BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pembahasan
tentang st rategi mencari ilmu dengan cara yang benar ini dibahas dalam
Filsafat Ilmu. Yang mana di dalamnya telah terdapat beberapa pembahasan
mengenai ilmu pengetahuan (theory of knowladge) yang membahas tentang
syarat-syarat untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang harus diikuti dalam
mencari ilmu pengetahuan yang ilmiah. Filsafat ilmu merupakan telaah secara
filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan seperti: Bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas dalam bahasan
epistemologis.
Secara epistemologis pertanyaan filosofisnya adalah
dari mana asal penegetahuan dan bagaimana memperolehnya? Apabila yang dihadapi
ilmu, pertanyaannya akan sama. Oleh karena itu pengetahuan merupakan obyek
epistemologis. Adapun ciri penting dari epistemologi adalah pengkajiannya
terhadap berbagai ide tentang ilmu pengetahuan. Menindak lanjuti hal tersebut,
dalam makalah yang sederhana ini akan diuraikan tentang beberapa strategi dan
metode yang dapat digunakan untuk mencari ilmu pengetahuan yang diuraikan
sebagaimana rumusan masalah berikut ini.
Ruang publik dan universalime Islam adalah dua topik yang berbeda,
namun memiliki relasi yang cukup penting dalam peta pemikiran Islam di
Indonesia. Sejauh ini, kedua topik tersebut telah menjadi ‘issue bersama’ dan
bahkan
menjadi arena perebutan makna di kalangan kelompok, aliran, atau
mazhab pemikiran Islam yang eksis di negeri ini. Di satu sisi, universalisme
sebagai ‘doktrin normatif’ tentang fungsi Islam sebagai rahmat bagi semesta
(rahmat li al-‘âlamîn) telah dipahami tidak secara monolitik. Di sisi lain,
ruang publik yang bersifat spatio-temporal telahmenjadi tempat strategis di
mana gagasan universalime Islam yang dipahami secara beraneka ragam itu
akandisemayamkan. Dalam tulisan ini, penulis akan mendiskusikan corak pemikiran
Islam Indonesia mengenai konsep universalisme Islam. Penulis sendiri berasumsi
bahwa perdebatan yang selama ini terjadi di kalangan sarjana dan agamawan
Muslim di Indonesia tentang fungsi agama dalam wilayah publik, baik itu yang
pro maupun yang kontra, ternyata dilatarbelakangi oleh argumen dan klaim yang
sama, yakni sama-sama mengkampanyekan universalisme agama.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan topik ini. Pertama, sebagaimana kita sadari, dewasa ini perdebatan tentang peran agama dan ruang publik di Indonesia telah memunculkan varian-varian baru dalam konfigurasi
Islam di Indonesia. Bila Clifford Geertz beberapa dekade silam telah mengajukan tesis tentang varian Muslim di Jawa, berdasarkan ekspresi keagamaan mereka, yang terdiri dari Santri, Abangan, dan Priyayi,[2] fenomena saat ini dapat
dikatakan lebih unik, karena varian-varian yang muncul merupakan derivasi kelompok santri itu sendiri. Para sarjana, dengan menggunakan istilah yang berbeda, umumnya mendefinisikan mereka ke dalam tiga kelompok: konservatif, moderat, dan liberal. Kategorisasi tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa telah terjadi proses politik dan revolusi budaya di kalangan Muslim Indonesia yang ditandai dengan semakin spesifiknya orientasi keagamaan mereka. Kedua, proses modernisasi di berbagai bidang yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan birokratisasi institusi-institusi sosial,
termasuk di dalamnya institusi keagamaan, nampak nyata telah memberi warna tersendiri di kalangan agamawan Indonesia dalam mendefinisikan universalisme agama dan fungsinya dalam ruang publik. Ketiga, konsep Syari’at Islam yang menjadi titik pijak kaum Muslim dalam mengkonsepsikan universalisme agama
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan topik ini. Pertama, sebagaimana kita sadari, dewasa ini perdebatan tentang peran agama dan ruang publik di Indonesia telah memunculkan varian-varian baru dalam konfigurasi
Islam di Indonesia. Bila Clifford Geertz beberapa dekade silam telah mengajukan tesis tentang varian Muslim di Jawa, berdasarkan ekspresi keagamaan mereka, yang terdiri dari Santri, Abangan, dan Priyayi,[2] fenomena saat ini dapat
dikatakan lebih unik, karena varian-varian yang muncul merupakan derivasi kelompok santri itu sendiri. Para sarjana, dengan menggunakan istilah yang berbeda, umumnya mendefinisikan mereka ke dalam tiga kelompok: konservatif, moderat, dan liberal. Kategorisasi tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa telah terjadi proses politik dan revolusi budaya di kalangan Muslim Indonesia yang ditandai dengan semakin spesifiknya orientasi keagamaan mereka. Kedua, proses modernisasi di berbagai bidang yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan birokratisasi institusi-institusi sosial,
termasuk di dalamnya institusi keagamaan, nampak nyata telah memberi warna tersendiri di kalangan agamawan Indonesia dalam mendefinisikan universalisme agama dan fungsinya dalam ruang publik. Ketiga, konsep Syari’at Islam yang menjadi titik pijak kaum Muslim dalam mengkonsepsikan universalisme agama
ternyata memiliki banyak dimensi yang, dalam manifestasinya, memberi
peluang untuk memunculkan perbedaan atau bahkan perselisihan. Di dunia Islam,
wacana tentang pelaksanaan syari’at memang acap melibatkan sentimen publik
(public sentiment).[3] Apalagi ketika wacana syari’at ini erat kaitannya dengan
konsep umat, salah satu isu paling esensial dalam politik Islam. Sebagai
sebuah konsep normatif, syari’at oleh sebagian besar kaum Muslim diyakini memiliki—apa yang disebut oleh Seyyed Hossein Nasr—‘Divine Will’ atau ‘Divine Law.’[4] Namun demikian, reseptivitas kaum Muslim terhadap otoritas syari’at dalam keseharian mereka tidaklah sama.
sebuah konsep normatif, syari’at oleh sebagian besar kaum Muslim diyakini memiliki—apa yang disebut oleh Seyyed Hossein Nasr—‘Divine Will’ atau ‘Divine Law.’[4] Namun demikian, reseptivitas kaum Muslim terhadap otoritas syari’at dalam keseharian mereka tidaklah sama.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa Pengertian Epistemologi dan Ruang Lingkupnya?
1.2.2 Apa Universalisme Islam?
1.2.3 Apa Objek dan Tujuan
Epistemologi?
1.2.4 Apa Landasan Epistemologi?
1.2.5 Apa Hakikat Epistemologi?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Menjelaskan Pengertian Epistemologi dan Ruang Lingkupnya
1.3.2 Menjelaskan Universalisme Islam
1.3.3 Menjelaskan Objek
dan Tujuan Epistemologi
1.3.4 Menjelaskan
Landasan Epistemologi
1.3.5 Menjelaskan
Hakikat Epistemologi
1.4 MANFAAT
1.4.1 Mengetahui Pengertian Epistemologi da Ruamg Lingkupnya
1.4.2 Mengetahui
Universalisme Islam
1.4.3 Mengetahui Objek
dan Tujuan Epistemologi
1.4.4 Mengetahui
Landasan Epistemologi
1.4.5 Mengetahui Hakikat
Epistemologi
BAB 11
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian dan Ruang Lingkup epistemologi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan
‘’misteri’’ pemaknaan atau pengertian
yang tidak mudah di pahami. Pengertian epstemologi ini cukup menjadi
perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika
mengungkapkannya, sehingga di dapatkannya pengertian yang berbeda beda, bukan
saja pada redaksinya, melainkan juga pada subtansi persoalannya.
Subtansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami
pengertian suatu konsep, meskipun ciri ciri yang melekat padanya juga tidak bisa
di abaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apapun, selalu diawali dengan
memperkenalkan pnertian (definisi) secara teknis, guna menangkap subtansi
persoalan yang terkandung dslsm konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah
dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan
mampu menjelaskan persoalan persoalan belajar secara mendetail,jika dia belum
bisa memahami subtansi belajar itu sendiri. Setelah memahami subtansi belajar
tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar.teori belajar,
prinsip prinsip belajar, hambatan hambatan belajar, cara mengatasi hambatan
belajar, dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep
merupakan ‘’jalan pembuka’’ bagi pembahasan pembahasan selanjtunya yang sedang
di bahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi
(pengertian).
Demikian pula,
pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap
substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk beluk yangterkait dengan
epistemologi itu. Ada beberapa pnertian epistemologi yang di ungkapkan para
ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi
itu. P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentuka kodrat spoke pengetahuan, pengandaian
pengandaian dan dasarnya, serta bertanggung jawab atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki.[1]
Sedangkan D.W. Hamlyn mendefinisikan sebagai cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,dasar dan pengandaian
pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa
orang memiliki pegetahuan.[2]
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama.
Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama
menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian yang kedua
tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat
pengetahuan. Kodrat berkaittan dengan sifat yang aasli dari pengetahuan,
sedangkan hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga
menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini
akhirnya melahirkan dua aliran yangsaling berlawanan, yaitu realisme dan
idealisme.
Selanjutnya, pengertian
epistemologi yang lebih jelas dari pada kedua pengertian tersebut, diungkapkan
oleh Dagobert D.Runes. dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah
cabangfilsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan.[3]
Jadi, meskipun epistemologi itu merupakan sub sistem filsafat,
tetapi cakuoannya luas sekali.jika kita memadukan rincian rincian aspek
epistemologi, sebagaimana diuraikan tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa
meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur,pertanggung jawaban dan spoke
pengetahuan.[4]
2.2 UNIVERSALISME ISLAM
Universalisme islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi
penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajrannya. Rangkaian ajaran yang
meliputi berbagai bidang,seperti hukum agama(Fiqih), keimanan(tauhid),
etika(akhlak) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada
unsur-unsur utama dari kemanusiaan. Prinsip-prinsip seperti persmaan derajat di
muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kezaliman dan
kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita
kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas
menunjukkan di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam
ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu
diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban islam
sendiri. Keterbukaan yang membuat kaum muslim selama sekian abad menyerap
segala macam menifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak
peradaban-peradaban lain, baik yang masih ada waktu itu maupun yang sudah
mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban persia). Kearifan yang
muncul dari proses saling mempengaruhi antara peradaban-peradaban dikenal itu,
waktu itu di kawasan “Dunia Islam” waktu itu, yang kemudian mengangkat
peradaban islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan
sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene(peradilan dunia) islam.
Oikumene islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu diantara enam belas
oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene islam itulah yang paling
tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban islam. Kisah keduawajah
islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan
pada kesempatan ini.
Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme
islam adalah lima buah
Jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga
masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar
itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu
jaminan dasar akan (1) Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani
diluar ketentuan hukum, (2) kaselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa
ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4)
keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum, dan (5)
keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat
mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil
kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing.
Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan
persamaan hak dan derajat sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan
itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarny.
Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup paling jelas
universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial. Demikian juga, jaminan dasar
akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat
melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat, yang
akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian
kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan
kezaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari
keyakinan mayoritas sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi
adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi
adalah sejarah ’’orang besar’’, walaupun sasarannya selalunorang ’’orang
kecil’’. Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik
membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun
masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala
massif sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama
sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang
berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh islam dengan dobrakannya atas
ketidakadilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang arab waktu
itu.Dengan tauhid, islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan
perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal
paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi
diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak
nyata dari tilikan aspek ini, bahwa
islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk
umat manusia secara keseluruhan.
Jaminan
dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik
moral dalam kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian
keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluargamerupakan ikatan sosial
paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk
apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi
keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok
masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan
2.3 OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI
Dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan,
sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. jika di amati secara cermat,
sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang
tujuan hampir sama dengan harapan. Mesipun berbeda, tetapi antara objek dan
tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang
mengantarkan tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat di
peroleh, jika telah melalui objek lebih dulu. Misalnya, seorang polisi
bertujuan membunuh perampok yang melakukan perlawanan, krtika akan di tangkap
dengan menembak kepalanya sebagain sasaran. Jadi, tujuannya adalah
pembunuhan,sedang objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu,pembunuhan sebagai
tujuan polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan menembak kepala
perampok sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya mellui
menembak kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti bahwa
dalam satu tujuan bisa dicapai melalui objek yang berbeda beda atau lebih dari
satu.
Sebaliknya,mungkinkah suatu
kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya banyak.ternyata ini juga
mungkin terjadi bahkan sering terjadi.manusia misalnya, sejak lama ia menjadi
objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan bermacam-macam, baik untuk
membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi, antropologi, biologi, ilmu
hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik tekanan perhatian dalam meneliti
dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa ini,justru kecenderungan ini mulai
memperoleh perhatian yang sangat besar di kalangan para pemikir, perekayasa,
dan juga pengusaha. Artinya, ada upaya bagaimana menjadikan bahan yang sama
untuk kepentingan yang berbeda-beda. Kecenderungan ini justru memiliki
efektifitas dan efisiensi yang tinggi dan bersifat dinamis, mendorong
kreatigitas seseorang.
Aktifitas berfikir
dalam kecenderungan pertama (satu tujuandengan objek yang berbeda-beda) lebih
mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berfikir dalam
kecenderungan dalam kedua (satu objenkuntuk tujuan yang berbeda-beda) lebih
mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi
dari tekanan masing-masing pola berfikir tersebut.secara global,baik berfikir
dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua,tetap saja membutuhkan
banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.
Dalam filsafat
terdapat objek materia dan objek forma. Objek materia adalah sarwa-yang-ada,
yang secara garis besar meliputi hakikat tuhan, hakikat alam danhakikat
manusia. Sedangkan objek forma ialah usaha mencari keterangan secara radikal
(sedalam-dalmnya, sampai keakarnya) tentang objel materia filsafat
(sarwa-yang-ada).[5]
Lebih khusus lagi, objek materia filsafat pendidikan adalah manusia, sedangkan
objek formanya adalah persoalan-persoalan kemampuan manusia.
Sebagai sub sistem
filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali di gagas
oleh plato[6]
ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi menurut Jujun S.Suryasumantri
berupa ‘’segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan’’.[7]
Pengetahuan inilah yang menjadi sasran teori pengetahuan dan sekaligus
berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasran itu merupakan suatu
tahap dengan cara yangharus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu
sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka
sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang
menjadi tujuan epistemologi tersebut??? Jacques Martain mengatakan,’’tujuan
epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab menjawab pertanyaan, apakah
saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang mungkinkan saya
dapat tahu.’’[8]
hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari,akan tetapi yang menjadi
pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu
ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan
epistemologi tersebut memilik makna strategis dalam dinamika pengetahuan.
Rumusan tersebut menumbuhkan kesadran seseorang bahwa jangan sampai dia puas
dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan caraatau ekal
untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan
sifat pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sifat dinamis.
Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedngkan keadaan kedua lebih
berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahi prosesnya, tentu akan dapat
mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesny. Guru
dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2x3=6)
dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, dengan siswa yang cerdas tidak puas
dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia akan mengejar bagaimana prosesnya.
Penguasaan terhadap proses tersebut berfungsi mengetahui dan memahami pemikiran
seseorang secara komprehensif dan utuh, termasuk juga ide, gagsan, konsep, dan
teorinya, sebab tidak ada pemikiran yangterpenggal begitu saja, tanpa ada
alasan-alasan yang mendasarinya. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjai
sikap saling menyalahkan pemikiran seseorsng. Padahal mereka belum pernah
melacak proses terjadinya pemikiran itu. Timbulnya suatu pemikiran senantias
sebgai akibat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, alasan-alasan yang
melatar belakangi, maupun motif-motif yang mendasarinya.
Selanjutnya, pengetahuan
terhadap proses itu senantiasa berimplikasi terhadap timbulnya upaya
mengembangkan pengetahuan. Hal ini selalu menjadi orientasi epistemologi,
sehingga epistemologi merupakan sub sistem filsafat yang bertugasmemberdyakan
pemikiran. Akhirnya epistemologi dikenal sebagai pusat dinamika keilmuan.
2.4 LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epitemologi
memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan
tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan. Jika memiliki landasan
yang kokoh. Bangunan pengetahuan bagaikan gedung rumah, sedangkan landasan
bagaikan fundamennya. Kekuatan gedung rumah bisa diandalkan berdasarkan
kekuatan fundamennya. Demikian juga dengan epistemologi, akan dipengaruhi atau
tergantung landasannya.
‘’didalam filsafat
pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya,’’[9] sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut
metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang
benar.[10]
metode ilmiah merupak prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang
teracntum dalam metode ilmiah.[11]
dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan
menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu
pengetahuan.
yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku
dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa
metode; akhirnya berkembang menjadi: sains adalah metode.sikap ini mencerminkan
bahwa mereka berlebihan dalam menilai begitu tinggi dalam metode ilmiah, tanpa
Begitu pentingnya fungsi metode olmish dalam sains, sehingga banyak pakar Menyadari
semuanya yang hanya sekedar salah satu sarana dari sains untuk mengukuhkan objektifitas
dalam memahmi sasuatu.[12]
sesungguhnya sikap berlebihan itu memang riil, tetapi terlepas dari sikap
tersebut yang seharusnya tidak per;i terjadi, yang jelas dalam
kenyataannya metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun
dan mengembangkan pengetahuan menjadi ilmu. Disini perli dibedakan antara
pengetahuan dan ilmu pengetahuan (ilmu). Pengetahuan adalah pengalaman atau
pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan, sedangkan ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode ilmiah, sehingga timbul
sifat-sifat atau ciri-cirinya,sistematis, objektif,logis dan empiris.
Dengan istilah lain,
Kholil Yasin menyebut pengetahuan tersebut dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary
knowledge),sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (scienitificknowledge).[13]
hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Di samping istilah pengetahuan dan
pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman
sehari-hari. Pada bagian lain, di samping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan
ilmiah, juga di sebut ilmu sains. Sebutan sebutan tersebut hanyalah pengayaan
istilah, sedangkansubstansinya relatif sama, kendatipun ada yang menajamkan
perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari
dua kata tersebut, sumber sumbernya, batas batasnya, dan sebagainya.ditinjau
dari sejarah cara berfikirnya manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh
pengetahuan, yaitu berfikir secara rasional yang mengembangkan paham
rasionalisme dan berfikir berdasarkan fakta yang mengmbangkan faham empirisme.[14]
akhirnya, pendukung kedua belah pihak saling menyadari,bahwa rasionalisme dan
empirisme disamping mempunyai kelebihan, juga mempunyai kelemahan
masing-masing. Selanjutnya timbul gagasan untuk menggabungkan kedua pendekatan
ini, untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan
pengetahuan yang benar. Gabungan antara pendekatan rasional dan empiris
dinamakan metode keilmuan.[15]
dengan demikian metode keilmuan ini adalah merupakan hasil sintesis dari kedua
metode tersebut.
Dunia keilmuan
merupakan hasil perpaduan antara dunia rasional dan dunia empiris. Dunia
rasional bersendikan logika dedukatif,sedangkan dunia empiris beroreintasi pada
fakta. Demikian juga,penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari
penalaran dedukatif dan indukatif, di mana lebih lanjut penalaran dedukatif
terkait dengan rasionalisme, dan
penalaran induktif dengan empirisme.[16] deduksi dan induksi saling bersinggungan dan
saling berjalin. Induksi menyebabkan teori mengandung probabilitas atau dapat
di terima.[17]
namun, penerimaan itu tidak serta merta hanya berdasarkan fakta, karena tana
penjelasan yang rasaional, fakta itu membisu. Sebagai contoh, bahwa matahari
selalu terbit dari arah timur, sebagai fakta tidak ada orang yang manyangkal,
dan ini kebenaran. Hanya saja jarang ada orang yang mampu menjwlaskan secara
logis dan rasional mengapa harus terbit dari timur, bukan dari barat, utara
atau selatan. Ilmu pengetahuan tidak akan menerima kebenaran sesuatu, jika
hanya berdasarkan kenyataan. Kenyataan itu bisa diterima, jika disertai dengan
penjelasan rasional. Jika terdapat kenyataan yang tidak dapat dijelaakan secara
rasional, maka tida termasuk wilayah ilma pengetahuan, seperti orang yang
disantet. Kenyataannya dari tubuh orag tersebut keluar paku, beling, dan
benda-benda berbahaya lainnya, tetapi bgaimana brnda benda itu dapat masuk ke
dalam tubuh orang tersebut adalah kenyataan yang belum bisa dijelaskan secara
rasional oleh ilmu pengetahuan.
2.5 HAKIKAT EPISTEMOLOGI
Pembahasan tentang hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena kita
tidak bisa sulit lagi. Sebagaimana telah diungkapkan di muka, bahwa
epistemologi adalah salah satu sub sistem dari sistem filsafat
(ontologi,epistemologi dan aksiologi), sehingga epistemologi tidak bisa
terlepas dari filsafat dengan pebgertian lain epistemologi adalah bagian dari
filsafat, namun, keberadaan epistemologi dalam filsafat ini masih menjadi
perselisihan pendapat dikalangan para ahlinya.
Epistemologi berusaha
memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok,
mengindetifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya.’’apa yang bisa
kita ketahui dan bagaimana kitamengetahui” adalah masalah-masalah sentral
epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah
filsafat[18].pandangan
yang lebih eksrim lagi menurut kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah
lapangan filsafata, melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab
epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the working of
human mind.[19]tampaknya
kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam eistemologi
yang memang berkaitan denganpekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian
akan berimplikasi secara luas dalam menghilangka spesifikasi-spesifikasi keilmuan.
Tidk ad satupun aspek filsafat yang tidak berhunbungan dengan pekerjaan pikiran
manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian
jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan menumbuhkan disiplin ilmu, maka
seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia,
terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari
hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat.ini berarti tidak ada disiplin
ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
Oleh karena itu,
epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat,walaupun objeknya tidak merupakan
ilmu yang empirik, justru karena
epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya.[20]
dalam epistemologi terdapat upaya-upaya
untuk mendapatkanpengetahuan dan mengmbangkannya. Aktifitas-aktifitas ini di
tempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis. Perenungan
atau kontemplasi yang istilah arabnya kurang lebih adalah tafakkur yang
telah diyakini sebagai ciri khas cara kerja berfikir filosofis. Tidak akan ada
filsafat tanpa melalui perenungan-perenungan (kontemplasi) itu. Filsafat selalu
mengandalkan kontemplasi baik ketika menelaah wilayah kajian ontologi,aksiologi
maupun epistemologi, meskipun
menggunakan pendekatan lain, seperti analisis konsep atau analisis bahasa.
Perbedaan pandangan
tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk
membenarkan Stanley M.Honer dan Thomas C.Hunt yang menilai, bahwa epistemologi
keilmuan adalah rumit dan penuh kontrofersi.[21]
sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagaian dari filsafat
sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri,
sehingga tidak ada sesuatupun yang boleh disingkikan darinya. Selain itu,
pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan
ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu
saja,maka minat untuk membcarkan dasar-dasardan pertanggung jawaban terhadap
pengetahuan dirasakan sebagai upaya yang melebihi takaran minat kita.[22]
Luasnya jangkauan
epistemologi itu menyebabkan objek pembahasannya sangat detail dan
pelik.metodologi misalnya telah digabungkan secara teliti dengan epistemologi
dan logika.[23]
sementara itu, logika itu sendiri patut dipertanyakan, apakah logika itubagian
dari epistemologi, diluar epistemologi
sama sekali atau sekedar memiliki persentuhan yang erat dengan epistemologi.
Ada yangmenyatakan, bahwa posisi logika berada di luar ontologi, epistemologdan
aksiologi. Di samping itu, epistemologi tersebut sebenarnya tidak bisa berdiri
sendiri, tidak bisa lepas dari ontologi dan aksiologi. Menurut Jujun S.
Suriasumantri, bahwa persoalan pertama yang dihadapi oleh tiap epistemologi
pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar
dengan perhitungan aspek ontologi dan aksiologimasing-masing.[24] dalam pemahaman yang sederhana epistemologi
itu memiliki sifat interrelasi (saling berhubungan dengan komponen lain,
ontologi dan aksiologi).
Epistemologi ini juga
bisa menentukan cara dan arah berfikir manusia. Seseorang yang senantiasa
condong enjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju
detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan dedukatif. sebaliknya, ada
yang cenderung bertolak dari gejala-jegala yang sama, baru ditarik kesimpulan secara umum, berarti
dia menggunakan pendekatan secara induktif,
adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang
masih jauh, ada yang hanya berfikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek
sekarang, dan adapula seseorang yang berfikir dengan kecenderungan melihat
kebelakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berfikir ini akan
berimpikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang
beraktifitas dengan serba strategis, sebab jangkauan berfikirnya adalah masa
depan. Tetapi, terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu
sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berfikirnya yang amat pendek, jika
dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itujustru merugikan.
B.REKOMENDASI
Studi Islam merupakan mata kuliah yang
sangat penting untuk di pelajari , karena dalam Studi Islam, mahasiswa dapat mempelajari
dan mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama islam dan dapat dijadikan sebagai
penambah wawasan keilmuan dalam
hidupnya. Juga sangat berguna bagi yang membutuhkannya sehingga nantinya akan
menjadi sebuah amal jariyah apabila dapat mengamalkannya dengan baik.Sebagai
sekolah tinggi yang mempunyai visi menjadikan insan yang profesional dan
berakhlaqul karimah harus dapat menjadikan studi Islam sebagai pedoman untuk
para mahasiswa dalam mempelajarinya. Mengingat mempelajari metodologi studi
Islam dapat membantu para mahasiswa untuk memenuhituntutan zaman yang
semakin hari semakin canggih.
Untuk
itu kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini,jika
ada kesalahan dalam penulisan maupun pemilihan bahasa kami mohon maaf .
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prof. Dr.MujamilQomar, M Ag.,EpistemologiPendidikan Islam, Jakarta,
2012,
2.
Dr.Moh. Dahlan.M.Ag
,Epistemology Hukum Islam, Yogjakarta 2009
3.
Prof. Dr.Nurcholismadjid,dkk ,Pengembangan Study Islam, Yogyakarta 2007
[1] Kholil Yasin,
‘’matiq al-ma’rifal al-islamiyah’’, dalam nazzariyyat al-ilm’ (al-ilm’
t.k, mansyurat al-jami’ah allibiyah, kuliyah al-abad, 1971),h.119-120
[2] Imam barnadib,
filsafat pendidikan (sistem dan metode),(yogyakarta, yaysan penerbit
fakultas ilmu pendidikan-FIP IKIP yogyakarta,1976),h.30
[3] Ibnu taimiyah,
kitabal-radd ala al-mantiqiyyah(bombay qayyima press, 1968), h.81-85
[4] Andi hakim
nasution,pengantar ke filsafat sains,(jakarta:lintera antar nusa,1992),h.22
[5]Kennet
t.gallagher, epistemologi,h.18
[6] Ismail raji
al-faruqi,islamisasi pengetahuan, terj.anas mahyuddin,(bandung;mizan 1984),
h.11
[7] Ziauddin
sardar rekayasa masa depan peradaban muslim, terj rahmani astuti,(
bandung:mizan, 1993), h.41
[8]Poe djawijatna,
tahu dan pengetahuan pengantar ke ilmu filsafat, (jakarta: PT.rineka cipta
1991) h,45
[9] Paul suparno,
filsafat konstruktivisme dalam pendidikan,(yogyakarta: kanisius,1997), h.19
[10] C.Verhaak dan
R.hayono imam,filsafat umum pengetahuan:telaan atas kerja ilmu-ilmu (jakarta;Pt. Gramedia pustaka utama 1991),h.
142
[11]Ibid,h
11-12 A.M.saefuddin,”filsafat...”, h.43
[12] Jujun
ssuryasumantri,filsafat, h.45
[13]Sidi gazalba,
sistematika filsafat buku ke dua pengantar kepada teori pengetahuan, (jakarta:
bulan bintang,19910, h.97
[14]Ibid,h.127-128
[15]Adbul Munir
mulkhan, paradigma, h.59
[16]Hasan
langgulung, kreatifitas,h.29-30
[17] Paul edwords,
the encyclopedia of philosophy volume 5 (new york: mac millan inc,1967) h.53
[18] Abdul munir
mulkhan, paradigma h.54
[19] P.Hardono
hadi,”pengantar...”, h.6
[20] Zainuddin
sardar,jihad, h.35
[21] Cenneth
T.gallagher, epistemologi , h.53
[22] Noeng
muhadjir,’’landasan...’’, h.105-106
[23] A.Mukti ali
“metodologi... h.45
[24] Ziauddin sardar,
jihad, h.36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar