seorang rawi hadist, maka cara yang ditempuh adalah
sebagai berikut :
a.
Berdasarkan
kesaksian ulama’.
b.
Berdasarkan
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh rawi lain yang sudah
dikenal ke-dhabitannya. Tingkat
kesesuaian ini mungkin hanya sampai ketingkat makna da harfiah saja..
d)
Keterhindaran
isnad dari syadz
Tidak
ada kejanggalan ( syadz ) dalam matannya. Yang dimaksud dengan syaz adalah
periwayatan orang yang tsiqoh bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih
tsiqoh ( autsaq minhu ).
Keadaan
syadz suatu hadist dapat diketahui apabila ditempuh beberapa cara dibawah ini :
a.
Semua
sanad yang mengambil matan hadist yang pokok masalahnya sama dikumpulkan
menjadi satu, dan kemudian diperbandingkan.
b.
Para
rawi pada seluruh sanad diteliti
kualitasnya.
c.
Apabila
seluruh rawi tsiqoh dan ternayata ada seorang rawi yang sanadnya menyalahi
sanad lainya , maka sanad yang menyalahi inilah yang dimasukkan dalam kategori
syadz, dan dikalahkan oleh sanad lainnya yang dinamakan sanad mahfuz.
e)
Keterhindaran
dari illat ( cacat )
Menurut
Ibnu ash-Shalah dan An-Nawawi bahwa pengertian ‘illat adalah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas suatu hadist. Keberadaan dan kehadiran ‘illat
tersebut bisa mengakibatkan tidak shahihnya suatu hadist.
Ulama’
hadist umumnya menyatakan ‘illat kebanyakan terjadi dan berbentuk :
a.
sanad
yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttasil dan mauquf.
b.
Sanad
yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata setelah diselidiki muttasil dan
mursal.
c.
Terjadi
percampuran hadist dengan bagian hadist lain.
d.
Terjadi
kesalahan dalam hal penyebutan rawi karena adanya rawi-rawi yang punya
kemiripan nama sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya tsiqoh.
Cacat
hadist ini dapat diketahui dengan cara kecerdasan seseorang, intuisi ( ilham )
, hafalan hadist yang banyak,mendalam pengetahuannya tentang berbagai
kedhabitan para rawi serta ahli dalam bidang sanad dan matan hadist.
·
Kritik
matan ( internal )
Kritik internal adalah kajian dan
pengujian atas keabshahan suatu matan hadist.
Untuk menentukan
keshahihan matan suatu hadist, maka para ulama’ telah mengadakan penelitian dan
kritik secara seksama terhadap matan hadist, sehingga mereka memberikan
kriteria bahwa hadist yang matannya shahih adalah hadist yang matannya memenuhi
kriteria – kriteria dibawah ini :
a.
Sempurnanya
formasi kata dan kalimat
Kehalusan
bahasa Muhammad SAW bukan saja teruji oleh kaidah bahasa, tetapi terseleksi
dalam pilhan kata-katanya , sehingga problema seksual pun beliau ungkapkan
dengan dan melalui keindahan dan kesopanan berbahasa.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar al-Ashqalani menyatakan standar lemahnya suatu kata terletak pada
makna yang dikandungnya dan bukan langsung pada kata dan redaksinya itu
sendiri.
b.
Kesempurnaan
makna
Makna
hadist seharusnya dan semestinya tidak bertentangan dengan potensi positif
manusia dan juga tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan penalaran logis
dan juga sunnatullah. Matan yang tidak memenuhi ketentuan diatas dapat dilihat
dalam contoh-contoh dibawah ini :
الباذنجان شفاء من كل داء
“
terong adalah obat segala macam penyakit “
النظر إلى الوجه الجميل عبادة
“
memandang wajah yang cantik adalah ibadah “
إن سفينة نوح طافت بالبيت سبعا وصلت عند المقامركعتين
“
Kapal Nabi Nuh thawaf dibaitullah tujuh putaran dan shalat dua rakaat di maqam
Ibrahim “.
c.
Sesuai
dengan Al-quran dan hadist mutawatir
Hadist
yang ditelaah dengan kritis analitis dapat tergolong shahih al-matanbila tidak
berlawanan dengan al-quran dan hadist mutawatir. Contoh matan hadist yang
berlawanan dengan al-quran adalah :
ولد الزنى لايدخل الجنة إلى سبعة أبناء
“
Anak zina tidak akan masuk surga sampai tujuh turunan “.
Yang
berlawanan dengan surat al-an’am : 164 :
لانزر وازرة وزر أخرى . ( الأنعام : 164 )
“
Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosaorang lain .”
Sedangkan
matan hadist yang bertentangan dengan hadist mutawatir adalah :
إذا حدثتم عنى بحديث يوافق الحق فخذوا به حدثت به أو لم أحدث
“
Jika kamu meriwayatkan sebuah hadist dariku yang sesuai dengan kebenaran maka
ambillah , baik aku memang menyatakannya atau tidak menyatakannya.”
Hal
ini bertentangan dengan sabda Nabi :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“ siapa
yang sengaja berdusta kepada ku maka bersiaplah menduduki tempatnya dineraka.”
d.
Sesuai
dengan fakta sejarah
Matan
suatu hadist dalam banyak hal perlu dikonfirmasikan dengan fakta sejarah. Matan
hadist yang menyalahi fakta sejarah digolongkan kedalam matan ghairu shahih.
Sebagai contoh riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menetapkan
pembayaran upeti atas penduduk Khaibar, sekaligus melenyapkan eksploitasi dan
perbudakan diantara mereka setelah perang Khaibar itu. Hal ini jelas menyalahi
fakta dan kenyataan sejarah, karena upeti ( jizyah ) baru diundangkan setelah
perang Tabuk yang terjadi dua tahun setelah perang Khaibar.
e.
Matan
hadist tidak syadz dan tidak ber’illat
Setelah
suatu hadist melewati dua pos sensor
yaitu aspek sanad dan aspek matan, maka nilai hadist tersebut tidak akan
lepas dari empat kemungkinan :
a.
Sanad
dan matan hadist bernilai shahih, sehingga hadist tersebut masuk dalam kelompok
hadis shahih.
b.
Sanad
dan matannya tidak shahih, sehingga hadist tersebut masuk dalam barisan hadist
ghairu shahih.
c.
Matan
hadisnya shahih sementara sanadnya tidak shahih, sehingga hadist versi ini
masuk dalam barisan hadist ghairu shahih.
d.
Sanadnya
shahih sedangkan matannya tidak shah, versi ini juga masuk kedalam kelompok
ghairu shahih.
2.5 Metodologi Kritik Hadist
·
Metodologi
Kritik Sanad
Untuk mengkritik sanad mempunyai dua cara
:
a.
Melalui
naskah-naskah yang telah disusun oleh ulama’ jarh wa ta’dil.
b.
Melalui
kemasyhurannya dikalangan ulama’-ulama’ hadist dan masyarakat, seperti Malik
bin Anas, Sofyan al-tsauri, Al-Auza’iy,laits bin sa’ad, imam-imam madzhab yang
empat dan ulama’-ulama’ lainnya.
Biasanya orang yang
mengkritik sanad , memiliki kriteria :
a.
Terpercaya
( amanah ) dan ikhlas dalam memutuskan hukum, karena mereka harus memaparkan
tentang keberadaan seorang perawi baik sisi negative ataupun positifnya.
b.
Teliti
dan cermat dalam mengambil keputusan.
c.
Berpegang
pada kode etik.
d.
Global
dalam ta’dil dan terinci dalam tajrih.
Adapun
bagi ulama’ yang melakukan kritik harus memenuhi persyaratan :
1.
alim
( berilmu )
2.
bertaqwa
3.
wara’
4.
jujur
5.
tidak
cacat
6.
tidak
panatik mazhab
7.
mengetahui
secara pasti dan mendalam orang yang dikritiknya.
·
Metodologi
Kritik Matan
Metode perbandingan dapat dipraktekkan
dengan beberapa cara, diantaranya :
a.
Perbandingan
antara hadist-hadist dari berbagai murid seorang guru ( syeikh ).
b.
Perbandingan
antara pernyataan –pernyataan dari seorang ulama’ yang dikeluarkan pada waktu
yang berlainan.
c.
Perbandingan
antara pembacaan lisann dengan dokumen tertulis.
d.
Perbandingan
antara hadist dengan ayat alquran yang
berkaitan.
Dalam
prakteknya metode perbandingan dapat juga diterapkan dalam beberapa cara :
a.
Perbandingan
antara hadist dengan al-quran.
b.
Perbandingan
antara beberapa riwayat ( jalur sanad ) dalam satu tema.
c.
Pembandingan
antara satu hadist dengan hadis yang lain yang terkesan kontradiktif.
d.
Perbandingan
antara matan (materi) hadist dengan fakta sejarah.
e.
Meneliti
matan hadist yang terdapat kerancuan bahasa dan pengertian yang jauh
menyimpang.
f.
Meneliti
hadist yang bertentangan dengan kaidah-kaidah lain yang yang telah ditetapkan.
g.
Menghindari
hadist yang mengandung kemunkaran dan hal-hal yang mustahil.
2.6 Kualitas Hadist dan
kehujjahannya
·
Macam-macam
kualitas hadist
Menurut Ibnu
Taimiyah (w.728 H / 1328 M ), ulama’ sebelum zaman imam Turmudzi membagi
kualitas hadist kepada shahih dan dhaif. Mulai imam Turmudzi , kualitas hadist
dibagi tiga , yakni shahih,hasan, dan dhaif.
Pendapat ibnu
Taimiyyah tersebut telah dikritik oleh ulama’. Alasannya ,istilah hasan telah
dikenal sebelum zaman Turmudzi. Kritik tersebut tidak kuat sebab yang dimaksud
oleh Ibnu Taimiyyah tampaknya bukanlah tentang dimulai dikenalnya istilah hasan
itu, melainkan tentang digunakannya istilah tersebut sebagai istilah yang baku
bagi salah satu kualitas hadist.
Tiga macam
kualitas hadist yang umum itu lalu dibagi lagi. Hadist shahih dibagi menjadi
shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Hadist shahih yang disebutkan terakhir
pada asalnya bukanlah hadist shahih, tetapi karena ada dukungan dalil lain yang
kuat, maka meningkat kualitasnya menjadi shahih. Untuk hadist hasan ,
pembagiannya adalah hasan li dzatih dan hasan li ghairih. Kualitas hasan yang
disebutkan terakhr pada asalnya adalah hadist dhaif tertentu lalu ada pendukung
dalil lain yang kuat. Untuk kualitas hadist yang dhaif, Ibnu hibban al-Busti
membaginya menjadi empat puluh Sembilan macam. Dengan demikian dapat difahami ,
mengapa hadist dhaif begitu banyak
jumlahnya sebab alternative letak kedhaifannya hadist sangat bervariasi, baik
dipersambungan sanad dan keadaan para periwayat maupun dimatan.
·
Kualitas
hadist ditentukan oleh hasil kritik sanad dan matan
Persyaratan yang
telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam menerima sebuah periwayatan ( hadist )
baik dari tinjauan sanad maupun matan
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Sebuah hadist tidak dapat dikatakan shahih hanya berdasarkan seleksi
sanad atau matan saja, keduanya berjalan secara bersamaan sebagaimana definisi
hadist :
ما
اتّصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علّة
“ Hadist shahih
adalah hadist yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh orang yang adil dan
dhabith seluruhnyadari awal sampai akhir sanad, serta selamat dari kejanggalan
( syadz ) dan cacat (‘illat )”.
Sekiranya kritik
matan dilakukan untuk kualitas sanad yang bagaimanapun juga , maka kemungkinan
hasil penelitian kualitas hadistnya adalah : ( 1 ) sanad-nya shahih dan
matannya shahih; ( 2 ) sanad-nya shahih dan matannya dhaif; ( 3 ) sanadnya
dhaif dan matannya shahih; ( 4 ) sanadnya dhaif dan matannya dhaif.
Dengan adanya beberapa kemungkinan kualitas
itu, maka yang disebut sebagai hadist shahih adalah hadist yang sanadnya shahih
dan matannya shahih. Dan hadist dhaif adalah hadist yang sanadnya dhaif dan
matannya dhaif. Untuk hadist yang sanadnya shahih tetapi matannya dhaif atau
sanad yang dhaif tetapi matannya shahih tidak disebut sebagai hadist shahih
ataupun hadist shahih. Istilah yang lazim dipakai , misalnya isnaduhu shahih wa
matnuhu dhaif atau isnaduhu dhaif wa matnuhu shahih.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
naqdul hadist atau kritik hadist merupakan upaya untuk menyeleksi
hadist agar dapat diketahui mana hadist yang
shahih dan mana hadist yang tidak shahih.
Daftar Pustaka
1.
Yaqub,
Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
2.
Sya’roni, [1] Usman.
OtentisitasHadist Menurut Ahli hadist dan Kaum sufi, hlm .9 ( Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008 ) cet. Ke-2.
3.
Abbas,
Hasjim. Kritik Matan Hadits.Yogyakarta: Teras, 2004
4.
Fudhaili, [1] Ahmad.
Perempuan di lembaran suci Kritik atas
hadis-hadis shohih, hlm.50 ( Jakarta Pusat: Kemenag RI ,2012 ) cet. Ke-1
5.
Ilyas,
Yunahar. Pengembangan pemikiran terhadap hadis, hlm.6 ( LPPI Yogyakarta:
1996.) cet. Ke-1
[2]
Ahmad Fudhaili, Perempuan di lembaran suci
Kritik atas hadis-hadis shohih, hlm.50 ( Jakarta Pusat: Kemenag RI
,2012 ) cet. Ke-1
[3]
Usman Sya’roni, OtentisitasHadist Menurut Ahli hadist dan Kaum sufi, hlm
.9 ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008 ) cet. Ke-2.
[4] Ahmad
Fudhaili, Perempuan di lembaran suci
Kritik atas hadis-hadis shohih, hlm.58 ( Jakarta Pusat: Kemenag RI
,2012 ) cet. Ke-1
[5]
Drs. Yunahar Ilyas,Lc. Pengembangan pemikiran terhadap hadis, hlm.6 (
LPPI Yogyakarta: 1996.) cet. Ke-1
tulisan ini sangat bermanfaat, khususnya bagi pengembangan nilainilai akademik
BalasHapusalhamdulillah, syukron 'alahusni timamik
BalasHapusizin ambil isi webnya buat presentasi kuliah, syukron
BalasHapustulisannya sangat bermanfaat, tapi bisa diberikan contoh dari mazhab Naqdh?
BalasHapus