Rabu, 12 Agustus 2015

Takhrijul hadits



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an, karena ia mempunyai peranan penting, terutama sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu validasi sebuah hadits harus menjadi perhatian. Hadits mempunyai tiga unsur penting yakni, sanad, matan dan perawi. Sebuah hadits belum dapat ditentukan apakah boleh diterima (maqbul) secara baik atau ditolak (mardud) sebelum keadaan sanadnya, apakah mereka muttashil ataukah munqathi’. Sanad berperan menentukan nilai hadits, karena sanad adalah matarantai para perawi yang mengantarkan sebuah matan. Sedangkan matan merupakan lafadh yang menunjuk pada isi sebuah hadits. Dari segi periwayatannya, posisi dan kondisi para perawi yang berderet dalam sanad sangat menentukan status sebuah hadits, apakah ia shahih, dla’if, atau lainnya. Dengan demikian ke-a’dalah-an, ke-tsiqoh-an dan ke-dlabith­-an setiap perawi sangat menentukn status hadits.
Di antara kita terkadang memperoleh atau menerima teks, baik dalam majalah maupun buku-buku agama bahkan dalam sebagian kitab karya ulama’ klasik, yang dinyatakan sebagi hadits tetapi tidak disertakan sanadnya bahkan tidak pula perawinya. Maka untuk memastikan apakah teks-teks tersebut benar merupakan hadits atau tidak, atau jika memang hadits maka perlu diketahui statusnya secara pasti, siapa perawinya dan siapa-siapa sanadnya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka teks tersebut harus diteliti atau dilacak, darimana teks tersebut diambil (menunjuk pada kitab sumbernya sekaligus siapa perawinya), dan bagaimana keadaan para perawi dalam sanad setelah ditemukan sanadnya. Hasilnya akan diketahui sumber teks (kitab dan penulis atau perawi), maupun sanadnya jika teks pun diketahui apakah sahih atau tidak. Pelacakan seperti itulah namanya penelitian hadits (takhrij al-hadits).

1.2  Rumusan Masalah
Ø  Apa pengertian “Takhrij Hadis” ?
Ø  Apa saja tujuan dan faedah takhrij hadis?
Ø  Bagaimana sejarah takhrij hadis?
Ø  Apa objek takhrij itu ?
Ø  Bagaimana metode takhrij hadis? Dan apa saja?
Ø  Apa saja kitab-kitab yang diperlukan dalam takhrij hadis? Sebutkan dan jelaskan!
Ø  Jelaskan langkah-langkah praktis penelitian hadis!

1.3  Tujuan
Ø  Untuk memahami pengertian takhrij hadis.
Ø  Untuk memahami tujuan maunpun faedah takhrij hadis.
Ø  Untuk mengetahui bagaimana sejarah takhrij hadis.
Ø  Untuk mengetahui dan memahami apa saja dan bagaimana metode takhrij hadis.
Ø  Untuk mengetahui apa saja kitab-kitab yang diperlukan dalam takhrij hadis.
Ø  Untuk mengetahui langkah-langkah praktis penelitian hadis.
1.4  Manfaat
Ø  Mengetahui dan memahami pengertian takhrij hadis.
Ø  Mengetahui dan memahami tujuan maunpun faedah takhrij hadis.
Ø  Mengetahui bagaimana sejarah takhrij hadis.
Ø  Mengetahui dan memahami apa saja dan bagaimana metode takhrij hadis.
Ø  Mengetahui apa saja kitab-kitab yang diperlukan dalam takhrij hadis.
Ø  Mengetahui langkah-langkah praktis penelitian hadis.
 BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Takhrij Hadis
            Ditinjau dari aspek kebahasaan takhrij memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الإخرج) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj (المخرج) artinya tempat keluar, dan akhrajal-hadis wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[1]
            Takhrij menurut istilah adalah,
التخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته سنده ببيان مرتبته عند الحاجة.
“Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan.” [2]
Takhrij menurtu istilah ahli hadis adalah memberikan informasi tentang tempat hadis pada sumber aslinya dengan penjelasan sanad dan derajatnya ketika diperlukan. Al-Manawi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi di atas, yaitu: menisbatkan (menyandarkan) hadis pada para perawi yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka dengan menyantumkan hukum dan kualitasnya.[3]
            Para muhaditsin mengartikan takhrij hadis sebagai berikut:
a.       Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
b.      Ulama’ mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
c.       “Mengeluarkan”, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakandalam kitab Fathul Mughits sebagai berikut, “Takhrij adalah seorang muhadits mengeluarkan hadis-hadis dari dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian, hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu.
d.      Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan para perawi penyusunnya.
e.       Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang di dalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad hadis tersebut.

Dari uraian definisi di atas, takhrij dapat dijelaskan sebagai berikut:
·         Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadis itu.
·         Mengemukakan asal-usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis, yang rangkaian sanadnya berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan rangkaian sanad gurunya, dan yang lainnya.
·         Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab yang di dalamnya dijelaskan metode periwayatnya dan sanad hadis-hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya. Dengan demikian, pentakhrij-an hadis penelusuran atau pencarian hadis dalam berbagai kitab hadis (sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan), baik menyangkut materi atau isi (matan), maupun jalur periwayatan (sanad) hadis yang dikemukakan.[4]
2.2 Tujuan dan Faedah Takhrij Hadis
a.       Tujuan Takhrij Hadis
            Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Di samping itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
            Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.[5]
b.      Faedah Takhrij Hadis
Ada beberapa faedah yang dapat kita ambil saat menggunakan takhrij hadis, di antaranya:
·         Mengetahui sumber-sumber hadis beserta perawi-perawinya.
·         Dapat menginventarisir sanad hadis sebanyak mungkin.
·         Mengetahui kondisi hadis yang sebenarnya, yaitu dengan melihat satu persatu hadis yang telah di takhrij.
·         Mengetahui kondisi sanad secara keseluruhan dari sisi bersambung dan terputusnya sanad.
·         Meningkatkan kualitas hadis dengan ditemukannya banyak sanad saat mentakhrij.
·         Mengetahui nama perawi dengan gelar dan julukannya secara jelas. Hal ini dapat menghindarkan kita dari kesalahan saat menghukumi seorang perawi akibat kesamaan atau kesamaran nama.
·         Mengetahui perbedaan lafadz dan tambah kurang kalimat dalam tiap hadis yang diriwayatkan.
·         Menjelaskan makna yang dirasa asing pada matan.
·         Mengetahui lafadz yang mudraj (ucapan perawi yang tersusup dalam teks hadis (matan)).[6]
Selain itu ada beberapa faedah lain dari takhrij hadis, yaitu:
·         Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian.
·         Dapat diketahui kuat dan tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain kekuatan periwayatan tidak bertambah.
·         Dapat ditemukan status hadis shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga, akan dapat diketahui istilah mutawatir, masyhur, aziz, atau ghorib-nya.
·         Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah maqbul (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadis tersebut mardud (ditolak).
·         Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.[7]
2.3 Sejarah Takhrij Hadis
            Para ulama’ salaf tidak pernah kesulitan untuk melacak hadis, karena mayoritas hadis sudah mereka hafal. Tidak sebatas matan dan sanadnya namun juga sumber tempat hadis tersebut diriwayatkan dan juga kualitas tiap-tiap hadis dengan penguasaan yang begitu rinci.
            Mereka tidak lagi membutuhkan buku untuk menemukan hadis, cukup dengan kembali pada hafalan-hafalan mereka yang begitu kuat. Sejalan dengan berlalunya waktu, hafalan generasi berikutnya sudah mulai memudar sehingga dibutuhkan sumber-sumber tertulis untuk memudahkan pelacakan informasi yang dibutuhkan.
            Dari sinilah kemudian dengan melihat kebutuhan yang begitu mendesak banyak ditulis buku-buku yang berkaitan dengan takhrij hadis untuk mempermudah menemukan hadis pada sumbernya dan dengan menjelaskan metodenya, serta menerangkan hukumnya dari yang shahih hingga yang dhoif.[8]
Ulama’ yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud Ath-Thahhan adalah Al-Khaththib Al-Baghdadi (W. 436 H). Kemudian, dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa Al-Hazimi (W. 548 H) dengan karyanya yang berjudul Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab. Ia men-takhrij kitab fiqih Syafi’ah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama’ lainnya, seperti Abu Al-Qasimi Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama’ ini hanya beberapa mahthuthah (manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab yang berupaya mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai ilmu agama.[9]
            Takhrij yang ditulis saat itu banyak terfokus pada takhrij hadis yang terdapat pada kitab-kitab tertentu, seperti:
o   Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab, karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi’i (W. 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi’i karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
o   Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibn al-Hajib,  karya Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (W. 744 H).
o   Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani, karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila’I (W. 762).
o   Dan lain sebagainya.[10]
2.4 Objek Takhrij
Objek yang menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad dan matan. Sanad sebagai unsur dari struktur hadits harus diteliti disamping banyak rijal yang terdapat dalam sanad mengundang kemungkinan untuk belum diterima haditsnya, juga secara realitas memang diantara para rijal dalam sanad hadits terkandang ada yang belum diketahui (majhul), misalnya terdapat unsur sanad yang hanya disebut dengan rajul (رجل), atau bahkan terkadang ada yang dilompati, misalnya setelah nama seorang tabi’in langsung dikatakan nabi, yang menunjukan sanadnya terjadi missing link atau infishal (انفصال). Apalagi sebuah hadits yang ditulis atau disampaikan tanpa sanad maupun perawi akhir.
Matan juga mesti diteliti lagi agar diperoleh keniscayaan bahwa redaksi atau teks yang ditemukan dari luar kitab hadits itu benar-benar merupakan hadits. Hal tersebut dilakukan karena berbagai alasan. Diantara satu dari sekian alasan meneliti matan adalah untuk menghindari pemalsuan hadits.[11]
2.5 Metode Takhrij Hadis
Dengan melihat proses mentakhrij yang digunakan oleh para muhaditsin dalam melacak hadis, ditemukan paling tidak terdapat lima metode takhrij yang dapat kita gunakan untuk mentakhrij hadis, yaitu:
1.      Takhrij dengan menggunakan awal kata dari hadis
Takhrij dengan menggunakan metode ini disyaratkan harus tahu awal kata dari hadis yang akan dicari. Jika awal katanya tidak diketahui maka proses pencarian hadis dengan metode ini tidak mungkin bisa dilakukan.
Jika awal kata sudah diketahui, maka langkah selanjutnya adalah melihat huruf pertama dari kata tersebut, demikian pula dengan huruf ke dua dan ke tiganya.
Misalnya hadis yang awal katanya berbunyi: من عشنا فليس منا  maka kita cari hadis itu pada huruf (entri) “mim” dan “nun” (من) kemudian “ghoin”, “syin” dan seterusnya seperti saat kita mencari kosa kata dalam kamus bahasa.
                        Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihan metode ini di antaranya, kita dapat melacak hadis dengan cepat jika sudah diketahui awal katanya. Adapun kekurangannya, jika terjadi perubahan sedikit saja pada awal kata kita tidak akan mungkin bisa menemukan hadis yang kita cari. Misalnya kita akan mencari hadis yang berbunyi إذا أتاكم tapi yang ingat لو جاءكم  maka hadis tersebut tidak akan ditemukan.
Kitab yang dapat digunakan untuk mentakhtrij hadis dengan metode ini antara lain : al-Jami’ al-Kabir dan al-Jami’ ash-Shoghir minal-Ahaadits al-Basyir an-Nadzir, karya Imam Jalaluddin asy-Suyuthi.
2.      Takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang digunakan dalam teks-teks hadis (ghorib/asing)
Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan memilih kosa kata mana yang akan kita gunakan sebagai kunci atau alat bantu untuk mencari hadis. Bisa dicari melalui kosa kata yang berbentuk isim maupun fi’il dengan berbagai pecahan tashrifnya. Adapun pencarian dengan huruf  tidak dapat dilakukan. Proses pencariannya seperti saat kita akan mencari ayat al-Qur’an dengan menggunakan kitab Fathu ar-Rahman.
Dalam pencarian hadis dengan metode ini diupayakan agar menggunakan kosa kata yang jarang dipakai dalam hadis agar pencarian dapat dilakukan dengan cepat dan fokus. Misalnya hadis yang berbunyi: إن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضى بما يصنع agar pelacakan dapat dilakukan lebih cepat maka kita pilih kata “أجنحتها” dalam entri “جنح”. Karena kosa kata ini relatif lebih sedikit digunakan ketimbang kosa kata lain seperti “الملائكة” atau “العلم”.
                        Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, 1) Dengan sebatas mengetahui salah satu kosa kata dalam hadis sudah dapat kita gunakan untuk mentakhrij. 2) Terdapat informasi rinci tentang nama kitab, bab, dan nomor hadis.
Kekurangannya, 1) Proses pencarian akan terasa sulit jika kita tidak dapat menemukan akar kata dari lafadz yang akan kita cari. 2) Hadis yang ditampilkan terkadang tidak sesuai secara persis dengan yang kita cari, jika terdapat pengurangan dan penambahan kata dalam matan.
Kitab yang digunakan mentakhrij dengan metode ini adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaadli al-Hadis an-Nawawi, berisi hadis-hadis dari sembilan kitab yang paling terkenal di antara kitab-kitab hadis, yaitu: Kutub as-Sitta, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, dan Musnad ad-Darimi.
3.      Takhrij dengan menggunakan perawi hadis pertama
Metode ini digunakan jika kita mengetahui nama perawi pertama yang meriwayatkan hadis tersebut. Perawi pertama bisa dari kalangan sahabat, jika hadisnya muttashil dan musnad, bisa juga tabi’in jika hadisnya mursal. Namun jika nama perawi hadisnya tidak diketahui maka metode ini tidak dapat digunakan untuk mentakhrij.
Misalnya hadis riwayat Imam Ahmad:
حدثنا يونس بن محمد, ثنا عبد الواحد بن زياد, ثنا محمد بن إسحاق عن داود بن الحصين عن واقد بن عبد الرحمن بن معاذ عن جابر قال : قال رسول الله ضلى الله عليه وسلم إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر منها ما يدعوه إلى نكاحها فايفعل.
Jika kita menemukan hadis dengan bentuk seperti ini, maka kita dapat melacak keberadaannya melalui perawi pertama, yang dalam hadis di atas adalah Jabir. Pencariannya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan susunan rawi, seperti kitab-kitab musnad.
Kitab yang digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini adalah kitab: musnad (kitab yang disusun berdasarkan perawi pertama), seperti musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
                        Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya lebih tepat dalam mendapatkan hadis yang dicari, karena langsung fokus pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang dimaksud. Adapun kekurangannya, tidak mungkin menggunakan cara ini jika tidak diketahui perawinya. Susunan semacam ini, terkadang membutuhkan kesabaran saat mencari hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang meriwayatkan banyak hadis, karena harus mencari satu persatu dari sekian banyak hadis riwayat perawi yang dimaksud.
4.      Takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadis
Takhrij dengan metode ini dituntut kecerdasan dan pegetahuan tentang fiqih hadis. Seorang pentakhrij diharuskan mampu memetakan hadis yang dicari sesuai dengan tema yang berkaitan dengan hadis yang dicari.
Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadis, maka bisa dibantu dalam takhrijnya dengan karya-karya hadis yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan menggunakan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.
                        Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, 1) Metode ini tidak menuntut keharusan mengetahui awal kata dari hadis, tidak juga pengetahuan tentang tashrif kosa kata, tidak pula pengetahuan tentang perawi pertama sebagaimana pada metode pertama, kedua, dan ketiga. Cukup dengan mengetahui makn yang terkandung dalam hadis tersebut. 2) Metode ini mengasah kecerdasan siswa atau peneliti saat berusaha menemukan makna yang terkandung dalam hadis yang hendak dicari. Dengan menggunakan cara ini berulang-ulang akan memberikan ketajaman dalam memahami fiqih hadis. 3) Metode ini juga akan memberikan informasi tentang hadis yang dicari dan hadis-hadis lain yang sesuai dengan topiknya, yang hal ini akan semakin membangkitkan motivasi pentakhrij.
Kekurangannya, 1) Jika makna yang terkandung tidak ditemukan, maka metode ini tidak dapat dilakukan. 2) Terkadang makna hadis yang dipahami penyusun berbeda dengan yang dipahami oleh pentakhrij sehingga hadis tidak dapat ditemukan.
5.      Takhrij dengan mengetahui sifat dan jenis hadis
Saat akan mentakhrij sebuah hadis, dapat kita gunakan salah satu dari metode-metode takhrij di atas. Adapun metode kelima ini memberikan nuansa baru. Jika dalam hadis yang akan kita cari nampak sifat yang jelas akan jenis hadis tersebut, maka sifat itu dapat digunakan sebagai patokan dalam mencari hadis.
            Para ulama’ telah mengklarifikasikan hadis-hadis Nabi dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan jenisnya. Bagi peneliti tidak akan kesulitan tatkala hendak melacak hadis jika sudah ditemukan jenis tersebut. Misalnya jika sudah diketahui bahwa hadis yang akan kita cari masuk kategori hadis mutawatir, maka kita tinggal melacak di kitab kumpulan hadis-hadis mutawatir, begitu pun seterusnya.
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, metode ini cukup mudah dan simple, karena kitab yang digunakan mentakhrij tidak banyak hingga melacaknya tidak terlalu sulit. Adapun kekurangannya, lebih dikarenakan minimnya kitab yang dimaksud hingga keleluasaan pelacakannya terbatasi.[12]
2.6 Kitab-kitab yang Diperlukan dalam Takhrij Hadis
Dalam melakukan takhrij hadis, kita memerlukan kitab-kitab yang berkaitan dengan takhrij hadis ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut.
a.       Hidayatul bari ila tartibi Ahadisil Bukhari
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rohman Ambar Al-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam Shahih Al-Bukhori.
b.      Mu’jam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Gariibu Minha atau Fuhris litartibi Ahaditsi Shahihi Muslim
Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke-5 dari kitab Shohih Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi.
c.       Miftahus Sahihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim.
d.      Al-Bugyatu fi Tartibi Ahaditsi Al-Hilyah
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq Al-Qammari. Kitab hadis tersebut memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim AL-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul Hilyatul Auliyain wathabaqatul Asfiyai.
e.       Al-Jami’us Shagir
Kitab ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi (w. 91 H). Kitab kamus hadis ini memuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disusun oleh As-Suyuthi juga, yakni kitab Jam’ul Jawami’i.
f.       Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzil Hadis Nabawi
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan adalah Dr. Arnold John Wensick (w. 939 H), seorang profesor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda.[13]
2.7 Langkah-langkah Praktis Penelitian Hadis
Langkah-langkah penelitian hadis meliputi penelitian sanad dan penelitian matan.
Ø  Penelitian Sanad dan Rawi Hadis
a.       Meneliti sanad dan rawi adalah takhrij
b.      Itibar, yaitu meyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, dan hadis tersebut pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang rawi saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada rawi lain atau tidak untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksud.
Langkah ini tidak dapat ditinggalkan sama sekali, mengingat sebelum melakukan penelitian terhadap karakteristik setiap rawi, perlu diketahui lebih dahulu rangkaian para perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis yang bersangkutan. Langkah ini dilakukan dengan membuat skema sanad.
c.       Meneliti nama para rawi yang tercantum dalam skema sanad (peneliti asma ar-ruwar). Langkah ini dilakukan dengan mencari nama secara lengkap yang mencakup nama, nisbat, kunyah, dan laqab setiap rawi dalam kitab-kitab Rijal al-Hadis, seperti kitab Tahdzib At-Tahdzib.
d.      Meneliti takhrij ar-ruwat, yaitu meneliti al-masyayikh wa al-talamidz (guru dan murid) dan al-mawalid wa al-wafayat (tahun kelahiran dan kematian). Dengan langkah ini dapat diketahui bersambung atau tidaknya sanad.
e.       Meneliti al-jarh wa at-ta’dil untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik dari segi aspek moral maupun aspek intelektualnya (keadilan dan ke-dhabit-an).
Ø  Penelitian Matan
Sebagai langkah terakhir adalah penelitian terhadap matan hadis, yaitu menganalisis matan untuk mengetahui kemungkinan adanya ‘illat dan syudzudz padanya. Langkah ini dapat dikatakan sebagai langkah yang paling berat dalam penelitian suatu hadis, baik teknik pelaksanaannya maupun aspek tanggung jawabnya. Hal itu karena kebanyakan pengamalan suatu hadis justru lebih bergantung pada hasil analisis matannya dari pada penelitian sanad.
Langkah ini memerlukan wawasan yang luas dan mendalam. Untuk itu, seorang peneliti dituntut untuk menguasai bahasa Arab dengan baik, menguasai kaidah-kaidah yang bersangkutan dengan tema matan hadis, memahami isi Al-Qur’an, baik tekstual maupun kontekstual, memahami prinsip-prinsip ajaran Islam, mengetahui metode istinbath, dan sebagainya.
Dengan memerhatikan hal-hal tersebut, insyaa Allah penarikan kesimpulan akan terhindar dari kekeliruan.[14]
 BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ditinjau dari aspek kebahasaan takhrij memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الإخرج) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj (المخرج) artinya tempat keluar, dan akhrajal-hadis wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Takhrij menurtu istilah ahli hadis adalah memberikan informasi tentang tempat hadis pada sumber aslinya dengan penjelasan sanad dan derajatnya ketika diperlukan. Al-Manawi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi di atas, yaitu: menisbatkan (menyandarkan) hadis pada para perawi yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka dengan menyantumkan hukum dan kualitasnya.
Takhrij hadist bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadist-hadist yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadist yang berlaku sehingga hadist tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
3.2 Kritik/Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan masukan atau saran dari teman-teman demi perbaikan karya tulis kami di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. 2008, “Ulumul Hadis”, Pustaka Setia, Bandung.
H.Zeid B. Smeer, Lc. M.A. 2008, “Ulumul Hadis”, UIN-Malang Press, Malang.



[1] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis praktis)”, hal: 177.
[2] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul Hadis”, hal:189.
[3] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis praktis)”, hal: 177.
[4] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul Hadis”, hal: 190-191.
[5] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul Hadis”, hal: 191.
[6] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis praktis)”, hal: 173.
[7] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul Hadis”, hal: 191.
[8] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis praktis)”, hal: 171-172.
[9] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul Hadis”, hal: 192-193.
[10] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis praktis)”, hal: 172.
[12] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis praktis)”, hal: 173-180.
[13] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul Hadis”, hal: 194-196.
[14] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul Hadis”, hal: 204-205.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar