Senin, 27 Juli 2015

Wawasan islam tentang epistemologi sains dan universalisme islam

 BAB 1
   PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
     Pembahasan tentang st rategi mencari ilmu dengan cara yang benar ini dibahas dalam Filsafat Ilmu. Yang mana di dalamnya telah terdapat beberapa pembahasan mengenai ilmu pengetahuan (theory of knowladge) yang membahas tentang syarat-syarat untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang harus diikuti dalam mencari ilmu pengetahuan yang ilmiah. Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan seperti: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas dalam bahasan epistemologis.
Secara epistemologis pertanyaan filosofisnya adalah dari mana asal penegetahuan dan bagaimana memperolehnya? Apabila yang dihadapi ilmu, pertanyaannya akan sama. Oleh karena itu pengetahuan merupakan obyek epistemologis. Adapun ciri penting dari epistemologi adalah pengkajiannya terhadap berbagai ide tentang ilmu pengetahuan. Menindak lanjuti hal tersebut, dalam makalah yang sederhana ini akan diuraikan tentang beberapa strategi dan metode yang dapat digunakan untuk mencari ilmu pengetahuan yang diuraikan sebagaimana rumusan masalah berikut ini.
Ruang publik dan universalime Islam adalah dua topik yang berbeda, namun memiliki relasi yang cukup penting dalam peta pemikiran Islam di Indonesia. Sejauh ini, kedua topik tersebut telah menjadi ‘issue bersama’ dan bahkan



menjadi arena perebutan makna di kalangan kelompok, aliran, atau mazhab pemikiran Islam yang eksis di negeri ini. Di satu sisi, universalisme sebagai ‘doktrin normatif’ tentang fungsi Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmat li al-‘âlamîn) telah dipahami tidak secara monolitik. Di sisi lain, ruang publik yang bersifat spatio-temporal telahmenjadi tempat strategis di mana gagasan universalime Islam yang dipahami secara beraneka ragam itu akandisemayamkan. Dalam tulisan ini, penulis akan mendiskusikan corak pemikiran Islam Indonesia mengenai konsep universalisme Islam. Penulis sendiri berasumsi bahwa perdebatan yang selama ini terjadi di kalangan sarjana dan agamawan Muslim di Indonesia tentang fungsi agama dalam wilayah publik, baik itu yang pro maupun yang kontra, ternyata dilatarbelakangi oleh argumen dan klaim yang sama, yakni sama-sama mengkampanyekan universalisme agama.

      Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan topik ini. Pertama, sebagaimana kita sadari, dewasa ini perdebatan tentang peran agama dan ruang publik di Indonesia telah memunculkan varian-varian baru dalam konfigurasi
Islam di Indonesia. Bila Clifford Geertz beberapa dekade silam telah mengajukan tesis tentang varian Muslim di Jawa, berdasarkan ekspresi keagamaan mereka, yang terdiri dari Santri, Abangan, dan Priyayi,[2] fenomena saat ini dapat
dikatakan lebih unik, karena varian-varian yang muncul merupakan derivasi kelompok santri itu sendiri. Para sarjana, dengan menggunakan istilah yang berbeda, umumnya mendefinisikan mereka ke dalam tiga kelompok: konservatif, moderat, dan liberal. Kategorisasi tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa telah terjadi proses politik dan revolusi budaya di kalangan Muslim Indonesia yang ditandai dengan semakin spesifiknya orientasi keagamaan mereka. Kedua, proses modernisasi di berbagai bidang yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan birokratisasi institusi-institusi sosial,
termasuk di dalamnya institusi keagamaan, nampak nyata telah memberi warna tersendiri di kalangan agamawan Indonesia dalam mendefinisikan universalisme agama dan fungsinya dalam ruang publik. Ketiga, konsep Syari’at Islam yang menjadi titik pijak kaum Muslim dalam mengkonsepsikan universalisme agama



ternyata memiliki banyak dimensi yang, dalam manifestasinya, memberi peluang untuk memunculkan perbedaan atau bahkan perselisihan. Di dunia Islam, wacana tentang pelaksanaan syari’at memang acap melibatkan sentimen publik (public sentiment).[3] Apalagi ketika wacana syari’at ini erat kaitannya dengan konsep umat, salah satu isu paling esensial dalam politik Islam. Sebagai
sebuah konsep normatif, syari’at oleh sebagian besar kaum Muslim diyakini memiliki—apa yang disebut oleh Seyyed Hossein Nasr—‘Divine Will’ atau ‘Divine Law.’[4] Namun demikian, reseptivitas kaum Muslim terhadap otoritas syari’at dalam keseharian mereka tidaklah sama.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa Pengertian Epistemologi dan Ruang Lingkupnya?
     1.2.2  Apa Universalisme Islam?
1.2.3  Apa Objek dan Tujuan Epistemologi?
     1.2.4  Apa Landasan Epistemologi?
     1.2.5  Apa Hakikat Epistemologi?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Menjelaskan Pengertian Epistemologi dan Ruang Lingkupnya
     1.3.2  Menjelaskan Universalisme Islam
     1.3.3 Menjelaskan Objek dan Tujuan Epistemologi
     1.3.4 Menjelaskan Landasan Epistemologi
     1.3.5 Menjelaskan Hakikat Epistemologi
1.4 MANFAAT
     1.4.1 Mengetahui Pengertian Epistemologi da Ruamg Lingkupnya
     1.4.2 Mengetahui Universalisme Islam
     1.4.3 Mengetahui Objek dan Tujuan Epistemologi
     1.4.4 Mengetahui Landasan Epistemologi
  1.4.5 Mengetahui Hakikat Epistemologi

  BAB 11
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup epistemologi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan ‘’misteri’’ pemaknaan atau pengertian  yang tidak mudah di pahami. Pengertian epstemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga di dapatkannya pengertian yang berbeda beda, bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada subtansi persoalannya.
Subtansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri ciri yang melekat padanya juga tidak bisa di abaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apapun, selalu diawali dengan memperkenalkan pnertian (definisi) secara teknis, guna menangkap subtansi persoalan yang terkandung dslsm konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan persoalan belajar secara mendetail,jika dia belum bisa memahami subtansi belajar itu sendiri. Setelah memahami subtansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar.teori belajar, prinsip prinsip belajar, hambatan hambatan belajar, cara mengatasi hambatan belajar, dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan ‘’jalan pembuka’’ bagi pembahasan pembahasan selanjtunya yang sedang di bahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
       Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk beluk yangterkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pnertian epistemologi yang di ungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentuka kodrat spoke pengetahuan, pengandaian pengandaian dan dasarnya, serta bertanggung jawab atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[1]
Sedangkan D.W. Hamlyn mendefinisikan sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,dasar dan pengandaian pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pegetahuan.[2]
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian yang kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaittan dengan sifat yang aasli dari pengetahuan, sedangkan hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yangsaling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.
     Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas dari pada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabangfilsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.[3]
Jadi, meskipun epistemologi itu merupakan sub sistem filsafat, tetapi cakuoannya luas sekali.jika kita memadukan rincian rincian aspek epistemologi, sebagaimana diuraikan tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur,pertanggung jawaban dan spoke pengetahuan.[4]

2.2 UNIVERSALISME ISLAM

Universalisme islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajrannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang,seperti hukum agama(Fiqih), keimanan(tauhid), etika(akhlak) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan. Prinsip-prinsip seperti persmaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kezaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban islam sendiri. Keterbukaan yang membuat kaum muslim selama sekian abad menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban persia). Kearifan yang muncul dari proses saling mempengaruhi antara peradaban-peradaban dikenal itu, waktu itu di kawasan “Dunia Islam” waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene(peradilan dunia) islam. Oikumene islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu diantara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban islam. Kisah keduawajah islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.
Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme islam adalah lima buah
Jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum, (2) kaselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarny. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial. Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling  pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kezaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah ’’orang besar’’, walaupun sasarannya selalunorang ’’orang kecil’’. Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang arab waktu itu.Dengan tauhid, islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa  islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia  secara keseluruhan.
                   Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluargamerupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan


2.3 OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI

    Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. jika di amati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Mesipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat di peroleh, jika telah melalui objek lebih dulu. Misalnya, seorang polisi bertujuan membunuh perampok yang melakukan perlawanan, krtika akan di tangkap dengan menembak kepalanya sebagain sasaran. Jadi, tujuannya adalah pembunuhan,sedang objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu,pembunuhan sebagai tujuan polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan menembak kepala perampok sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya mellui menembak kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti bahwa dalam satu tujuan bisa dicapai melalui objek yang berbeda beda atau lebih dari satu.
     Sebaliknya,mungkinkah suatu kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya banyak.ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering terjadi.manusia misalnya, sejak lama ia menjadi objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan bermacam-macam, baik untuk membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi, antropologi, biologi, ilmu hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik tekanan perhatian dalam meneliti dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa ini,justru kecenderungan ini mulai memperoleh perhatian yang sangat besar di kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga pengusaha. Artinya, ada upaya bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk kepentingan yang berbeda-beda. Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi dan bersifat dinamis, mendorong kreatigitas seseorang.
      Aktifitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuandengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berfikir dalam kecenderungan dalam kedua (satu objenkuntuk tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing pola berfikir tersebut.secara global,baik berfikir dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua,tetap saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.
       Dalam filsafat terdapat objek materia dan objek forma. Objek materia adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat tuhan, hakikat alam danhakikat manusia. Sedangkan objek forma ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalmnya, sampai keakarnya) tentang objel materia filsafat (sarwa-yang-ada).[5] Lebih khusus lagi, objek materia filsafat pendidikan adalah manusia, sedangkan objek formanya adalah persoalan-persoalan kemampuan manusia.
      Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali di gagas oleh plato[6] ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi menurut Jujun S.Suryasumantri berupa ‘’segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan’’.[7] Pengetahuan inilah yang menjadi sasran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasran itu merupakan suatu tahap dengan cara yangharus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
     Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut??? Jacques Martain mengatakan,’’tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang mungkinkan saya dapat tahu.’’[8] hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari,akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
     Rumusan tujuan epistemologi tersebut memilik makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadran seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan caraatau ekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sifat pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sifat dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedngkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahi prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya,  acapkali tidak mengetahui prosesny. Guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2x3=6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, dengan siswa yang cerdas tidak puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia akan mengejar bagaimana prosesnya. Penguasaan terhadap proses tersebut berfungsi mengetahui dan memahami pemikiran seseorang secara komprehensif dan utuh, termasuk juga ide, gagsan, konsep, dan teorinya, sebab tidak ada pemikiran yangterpenggal begitu saja, tanpa ada alasan-alasan yang mendasarinya. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjai sikap saling menyalahkan pemikiran seseorsng. Padahal mereka belum pernah melacak proses terjadinya pemikiran itu. Timbulnya suatu pemikiran senantias sebgai akibat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, alasan-alasan yang melatar belakangi, maupun motif-motif yang mendasarinya.
     Selanjutnya, pengetahuan terhadap proses itu senantiasa berimplikasi terhadap timbulnya upaya mengembangkan pengetahuan. Hal ini selalu menjadi orientasi epistemologi, sehingga epistemologi merupakan sub sistem filsafat yang bertugasmemberdyakan pemikiran. Akhirnya epistemologi dikenal sebagai pusat dinamika keilmuan.


2.4 LANDASAN EPISTEMOLOGI

        Landasan epitemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan. Jika memiliki landasan yang kokoh. Bangunan pengetahuan bagaikan gedung rumah, sedangkan landasan bagaikan fundamennya. Kekuatan gedung rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya. Demikian juga dengan epistemologi, akan dipengaruhi atau tergantung landasannya.
     ‘’didalam filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya,’’[9]  sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.[10] metode ilmiah merupak prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang teracntum dalam metode ilmiah.[11] dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.
yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode; akhirnya berkembang menjadi: sains adalah metode.sikap ini mencerminkan bahwa mereka berlebihan dalam menilai begitu tinggi dalam metode ilmiah, tanpa Begitu pentingnya fungsi metode olmish dalam sains, sehingga banyak pakar Menyadari semuanya yang hanya sekedar salah satu sarana dari sains untuk mengukuhkan objektifitas dalam memahmi sasuatu.[12] sesungguhnya sikap berlebihan itu memang riil, tetapi terlepas dari sikap tersebut yang seharusnya tidak per;i terjadi, yang jelas dalam kenyataannya metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan menjadi ilmu. Disini perli dibedakan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan (ilmu). Pengetahuan adalah pengalaman atau pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode ilmiah, sehingga timbul sifat-sifat atau ciri-cirinya,sistematis, objektif,logis dan empiris.
      Dengan istilah lain, Kholil Yasin menyebut pengetahuan tersebut dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge),sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (scienitificknowledge).[13] hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Di samping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, di samping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga di sebut ilmu sains. Sebutan sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkansubstansinya relatif sama, kendatipun ada yang menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber sumbernya, batas batasnya, dan sebagainya.ditinjau dari sejarah cara berfikirnya manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan, yaitu berfikir secara rasional yang mengembangkan paham rasionalisme dan berfikir berdasarkan fakta yang mengmbangkan faham empirisme.[14] akhirnya, pendukung kedua belah pihak saling menyadari,bahwa rasionalisme dan empirisme disamping mempunyai kelebihan, juga mempunyai kelemahan masing-masing. Selanjutnya timbul gagasan untuk menggabungkan kedua pendekatan ini, untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar. Gabungan antara pendekatan rasional dan empiris dinamakan metode keilmuan.[15] dengan demikian metode keilmuan ini adalah merupakan hasil sintesis dari kedua metode tersebut.
       Dunia keilmuan merupakan hasil perpaduan antara dunia rasional dan dunia empiris. Dunia rasional bersendikan logika dedukatif,sedangkan dunia empiris beroreintasi pada fakta. Demikian juga,penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran dedukatif dan indukatif, di mana lebih lanjut penalaran dedukatif terkait  dengan rasionalisme, dan penalaran induktif dengan empirisme.[16]  deduksi dan induksi saling bersinggungan dan saling berjalin. Induksi menyebabkan teori mengandung probabilitas atau dapat di terima.[17] namun, penerimaan itu tidak serta merta hanya berdasarkan fakta, karena tana penjelasan yang rasaional, fakta itu membisu. Sebagai contoh, bahwa matahari selalu terbit dari arah timur, sebagai fakta tidak ada orang yang manyangkal, dan ini kebenaran. Hanya saja jarang ada orang yang mampu menjwlaskan secara logis dan rasional mengapa harus terbit dari timur, bukan dari barat, utara atau selatan. Ilmu pengetahuan tidak akan menerima kebenaran sesuatu, jika hanya berdasarkan kenyataan. Kenyataan itu bisa diterima, jika disertai dengan penjelasan rasional. Jika terdapat kenyataan yang tidak dapat dijelaakan secara rasional, maka tida termasuk wilayah ilma pengetahuan, seperti orang yang disantet. Kenyataannya dari tubuh orag tersebut keluar paku, beling, dan benda-benda berbahaya lainnya, tetapi bgaimana brnda benda itu dapat masuk ke dalam tubuh orang tersebut adalah kenyataan yang belum bisa dijelaskan secara rasional oleh ilmu pengetahuan.

2.5 HAKIKAT EPISTEMOLOGI

Pembahasan tentang hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena kita tidak bisa sulit lagi. Sebagaimana telah diungkapkan di muka, bahwa epistemologi adalah salah satu sub sistem dari sistem filsafat (ontologi,epistemologi dan aksiologi), sehingga epistemologi tidak bisa terlepas dari filsafat dengan pebgertian lain epistemologi adalah bagian dari filsafat, namun, keberadaan epistemologi dalam filsafat ini masih menjadi perselisihan pendapat dikalangan para ahlinya.
   Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengindetifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya.’’apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kitamengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat[18].pandangan yang lebih eksrim lagi menurut kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafata, melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the working of human mind.[19]tampaknya kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam eistemologi yang memang berkaitan denganpekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan berimplikasi secara luas dalam menghilangka spesifikasi-spesifikasi keilmuan. Tidk ad satupun aspek filsafat yang tidak berhunbungan dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat.ini berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
    Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat,walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik,  justru karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya.[20] dalam  epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkanpengetahuan dan mengmbangkannya. Aktifitas-aktifitas ini di tempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis. Perenungan atau kontemplasi yang istilah arabnya kurang lebih adalah tafakkur yang telah diyakini sebagai ciri khas cara kerja berfikir filosofis. Tidak akan ada filsafat tanpa melalui perenungan-perenungan (kontemplasi) itu. Filsafat selalu mengandalkan kontemplasi baik ketika menelaah wilayah kajian ontologi,aksiologi maupun  epistemologi, meskipun menggunakan pendekatan lain, seperti analisis konsep atau analisis bahasa.
    Perbedaan pandangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M.Honer dan Thomas C.Hunt yang menilai, bahwa epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontrofersi.[21] sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagaian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatupun yang boleh disingkikan darinya. Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja,maka minat untuk membcarkan dasar-dasardan pertanggung jawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya yang melebihi takaran minat kita.[22]
     Luasnya jangkauan epistemologi itu menyebabkan objek pembahasannya sangat detail dan pelik.metodologi misalnya telah digabungkan secara teliti dengan epistemologi dan logika.[23] sementara itu, logika itu sendiri patut dipertanyakan, apakah logika itubagian dari epistemologi, diluar  epistemologi sama sekali atau sekedar memiliki persentuhan yang erat dengan epistemologi. Ada yangmenyatakan, bahwa posisi logika berada di luar ontologi, epistemologdan aksiologi. Di samping itu, epistemologi tersebut sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa lepas dari ontologi dan aksiologi. Menurut Jujun S. Suriasumantri, bahwa persoalan pertama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan perhitungan aspek ontologi dan aksiologimasing-masing.[24]  dalam pemahaman yang sederhana epistemologi itu memiliki sifat interrelasi (saling berhubungan dengan komponen lain, ontologi dan aksiologi).
    Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berfikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong enjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan dedukatif. sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-jegala yang sama,  baru ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan secara induktif,  adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berfikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang, dan adapula seseorang yang berfikir dengan kecenderungan melihat kebelakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berfikir ini akan berimpikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktifitas dengan serba strategis, sebab jangkauan berfikirnya adalah masa depan. Tetapi, terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berfikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itujustru merugikan.


B.REKOMENDASI

Studi Islam merupakan mata kuliah yang sangat penting untuk di pelajari , karena dalam Studi Islam, mahasiswa dapat mempelajari dan mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama islam dan dapat dijadikan sebagai penambah  wawasan keilmuan dalam hidupnya. Juga sangat berguna bagi yang membutuhkannya sehingga nantinya akan menjadi sebuah amal jariyah apabila dapat mengamalkannya dengan baik.Sebagai sekolah tinggi yang mempunyai visi menjadikan insan yang profesional dan berakhlaqul karimah harus dapat menjadikan studi Islam sebagai pedoman untuk para mahasiswa dalam mempelajarinya. Mengingat mempelajari metodologi studi Islam dapat membantu para mahasiswa untuk memenuhituntutan zaman yang semakin hari semakin canggih.
Untuk itu kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini,jika ada kesalahan dalam penulisan maupun pemilihan bahasa kami mohon maaf .
 
DAFTAR PUSTAKA

1.      Prof. Dr.MujamilQomar, M Ag.,EpistemologiPendidikan Islam, Jakarta,
2012,
2.      Dr.Moh. Dahlan.M.Ag ,Epistemology Hukum Islam, Yogjakarta 2009
3.      Prof. Dr.Nurcholismadjid,dkk ,Pengembangan Study Islam, Yogyakarta 2007




[1] Kholil Yasin, ‘’matiq al-ma’rifal al-islamiyah’’, dalam nazzariyyat al-ilm’ (al-ilm’ t.k, mansyurat al-jami’ah allibiyah, kuliyah al-abad, 1971),h.119-120
[2] Imam barnadib, filsafat pendidikan (sistem dan metode),(yogyakarta, yaysan penerbit fakultas ilmu pendidikan-FIP IKIP yogyakarta,1976),h.30
[3] Ibnu taimiyah, kitabal-radd ala al-mantiqiyyah(bombay qayyima press, 1968), h.81-85
[4] Andi hakim nasution,pengantar ke filsafat sains,(jakarta:lintera antar nusa,1992),h.22
[5]Kennet t.gallagher, epistemologi,h.18
[6] Ismail raji al-faruqi,islamisasi pengetahuan, terj.anas mahyuddin,(bandung;mizan 1984), h.11
[7] Ziauddin sardar rekayasa masa depan peradaban muslim, terj rahmani astuti,( bandung:mizan, 1993), h.41
[8]Poe djawijatna, tahu dan pengetahuan pengantar ke ilmu filsafat, (jakarta: PT.rineka cipta 1991) h,45
[9] Paul suparno, filsafat konstruktivisme dalam pendidikan,(yogyakarta: kanisius,1997), h.19
[10] C.Verhaak dan R.hayono imam,filsafat umum pengetahuan:telaan atas kerja ilmu-ilmu  (jakarta;Pt. Gramedia pustaka utama 1991),h. 142
[11]Ibid,h 11-12  A.M.saefuddin,”filsafat...”, h.43
[12] Jujun ssuryasumantri,filsafat, h.45
[13]Sidi gazalba, sistematika filsafat buku ke dua pengantar kepada teori pengetahuan, (jakarta: bulan bintang,19910, h.97
[14]Ibid,h.127-128
[15]Adbul Munir mulkhan, paradigma, h.59
[16]Hasan langgulung, kreatifitas,h.29-30
[17] Paul edwords, the encyclopedia of philosophy volume 5 (new york: mac millan inc,1967) h.53
[18] Abdul munir mulkhan, paradigma h.54
[19] P.Hardono hadi,”pengantar...”, h.6
[20] Zainuddin sardar,jihad, h.35
[21] Cenneth T.gallagher, epistemologi , h.53
[22] Noeng muhadjir,’’landasan...’’, h.105-106
[23] A.Mukti ali “metodologi... h.45
[24] Ziauddin sardar, jihad, h.36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar