BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam Rangka berinteraksi sosial dan bersilaturrahmi, setiap orang
akan saling mengunjungi, bertamu, dan menerima tamu. Bahkan, Allah Swt. Akan menjadikan
orang yang memuliakan tamu sebagai orang yang beruntung. Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Hasyr ayat 9 yang artinya : “Dan mereka tidak menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri,
meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Berdasarkan pada ayat
tersebut memuliakan tamu adalah kewajiban semua muslim,
bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih.
Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka
berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Memuliakan tamu, di
antaranya dapat dilakukan dengan memberikan senyuman dan sambutan yang ramah
serta menyenangkan. Bahkan, jika tuan rumah memiliki rezeki, tamu dijamu dengan
baik. Selain itu, jika tamu datang dari jauh, tawarkan untuk menginap di rumah.
Perlakukan tamu dengan sopan, meskipun tamu tersebut tidak membuat perjanjian
terlebih dahulu atau datang secara mendadak.
Dalam makalah ini,
akan membahas hadist memuliakan tamu serta adab memuliakan tamu. Agar kita
mengetahui dan bisa mengamalkan bagaimana adab memuliakan tamu yang baik sesuai
dengan ajaran Rasulullah.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah disebutkan diatas, maka rumusan masalahnya yaitu:
A. Bagaimana Substansi Hadits?
B. Bagaimana Relevansi Hadits dengan Ayat?
C. Bagaimana Ajaran dalam Hadits?
D. Bagaimana Asbabul Wurud Hadits?
E. Bagaimana Kata Kunci Hadits?
F. Bagaimana Adab Menerima Tamu dan Bertamu?
1.3
Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, Secara khusus
makalah ini akan menginformasikan dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut.
A.
Mengetahui
Substansi Hadits
B.
Mengetahui
Relevansi Hadits dengan Ayat
C.
Mengetahui
Ajaran dalam Hadits
D.
Mengetahui
Asbabul Wurud Hadits
E.
Mengetahui
Kata Kunci Hadits
F.
Mengetahui Adab Menerima Tamu dan Bertamu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Tentang Memuliakan Tamu
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. (رواه البخاري ومسلم)
Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu`alaihi wa
sallam bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia
berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya”. (Riwayat Bukhari dan
Muslim)[1]
B.
Mufrodat
Diam
|
لِيَصْمُت
|
Barang siapa
|
مَنْ
كَانَ
|
Menghormati
|
فَلْيُكْرِمْ
|
Beriman
|
يُؤْمِنُ
|
Tetangganya
|
جَارَهُ
|
Kepada Allah dan Hari Akhir
|
بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الآخِر
|
Tamunya
|
ضَيْفَهُ
|
Berkata baik
|
فَلْيَقُلْ
خَيْراً
|
C.
Substansi Hadits
Mengenai hadist ini, jika
ditinjau dari kualitas hadist, sudah tentu bisa dikatakan hadist shohih, karena
diriwayatkan oleh imam Bukhori dan imam muslim. Mengapa dapat kami katakan
demikian? Karena dikalangan ummat islam sudah sangat familiar dikenal bahwa
hadist yang masuk dalam hadist yang diriwayatkan oleh imam bukhori dan imam
muslim adalah hadist shohih, karena telah melalui proses penyaringan yang
sangat ketat.[2]
D.
Relevansi Hadits dengan Ayat
Dalam
al-Quran surat Adz-Dzariyat: 24 – 27, Allah telah berfirman
هَلْ
أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (٢٤) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا
سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (٢٥) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ
بِعِجْلٍ سَمِينٍ (٢٦) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (٢٧)
“Sudah sampaikah
padamu cerita tentang tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk ke
tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman." Ibrahim menjawab:
"Salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal." Maka dia
pergi dengan diam-diam menemui keluarganya lalu dibawanya daging bakar dari
anak sapi yang gemuk dan dihidangkannya kepada mereka, Ibrahim berkata:
"Tidakkah kalian makan?"
Syaikh Salim Al-Hilali hafidhahullah menerangkan panjang lebar
firman Allah di atas dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin. Ia mengatakan: "Ini
adalah kisah tentang malaikat-malaikat yang mulia. Mereka mendatangi Ibrahim
`alaihis salam untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan
anaknya Ya`qub. Mereka lantas mengucapkan salam dan Ibrahim pun menjawabnya
dengan sebaik-baiknya. Beliau tidak mengenali mereka sebab mereka datang dalam
bentuk pemuda tampan, beliau sangka mereka adalah tamu-tamu sehingga beliau
berkeinginan menjamu mereka dan memang beliaulah yang pertama kali menjamu
tamu. Beliau menyelinap dengan sembunyi-sembunyi dan dengan segera beliau
datang dengan membawa daging panggang dari sapi yang gemuk. Itulah makanan
terbaik yang dimiliki yang beliau panggang di atas batu panggang. Kemudian
beliau mendekatkannya kepada mereka dan mempersilahkan dengan ungkapan yang
lembut dan penghormatan yang bagus: ‘Tidakkah kalian makan?’
Dalam ayat-ayat ini terkandung adab menjamu tamu. Beliau (Ibrahim
‘alaihis salam) datang dengan segera membawa makanan tanpa mereka (para tamu)
sadari dan tanpa mengharap sebelumnya karena ungkapan (tuan rumah): ‘Kami akan
menghidangkan makan’, tetapi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi, beliau menjamu
tamunya dengan seutama-utama apa yang beliau dapati dari hartanya lalu beliau
dekatkan dengan cara yang baik di hadapan mereka. Tidak dengan meletakkannya
lalu berkata: "Silahkan mendekat!"
Tidak pula dengan perintah yang memberatkan pendengar dalam sighat jazm,
tetapi beliau mengucapkan: "Tidakkah kalian makan?"
E. Ajaran dalam Hadits
Dalam hadis diatas
berisi tentang:
1. Hubungan antar anggota masyarakat.
Manusia hidup di dunia ini berbaur
degan manusia lain. Islam telah berusaha agar hubungan tersebut terjalin dengan
baik dan benar. Ini akan terealisasikan ketika antara satu dengan yang lainnya
saling menghormati, dan komitmen satu sama lain.[3]
2. Membatasi diri untuk berkata yang baik adalah tanda kesempurnaan iman
seseorang.
Dalam hadist ini
Rasulullah SAW mendorong kita untuk berkomitmen terhadap etika yang baik dan
perbuatan yang bermanfaat. Dorongan tersebut dilakukan dengan cara menjelaskan
kepada kita bahwa diantara tanda kesempurnaan iman seseorang adalah membatasi
diri berbicara yang bermanfaat baginya, baik yang berhubungan dunia maupun
akhirat, dan hal-hal yang membawa manfaat bagi masyarakat.
3. Berlaku baik kepada tetangga
Diatara tanda kesempurnaan
iman dan islam adalah berlaku baik kepada tetangga dan tidak menyakitinya.
Berbuat baik kepada tetangga merupakan keharusan. Karena pada dasarnya manusia
adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu sama lain. Adapun cara
berbuat ada berbagai macam diantaranya memberikan bantuan kepada tetangga,
saling tolong-menolong dan lain-lain.
4. Menghormati tamu.
Menghormati tamu
merupakan tanda kesempurnaan iman. Dalam hadist disebutkan bahwa barang siapa
yang komitmen terhadap ajaran Islam dan mengikuti jejak orang-orang mukmin, maka ia harus
menghormati tamu. Sikap ini merupakan bukti rasa percaya dan ketawakalan
seseorang kepada Allah SWT. Karena itu Rosulullah SAW bersabda “ barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamu”.
Menurut Imam Ahmad
berpendapat bahwa menjamu tamu adalah wajib, selama sehari semalam. Hal ini
didasari oleh hadist yang diriwayatkan oleh ibnu Majah, bahwa Rosulullah SAW
bersabda: “menjamu tamu sehari semalam adalah kewajiban seorang muslim”.
Al Qadhi iyadh berkata,
“makna hadist diatas bahwa yang memiliki hukum wajib dalam syariat islam adalah
memuliakan tetangga dan tamu serta memperlakukan mereka dengan baik.[4]
5. Adab menerima tamu dan bertamu
Menghormati
bisa dalam bentuk bersikap ramah, berbicara dengan baik, bersegera menyajikan
jamuan, termasuk menjamu dengan makanan yang ada atau yang lebih baik dari yang
dimakan keluarganya selama sehari semalam. Dua hari berikutnya dengan makanan yang dimakan
oleh keluarganya, dengan tidak memaksakan diri hingga membebani keluarganya.
F. Asbabul Wurud Hadits
Ketika Allah melihat
salah satu bentuk, dimana Allah Swt memperlihatkan kepada hamba-hamba Nya bahwa
Allah melihat semua perbuatan yang terkecil sekalipun. Maka disaat itu
datanglah tamu kepada Sang Nabi saw dan Sang Nabi saw tidak bisa menjamunya
karena tidak ada makanan. Rasul tanya pada istrinya “punya makanan apa kita
untuk menjamu tamu ini?”, istri Nabi saw menjawab “tidak ada, yang ada
cuma air”. Maka Rasul berkata “siapa yang mau menjamu tamuku ini?” Satu
orang anshar langsung mengacungkan tangan “aku yang menjamu tamumu ya
Rasulullah”. Kemudian sahabat itu membawa tamu rasul itu ke rumahnya,
sampai dirumah mengetuk pintu dengan keras hingga istrinya bangun. “Kenapa
suamiku? kau tampak terburu-buru”. “akrimiy dhaifa Rasulillah,
kita dapat kemuliaan tamunya Rasulullah. Ayoo.. muliakan, keluarkan
semua yang kita miliki daripada pangan dan makanan, semua keluarkan. Ini tamu
Rasulullah bukan tamu kita, datang kepada Rasul, Rasul saw tidak bisa
menyambutnya. Rasul tanya “siapa yang bisa menyambutnya?”, aku buru -
buru tunjuk tangan, ini kemuliaan besar bagi kita.” Istrinya berkata “suamiku,
makanannya hanya untuk 1 orang. Tidak ada makanan lagi, itu pun untuk anak-
anak kita. 2 orang anak- anak kita hanya akan makan makanan untuk 1 orang, kau
ini bagaimana menyanggupi undangan tamu Rasul? kau tidak bertanya lebih dulu?
apakah kita punya kambing, punya ayam, punya beras, punya roti, jangan main terima
sembarangan!” Maka suaminya sudah terlanjur menyanggupi “sudah kalau
begitu anak kita tidurkan cepat- cepat, matikan lampu agar anaknya tidur”.
“belum makan, suruh tidur jangan suruh makan malam, biar saja”.
Di tidurkan anaknya
tanpa makan. Lalu tinggal makanan yang 1 piring untuk 1 orang, “ini
bagaimana? tamunya tidak mau makan kalau hanya ditaruh 1 piring kalau shohibul
bait (tuan rumah) tidak ikut makan karena cuma 1 piring makanannya”. Suaminya
berkata “nanti sebelum kau keluarkan piringnya, lampu ini kau betulkan lalu
saat makan tiup agar mati pelitanya, jadi pura- pura lampu mati. Taruh piring,
silahkan makan dan kita taruh piring kosong di depan kita, tamu makan kita
tidak usah makan tapi seakan “ akan makan dan tidak kelihatan lampunya gelap”.
Maka tamunya tidak tahu cerita
lampunya mati, pelitanya rusak, tamunya makan dengan tenangnya, nyenyak dalam
tidurnya, pagi-pagi shalat subuh kembali kepada Rasul saw “Alhamdulillah ya
Rasulullah aku dijamu dengan makanan dan tidur dengan tenang”. Rasul berkata “Allah semalam sangat ridho kepada shohibul bait (tuan
rumah) yang menjamumu itu” (shahih Bukhari).[5]
Allah tersenyum,
bukan Allah itu seperti manusia bisa tersenyum tapi maksudnya Allah sangat
sayang dan sangat gembira. Dengan perbuatan itu Allah sangat terharu, bukan
terharu karena tamunya saja tapi juga karena shohibul bait berucap. “akrimiy
dhaifa Rasulillah” muliakan tamu Rasulullah. Ini yang membuat Allah
terharu, untuk tamunya Rasulullah rela anaknya tidak makan, tidur semalaman
dalam keadaan lapar untuk memuliakan tamunya Rasulullah saw.
G. Kata
Kunci Hadits
Kalimat
“barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya
adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya
itu) menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah,
“maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman
kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya,
mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah
mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badan nya karena kelak dia akan
dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana
tersebut pada firman Allah :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿36﴾
”Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. ((QS. Al Isra’ : 36)
Sebagian ulama berkata: “Seluruh
adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits
“barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia
berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan
pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu
baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang
baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya
haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah
diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut
terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang
banyak terjadi pada manusia.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…………maka
hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu,
keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik
terhadap mereka. Allah
telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku
tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat
mewarisi harta tetangganya”.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini
mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu
ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang
kaya atau yang lain. Juga
anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun
sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan
wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia
segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”.
Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan
bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih
utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam
sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” di dahulukan
dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan
ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar
ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih,
berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah
menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya
atau diharapkan pemberiannya.
H. Adab Menerima Tamu dan Bertamu
Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali
silaturahmi dan persaudaraan yang dianjurkan dalam Islam,namun sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa tata krama dalam bertamu harus tetap dijaga agar tujuan
bertamu itu dapat tercapai.
Dalam Islam diberi bimbingan dalam bertamu,
yaitu jangan bertamu pada tiga waktu aurat ialah sehabis zuhur, sesudah isya’,
dan sebelum subuh. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang
belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu
hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian
(luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi
kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga
waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An Nur : 58)
Ketiga waktu tersebut dikatakan sebagai waktu aurat
karena waktu-waktu itu biasanya digunakan. Lazimnya, orang yang beristirahat hanya
mengenakan pakaian yang sederhana (karena panas misalnya) sehingga sebagian
dari auratnya terbuka. Apabila budak dan anak-anak kecil saja diharuskan
meminta izin bila akan masuk ke kamar ayah dan ibunya, apalagi orang lain yang
bertamu. Bertamu pada waktu-waktu tersebut tidak mustahil justru akan
menyusahkan tuan rumah yang hendak istirahat, karena terpaksa harus berpakaian
rapi lagi untuk menerima kedatangan tamunya.
Adapun lama waktu dalam bertamu paling lama ialah
selama tiga hari, sebagaimana hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي
شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ أَبْصَرَتْ عَيْنَايَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعَتْهُ أُذُنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ بِهِ قَالَ مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ
قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ
وَمَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
صَحِيحٌ
“Barangsiapa yg beriman
kepada Allah, maka hendaklah ia memuliakan tamunya dgn memenuhi bagian (hak,
batasan) nya. Mereka para sahabat berkata, Apakah bagiannya?Beliau menjawab:
Bagiannya adl sehari semalam. Batasan bertamu itu adl tiga hari, & setelah
hari itu adl sedekah. Dan barangsiapa yg beriman kepada Allah & hari
akhirat, maka hendaklah ia berkata-kata baik atau diam. Abu Isa berkata; Ini
adl hadits hasan shahih.” [HR. Tirmidzi No.1890].
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي
شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَمَا أُنْفِقَ عَلَيْهِ
بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ
وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَقَدْ رَوَاهُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ
وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيُّ هُوَ الْكَعْبِيُّ وَهُوَ الْعَدَوِيُّ
اسْمُهُ خُوَيْلِدُ بْنُ عَمْرٍو وَمَعْنَى قَوْلِهِ لَا يَثْوِي عِنْدَهُ يَعْنِي
الضَّيْفَ لَا يُقِيمُ عِنْدَهُ حَتَّى يَشْتَدَّ عَلَى صَاحِبِ الْمَنْزِلِ وَالْحَرَجُ
هُوَ الضِّيقُ إِنَّمَا قَوْلُهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ يَقُولُ حَتَّى يُضَيِّقَ عَلَيْهِ
“Bertamu itu (batasannya)
adl tiga hari, sedangkan lamanya bertamu secara syar'i adl sehari semalam. Dan
apa yg diinfakkan kepadanya setelah itu adl bernilai sedekah. Dan tak halal
baginya untuk bermalam di suatu rumah hingga ia menyusahkan shahibul bait
(pemilik rumah). Hadits semakna juga diriwayatkan dari Aisyah & Abu
Hurairah. Malik bin Anas & Al Laits bin Sa'd telah meriwayatkannya dari
Sa'id Al Maqburi. Abu Isa berkata; Ini adl hadits hasan shahih. Abu Syuraih adl
Al Ka'bi Al 'Adawi namanya Khuwailid bin Amr. Menurutnya, makna sabda beliau:
Laa Yatswi bahwa hendaklah tamu tak bermalam hingga menyusahkan shahibul bait.
Al Haraj artinya kesempitan atau kesusahan. Sabda beliau: Hatta Yuhrijahu maksudnya:
Hingga ia menyusahkannya”. [HR. Tirmidzi No.1891]
Sedangkan bagi tuan rumah dan seorang muslim yang
beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu
sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana
sabda Rasulullah saw,“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka
hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Berikut
ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu.
Adab
bertamu bagi Tamu:
a.
Hendaknya memenuhi undangan dan tidak terlambat
darinya kecuali ada udzur/halangan, karena hadits Nabi saw:“Barangsiapa yang
diundang kepada walimah atau yang serupa, hendaklah ia memenuhinya”. (HR.
Muslim)
b.
Hendaknya tidak membedakan antara undangan
orang fakir dengan undangan orang yang kaya, karena tidak memenuhi undangan
orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk) terhadap perasaannya. Ini berarti
Islam secara NYATA mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan manusia, kecuali dalam
hal takwa. Apabila kita sedang berpuasa sekalipun, diharapkan hadir. Ada hadits
yang bersumber dari Jabir Radhiallaahu anhu menyebutkan bahwasanya Rasulullah
saw bersabda:”Barangsiapa yang diundang untuk jamuan sedangkan ia berpuasa,
maka hendaklah ia menghadirinya. Jika ia suka makanlah dan jika tidak, tidaklah
mengapa.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani).
c.
Jangan terlalu lama menunggu di saat bertamu
karena ini memberatkan yang punya rumah juga jangan tergesa-gesa datang karena
membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya siap. Bertamu tidak boleh lebih
dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari itu.
d.
Hendaknya pulang dengan hati lapang dan
memaafkan segala kekurangan yang ada pada tuan rumah.
e.
Hendaknya mendoakan untuk orang yang
mengundangnya seusai menyantap hidangannya.
“Ya
Allah, ampunilah mereka, belas kasihilah mereka, berkahilah bagi mereka apa
yang telah Engkau karunia-kan kepada mereka. Ya Allah, berilah makan orang yang
telah memberi kami makan, dan berilah minum orang yang memberi kami minum”.
f.
Tidak mengintai ke dalam bilik atau jendela.
Jika kita hendak bertamu dan telah sampai di halaman rumah, tidak diizinkan mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui penghuninya ada atau tidak.
Jika kita hendak bertamu dan telah sampai di halaman rumah, tidak diizinkan mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui penghuninya ada atau tidak.
g.
Tidak masuk rumah walaupun pintunya terbuka.
Dari ayat 27 An Nuur, sebagaimana telah ditulis di atas, kita baru boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah.
Dari ayat 27 An Nuur, sebagaimana telah ditulis di atas, kita baru boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah.
h.
Minta izin
maksimal 3 kali. Tamu yang
hendak masuk di (halaman) rumah orang lain jika telah meminta izin tiga kali,
tidak ada yang menjawab atau tidak diizinkan, hendaknya pergi. Dari Abu Sa’id
Al-Khudri ia berkata,“Abu Musa telah meminta izin tiga kali kepada Umar untuk
memasuki rumahnya, tetapi tidak ada yang menjawab, lalu dia pergi, maka sahabat
Umar menemuinya dan bertanya,”Mengapa kamu kembali?” Dia
menjawab,”Saya mendengar Rasulullah bersabda,”Barangsiapa meminta izin tiga
kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah kembali.”
i.
Tidak menghadap ke arah pintu masuk.
Ketika tamu tiba di depan rumah, hendaknya tidak menghadap ke arah pintu. Tetapi hendaknya dia berdiri di sebelah pintu, baik di kanan maupun di sebelah kiri. Hal ini dicontohkan Rasululloh SAW.Dari Abdulloh bin Bisyer ia berkata,“Adalah Rasululloh SAW apabila mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya ke depan pintu, tetapi berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan ”Assalamu ‘alaikum … assalamu ‘alaikum …”
Ketika tamu tiba di depan rumah, hendaknya tidak menghadap ke arah pintu. Tetapi hendaknya dia berdiri di sebelah pintu, baik di kanan maupun di sebelah kiri. Hal ini dicontohkan Rasululloh SAW.Dari Abdulloh bin Bisyer ia berkata,“Adalah Rasululloh SAW apabila mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya ke depan pintu, tetapi berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan ”Assalamu ‘alaikum … assalamu ‘alaikum …”
j.
Hendaknya menyebut nama yang jelas.
Ketika tuan rumah menanyakan nama, tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban “Saya” atau jawaban yang tidak jelas. Karena tujuan tuan rumah bertanya adalah ingin tahu siapa tamu yang mengunjunginya dan untuk menentukan sikap apakah tamu tersebut boleh masuk atau tidak.
Ketika tuan rumah menanyakan nama, tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban “Saya” atau jawaban yang tidak jelas. Karena tujuan tuan rumah bertanya adalah ingin tahu siapa tamu yang mengunjunginya dan untuk menentukan sikap apakah tamu tersebut boleh masuk atau tidak.
Adab menerima tamu bagi Tuan Rumah:
1.
Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk
jamuan dengan mengabaikan/melupakan orang-orang fakir. Rasulullah saw
bersabda:“Seburuk-buruk makanan adalah makanan pengantinan (walimah), karena
yang diundang hanya orang-orang kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’
alaih).
2.
Undangan jamuan hendaknya tidak diniatkan
berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi niat untuk mengikuti sunnah
Rasulullah saw dan membahagiakan teman-teman sahabat, ataupun syukuran dalam
rangka bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT.
3.
Tidak memaksakan diri untuk mengundang tamu. Di
dalam hadits Anas Radhiallaahu anhu ia menuturkan:“Pada suatu ketika kami ada
di sisi Umar, maka ia berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri
sendiri repot).” (HR. Al-Bukhari)
4.
Jangan anda membebani tamu untuk membantumu,
karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan.
5.
Jangan menampakkan kejemuan/kebosanan terhadap
tamu, tetapi tunjukkanlah kegembiraan dengan kahadiran tamu tersebut.
6.
Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk
tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya.
7.
Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hidangan)
sebelum tamu selesai menikmati jamuan.
8.
Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu
rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Hadits tentang bertamu dan menerima tamu tersebut
merupakan hadits shahih, karena di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim, yang mana hadits setiap hadits yang diriwayatkan oleh beliau pasti
melalui penyaringan yang kuat.
2.
Hadits tersebut mempunyai kaitan/relevansi dengan surat
Ad-Dzariyat ayat 24-27 yang mempunyai kandungan adab dalam menjamu tamu. Seperti
kisah nabi Ibrahim. Ketika beliau kedatangan seorang tamu, tanpa lama-lama dan
secara sembunyi-sembunyi beliau menjamu tamunya dengan seutama-utamanya dengan apa yang beliau miliki dari hartanya lalu
beliau dekatkan dengan cara yang baik di hadapan mereka. Tidak dengan
meletakkannya lalu berkata: "Silahkan mendekat!" Tidak pula dengan perintah yang memberatkan
pendengar dalam sighat jazm, tetapi beliau mengucapkan: "Tidakkah kalian
makan?".
3.
Ajaran dalam hadits tersebut yakni:
a. Hubungan antar anggota masyarakat
b. Membatasi diri untuk berkata yang baik adalah tanda kesempurnaan iman
seseorang
c. Berlaku baik kepada tetangga
d. Menghormati tamu
e. Adab menerima tamu dan bertamu
4.
Asbabul wurud hadits tersebut yakni pada suatu
hari nabi kedatangan seorang tamu akan tetapi nabi tidak dapat menjamu tamu
tersebut sehingga nabi menawarkan kepada para sahabat untuk menjamu tamu
tersebut. salah seorang sahabat anshor mengacungkan tangan dan siap untuk
menjamu tamu tersebut. sahabat tersebut langsung pulang dan menyiapkan
jamuannya. Sahabat tersebut mengatakan hal tersebut kepada istrinya, sang istri
berkata, dengan apa kita menjamu tamu tersebut sedang makanannya hanya cukup
untuk satu orang, itupun anak kita belum makan. Sang suami menyuruh untuk
menidurkan sang anak tanpa makan malam. Selanjutnya sang istri bertanya lagi
tamu tersebut tidak akan mau makan kalau kita juga tidak makan sedangkan
makanannya hanya cukup untuk satu orang saja. Jawab sang suami “ketika mereka
makan kita matikan saja lampunya, kita berikan makanan kepada mereka dan kita
berpura-pura ikut makan dengan membawa piring kosong”. Dan mereka menjalankan
rencana tersebut, tamu tersebut makan dengan tenangnya tanpa mengetahui
kejadian yang sebenarnya. Dan tamu tersebut pulang dalam keadaan kenyang dan
senang. Pada saat shalat subuh berjamaah dengan Rasulullah tamu tersebut
berkata kepada Rasulullah “Alhamdulillah ya Rasulullah aku dijamu dengan
makanan dan tidur dengan tenang”. Rasul berkata “Allah
semalam sangat ridho kepada shohibul bait (tuan rumah) yang menjamumu itu”.(Shahih
Bukhari)
5.
Menghormati tamu
merupakan tanda kesempurnaan iman. Dalam hadist disebutkan bahwa barang siapa
yang komitmen terhadap ajaran Islam dan mengikuti jejak orang-orang mukmin, maka ia harus
menghormati tamu. Sikap ini merupakan bukti rasa percaya dan ketawakalan
seseorang kepada Allah SWT. Karena itu Rosulullah SAW bersabda “ barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamu”.
6.
Adab bertamu bagi tamu: Hendaknya memenuhi undangan dan tidak terlambat, tidak membedakan siapa yang mengundang,
pulang dengan hati lapang, mendoakannya, dll.
Adab menerima tamu bagi tuan rumah: tidak memilih antara
yang kaya dan yang miskin, tidak memberatkan tamu, segera memberikan hidangan, ketika
tamu pulang mengantarkan tamu hingga keluar
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Bugha, Musthofa Dieb. 1998. Al- Wafi Fi syarhil An- Nawawiyah,
Jakarta: Muhil Dhofir Lc,
Nashiruddin,
Syaikh Muhammad. 2008. Shahih at-Targhib wa at-Tarhib. Jakarta:Pustaka Sahifa.
An-Nawawi,
Imam.
2010. Syarah Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Azzam.
Www.geocities.com/dmgto/mabhats201/tamu.htm
- 22k.
‘abdul
‘aziz, Nada bin Fathi as-sayyid. 2007. Ensiklopedi Adab Islam menurut
al-qur’an dan as-sunnah, Jakarta: pustaka Imam Asy-Syafi’i.
[1]
Musthofa Dieb
Al-Bugha, Al- Wafi Fi syarhil An- Nawawiyah, Jakarta: Muhil Dhofir Lc,
1998. Hlm: 101
[2]
Syaikh Muhammad
Nashiruddin, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, Jakarta:Pustaka Sahifa,
2008. Hlm: 77
[3]
Syaikh Muhammad
Nashiruddin, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, Jakarta:Pustaka Sahifa,
2008.
Hlm: 102
[4]
Imam An-Nawawi,
Syarah Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Hlm: 122
[5]
Www.geocities.com/dmgto/mabhats201/tamu.htm - 22k
[6]
‘abdul ‘aziz, Nada bin Fathi
as-sayyid. 2007. Ensiklopedi Adab Islam menurut al-qur’an dan as-sunnah, Jakarta:
pustaka Imam Asy-Syafi’i. hal. 153
salam, boleh saya dapatkan sumber asbab nuzul tu. saya tekan link no 5 x keluar
BalasHapus