Senin, 27 Juli 2015

Sudut pandang korupsi dalam psikologi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan dan berdampak buruk bagi orang lain, bangsa, negara dan lain sebagainya. Korupsi tidak hanya berdampak dalam satu aspek kehidupan saja seperti diterangkan dalam peneitian-penelitian. Korupsi telah menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa, harga barang-barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara terancam, citra pemerintahan yang buruk di mata internasional akan menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing, krisis ekonomi menjadi berkepanjangan, negara pun menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang perilaku korupsi dalam perspektif psikologi. Dengan begitu maka kita akan tahu penyebab seseorang melakukan korupsi dari segi kejiwaannya. Apakah memang benar-benar orang tersebut mempunyai gangguan dalam cara berfikirnya atau hanya dorongan dari orang lain maupun penyebab dari berbagai aspek kehidupan dalam lingkup psikologi.
B.     Rumsan Masalah
1.      Bagaimana sudut pandang korupsi dalam psikologi ?
2.      Bagaimana latar belakang psikologi perilaku korupsi ?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan tentang sudut pandang korupsi dalam psikologi.
2.      Menjelaskan  tentang latar belakang psikologi perilaku korupsi.


D.    Manfa’at
1.      Mengetahui tentang sudut pandang korupsi dalam psikologi
2.      Mengetahui tentang latar belakang psikologi perilaku korupsi

 BAB II
PEMBAHASAN

Indonesia merupakan negara yang masih berbenah membangun kembali negrinya ditengah keterpurukan dan dinamika glbalisasi. Permasalahan yang mendera bangsa ini semenjak merdeka seakan negeri ini belum 100% merdeka. kemiskinan dan kesejahteraan yang masih belum merata masih menjadi momok, kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang lebar. Hal ini diperparah dengan bobroknya birokrasi dan pemerintahan dengan masih maraknya virus korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini.

A.    Sudut Pandang Korupsi Dalam Psikologi
Dalam kasus korupsi, secara psikologis, tentu menjadi jelas bahawa perbuatan menyalah gunakan wewenang tersebut bisa saja terjadi karena individu tersebut sudah memiliki kecenderungan (sifat) untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik kepribadian. Pertanyaannya mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi juga? Kaum behavioris mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya

B.      Latar Belakang Psikologi Perilaku Korupsi
Dalam pandangan ilmu psikologi dinyatakan penyebab suatu perbuatan ialah interaksi antar faktor yang ada di dalam diri seseorang, dan faktor yang ada di luar diri seseorang. Kedua faktor ini berinteraksi satu sama laindalam wadah budaya yang lebih luas. Faktor di dalm diri adalah hal-hal yang disebut sebagai ciri kepribadian. Ciri kepribadian tersebut akan cenderung untuk membuat orang untuk lebih mudah atau tidak dalam mengatasi godaan untuk melakukan korupsi. Sedangkan faktor dari luar diri adalah kondisi-kondisi diluar yang mempermudah orang untuk melaksanakan keinginan korupsi.
1.      Faktor dalam diri
a.      Motivasi Berprestasi
Salah satu sifat kepribadian yang menyebabkan orang mudah tergoda melakukan korupsi adalah mtivasi untuk berprestasi yang rendah (low achievement motivation). Konsep motivasi ini dikembangkan oleh David McChellend (1963). Motivasi berprestasi digambarkan olehnya sebagai virus yang mendorong seseorang untuk meningkatakan prestasi kerjanya. Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu  dengan sebaik-baiknya, bukan asal jadi. Mereka meletakkan standar yang tinggi untuk kualitas pekerjaan dengan mutu baik, bukan didorong oleh keinginan untuk mendaopatkan uang dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat. Mereka suka dengan tantangan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang tergolong sulit. Mereka merasa tidak puas dengan hasil kerja yang setengah-setengah atau yang tidak menemukan kebutuhan dirinya untuk berprestasi bila hanya mengerjakan sesuatu dengan mutu yang rendah. Orang yang memiliki motivasi berprestasi cukup banyak yang menjadi kaya, tetapi kekayaan bukanlah tujuan utama hidup mereka. Kekayaan yang mereka peroleh hanyalah efek sampingan dari kualitas kerja mereka yang memang baik.
Orang yang motivasi berprestasinya tinggi tidak menukai prbuatan mengumpulkan harta dengan cara-cara yang curang. Hasil penelitian yang mengkaitkan antara motivasi berperilaku a-moral (contohnya mencuri, menipu, dan lain-lain) menunjukkan bahwa orang yang motivasi berprestasinya tinggi bersikap lain daripada sikap orang yang kebutuhan berprestasinya rendah. Orang yang motivasi berprestasinya tinggi lebih tidak menyukai perbuatan yang a-moral jika dibandingkan dengan orang yang motivasi berprestasinya rendah (Djamaluddin Ancok, 1986).berprestasi pada sekelompok mah
Motivasi berprestasi orang Indonesia masih tergolong rendah, dalam suatu pengukuran tentang motivasi berprestasi pada sekelompok mahasiswa Indonesia, angka maksimum yang bisa diperoleh adalah 164. Hasil pengukuran tersebut kiranya tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Cukup banyak orang Indonesia bekerja asal jadi. Contohnya dalam membuat bangunan SD Inpres, banyak yang mutunya rendah. Cukup sering terdengar berita SD Inpres bangunannya ambruk. Ini adalah gambaran bahwa orang Indonesia tidak peduli dengan mutu kerjanya sendiri, yang mereka pedulikan hanyalah besarnya keuntungan yang diperoleh. Gambaran lain dari rendahnya motivasi berprestasi ini terlihat dari kasus komersialisasi jabatan. Pegawai negeri adalah abdi masyarakat yang harus melayani masyarakatnya dengan sebaik-baiknya. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi tidak akan melayani masyarakat dengan mempersulit segala macam urusan demi dapat uang semir. Dia akan merasa puas dan bangga bisa melayani masyarakat dengan sebaikbaiknya. Salah satu bentuk korupsi adalah perilaku mempersulit pelayanan agar memperoleh uang semir. Para koruptor merasa tidak berdosa dan merasa tidak bersalah dalam menerima uang semir, mereka tidak peduli bahwa uang semir tersebut akan merugikan masyarakat dan negara. Untuk memenangkan tender suatu proyek misalnya, tanpa sungkan ang dikeluarkan tersebut diambil dari dana proyek  (dengan cara mengutangi mutu bahan yang dipakai menyelesaikan proyek).
Banyak ahli yang berpendapat, kebiasaan para raja menerima upeti di zaman dahulu terbawa-bawa sampai kepada para penjabat pemerintahan hingga kini. Menerima upeti dianggap bukanlah hal yang salah, khususnya bagi ,ereka yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur oseorang pemborong harus memberikan uang semir kepada si pemberi proyek. Uang semir yrang lain. Uang semir sebenarnya tidak berbeda jauh dengan upeti. Tidak adanya perasaan bersalah di dalam menerima uang semir ini akan semakin memperlancar kegiatan korupsi.
·         Macam-macam motivasi
Muhammad Usman Najati (2001), dalam bukunya al Qur’an wa ilm an-Nafs (al Qur’an dan Psikologi) berpendapat bahwa dorongan atau motivasi adalah kekuatan penggerak yang membangkitkan aktivitas, termasuk dalam hal ini prilaku berkorupsi. Para ahli psikologi modern membagi dorongan-dorongan tersebut menjadi dua bagian: pertama, dorongan fisiologis, yaitu dorongan naluriah yang berhubungan dengan kebutuhan fisiologis tubuh dan kekurangan atau rusaknya keseimbangan,kedua, dorongan psikis dan spiritual.
Dalam beberapa ayat al Qur’an, Allah telah menyebutkan dorongan-dorongan fisiologis terpenting yang berfungsi untuk menjaga diri dan memlihara kelangsungan hidup individu, seperti lapar, haus, lelah, panas, dingin, rasa sakit dan bernafas.
Ketika Adam As berada di surga, Allah mengingatkannya akan nikmat yang ada di dalamnya, dimana ia tidak merasa lapar dan haus, juga tidak akan telanjang yang membuatnya malu, dan merasa sakit akibat perubahan cuaca. Demikian pula ia tidak akan merasakan panasnya matahari, karena di surga tidak ada matahari, selain itu Allah mengingatkan kepadanya, jangan sampai terjerumus dalam perbuatan syirik setan yang senantiasa berusaha mengeluarkannya dari surga.
Artinya : “maka Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kami berdua dari Surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panasnya matahari di dalamnya. Kemudian setan membisikan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS. Thaha: 117-120)
Dalam ayat-ayat di atas terdapat isyarat akan adanya dorongan penting untuk menjaga diri, yaitu dorongan rasa lapar, haus dan menghindari panas (juga dingin) yang berlebihan. Selain itu ada isyarat dorongan cinta keabadian dan dorongan memiliki. Dorongan-dorongan inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa orang melakukan korupsi, karena ingin terhindar dari kelaparan, kehausan dan kemiskinan.
Kasus teranyar penangkapan ketua MK Akil Muhtar, mengingatkan kita pada kisah Adam As dan godaan Iblis, dimana manusia cenderung tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Seorang ketua MK dengan gaji 40 juta perbulan dan fasilitas mewah lainnya, ternyata tidak membuatnya cukup.
Oleh karena itu, korupsi seharusnya tidak  dilihat secara sederhana, hanya karena kekurangan uang.  Secara psikologis Korupsi adalah  penyakit kejiwaan (stress) yang harus disembuhkan. Penyakit itu bisa datang dan tumbuh  sebagai produk  pendidikan yang salah, lingkungan,  dan juga karena miskinnya penghayatan keagamaan.
b.        Emosi Bersalah
Dalam hal ini pertama kita perlu melihat konsep kondisi psikologi yang melatarbelakangi munculnya perilaku ini, dalam hal ini kita akan melihat tentang rasa bersalah. Dijelaskan dalam Pitaloka (2007), perasaan bersalah merupakan salah satu bentuk emosi, emosi dipandang sebagai penyesuaian secara sosial, berhubungan dengan individu, dan karenanya memiliki ciri-ciri ekspresif (Plutchik,1980). Selain itu, Rivera (1984) yang menyatakan bahwa emosi berkembang sebagai hasil fungsi adaptasi dalam hubungan antar manusia. Dalam pandangannya, seluruh emosi terkait dengan penyesuaian hubungan ini, antara diri dan orang lain, di mana setiap emosi berguna untuk memaksimalkan nilai dari hubungan tersebut.
Rasa bersalah dipahami sebagai kesadaran kognitif dan perasaan negatif yang berhubungan dengan suatu standar moral. Konsep Mosher (1961,1966,1968) yang berdasar pada teori pembelajaran sosial (social learning theory), mendefinisikan rasa bersalah sebagai ekspektasi general pada media hukuman diri terhadap pelanggaran (atau antisipasi pelanggaran) yang terinternalisasi dari standar moral perilaku. Lebih lanjut menurut Mosher, rasa bersalah berkaitan dengan pelanggaran moral secara luas, namun mungkin hanya pada saat perilaku-perilaku tersebut membahayakan status suatu hubungan seseoramg.

c.       Defense Mechanism
Selanjutnya bagaimana perilaku pencitraan religius ini menjadi solusi saat tersangka korupsi menghadapi masalahnya akan kita lihat melalui kacamata psikoanalisa, khususnya konsep defense mechanism, atau mekanisme bertahan. Seperti kita ketahui Freud sebagai bapak psikoanalisa memiliki konsep id, ego, dan super ego. Id adalah Aspek biologis dan merupakan sistem original, Id berisi hal-hal yang dibawa sejak lahir (unsur-unsur biologis), libido seksualitas, termasuk juga instink-instink organisme. Ego adalah aspek psikologis karena adanya kebutuhan sinkronisasi (gateway) antara kebutuhan Id dengan realitas dunia eksternal. Prinsip Ego adalah realitas dunia obyektif. Sedangkan Superego merupakan aspek sosiologis berupa nilai-nilai tradisional sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya berupa perintah-larangan, ganjaran-hukuman, baik-buruk. Prinsip Super Ego adalah internalisasi norma-norma lingkungan yang berupaya untuk menekan dorongan Id. (Alwisol,2010)
Bagi pelaku korupsi yang telah terkuasai id sehingga melakukan tindakan korupsi, dunia superego yang sudah terinternalisasi dan juga tekanan penghakiman superego dengan tampil di depan publik menimbulkan Perasaan terjepit dan terancam yang disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda bagi ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan (Alwisol, 2010).
Seseorang akan bertahan dengan cara memblokir seluruh dorongan-dorongan atau dengan menciutkan dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang lebih dapat diterima konsepsi dan tidak terlalu mengancam. Cara ini disebut mekanisme pertahanan diri atau mekanisme pertahanan ego/Ego Defense Mechanism (Alwisol, 2010).
Ada beberapa bentuk defense mechanism yang diutarakan Freud diantaranya (dalam Alwisol, 2010):
a)      Identification
 Cara mereduksi tegangan dengan meniru (mengimitasi) atau mengidentifikasikan diri dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding dirinya.
b)      Displacements
  Manakala obyek kateksis asli yang dipilih oleh insting tidak dapat dicapai karena ada rintangan dari luar (sosial,alami) atau dari dalam (antikateksis), insting itu direpres kembali keketidaksadaran atau ego menawarkan kateksis baru, yang berarti pemindahan seperti enerji dari obyek satu ke obyek yang lain, sampai ditemukan obyek yang dapat mereduksi tegangan.
c)      Repression
 Represi adalah proses ego memakai kekuatan anticathexes untuk menekan segala sesuatu (ide, insting, ingatan, pikiran) yang dapat menimbulkan kecemasan keluar dari kesadaran.
d)     Fixation & Regression
Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan tertentu karena perkembangan selanjutnya sangat sukar sehingga menimbulkan frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat.
e)      Reaction Formation
 Tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran.
f)        Projection
Projeksi adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotik/moral menjadi kecemasan realistik, dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang mengancam dipindahkan ke obyek diluar, sehingga seolah-olah ancaman itu terprojeksi dari obyek eksternal kepada diri orang itu sendiri.
2.      Faktor luar diri
Korupsi, seperti halnya tindak kejahatan lainnya, adalah perbuatan yang dilaksanakan dengan perhitungan secara cermat dan rasional. Demikianlah pendapat beberapa ahli yang menggunakan pendekatan rasional analitis. Menurut John S Carrol, ahli yang menggunakan pendekatan rasional analitis, ialah suatu tindakan kejahatan adalah realisasi dari keputusan yang telah diambil.
 BAB III
PENUTUP
·         Kesimpulan
Dalam kasus korupsi, secara psikologis, tentu menjadi jelas bahawa perbuatan menyalah gunakan wewenang tersebut bisa saja terjadi karena individu tersebut sudah memiliki kecenderungan (sifat) untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik kepribadian. Dalam pandangan ilmu psikologi dinyatakan penyebab suatu perbuatan ialah interaksi antar faktor yang ada di dalam diri seseorang, dan faktor yang ada di luar diri seseorang. Kedua faktor ini berinteraksi satu sama laindalam wadah budaya yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/15/00512196/psikologi.korupsi.di.indonesia


.


gunakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar