BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an, karena ia
mempunyai peranan penting, terutama sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum. Oleh karena itu validasi sebuah hadits harus menjadi perhatian. Hadits
mempunyai tiga unsur penting yakni, sanad, matan dan perawi.
Sebuah hadits belum dapat ditentukan apakah boleh diterima (maqbul)
secara baik atau ditolak (mardud) sebelum keadaan sanadnya, apakah
mereka muttashil ataukah munqathi’. Sanad berperan menentukan
nilai hadits, karena sanad adalah matarantai para perawi yang mengantarkan
sebuah matan. Sedangkan matan merupakan lafadh yang menunjuk pada
isi sebuah hadits. Dari segi periwayatannya, posisi dan kondisi para perawi
yang berderet dalam sanad sangat menentukan status sebuah hadits, apakah ia shahih,
dla’if, atau lainnya. Dengan demikian ke-a’dalah-an, ke-tsiqoh-an
dan ke-dlabith-an setiap perawi sangat menentukn status hadits.
Di antara kita terkadang memperoleh atau menerima teks, baik dalam majalah
maupun buku-buku agama bahkan dalam sebagian kitab karya ulama’ klasik, yang
dinyatakan sebagi hadits tetapi tidak disertakan sanadnya bahkan tidak pula
perawinya. Maka untuk memastikan apakah teks-teks tersebut benar merupakan
hadits atau tidak, atau jika memang hadits maka perlu diketahui statusnya
secara pasti, siapa perawinya dan siapa-siapa sanadnya. Untuk mendapatkan hasil
yang maksimal maka teks tersebut harus diteliti atau dilacak, darimana teks
tersebut diambil (menunjuk pada kitab sumbernya sekaligus siapa perawinya), dan
bagaimana keadaan para perawi dalam sanad setelah ditemukan sanadnya. Hasilnya
akan diketahui sumber teks (kitab dan penulis atau perawi), maupun sanadnya
jika teks pun diketahui apakah sahih atau tidak. Pelacakan seperti itulah
namanya penelitian hadits (takhrij al-hadits).
1.2
Rumusan Masalah
Ø Apa pengertian “Takhrij
Hadis” ?
Ø Apa saja tujuan
dan faedah takhrij hadis?
Ø Bagaimana
sejarah takhrij hadis?
Ø Apa objek
takhrij itu ?
Ø Bagaimana
metode takhrij hadis? Dan apa saja?
Ø Apa saja
kitab-kitab yang diperlukan dalam takhrij hadis? Sebutkan dan jelaskan!
Ø Jelaskan
langkah-langkah praktis penelitian hadis!
1.3
Tujuan
Ø Untuk memahami
pengertian takhrij hadis.
Ø Untuk memahami
tujuan maunpun faedah takhrij hadis.
Ø Untuk
mengetahui bagaimana sejarah takhrij hadis.
Ø Untuk
mengetahui dan memahami apa saja dan bagaimana metode takhrij hadis.
Ø Untuk
mengetahui apa saja kitab-kitab yang diperlukan dalam takhrij hadis.
Ø Untuk
mengetahui langkah-langkah praktis penelitian hadis.
1.4
Manfaat
Ø Mengetahui dan
memahami pengertian takhrij hadis.
Ø Mengetahui dan
memahami tujuan maunpun faedah takhrij hadis.
Ø Mengetahui
bagaimana sejarah takhrij hadis.
Ø Mengetahui dan
memahami apa saja dan bagaimana metode takhrij hadis.
Ø Mengetahui apa
saja kitab-kitab yang diperlukan dalam takhrij hadis.
Ø Mengetahui
langkah-langkah praktis penelitian hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Takhrij Hadis
Ditinjau dari
aspek kebahasaan takhrij memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati di sini
adalah berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak
dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga
kata al-ikhraj (الإخرج) yang artinya menampakkan dan
memperlihatkannya. Dan al-makhraj (المخرج) artinya tempat keluar,
dan akhrajal-hadis wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan
hadis kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[1]
Takhrij
menurut istilah adalah,
التخريج
هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته سنده ببيان مرتبته عند
الحاجة.
“Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber
aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan.” [2]
Takhrij menurtu istilah ahli hadis adalah memberikan informasi
tentang tempat hadis pada sumber aslinya dengan penjelasan sanad dan derajatnya
ketika diperlukan. Al-Manawi memberikan definisi yang hampir sama dengan
definisi di atas, yaitu: menisbatkan (menyandarkan) hadis pada para perawi yang
meriwayatkan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka dengan menyantumkan
hukum dan kualitasnya.[3]
Para muhaditsin mengartikan takhrij
hadis sebagai berikut:
a.
Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para
periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode
periwayatan yang mereka tempuh.
b.
Ulama’ mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para
guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan
riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyusun kitab
atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
c.
“Mengeluarkan”, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan
meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakandalam kitab Fathul Mughits sebagai
berikut, “Takhrij adalah seorang muhadits mengeluarkan hadis-hadis dari
dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian, hadis
tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan
kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu.
d.
Dalalah, yaitu
menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab
sumber asli dengan menyebutkan para perawi penyusunnya.
e.
Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang
asli, yakni kitab yang di dalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya
masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad
hadis tersebut.
Dari uraian
definisi di atas, takhrij dapat dijelaskan sebagai berikut:
·
Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para
rawinya yang ada dalam sanad hadis itu.
·
Mengemukakan asal-usul hadis sambil dijelaskan sumber
pengambilannya dari berbagai kitab hadis, yang rangkaian sanadnya berdasarkan
riwayat yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan rangkaian sanad
gurunya, dan yang lainnya.
·
Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari
kitab-kitab yang di dalamnya dijelaskan metode periwayatnya dan sanad
hadis-hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya.
Dengan demikian, pentakhrij-an hadis penelusuran atau pencarian hadis
dalam berbagai kitab hadis (sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan),
baik menyangkut materi atau isi (matan), maupun jalur periwayatan (sanad) hadis
yang dikemukakan.[4]
2.2 Tujuan dan Faedah Takhrij Hadis
a.
Tujuan Takhrij Hadis
Ilmu takhrij
merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di
dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal.
Di samping itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh,
khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Takhrij hadis
bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan lainnya
adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini,
kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah
ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul
maupun kualitasnya.[5]
b.
Faedah Takhrij Hadis
Ada beberapa faedah yang dapat kita ambil saat menggunakan takhrij
hadis, di antaranya:
·
Mengetahui sumber-sumber hadis beserta perawi-perawinya.
·
Dapat menginventarisir sanad hadis sebanyak mungkin.
·
Mengetahui kondisi hadis yang sebenarnya, yaitu dengan melihat satu
persatu hadis yang telah di takhrij.
·
Mengetahui kondisi sanad secara keseluruhan dari sisi bersambung
dan terputusnya sanad.
·
Meningkatkan kualitas hadis dengan ditemukannya banyak sanad saat
mentakhrij.
·
Mengetahui nama perawi dengan gelar dan julukannya secara jelas.
Hal ini dapat menghindarkan kita dari kesalahan saat menghukumi seorang perawi
akibat kesamaan atau kesamaran nama.
·
Mengetahui perbedaan lafadz dan tambah kurang kalimat dalam tiap
hadis yang diriwayatkan.
·
Menjelaskan makna yang dirasa asing pada matan.
·
Mengetahui lafadz yang mudraj (ucapan perawi yang tersusup
dalam teks hadis (matan)).[6]
Selain itu ada beberapa faedah lain dari takhrij hadis, yaitu:
·
Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis
yang sedang menjadi topik kajian.
·
Dapat diketahui kuat dan tidaknya periwayatan akan menambah
kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain kekuatan
periwayatan tidak bertambah.
·
Dapat ditemukan status hadis shahih li dzatih atau shahih
li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga,
akan dapat diketahui istilah mutawatir, masyhur, aziz, atau ghorib-nya.
·
Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah
mengetahui bahwa hadis tersebut adalah maqbul (dapat diterima).
Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadis
tersebut mardud (ditolak).
·
Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal
dari Rasulullah SAW yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat
tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.[7]
2.3 Sejarah Takhrij Hadis
Para ulama’ salaf
tidak pernah kesulitan untuk melacak hadis, karena mayoritas hadis sudah mereka
hafal. Tidak sebatas matan dan sanadnya namun juga sumber tempat hadis tersebut
diriwayatkan dan juga kualitas tiap-tiap hadis dengan penguasaan yang begitu
rinci.
Mereka tidak lagi
membutuhkan buku untuk menemukan hadis, cukup dengan kembali pada
hafalan-hafalan mereka yang begitu kuat. Sejalan dengan berlalunya waktu,
hafalan generasi berikutnya sudah mulai memudar sehingga dibutuhkan
sumber-sumber tertulis untuk memudahkan pelacakan informasi yang dibutuhkan.
Dari sinilah
kemudian dengan melihat kebutuhan yang begitu mendesak banyak ditulis buku-buku
yang berkaitan dengan takhrij hadis untuk mempermudah menemukan hadis pada
sumbernya dan dengan menjelaskan metodenya, serta menerangkan hukumnya dari
yang shahih hingga yang dhoif.[8]
Ulama’ yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud
Ath-Thahhan adalah Al-Khaththib Al-Baghdadi (W. 436 H). Kemudian, dilakukan
pula oleh Muhammad bin Musa Al-Hazimi (W. 548 H) dengan karyanya yang berjudul Takhrij
Ahaadits Al-Muhadzdzab. Ia men-takhrij kitab fiqih Syafi’ah karya
Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama’ lainnya, seperti Abu Al-Qasimi
Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama’ ini hanya beberapa
mahthuthah (manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak
bermunculan kitab yang berupaya mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai ilmu
agama.[9]
Takhrij yang
ditulis saat itu banyak terfokus pada takhrij hadis yang terdapat pada
kitab-kitab tertentu, seperti:
o
Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab, karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi’i (W. 548 H). Dan
kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi’i
karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
o
Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibn al-Hajib, karya Muhammad bin Ahmad
Abdul-Hadi Al-Maqdisi (W. 744 H).
o
Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani, karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila’I (W. 762).
o
Dan lain sebagainya.[10]
2.4 Objek Takhrij
Objek yang menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad dan matan.
Sanad sebagai unsur dari struktur hadits harus diteliti disamping banyak rijal
yang terdapat dalam sanad mengundang kemungkinan untuk belum diterima
haditsnya, juga secara realitas memang diantara para rijal dalam sanad hadits
terkandang ada yang belum diketahui (majhul), misalnya terdapat unsur
sanad yang hanya disebut dengan rajul (رجل), atau bahkan terkadang ada yang
dilompati, misalnya setelah nama seorang tabi’in langsung dikatakan nabi, yang
menunjukan sanadnya terjadi missing link atau infishal (انفصال). Apalagi sebuah hadits yang
ditulis atau disampaikan tanpa sanad maupun perawi akhir.
Matan juga mesti
diteliti lagi agar diperoleh keniscayaan bahwa redaksi atau teks yang ditemukan
dari luar kitab hadits itu benar-benar merupakan hadits. Hal tersebut dilakukan
karena berbagai alasan. Diantara satu dari sekian alasan meneliti matan adalah
untuk menghindari pemalsuan hadits.[11]
2.5 Metode Takhrij Hadis
Dengan melihat proses mentakhrij yang digunakan oleh para muhaditsin
dalam melacak hadis, ditemukan paling tidak terdapat lima metode takhrij yang
dapat kita gunakan untuk mentakhrij hadis, yaitu:
1.
Takhrij dengan menggunakan awal kata dari hadis
Takhrij
dengan menggunakan metode ini disyaratkan harus tahu awal kata dari hadis yang
akan dicari. Jika awal katanya tidak diketahui maka proses pencarian hadis
dengan metode ini tidak mungkin bisa dilakukan.
Jika
awal kata sudah diketahui, maka langkah selanjutnya adalah melihat huruf
pertama dari kata tersebut, demikian pula dengan huruf ke dua dan ke tiganya.
Misalnya
hadis yang awal katanya berbunyi: من عشنا فليس منا maka kita cari hadis itu pada huruf (entri)
“mim” dan “nun” (من) kemudian “ghoin”, “syin” dan seterusnya
seperti saat kita mencari kosa kata dalam kamus bahasa.
Kelebihan dan
kekurangan metode ini
Kelebihan metode ini di antaranya, kita dapat melacak hadis dengan
cepat jika sudah diketahui awal katanya. Adapun kekurangannya, jika terjadi
perubahan sedikit saja pada awal kata kita tidak akan mungkin bisa menemukan
hadis yang kita cari. Misalnya kita akan mencari hadis yang berbunyi إذا أتاكم tapi yang ingat لو جاءكم maka hadis tersebut tidak akan ditemukan.
Kitab yang dapat digunakan untuk mentakhtrij hadis dengan metode
ini antara lain : al-Jami’ al-Kabir dan al-Jami’ ash-Shoghir minal-Ahaadits
al-Basyir an-Nadzir, karya Imam Jalaluddin asy-Suyuthi.
2.
Takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang digunakan dalam
teks-teks hadis (ghorib/asing)
Takhrij
dengan metode ini dapat dilakukan dengan memilih kosa kata mana yang akan kita
gunakan sebagai kunci atau alat bantu untuk mencari hadis. Bisa dicari melalui
kosa kata yang berbentuk isim maupun fi’il dengan berbagai
pecahan tashrifnya. Adapun pencarian dengan huruf tidak dapat dilakukan. Proses pencariannya
seperti saat kita akan mencari ayat al-Qur’an dengan menggunakan kitab Fathu
ar-Rahman.
Dalam
pencarian hadis dengan metode ini diupayakan agar menggunakan kosa kata yang
jarang dipakai dalam hadis agar pencarian dapat dilakukan dengan cepat dan fokus.
Misalnya hadis yang berbunyi: إن الملائكة لتضع أجنحتها
لطالب العلم رضى بما يصنع agar pelacakan dapat
dilakukan lebih cepat maka kita pilih kata “أجنحتها” dalam entri “جنح”. Karena kosa kata ini
relatif lebih sedikit digunakan ketimbang kosa kata lain seperti “الملائكة” atau “العلم”.
Kelebihan dan
kekurangan metode ini
Kelebihannya, 1) Dengan sebatas mengetahui salah satu kosa kata
dalam hadis sudah dapat kita gunakan untuk mentakhrij. 2) Terdapat informasi
rinci tentang nama kitab, bab, dan nomor hadis.
Kekurangannya, 1) Proses pencarian akan terasa sulit jika kita
tidak dapat menemukan akar kata dari lafadz yang akan kita cari. 2) Hadis yang
ditampilkan terkadang tidak sesuai secara persis dengan yang kita cari, jika
terdapat pengurangan dan penambahan kata dalam matan.
Kitab yang digunakan mentakhrij dengan metode ini adalah kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfaadli al-Hadis an-Nawawi, berisi hadis-hadis dari
sembilan kitab yang paling terkenal di antara kitab-kitab hadis, yaitu: Kutub
as-Sitta, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, dan Musnad ad-Darimi.
3.
Takhrij dengan menggunakan perawi hadis pertama
Metode
ini digunakan jika kita mengetahui nama perawi pertama yang meriwayatkan hadis
tersebut. Perawi pertama bisa dari kalangan sahabat, jika hadisnya muttashil
dan musnad, bisa juga tabi’in jika hadisnya mursal. Namun
jika nama perawi hadisnya tidak diketahui maka metode ini tidak dapat digunakan
untuk mentakhrij.
Misalnya hadis riwayat Imam Ahmad:
حدثنا يونس بن محمد, ثنا
عبد الواحد بن زياد, ثنا محمد بن إسحاق عن داود بن الحصين عن واقد بن عبد الرحمن
بن معاذ عن جابر قال : قال رسول الله ضلى الله عليه وسلم إذا خطب أحدكم المرأة فإن
استطاع أن ينظر منها ما يدعوه إلى نكاحها فايفعل.
Jika kita menemukan hadis dengan bentuk seperti ini, maka kita
dapat melacak keberadaannya melalui perawi pertama, yang dalam hadis di atas
adalah Jabir. Pencariannya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan
susunan rawi, seperti kitab-kitab musnad.
Kitab yang digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini adalah
kitab: musnad (kitab yang disusun berdasarkan perawi pertama), seperti
musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
Kelebihan
dan kekurangan metode ini
Kelebihannya lebih tepat dalam mendapatkan hadis yang dicari,
karena langsung fokus pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang dimaksud.
Adapun kekurangannya, tidak mungkin menggunakan cara ini jika tidak diketahui
perawinya. Susunan semacam ini, terkadang membutuhkan kesabaran saat mencari
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang meriwayatkan banyak hadis, karena
harus mencari satu persatu dari sekian banyak hadis riwayat perawi yang
dimaksud.
4.
Takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadis
Takhrij
dengan metode ini dituntut kecerdasan dan pegetahuan tentang fiqih hadis. Seorang
pentakhrij diharuskan mampu memetakan hadis yang dicari sesuai dengan tema yang
berkaitan dengan hadis yang dicari.
Jika
telah diketahui tema dan objek pembahasan hadis, maka bisa dibantu dalam
takhrijnya dengan karya-karya hadis yang disusun berdasarkan bab-bab dan
judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan menggunakan kitab Miftah Kunuz
As-Sunnah yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul
pembahasan.
Kelebihan dan
kekurangan metode ini
Kelebihannya, 1) Metode ini tidak menuntut keharusan mengetahui
awal kata dari hadis, tidak juga pengetahuan tentang tashrif kosa kata,
tidak pula pengetahuan tentang perawi pertama sebagaimana pada metode pertama,
kedua, dan ketiga. Cukup dengan mengetahui makn yang terkandung dalam hadis
tersebut. 2) Metode ini mengasah kecerdasan siswa atau peneliti saat berusaha
menemukan makna yang terkandung dalam hadis yang hendak dicari. Dengan
menggunakan cara ini berulang-ulang akan memberikan ketajaman dalam memahami
fiqih hadis. 3) Metode ini juga akan memberikan informasi tentang hadis yang
dicari dan hadis-hadis lain yang sesuai dengan topiknya, yang hal ini akan
semakin membangkitkan motivasi pentakhrij.
Kekurangannya, 1) Jika makna yang terkandung tidak ditemukan, maka
metode ini tidak dapat dilakukan. 2) Terkadang makna hadis yang dipahami
penyusun berbeda dengan yang dipahami oleh pentakhrij sehingga hadis tidak
dapat ditemukan.
5.
Takhrij dengan mengetahui sifat dan jenis hadis
Saat
akan mentakhrij sebuah hadis, dapat kita gunakan salah satu dari metode-metode
takhrij di atas. Adapun metode kelima ini memberikan nuansa baru. Jika dalam
hadis yang akan kita cari nampak sifat yang jelas akan jenis hadis tersebut,
maka sifat itu dapat digunakan sebagai patokan dalam mencari hadis.
Para ulama’ telah mengklarifikasikan
hadis-hadis Nabi dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan jenisnya. Bagi
peneliti tidak akan kesulitan tatkala hendak melacak hadis jika sudah ditemukan
jenis tersebut. Misalnya jika sudah diketahui bahwa hadis yang akan kita cari
masuk kategori hadis mutawatir, maka kita tinggal melacak di kitab kumpulan
hadis-hadis mutawatir, begitu pun seterusnya.
Kelebihan dan
kekurangan metode ini
Kelebihannya,
metode ini cukup mudah dan simple, karena kitab yang digunakan mentakhrij tidak
banyak hingga melacaknya tidak terlalu sulit. Adapun kekurangannya, lebih
dikarenakan minimnya kitab yang dimaksud hingga keleluasaan pelacakannya
terbatasi.[12]
2.6 Kitab-kitab yang Diperlukan dalam Takhrij Hadis
Dalam melakukan takhrij hadis, kita memerlukan kitab-kitab yang
berkaitan dengan takhrij hadis ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain
sebagai berikut.
a.
Hidayatul bari ila tartibi Ahadisil Bukhari
Penyusun
kitab ini adalah Abdur Rohman Ambar Al-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun
khusus untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam Shahih Al-Bukhori.
b.
Mu’jam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Gariibu Minha atau Fuhris litartibi Ahaditsi Shahihi Muslim
Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke-5 dari kitab Shohih
Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi.
c.
Miftahus Sahihain
Kitab
ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat
digunakan untuk mencari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim.
d.
Al-Bugyatu fi Tartibi Ahaditsi Al-Hilyah
Kitab
ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq
Al-Qammari. Kitab hadis tersebut memuat dan menerangkan hadis-hadis yang
tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim AL-Asabuni (w. 430 H) yang
berjudul Hilyatul Auliyain wathabaqatul Asfiyai.
e.
Al-Jami’us Shagir
Kitab
ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi (w. 91 H). Kitab kamus
hadis ini memuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis
yang disusun oleh As-Suyuthi juga, yakni kitab Jam’ul Jawami’i.
f.
Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzil Hadis Nabawi
Penyusun
kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim
yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan adalah Dr. Arnold John
Wensick (w. 939 H), seorang profesor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa Arab
di Universitas Leiden, negeri Belanda.[13]
2.7 Langkah-langkah Praktis Penelitian Hadis
Langkah-langkah penelitian hadis meliputi penelitian sanad dan
penelitian matan.
Ø Penelitian
Sanad dan Rawi Hadis
a.
Meneliti sanad dan rawi adalah takhrij
b.
Itibar, yaitu
meyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, dan hadis tersebut
pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang rawi saja, dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada rawi
lain atau tidak untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksud.
Langkah ini
tidak dapat ditinggalkan sama sekali, mengingat sebelum melakukan penelitian
terhadap karakteristik setiap rawi, perlu diketahui lebih dahulu rangkaian para
perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis yang bersangkutan. Langkah ini
dilakukan dengan membuat skema sanad.
c.
Meneliti nama para rawi yang tercantum dalam skema sanad (peneliti asma
ar-ruwar). Langkah ini dilakukan dengan mencari nama secara lengkap yang
mencakup nama, nisbat, kunyah, dan laqab setiap rawi dalam
kitab-kitab Rijal al-Hadis, seperti kitab Tahdzib At-Tahdzib.
d.
Meneliti takhrij ar-ruwat, yaitu meneliti al-masyayikh wa
al-talamidz (guru dan murid) dan al-mawalid wa al-wafayat (tahun
kelahiran dan kematian). Dengan langkah ini dapat diketahui bersambung atau
tidaknya sanad.
e.
Meneliti al-jarh wa at-ta’dil untuk mengetahui karakteristik
rawi yang bersangkutan, baik dari segi aspek moral maupun aspek intelektualnya
(keadilan dan ke-dhabit-an).
Ø Penelitian
Matan
Sebagai
langkah terakhir adalah penelitian terhadap matan hadis, yaitu menganalisis
matan untuk mengetahui kemungkinan adanya ‘illat dan syudzudz padanya.
Langkah ini dapat dikatakan sebagai langkah yang paling berat dalam penelitian
suatu hadis, baik teknik pelaksanaannya maupun aspek tanggung jawabnya. Hal itu
karena kebanyakan pengamalan suatu hadis justru lebih bergantung pada hasil
analisis matannya dari pada penelitian sanad.
Langkah
ini memerlukan wawasan yang luas dan mendalam. Untuk itu, seorang peneliti dituntut
untuk menguasai bahasa Arab dengan baik, menguasai kaidah-kaidah yang
bersangkutan dengan tema matan hadis, memahami isi Al-Qur’an, baik tekstual
maupun kontekstual, memahami prinsip-prinsip ajaran Islam, mengetahui metode istinbath,
dan sebagainya.
Dengan
memerhatikan hal-hal tersebut, insyaa Allah penarikan kesimpulan akan terhindar
dari kekeliruan.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ditinjau dari aspek kebahasaan takhrij memiliki beberapa makna.
Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak
dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga
kata al-ikhraj (الإخرج) yang artinya menampakkan dan
memperlihatkannya. Dan al-makhraj (المخرج) artinya tempat keluar,
dan akhrajal-hadis wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan
hadis kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Takhrij menurtu istilah ahli hadis adalah memberikan informasi
tentang tempat hadis pada sumber aslinya dengan penjelasan sanad dan derajatnya
ketika diperlukan. Al-Manawi memberikan definisi yang hampir sama dengan
definisi di atas, yaitu: menisbatkan (menyandarkan) hadis pada para perawi yang
meriwayatkan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka dengan menyantumkan
hukum dan kualitasnya.
Takhrij hadist bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij.
Tujuan lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut.
Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadist-hadist yang pengutipannya
memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadist yang berlaku sehingga hadist tersebut
menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
3.2 Kritik/Saran
Kami menyadari bahwa
makalah ini banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan masukan atau saran
dari teman-teman demi perbaikan karya tulis kami di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. 2008, “Ulumul
Hadis”, Pustaka Setia, Bandung.
H.Zeid B. Smeer, Lc. M.A. 2008, “Ulumul Hadis”, UIN-Malang Press, Malang.
[1] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis
praktis)”, hal: 177.
[2] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul
Hadis”, hal:189.
[3] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis
praktis)”, hal: 177.
[4] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul
Hadis”, hal: 190-191.
[5] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul
Hadis”, hal: 191.
[6] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis
praktis)”, hal: 173.
[7] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul
Hadis”, hal: 191.
[8] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis
praktis)”, hal: 171-172.
[9] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul
Hadis”, hal: 192-193.
[10] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis
praktis)”, hal: 172.
[12] H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. “Ulumul Hadis (pengantar studi hadis
praktis)”, hal: 173-180.
[13] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul
Hadis”, hal: 194-196.
[14] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. & Agus Suyadi, Lc. M.Ag. “Ulumul
Hadis”, hal: 204-205.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar