Selasa, 28 Juli 2015

Amar makruf dan nahi munkar



BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Amar makruf nahi munkar merupakan salah satu pilar ajaran islam yang sangat fundamental. Amar makruf nahi munkar ibarat dua sisi dari satu keping mata uang yang sama. Amar makruf nahi munkar mengandung anasir nahi munkar dan nahi munkar mengandung anasir amar makruf. Satu sama lain saling mengisi, melengkapi, mengukuhkan dan menyempurnakan eksistensinya. Aktifitas amar makruf niscaya diikuti dengan nahi munkar, sedangkan aktifitas nahi munkar niscaya di tindak lanjuti dengan amar makruf.
1.2     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian amar makruf dan nahi munkar?
2.      Apa saja urgensi amar makruf nahi munkar?
3.      Apa tujuan amar makruf nahi munkar?
4.      Apa saja tipe manusia dalam beramar makruf nahi munkar?
5.      Bagaiamana cara melakukan amar makruf?
6.      Bagaimana etika amar makruf dan nahi munkar?
1.3     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian amar makruf dan nahi munkar
2.      Untuk mengetahui macam-macam urgensi amar makruf nahi munkar
3.      Untuk mengetahui tujuan amar makruf nahi munkar
4.      Untuk mengetahui macam-macam tipe manusia dalam beramar makruf nahi munkar
5.      Untuk mengetahui cara melakukan amar makruf
6.      Untuk mengetahui etika amar makruf dan nahi munkar
1.4     Manfaat Penulisan
1.      Memberikan penjelasan tentang amar makruf dan nahi munkar
2.      Memberikan penjelasan tentang urgensi amar makruf nahi munkar
7.      Memberikan penjelasan tentang tujuan amar makruf nahi munkar
3.      Memberikan penjelasan tentang tipe manusia dalam beramar makruf nahi munkar
4.      Memberikan penjelasan tentang cara melakukan amar makruf
5.      Memberikan penjelasan tentang etika amar makruf dan nahi munkar

BAB II
PEMBAHASAN
1.1  Pengertian Amar Makruf Nahi Munkar
Istilah amar makruf nahi munkar terdiri dari empat kosakata. Amar makruf terdiri dari dua kosakata, yakni amar dan makruf. Amar berasal dari kata ‘amara-ya’muru-amran, artinya menyeluuruh, memerintahkan, mengajak, membebani sesuatu untuk dilakukan lawan kata naha-yanha-nahyan. Makruf dari akar kata ‘arafa-ya’rifu-ma’rufan, ‘alima-ya’lamu-‘ilman, artinya yang diketahui, dikenal, yang terkenal, masyhur, kebijakan, sesuatu yang diketahui kebaikannya dengan akal maupun syarak; lawan kata munkar.
Istilah nahi munkar juga terdiri dari dua kosa kata, yakni nahi dan munkar. Nahi dari kata nahi-yanha-nahyan, artinya melarang, mencegah, menghalangi, menghentikan; lawan kata ‘amara-ya’muru-amran. munkar dari akar kata nakara, ankara-yunkiru-munkaran artinya yang tak dikenal, perkara yang keji, munkar, tidak diterima, yang ditolak, yang dihukumi buruk oleh akal; lawan kata makruf. Amar makruf mengandung arti memerintahkan orang untuk beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan melaksanakan syariat-Nya.
1.2  Urgensi Amar Makruf Nahi Munkar
A.    Amar makruf nahi munkar sebagai keniscayaan
Ketergantungan manusia antar satu dan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat di dunia ini merupakan keniscayaan. Di awal muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun bahkan telah menyatakan bahwa manusia adalah “makhluk sosial”. Ibnu Khaldun membangun teori sosialnya ini berdasarkan begitu beragamnya kebutuhan manusia yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan adanya kerja sama dan interaksi sosial (mu’amalah) antar anak manusia.[1]  Dalam analisis Mustafa asy-syak’ah,[2] teori “makhluk sosial” Ibnu Khaldun yang dibangun karena kebutuhan individu-individu manusia untuk memenuhi hidupnya, sebenarnya bersetumpu pada konsep al-Qur’an tentang manusia sebagai khalifah dan pemakmur bumi (‘imaratul-ard).[3] Dalam kata-kata Ibnu Khaldun disebutkan, “jika kerja sama antar anak manusia dimotivasi oleh kebutuhan mereka dalam memenuhi kebutuhan makanan untuk konsumsi dan persenjataan untuk mempertahankan diri, hal ini memang telah menjadi kehendak dan ketetapan Allah untuk menjamin keberlangsungaan hidup manusia. Secara demikian, interaksi sosial adalah suatu keniscayaan bagi manusia yang bila diabaikan, spesies manusia akan punah dan tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah Allah yang memakmurkan bumi tidak akan berwujud”.[4]
            Sejalan dengan itu, menurut Yusuf al-Qardawiy, al-Qur’an menyatakan bahwa setiap individu muslim disamping memiliki tanggung jawab atas diri pribadinya (al-mas’uliyyah al-fardiyyah), juga memiliki tanggung jawab atas masyarakat dan lingkungannya (al-mas’uliyyah al-ijtima’iyyah). Oleh karenanya, setiap individu muslim yang diinginkan Islam tidak seharusnya hanya mementingkan kemaslahatan untuk dirinya pribadi, sementara ia bersikap acuh tak acuh tanpa berusaha mengajak orang lain untuk mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan dan mengingatkan serta menghindarkan mereka dari keburukan, dalam pandangan al-Qur’an, dampak negatifnya pada akhirnya akan menimpa diri manusia secara keseluruhan. Dalam hal ini al-Qur’an menyatakan,
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Abbas dalam salah satu riwayat yang dinukil Ibnu Kasir menyatakan, “Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk tidak membiarkan kemungkaran terjadi di tengah-tengah mereka karena akan menyebabkan turunnya azab keada mereka secra menyeluruh”. Riwayat Ibnu ‘Abbas ini sejalan dengan penjelasan Rasulallah sallallahu ‘alaihi wasallam,
إنّ الناس أذا رأوا الظالم فلم يأخذوا
Sesungguhnya manusia bila melihat kezaliman lalu tidak berusaha menghentikannya, maka Allah akan menimpakan siksaannya sevara umum. (Riwayat at-Tirmizy dari Abu Bakar)
B.     Amar Makruf Nahi Munkar Pilar Utama Islam
Jika “perintah” dan “larangan” yang termanifestasikan dalam bentuk amar makmur nahimunkar menjadi tuntutan kehidupan manusia, maka adalah wajar dan logis bila Al-Qur’an dan Sunah sebagai pedoman ilahi yang memuat sekumpulan “perintah” yang mesti diwujudkan (amar makruf) dan sejumlah “larangan” yang harus dihindari (nahi munkar) menempatkan amar makruf nahi munkar sebagai salah satu karakteristik yang paling menonjol pada diri Rasul-Nya, dimana karakteristik ini dalam salah satu ayat diletakkan bersama karakteristik-karakteristik dan fungsi-fungsi rasul yang lain. Dalam surah Al-A’raf/7 ayat 157 Allah subhanahu wata’ala berfirman,
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini menunjukkan bahwa kedudukan amar makruf begitu urgen karena menjadi alasan utama diutusnya rasul. Karakteristik dan fungsi mereka senantiasa mengajak umat manusia kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan, menjadi inti dari risalah yang harus disampaikan kepada umat manusia.[5]
            Karena itu pula, melalui Al-Qur’an, Allah menjadikan amar makmur nahi munkar ini sebagai salah satu karakteristik istimewa dari komunitas muslim yang benar-benar ingin mengikuti jejak Rasul sebagai uswatun hasanah mereka.
            Amar makruf nahi munkar merupakan ciri utama bagi masyarakat islam dan bagi individu anggota masyarakat tersebut, karena islam menghendaki mereka hanya baik untuk diri pribadi mereka sendiri, namun mengabaikan kebaikan kepada masyarakatnya. Individu-individu yang saleh untuk dirinya sendiri tapi tidak peduli dengan orang lain, dalam Al-Qur’an, tergolong orang-orang yang merugi. Sebagaimana Allah menjelaskan dalam Surah al-‘Asr/103, yang artinya:
Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebjikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (al-‘Asr/103: 1-3)
Surah ini menyatakan bahwa iman dan amal saleh belum cukup untuk memperoleh keselamatan dari kerugian dan kehancuran, kecuali mereka mau saling mengingatkan untuk melakukan kebenaran dan saling mewasiati untuk bersabar. Dengan kata lain, masyarakat yang baik dan beruntung adalah yang individu-individunya mau amar makruf nahi mungkar dalam kebenaran yang lahir dari keimanan dan amal saleh.[6]
C.     Peran dan Manfaat Amar Makruf Nahi Munkar
Sebagaimana dikemukakan diatas, peran amar makruf nahi mungkar sangatlah penting dan menjadi pilar utama dalam Islam. Penegakan amar makruf nahi mungkar yang dilakukan secara benar dan sesuai dengan tuntutan Islam adalah benteng yang kokoh untuk menjaga, melindungi, memelihara, bahkan meningkatkan kualitas hidup di berbagai sektor kehidupan manusia, ibadah, muamalah, politik, ekonomi, budaya, keamanan, ilmu pengetahuan teknologi, industri, hasil bumi, kekayaan alam dan sektor kehidupan yang lain.
Peran penting amar makruf nahi mungkar ini semakin jelas jika kita mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang manfaat amar makruf nahi mungkar, antara lain:
1.      Pintu gerbang keberuntungan
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali-‘Imran/3: 104)
2.      Ciri umat terbaik
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali-‘Imran/3: 110)
3.      Sendi pembangunan akhlaq terpuji
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) perbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (Ali-‘Imran/3: 114)
4.      Tugas mulia para nabi
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (al-A’raf/7: 157)
5.      Penyebab turunnya rahmat
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah/9:71)
6.      Sifat orang-orang mukmin
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.(al-Hajj/22: 41)
7.      Kewajiban dari Allah
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. (Luqman/31: 17)
D.    Berbagai Kendala dalam Pelaksanaan Amar Makruf Nahi Munkar dan Antisipasinya
Dalam pelaksanaan amar makruf nahi munkar ada beberapa kendala yang biasanya ditemukan, baik yang bersifat intern atau ekstern. Diantara kendala intern dalam pelaksanaan amar makruf nahi munkar adalah lemahnya sumber daya manusia, kurangnya koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan evaluasi dan kendala ekstern meliputi: kondisi dan situasi yang berubah-ubah dan adanya provokasi atau hasutan dari luar
E.     Pelaksanaan Amar Makruf Nahi Munkar yang Efektif dan Efisien
Contoh pelaksanaan amar makruf nahi munkar yang paling efektif dan efisien, artinya memiliki hasil guna dan daya yang tinggi, ialah dakwah yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW. Dari segi komunikator dakwah yaitu Nabi sendiri yang tidak lain adalah contoh teladan bagi semua manusia. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an Surah al-Ahzab/33: 21, dan Ali ‘Imran/3: 159.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab/33: 21)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali ‘Imran/3: 159).
Allah menerangkan bahwa pribadi Nabi adalah contoh teladan yang paling baik bagi kita semua muslim, baik kemantapan imannya, ketabahan dan kesabarannya, keyakinannya bahwa hasil perbuatannya bukan hanya karena kesungguhannya juga karena ketentuan Allah yang Maha Kuasa. Dan segala sesuatu yang dilakukannya hanya mengharap keridaan Allah.
1.3  Tujuan Amar Makruf Nahi Munkar
Para ulama islam sepakat, dari dulu hingga saat ini, sepakat bahwa amar makruf nahi munkar merupakan kewajiban agama yang harus ditegakkan. Bahkan menurut Imam asy-syaukany, termasuk kewajiban yang sangat utama dan menjadi salah satu pokok ajaran agama yang dengannya sistem dan tatanan islam dapat berjaya[7]. Kewajiban ini bukan hanya dibebankan pada umat islam, tetapi juga pada umat-umat terdahulu. sebagaimana diabadikan dalam alqur’an  melalui wasiat bijak, lukman berkata pada anaknya,
 يبني اقم الصلوة وأمر بلمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما اصاك  ان ذلك من عزم الامو
            wahai anakku! laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar  dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. (Lukman / 31: 17)
            kewajiban ini telah dijalankan dengan baik oleh para nabi dan rasul dalam upaya memurnikan ajaran tauhid dari segala bentuk syirik  dan membangun individu dan masyarakat yang mengabadikan nilai-nilai kebaikan. Jika ajaran agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul berisikan perintah dan larangan, maka yang diperintah itu adalah yang makruf dan yang dilarang itu pasti sesuatu yang munkar. Al-makruf adalah nama untuk semua perbuatan dan perkataan yang dinyatakan dan diketahui baik menurut akal dan agama. Sedangkan al-munkar adalah kebalikanya, yaitu setiap perbuatan yang dinilai jelek oleh akal sehat, atau dipandang buruk menurut agama. Oleh karenanya, menegakan amar makruf nahi munkar sebenarnya merupakan kewajiban agama yang tidak terpisahkan dalam upaya tegaknya ajaran agama.
A.    Mewujudkan dan Memelihara Maqosidul-Qur’an
            Kewajiban amar makruf nahi mungkar sangat terkait erat dengan tujuan yang ingin diwujudkan oleh Al-Qur’an melalui perintah dan larangan yang terdapat di dalamya, antara lain, sebagaimana dikemukakan oleh Yusu al-Qradawiy, yaitu:
1)      Menegakkan prinsip ajaran tauhid dan aqidah yang benar
2)      Menjaga kemuliaan dan hak-hak mendasar manusia
3)      Membimbing manusia untuk beribadah dan bertaqwa secara berkualitas
4)      Mengajak manusia untuk mesucikan jiwanya
5)      Mebangun keluarga bahagia
6)      Membangun masyarakat yang dapat dibanggakan oleh umat manusia dan
7)      Mengajak manusia kepada kehidupan yang harmonis[8]
  Amar makruf nahi munkar merupakan upaya mempersiapkan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk terwujudnya tujuan pokok ajaran al-qur’an diatas, yang juga menjadi tujuan ajaran para nabi dan rasul terdahulu. Ia juga menjadi sarana untuk mewujudkan cita-cita luhur agama untuk melindungi agama, jiwa, keturunan, harta dan kehormatan manusia. Secara umum, tujuan-tujuan tersebut ada yang bersifat individual, terkait manusia secara perorangan, dan ada yang bersifat kolektif, terkait dengan manusia sebagai anggota masyarakat.
B.     Mewujudkan umat terbaik (khoir umah)
            Didalam Al-Qur’an, Allah memberikan predikat kepada umat Nabi Muhammad SAW sebagai khoir umah, yaitu umat yang terbaik. Allah berfiman dalam surat ali imran/ 3:110.
كنتم خير أمة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف و تنهون عن المنكر و تؤمنون بالله ولو امن اهل الكتب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون واكثرهم الفسقون 
Kamu (umat islam) adalah umat tebaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik dari mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan meraka adalah orang-orang fasik. (Ali Imran/ 3:110)
            Suatu predikat yang sangat membanggakan. Mayoritas ulama tafsir memahami bahwa objek bicara pada kata “kuntum” bukan hanya para sahabat yang hidup dimasa Rasulullah saat Al-Qur’an turun dan dibacakan, tetapi melihat redaksinya yang bersifat umum dipahami objeknya adalah seluruh umat nabi Muhammad sepanjang zaman. Berdasarkan ayat di atas, predikat umat terbaik itu terkait erat dengan tiga hal: 1) ta’muruna bil-ma’ruf (selalu mengajak kepada kebaikan); 2) tanhauna ‘anil-mungkar (mencegah kemungkaran), dan; 3) tu’minuna billah (beriman kepada Allah).
            Dalam salah satu kaidah dinyatakan, penyebutan sebuah hukum (dalam hal ini khair umah) yang diiringi dengan penyebutan sifat yang terkait dengannya, menunjukkan bahwa sifat tersebut merupakan ‘illat (sebab/alasan) penetapan hukum  dimaksud. Dengan demikian, dalam konteks ayat di atas ketiga sifat tersebut merupakan ‘illat/sebab pemberian predikat khair ummah. Atau dengan kata lain, predikat keterbaikan itu akan diperoleh umat Nabi Muhammad SAW selama mereka memiliki kekuatan dan keunggulan sehingga dapat menebarkan kebaikan, mencegah segala bentuk kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar), serta memiliki keimanan yang berkualitas. Demikian menurut pakar tafsir, ar-Raziy[9]. Dalam sebuah riwayat at-Tabariy, ‘Umar bi al Khattab pernah mengatakan, “Barang siapa ingin menjadi bagian dari umat ini (umat nabi Muhammad) dengan predikat terbaik, maka terapkan tiga syarat yang ditetapkan Allah pada surah Ali ‘imran ayat di atas.”[10]
            Bila kemungkaran dibiarkan merajalela dalam sebuah masyarakat maka perlahan demi perlahan masyarakat tersebut akan mengalami kehancuran. Dalam salah satu hadis Rasulullah memberikan perumpamaan masyarakat yang tidak menegakkan amar makruf nahi munkar dengan sekelompok orang yang naik ke dalam sebuah kapal yang berlayar di lautan. Sebagian ada yang di bagian atas dan sebagian lainya dibawah. Yang berada di bawah jika ingin mengambil air akan melewati mereka yang di atas. Agar tidak mengganggu yang di atas mereka yang berada di bawah berinisiatif untuk melubangi bagian bawah kapal. Jika tindakan itu dibiarkan maka akan mengancam keselamatan semua penumpang kapal, dan jika dicegah maka akan selamatlah mereka ( Riwayat al-Bukhariy dari nu’man al Basyir).[11]
            Tindakan membiaran kemungkaran dan tidak menegakkan al ma’ruf akan mendatangkan kemurkaan Allah, bahkan seperti dinyatakan dalam salah satu hadis Rasulullah juga akan menghalangi keterkabulan suatu do’a yang dipanjatkan suatu hamba. Rasulullah SAW bersabda,
والذي نفسي بيده, لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكر, أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عقابا من عنده, ثم لتدعنه فلا يستجيب لكم, (رواه أحمد والترمذي عن حذيفة بن اليمان)[12]
Demi tuhan yang jiwaku berada ditangan-nya, sungguh kalian harus senantiasa memerintahkan kema’rufan dan mencegah dari kemunkaran, atau (kalau tidak maka) Allah sungguh akan mengirim dari sisi-nya azab kepada kalian, sehingga meskipun kalian berdoa dengan sungguh-sungguh namun dia tidak akan berkenan mengabulkannya. ( Riwayat Ahmad dan at-Tirmiziy dari Huzaifah bin al-Yaman)
Amar makruf nahi munkar bukanlah tugas yang ringan, karena itu memerlukan motivasi keagamaan yang tinggi. Penyebutan sifat selalu beriman kepada Allah (tu’minuna billah) setelah amar makruf nahi munkar pada ayat di atas menunjukkan bahwa kualitas keimanan akan menentukan kualitas penegakan  amar makruf nahi munkar yang menjadi benteng pertahanan agama dan keutuhan umat.
1.4  Tipe Manusia Dalam Beramar Makruf Nahi Munkar
Ada tiga tipe manusia:
1.      Manusia yang hanya bertindak atas dasar hawa nafsunya. Mereka hanya rela terhadap sesuatu yang sesuai dengan seleranya, dan tidak menaruh benci/marah kecuali kepada yang mereka anggap haram. Jika seseorang menyodorkan sesuatu yang sesuai dengan seleranya, baik itu halal maupun haram, maka segera lenyap kemungkarannya dan ia pun merasa suka.  Mereka hidup diliputi dengan kemungkaran yang menolak segala bentuk pelakunya dicerca dan dimurkai. Ia pun menjadi pelaku kemungkaran itu, menjadi patner dan pendukungnya, serta menganggap musuh bagi siapa saja yang mencegah dan menentangnya. Hal semacam ini banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat, bahkan dalam jumlah besar yang tak terhitung. Penyebabnya adalah zalim dan jahil. Orang macam ini tidak akan mampu berbuat adil, bahkan lebih cenderung pada kezaliman.
2.      Kelompok manusia yang melaksanakan syariat islam secara benar dan ikhlas karena Allah serta senantiasa mewujudkan kebaikan. Mereka itu telah terbiasa melakukan hal demikian sehingga mampu bersabar menghadapi berbagai penderitaan. Orang-orang seperti inilah yang dikatakan beriman dan beramal saleh, termasuk umat terbaik yang ditampilkan di tengah-tengah umat manusia. Mereka itu menegakkan amar makruf nahi munkar serta beriman kepada Allah Swt.
3.      Model manusia yang berdiri di tengah-tengah kedua sikap di atas. Sebagian besar mereka itu adalah orang mukmin yang mempunyai kesadaran diniah dan dorongan nafsu. Ada dorongan untuk taat dan ada pula ke arah maksiat. Sekali tempo cenderung lebih kuat ke arah kebaikan (diniah), dalam kesempatan lain kecenderungan kearah nafsu lebih kuat.
            Pembagian nafsu, ada tiga: nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mutmainnah. Maka model manusia pertama tadi dapat disamakan dengan pengikut nafsu amarah yang selalu menyuruh pada kejahatan. Model kedua adalah pengikut nafsu mutmainnah, yang dinyatakan dalam Al-qur’an.
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridai-Nya. masuklah kedalam kelompok hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam sorga-Ku”. (Al-Fajr: 27-30).
Sedang model ketiga, adalah pengikut nafsu lawwamah, yaitu orang yang berbuat dosa lalu mencelanya. Perbuatan mereka berubah-ubah, suatu tempo demikian dan di lain kesempatan lain lagi. Kadang kala melakukan amal saleh dan terkadang berkecimpung pula dalam perbuatan tercela.
            Oleh karena itu, umat setelah wafatnya Rasulullah Saw, yaitu pada zaman Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra, disuruh mengikuti kedua pemimpin itu. Begitu pesan Rasulullah Saw seperti dinyatakan dalam hadisnya.
اقتدوا بالذين من بعدي : ابى بكر وعمر
“Ikutilah dua orang sesudahku, Abu bakar dan Umar”. (HR. Abu Daud, dalam sunnahnya jilid 5 hal 13; dalam sunan Annasa’i jilid 5 hal.44).
            Mereka itu masih dekat dengan masa kerasulan, memiliki iman yang jauh lebih baik dan amalan-amalan saleh, iman-iman mereka sangat teguh menegakkan kebenaran dan kewajiban, dan lebih tuma’ninah, mereka jauh dari ajang fitnah. Mereka itu termasuk kelompok manusia kedua.
1.5  Cara Melakukan Amar Makruf
A.    Berkata dan Bersikap Lembut
Salah satu cara yang paling pertama dan utama ditanamkan  dalam diri setiap pelaku amar ma’ruf adalah berkata dan bersikap lembut. Sebab kebenaran akan ditolak jika si pelaku amar ma’ruf melakukannya dengan cara kasar dan keras. Sebaimana firman-Nya
فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك , فاعف عنهم واستغفرلهم وشاورهم في الأمر , فإذا عزمت فتوكل علي الله إن الله يحب المتوكلين.
B.     Menggunakan Metode yang Tepat 
   Amar maruf akan bisa tercapai dengan baik, jika si pelaku mampu mengomunikasikannya dengan baik. Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan term yang menunjukkan cara dalam beramar ma’ruf di antaranya:
1.      Qaul layyin
      Di dalam Al-Qur’an, kata ini hanya ditemukan sekali saja, yakni pada Surah Taha /20:44,
اذهبا الى فرعون انه طغى, فقولا له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى
Pergilah kamu berdua kepada fir’aun , kareana dia benar-benar telah melampui batas , maka bicarah kamu berdua kepadanya (fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar dan takut. (Taha / 20: 43-44)
     Qaul layyin adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh dimana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang lain yang diajak bicara tersebut.
     Demikian ini, karena berdakwah pada dasarnya mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa atau unjuk kekuatan. Hanya saja, yang harus dipahami dari term layyin dalam konteks perkataan adalah bahwa perkataan tersebut bukan berarti kehilangan ketegasan, akan tetapi perkataan yang disampaikan dengan penuh keyakinan yang akan menggetarkan jiwa orang-orang yang sombong yang berada di sekeliling penguasa yang tiran.
2. Qaul balig
Di dalam Al-Qur’an term qaul balig hanya disebutkan sekali yaitu an-Nisa’/4:62-63
فكيف اذا اصلبتهم مصيبة بما قدمت ايدهم ثم جاء وك يحلفون بالله ان اردنا الا احسانا وتوفيقا, اولئك الذين يعلم الله ما في قلوبهم فاعرض عنهم وغظهم وقل لهم في انفسهم قولا بليغا
      Qaul balig adalah perkataan yang mengandung tiga unsur utama, yaitu: (1) bahasanya tepat (2) sesuai dengan yang dikehendaki (3) isi perkataannya merupakan suatu kebenaran. Sedangkan term balig dalam konteks beramar makruf bisa dipahami bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak (mad’uw).
      Secara lebih rinci, para pakar sastra, seperti dikutip M Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus yang memungkinkan suatu pesan dianggap balig
a.       Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan
b.      Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
c.       Pilihan kosakatanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar dan mudah diucapkan
d.      Kesesuian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
e.       Kesesuain dengan tata bahasa
3. Qaul karim
      Term ini ditemukan di dalam Al-Qur’an hanya sekali, yaitu Surah al-Isra’/ 17:23
وقضى ربك الا تعبدوا الا اياه وبالوالدين احسانا, اما يبلغن عندك الكبر احدهما او كلهما فلا تقل لهما اف ولا تنهر هما وقل لهما قولا كريما
      Ayat di atas menginformasikan, ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada orang  tua.  Berkaitan dengan inilah, Al-Qur’an memberikan petunjuk bagaimana cara beramar ma’ruf kepada kedua orang tua, terutama sekali di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Bahwa, orang tua harus tetap berada dalam kemuliannya. Dalam hal ini, Al-Qur’an menggunakan term karim, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karim , artinya Allah Maha Pemurah, juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keseluruhan akhlaq.  Artinya, seorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya.
4. Qaul ma’ruf
      Di dalam Al-Qur’an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu surah al- baqarah/2:235 (dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya), an-nisa’/4:5 (yaitu dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak belum mampu memanfaatkan secara benar) dan 8, al-ahzab/32:33. (dalam konteks istri-istri Nabi SAW).
      Menurut Al-Isfahany, term ma’ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara’. Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma’ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.
      Sedangkan menurut ar-Raziy menjelaskan bahwa qaul ma’ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap kedalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (shafih) perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu, perkataan yang tidak menyakitkan dan ynag sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.
5. Qaul maisur
Di dalam Al-Qur’an hanya ditemukan sekali, yaitu surah al- Isra’ /17:28.
واما تعرضن عنهم ابتغاء رحمة من ربك ترجوها فقل لهم قولا ميسورا
Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepad mereka ucapan yang lemah lembut.
Pada prinsipnya, qaul maisur adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut dan melegakan. Ada juga yang menjelaskan, qaul maisur adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada.
6. Qaul sadid
Di dalam Al-Qur’an qaul sadid disebutkan dua kali, surah an-Nisa’/4:9 dan al-Ahzab/33:70
وليخش الذين تركوا من خلفهم درية ضعفا خافو عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa dengan tutur kata yang benar ( an-Nisa’/4:9)
      Berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat sasaran. Perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain. Pembicaraan yang tepat sasaran dan logis, perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain, perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang di ucapkan dengan apa yang ada dalam hatinya.
      Dengan demikian, jika seseorang melakukan amar makruf seharusnya dengan menggunakan kata-kata yang tepat sasaran, logis tidak menyakitkan dan memiliki kesesuaian antara apa yang di ucapkan dengan apa yang ada dalam hati.
7. Qaul zur
Di dalam Al-Qur’an, qaul zur hanya di temukan sekali. Surah al-Hajj/22:3
ذلك ومن يعظم حرمت الله فهو خير له عند ربه, واحلت لكم الانعام الا ما يتلى عليكم فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول االزر
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah ( hurumat) maka itu lebih baik baginya di sisi tuhannya. Dan di halalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta ( al-Hajj/22:30)
      Asal kata zur adalah menyimpang/melenceng, perkataan zur juga di maknai kizb (dusta), karena perkataan tersebut menyimpang atau menyimpang dari yang semestinya atau yang di tuju.
      Ada banyak penafsiran terkait dengan term qaul zur, pertama mengharamkan yang halal atau sebaliknya, kedua, saksi palsu, ketiga, perkataan dusta (al- kizb) dan kebohongan/dibuat-buat. 
C.     Mulai dari Diri Sendiri
            Salah satu hal yang perlu di perhatikan bagi para pelaku amar makruf adalah harus dimulai dari diri sendiri. Ada sebuah ungkapan Arab yang cukup dikenalابدأ بنفسك (mulailah dari dirimu sendiri). Dalam kaitan ini, Allah memperingatkan.
يايهاالذين امنوا لم تقولون مالا تفعلون كبر مقتا عند الله ان تقولو مالا تفعلون
Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (as-shaf/61:2-3)    
1.6  Etika Melakukan Amar Makruf Nahi Munkar
     Secara umum, etika dalam dakwah melakukan amar makruf nahi munkar adalah mengikuti etika yag telah digariskan oleh Al-Qur’an dan hadis, yaitu melakukan tindakan-tindakan terpuji dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang tercela. Namun secara khusus terdapat beberapa etika yang merupakan rambu-rambu etis juru dakwah, agar dapat menghasilkan dakwah yang bersifat responsif, antara lain:
1.      Satu kata dengan perbuatan
Para dai hendaklah satu kata dengan perbuatannya, yakni apa saja yang ia perintahkan untuk melakukan kebaikan kepada masyarakat, harus ia kerjakan juga dan apa saja perbuatan munkar yang ia cegah, harus ia tinggalkan pula. Tanpa mengikuti hal itu, sulit dakwahnya akan berhasil. Kode etik ini berdasarkan firman Allah dalam surah as-Saff/ 6 : 2-3
Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (as-saff/61 : 2-3)
2.      Tidak kompromi dalam masalah akidah
           Di dalam islam dianjurkan untuk toleransi dalam batas-batas tertentu selama tidak menyangkut masalah agama (akidah). Hal ini sebagaimana telah ditetapkan dalam Surah al-Kafirun/ 109 : 1-6 :
قل يايها الكافرون (1) لااعبد ما تعبدون (2) ولا انتم عابدون ما اعبد (3) ولا انا عا بد ما عبد تم (4) ولا انتم عابدون ما اعبد (5) لكم دينكم ولي دين (6)
Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir ! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukku agamaku. “ (al-Kafirun/ 109 : 1-6)
3.      Tidak membedakan status sosial/menghindari diskriminasi sosial
           Seorang dai amar makruf nahi munkar jangan membeda-bedakan status sosial, atau pilih kasih dalam dakwahnya itu antara orang kaya dan orang miskin, antara kelas elite dan kelas marginal (pinggiran), antara yang memberi imbalan yang banyak dan imbalan yang sedikit serta yang tidak memberi imbalan sama sekali, atau status sosial lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kecemburuan sosial. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surah al-An’am/ 6 : 52
ولا تطرد اللذين يدعون ربهم بالغداوة والعشي يريدون وجهه ما عليك من حسا بهم من شيء وما من حسابك عليهم من شيء فتطرد هم فتكون من الظلمين
Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari, mereka mengharapkan keridaan-Nya. Engkau tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan engkau (berhak) mengusir mereka, sehingga engkau termasuk orang-orang yang zalim  (al-An’am/ 6 : 52)
Kode etik tersebut berdasarkan Surah Abasa/ 80: 1-2
Dia (Muhammad)  berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). (Abasa/ 80 : 1-2)
          Ayat-ayat ini mengingatkan, agar jangan sekali-kali mengabaikan orang yang menyembah Allah dan menyeru Allah pagi dan petang semata-mata untuk mencari keridaan Allah dan memurnikan ketaatan kepadanya, walaupun mereka itu adalah orang-orang yang termasuk golongan rendah dalam masyarakat. Sekalipun di antara mereka ada yang dipandang rendah kedudukannya dalam masyarakat, tetapi dia disisi Allah adalah orang yang paling mulia, sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Hujurat/ 49 :13
4.      Menjauhi pelaku maksiat
           Seorang dai amar makruf nahi munkar jangan berkawan dengan pelaku maksiat, karena dikhawatirkan akan berdampak buruk atau serius, yakni pelaku maksiat itu beranggapan, bahwa perbuatan maksiatnya direstui dan dibenarkan oleh islam. Di samping itu, integritas dan wibawa dai tersebut akan berkurang dalam masyarakat. Jika dai tersebut terpaksa harus terjun ke lingkungan pelaku maksiat itu beranggapan, bahwa perbuatan maksiatnya direstui dan dibenarkan oleh islam. Di samping itu, integritas dan wibawa dai tersebut akan berkurang dalam masyarakat. Jika dai tersebut terpaksa harus terjun ke lingkungan pelaku maksiat, maka ia harus mampu menjaga dirinya serta mengukur kemampuannya, kalau tidak mampu, ia harus meninggalkannya agar tidak terpengaruh oleh komunitas tersebut.
5.      Tidak menghina sesembahan non-muslim
           Kode etik dai seperti ini berdasarkan firman Allah dalam Surah al-An’am/6 :108
           Ayat tersebut memberi peringatan bahwa sesuatu perbuatan apabila digunakan untuk terwujudnya perbuatan lain yang maksiat, maka seharusnya ditinggalkan dan segala perbuatan yang menimbulkan akibat buruk, maka perbuatan itu terlarang. Ayat ini juga memberi isyarat kepada kaum muslim adanya larangan tidak bolehnya melakukan sesuatu yang menyebabkan orang-orang kafir tambah menjauhi kebenaran. Mencaci-maki berhala sebenarnya adalah mencaci-maki benda mati. Oleh sebab itu memaki berhala itu tidak berdosa. Akan tetapi karena memaki berhala itu menyebabkan orang-orang musyrik merasa tersinggung dan marah, yang akhirnya mereka akan membalas dengan mencaci-maki Allah, maka terlaranglah perbuatan itu.
6.      Tidak menyampaikan hal-hal yang belum jelas dan di luar kemampuan
           Dai amar makruf nahi munkar tidak boleh menyampaikan hal-hal yang belum diketahuinya dengan baik, yang dapat menyesatkan. Misalnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang agama, hanya dijawab tanpa ada dasar dari Al-qur’an dan hadis, perkataan ulama, atau berdasarkan maqasidusy syari’ah, tetapi hanya berdasarkan pemikiran dan seleranya. Karena itu seorang dai harus menyampaikan dakwah sesuai dengan kemampuannya, yaitu dengan ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surah al-Isra’/ 17 : 36.
ولا تقف ما ليس لك به علم ان السمع والبصر والفؤاد كل اولئك كان عنه مسئولا
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (al-Isra’/ 17 : 36 )
7.      Tidak menetapkan imbalan dan tarif honor
           Ulama berbeda pendapat dalam hal menetapkan tarif (imbalan), atau honor dalam amar makruf nahi munkar kepada dua mazhab.
a.       Ulama mazhab hanafi berpendapat, bahwa memungut imbalan, atau honor dalam berdakwah haram hukumnya secara mutlak. Tetapi ulama hanafiyah muta’akhirin membolehkannya, karena tidak ada lagi bantuan atau honor tetap dari baitul mal untuk itu.
b.      Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hazm berpendapat, bahwa dibolehkan memungut biaya, atau mengambil honor/imbalan dalam dakwah menyebarkan islam.
          Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan, jika dalam berdakwah itu telah ada gaji, honor atau imbalan tetap dari pemerintah, atau yang lainnya, tidak dibolehkan memungut atau mengambilnya, tetapi jika belum ada gaji, honor, atau imbalan khusus untuk dakwah tersebut, boleh mengambilnya selama tidak menentukan tarif. Karena dalam konteks kekinian, imbalan jasa dalam berdakwah merupakan salah satu dukungan finansial dakwah. Dalam artian, dakwah pada era sekarang dukungan finansial ini sangatlah penting, karena akan menambah sumber daya sang dai tersebut dari segi keilmuan, kesejahteraan hidup dan proses aktivias dakwah.
 BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
1.      Urgensi amar makruf nahi munkar
a.       Amar makruf nahi munkar sebagai keniscayaan
b.      Amar makruf nahi munkar pilar utama islam
c.       Peran dan manfaat amar makruf nahi munkar
d.      Berbagai kendala dalam pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan antisipasinya
e.       Pelaksanaan amar makruf nahi munkar yang efektif dan efisien
2.      Tujuan amar makruf nahi munkar
a.       Mewujudkan dan memelihara maqosidul-Qur’an
b.      Mewujudkan umat terbaik (khoir umah)
3.      Tipe manusia dalam beramar makruf nahi munkar
a.       Manusia yang hanya bertindak atas dasar hawa nafsunya
b.      Kelompok manusia yang melaksanakan syariat islam
c.       Model manusia yang berdiri di tengah-tengah kedua sikap di atas
4.      Cara melakukan amar makruf
a.       Berkata dan bersikap lembut
b.      Menggunakan metode yang tepat
c.       Mulai dari diri sendiri
5.      Etika melakukan amar makruf nahi munkar
a.       Satu kata dengan perbuatan
b.      Tidak kompromi dalam masalah akidah
c.       Tidak membedakan status sosial/menghindari diskriminasi sosial
d.      Menjauhi pelaku maksiat
e.       Tidak menghina sesembahan non-muslim
f.       Tidak menetapkan imbalan dan tarif honor
 DAFTAR PUSTAKA
‘Abbas, syaikhul islam taqiyyudin abul. 1992. Etika Beramarar Makruf Nahi Munkar. Jakarta: Gema Insani Press.
Hanafi, M. Muchlis. 2013. Amar Makruh Nahi Munkar. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Http://mutiarainay.blogspot.com/2013/06/makalah-akhlak-tasawufdawah-amar-maruf.html











[1] Ibnu Khaldun , al-muqaddimah, (Beirut: Darul-Qalam, 1984), h. 41.
[2] Mustafa asy-syak’ah, al-Usus al-Islamiyyah fi Fikr Ibni Khaldun wa Nazariyyatih, (Kairo: Darul-Misriyyah al-Lubnaniyyah, cet. III, 1992), h. 53-54 dan 134-136.
[3] Lihat misalnya, Surah al-Baqarah /2: 30, Sad /38: 26, dan Hud /11: 61.
[4] Ibnu Khaldun , al-muqaddimah, h. 43.
[5] Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Sami Salamah h. 3/487; M. Sayyid at-Tantawiy, at-Tafsir al-Wasit, h. 1/1704.
[6] M. Mutawalli asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, Al-Maktabah Syamilah, h. 1/3615.
[7] Muhammad bin aliy bin Muhammad asy-syaukany, fathul qodir  al jami’ baina faninir-riwayah wad     diroyah min llmit –tafsir, (Beirut: Darul-ma’rifah, 2007) ,h. 237.
[8] Yusuf al-qoradawiy, kaifa Nata’amalu ma’al-qur’an, ( kairo: darusy- syuruq, 1999), cet , 1, h. 73.
[9] Fakhruddin ar-Raziy,Mafatihul-Gaib, jilid 8,h. 324.
[10]  M. Sayyid at –Tantawiy,al-Wasit, jilid 1, h. 701.
[11] Al-Bukhariy Sahih Al-Bukhariy,jilid 2, h. 882.
[12] At-Tirmiziy, Sunan at-Tirmiziy, juz 4, h. 468. Menurut at-Tirmiziy sanad hadis ini baik (hasan) sehingga dapat diterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar