BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Korupsi merupakan suatu tindakan yang
merugikan dan berdampak buruk bagi orang lain, bangsa, negara dan lain
sebagainya. Korupsi tidak hanya berdampak dalam satu aspek kehidupan saja
seperti diterangkan dalam peneitian-penelitian. Korupsi telah menimbulkan efek
domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya praktik
korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa, harga
barang-barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap
pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara terancam, citra
pemerintahan yang buruk di mata internasional akan menggoyahkan sendi-sendi
kepercayaan pemilik modal asing, krisis ekonomi menjadi berkepanjangan, negara
pun menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan.
Dalam makalah ini akan dijelaskan
tentang perilaku korupsi dalam perspektif psikologi. Dengan begitu maka kita
akan tahu penyebab seseorang melakukan korupsi dari segi kejiwaannya. Apakah
memang benar-benar orang tersebut mempunyai gangguan dalam cara berfikirnya
atau hanya dorongan dari orang lain maupun penyebab dari berbagai aspek
kehidupan dalam lingkup psikologi.
B. Rumsan
Masalah
1. Bagaimana sudut pandang korupsi dalam
psikologi ?
2. Bagaimana latar belakang psikologi
perilaku korupsi ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang sudut pandang
korupsi dalam psikologi.
2. Menjelaskan tentang latar belakang psikologi perilaku
korupsi.
D. Manfa’at
1. Mengetahui tentang sudut pandang korupsi
dalam psikologi
2. Mengetahui tentang latar belakang
psikologi perilaku korupsi
BAB
II
PEMBAHASAN
Indonesia
merupakan negara yang masih berbenah membangun kembali negrinya ditengah
keterpurukan dan dinamika glbalisasi. Permasalahan yang mendera bangsa ini semenjak merdeka seakan negeri ini
belum 100% merdeka. kemiskinan dan kesejahteraan yang masih belum merata masih
menjadi momok, kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang lebar. Hal ini
diperparah dengan bobroknya birokrasi dan pemerintahan dengan masih maraknya
virus korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini.
A. Sudut Pandang Korupsi Dalam Psikologi
Dalam kasus korupsi,
secara psikologis, tentu menjadi jelas bahawa perbuatan menyalah gunakan
wewenang tersebut bisa saja terjadi karena individu tersebut sudah memiliki
kecenderungan (sifat) untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik kepribadian.
Pertanyaannya mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi juga? Kaum
behavioris mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan
dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang
sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan
dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan
kekuasaannya
B. Latar Belakang
Psikologi Perilaku Korupsi
Dalam pandangan
ilmu psikologi dinyatakan penyebab suatu perbuatan ialah interaksi antar faktor
yang ada di dalam diri seseorang, dan faktor yang ada di luar diri seseorang.
Kedua faktor ini berinteraksi satu sama laindalam wadah budaya yang lebih luas.
Faktor di dalm diri adalah hal-hal yang disebut sebagai ciri kepribadian. Ciri
kepribadian tersebut akan cenderung untuk membuat orang untuk lebih mudah atau
tidak dalam mengatasi godaan untuk melakukan korupsi. Sedangkan faktor dari
luar diri adalah kondisi-kondisi diluar yang mempermudah orang untuk
melaksanakan keinginan korupsi.
1. Faktor dalam diri
a.
Motivasi Berprestasi
Salah satu sifat
kepribadian yang menyebabkan orang mudah tergoda melakukan korupsi adalah
mtivasi untuk berprestasi yang rendah (low achievement motivation). Konsep
motivasi ini dikembangkan oleh David McChellend (1963). Motivasi berprestasi
digambarkan olehnya sebagai virus yang mendorong seseorang untuk meningkatakan
prestasi kerjanya. Orang yang memiliki motivasi
berprestasi yang tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, bukan asal jadi.
Mereka meletakkan standar yang tinggi untuk kualitas pekerjaan dengan mutu
baik, bukan didorong oleh keinginan untuk mendaopatkan uang dengan jumlah besar
dalam waktu yang singkat. Mereka suka dengan tantangan untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan yang tergolong sulit. Mereka merasa tidak puas dengan hasil
kerja yang setengah-setengah atau yang tidak menemukan kebutuhan dirinya untuk
berprestasi bila hanya mengerjakan sesuatu dengan mutu yang rendah. Orang yang
memiliki motivasi berprestasi cukup banyak yang menjadi kaya, tetapi kekayaan
bukanlah tujuan utama hidup mereka. Kekayaan yang mereka peroleh hanyalah efek
sampingan dari kualitas kerja mereka yang memang baik.
Orang yang motivasi berprestasinya
tinggi tidak menukai prbuatan mengumpulkan harta dengan cara-cara yang curang.
Hasil penelitian yang mengkaitkan antara motivasi berperilaku a-moral
(contohnya mencuri, menipu, dan lain-lain) menunjukkan bahwa orang yang
motivasi berprestasinya tinggi bersikap lain daripada sikap orang yang
kebutuhan berprestasinya rendah. Orang yang motivasi berprestasinya tinggi
lebih tidak menyukai perbuatan yang a-moral jika dibandingkan dengan orang yang
motivasi berprestasinya rendah (Djamaluddin Ancok, 1986).berprestasi pada
sekelompok mah
Motivasi berprestasi orang Indonesia
masih tergolong rendah, dalam suatu pengukuran tentang motivasi berprestasi
pada sekelompok mahasiswa Indonesia, angka maksimum yang bisa diperoleh adalah
164. Hasil pengukuran tersebut kiranya tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang
ada di Indonesia. Cukup banyak orang Indonesia bekerja asal jadi. Contohnya dalam
membuat bangunan SD Inpres, banyak yang mutunya rendah. Cukup sering terdengar
berita SD Inpres bangunannya ambruk. Ini adalah gambaran bahwa orang Indonesia
tidak peduli dengan mutu kerjanya sendiri, yang mereka pedulikan hanyalah
besarnya keuntungan yang diperoleh. Gambaran lain dari rendahnya motivasi
berprestasi ini terlihat dari kasus komersialisasi jabatan. Pegawai negeri
adalah abdi masyarakat yang harus melayani masyarakatnya dengan sebaik-baiknya.
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi tidak akan melayani
masyarakat dengan mempersulit segala macam urusan demi dapat uang semir. Dia
akan merasa puas dan bangga bisa melayani masyarakat dengan sebaikbaiknya.
Salah satu bentuk korupsi adalah perilaku mempersulit pelayanan agar memperoleh
uang semir. Para koruptor merasa tidak berdosa dan merasa tidak bersalah dalam menerima
uang semir, mereka tidak peduli bahwa uang semir tersebut akan merugikan
masyarakat dan negara. Untuk memenangkan tender suatu proyek misalnya, tanpa
sungkan ang dikeluarkan tersebut diambil dari dana proyek (dengan cara mengutangi mutu bahan yang dipakai
menyelesaikan proyek).
Banyak ahli yang berpendapat, kebiasaan
para raja menerima upeti di zaman dahulu terbawa-bawa sampai kepada para
penjabat pemerintahan hingga kini. Menerima upeti dianggap bukanlah hal yang
salah, khususnya bagi ,ereka yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur oseorang
pemborong harus memberikan uang semir kepada si pemberi proyek. Uang semir
yrang lain. Uang semir sebenarnya tidak berbeda jauh dengan upeti. Tidak adanya
perasaan bersalah di dalam menerima uang semir ini akan semakin memperlancar
kegiatan korupsi.
·
Macam-macam motivasi
Muhammad Usman Najati (2001), dalam bukunya al Qur’an wa ilm an-Nafs (al Qur’an dan Psikologi)
berpendapat bahwa dorongan atau motivasi adalah kekuatan penggerak yang
membangkitkan aktivitas, termasuk dalam hal ini prilaku berkorupsi. Para ahli
psikologi modern membagi dorongan-dorongan tersebut menjadi dua bagian: pertama, dorongan fisiologis, yaitu dorongan
naluriah yang berhubungan dengan kebutuhan fisiologis tubuh dan kekurangan atau
rusaknya keseimbangan,kedua, dorongan psikis dan spiritual.
Dalam beberapa ayat al Qur’an, Allah telah menyebutkan dorongan-dorongan
fisiologis terpenting yang berfungsi untuk menjaga diri dan memlihara
kelangsungan hidup individu, seperti lapar, haus, lelah, panas, dingin, rasa
sakit dan bernafas.
Ketika Adam As berada di surga, Allah mengingatkannya akan nikmat yang
ada di dalamnya, dimana ia tidak merasa lapar dan haus, juga tidak akan
telanjang yang membuatnya malu, dan merasa sakit akibat perubahan cuaca.
Demikian pula ia tidak akan merasakan panasnya matahari, karena di surga tidak
ada matahari, selain itu Allah mengingatkan kepadanya, jangan sampai terjerumus
dalam perbuatan syirik setan yang senantiasa berusaha mengeluarkannya dari
surga.
Artinya : “maka Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia
mengeluarkan kami berdua dari Surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang,
dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa
panasnya matahari di dalamnya. Kemudian setan membisikan pikiran jahat
kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon
khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS. Thaha: 117-120)
Dalam ayat-ayat di atas terdapat isyarat akan adanya dorongan penting untuk menjaga diri,
yaitu dorongan rasa lapar, haus dan menghindari panas (juga dingin) yang
berlebihan. Selain itu ada isyarat dorongan cinta keabadian dan dorongan
memiliki. Dorongan-dorongan inilah yang
menjadi salah satu penyebab mengapa orang melakukan korupsi, karena ingin
terhindar dari kelaparan, kehausan dan kemiskinan.
Kasus teranyar penangkapan ketua MK Akil Muhtar, mengingatkan kita pada
kisah Adam As dan godaan Iblis, dimana manusia cenderung tidak puas dengan apa
yang dimilikinya. Seorang ketua MK dengan gaji 40 juta perbulan dan fasilitas
mewah lainnya, ternyata tidak membuatnya cukup.
Oleh
karena itu, korupsi seharusnya tidak dilihat secara sederhana, hanya
karena kekurangan uang. Secara psikologis Korupsi adalah penyakit
kejiwaan (stress) yang harus disembuhkan. Penyakit itu bisa datang dan
tumbuh sebagai produk pendidikan yang salah, lingkungan, dan
juga karena miskinnya penghayatan keagamaan.
b.
Emosi Bersalah
Dalam hal ini pertama kita perlu melihat konsep kondisi psikologi yang
melatarbelakangi munculnya perilaku ini, dalam hal ini kita akan melihat
tentang rasa bersalah. Dijelaskan dalam Pitaloka (2007), perasaan bersalah
merupakan salah satu bentuk emosi, emosi dipandang sebagai penyesuaian secara
sosial, berhubungan dengan individu, dan karenanya memiliki ciri-ciri ekspresif
(Plutchik,1980). Selain itu, Rivera (1984) yang menyatakan bahwa emosi
berkembang sebagai hasil fungsi adaptasi dalam hubungan antar manusia. Dalam
pandangannya, seluruh emosi terkait dengan penyesuaian hubungan ini, antara
diri dan orang lain, di mana setiap emosi berguna untuk memaksimalkan nilai
dari hubungan tersebut.
Rasa bersalah dipahami sebagai kesadaran kognitif dan perasaan negatif yang
berhubungan dengan suatu standar moral. Konsep Mosher (1961,1966,1968) yang
berdasar pada teori pembelajaran sosial (social learning theory),
mendefinisikan rasa bersalah sebagai ekspektasi general pada media hukuman diri
terhadap pelanggaran (atau antisipasi pelanggaran) yang terinternalisasi dari
standar moral perilaku. Lebih lanjut menurut Mosher, rasa bersalah berkaitan
dengan pelanggaran moral secara luas, namun mungkin hanya pada saat
perilaku-perilaku tersebut membahayakan status suatu hubungan seseoramg.
c.
Defense Mechanism
Selanjutnya bagaimana perilaku pencitraan religius ini menjadi solusi saat
tersangka korupsi menghadapi masalahnya akan kita lihat melalui kacamata
psikoanalisa, khususnya konsep defense mechanism, atau
mekanisme bertahan. Seperti kita ketahui Freud sebagai bapak psikoanalisa
memiliki konsep id, ego, dan super ego. Id adalah Aspek biologis dan merupakan
sistem original, Id berisi hal-hal yang dibawa sejak lahir (unsur-unsur
biologis), libido seksualitas, termasuk juga instink-instink organisme. Ego
adalah aspek psikologis karena adanya kebutuhan sinkronisasi (gateway) antara
kebutuhan Id dengan realitas dunia eksternal. Prinsip Ego adalah realitas dunia
obyektif. Sedangkan Superego merupakan aspek sosiologis berupa nilai-nilai
tradisional sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya berupa
perintah-larangan, ganjaran-hukuman, baik-buruk. Prinsip Super Ego adalah
internalisasi norma-norma lingkungan yang berupaya untuk menekan dorongan Id.
(Alwisol,2010)
Bagi pelaku korupsi yang telah terkuasai id sehingga melakukan tindakan
korupsi, dunia superego yang sudah terinternalisasi dan juga tekanan
penghakiman superego dengan tampil di depan publik menimbulkan Perasaan
terjepit dan terancam yang disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda bagi ego
bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan (Alwisol, 2010).
Seseorang akan bertahan dengan cara memblokir seluruh dorongan-dorongan
atau dengan menciutkan dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang lebih
dapat diterima konsepsi dan tidak terlalu mengancam. Cara ini disebut mekanisme
pertahanan diri atau mekanisme pertahanan ego/Ego Defense Mechanism (Alwisol,
2010).
Ada beberapa bentuk defense mechanism yang diutarakan Freud diantaranya
(dalam Alwisol, 2010):
a)
Identification
Cara mereduksi tegangan dengan
meniru (mengimitasi) atau mengidentifikasikan diri dengan orang yang dianggap
lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding dirinya.
b)
Displacements
Manakala obyek kateksis asli yang dipilih oleh insting
tidak dapat dicapai karena ada rintangan dari luar (sosial,alami) atau dari
dalam (antikateksis), insting itu direpres kembali keketidaksadaran atau ego
menawarkan kateksis baru, yang berarti pemindahan seperti enerji dari obyek
satu ke obyek yang lain, sampai ditemukan obyek yang dapat mereduksi tegangan.
c)
Repression
Represi adalah proses ego memakai
kekuatan anticathexes untuk menekan segala sesuatu (ide, insting,
ingatan, pikiran) yang dapat menimbulkan kecemasan keluar dari kesadaran.
d)
Fixation & Regression
Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan
tertentu karena perkembangan selanjutnya sangat sukar sehingga menimbulkan
frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat.
e)
Reaction Formation
Tindakan defensif dengan cara
mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau
perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran.
f)
Projection
Projeksi adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotik/moral menjadi
kecemasan realistik, dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang mengancam
dipindahkan ke obyek diluar, sehingga seolah-olah ancaman itu terprojeksi dari
obyek eksternal kepada diri orang itu sendiri.
2.
Faktor luar diri
Korupsi, seperti halnya
tindak kejahatan lainnya, adalah perbuatan yang dilaksanakan dengan perhitungan
secara cermat dan rasional. Demikianlah pendapat beberapa ahli yang menggunakan
pendekatan rasional analitis. Menurut John S Carrol, ahli yang menggunakan
pendekatan rasional analitis, ialah suatu tindakan kejahatan adalah realisasi
dari keputusan yang telah diambil.
BAB
III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Dalam kasus korupsi, secara psikologis,
tentu menjadi jelas bahawa perbuatan menyalah gunakan wewenang tersebut bisa
saja terjadi karena individu tersebut sudah memiliki kecenderungan (sifat)
untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada
karakteristik kepribadian. Dalam pandangan ilmu psikologi dinyatakan penyebab suatu perbuatan ialah
interaksi antar faktor yang ada di dalam diri seseorang, dan faktor yang ada di
luar diri seseorang. Kedua faktor ini berinteraksi satu sama laindalam wadah
budaya yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/15/00512196/psikologi.korupsi.di.indonesia
.
gunakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar