Rabu, 29 Juli 2015

Hadits tentang adab bertamu



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
        Dalam Rangka berinteraksi sosial dan bersilaturrahmi, setiap orang akan saling mengunjungi, bertamu, dan menerima tamu. Bahkan, Allah Swt. Akan menjadikan orang yang memuliakan tamu sebagai orang yang beruntung. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 9 yang artinya : “Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Berdasarkan pada ayat tersebut memuliakan tamu adalah kewajiban semua muslim, bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Memuliakan tamu, di antaranya dapat dilakukan dengan memberikan senyuman dan sambutan yang ramah serta menyenangkan. Bahkan, jika tuan rumah memiliki rezeki, tamu dijamu dengan baik. Selain itu, jika tamu datang dari jauh, tawarkan untuk menginap di rumah. Perlakukan tamu dengan sopan, meskipun tamu tersebut tidak membuat perjanjian terlebih dahulu atau datang secara mendadak.
Dalam makalah ini, akan membahas hadist memuliakan tamu serta adab memuliakan tamu. Agar kita mengetahui dan bisa mengamalkan bagaimana adab memuliakan tamu yang baik sesuai dengan ajaran Rasulullah.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, maka rumusan masalahnya yaitu:
A.    Bagaimana Substansi Hadits?
B.     Bagaimana Relevansi Hadits dengan Ayat?
C.     Bagaimana Ajaran dalam Hadits?
D.    Bagaimana Asbabul Wurud Hadits?
E.     Bagaimana Kata Kunci Hadits?
F.      Bagaimana Adab Menerima Tamu dan Bertamu?

1.3  Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, Secara khusus makalah ini akan menginformasikan dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut.
A.    Mengetahui Substansi Hadits
B.     Mengetahui Relevansi Hadits dengan Ayat
C.     Mengetahui Ajaran dalam Hadits
D.    Mengetahui Asbabul Wurud Hadits
E.     Mengetahui Kata Kunci Hadits
F.      Mengetahui Adab Menerima Tamu dan Bertamu
 BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hadits Tentang Memuliakan Tamu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. (رواه البخاري ومسلم)
Artinya :
          Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu`alaihi  wa sallam bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)[1]
B.       Mufrodat

Diam
لِيَصْمُت
Barang siapa
مَنْ كَانَ
Menghormati
فَلْيُكْرِمْ
Beriman
يُؤْمِنُ
Tetangganya
جَارَهُ
Kepada Allah dan Hari Akhir
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِر
Tamunya
ضَيْفَهُ
Berkata baik
فَلْيَقُلْ خَيْراً


C.      Substansi Hadits
                 Mengenai hadist ini, jika ditinjau dari kualitas hadist, sudah tentu bisa dikatakan hadist shohih, karena diriwayatkan oleh imam Bukhori dan imam muslim. Mengapa dapat kami katakan demikian? Karena dikalangan ummat islam sudah sangat familiar dikenal bahwa hadist yang masuk dalam hadist yang diriwayatkan oleh imam bukhori dan imam muslim adalah hadist shohih, karena telah melalui proses penyaringan yang sangat ketat.[2]
D.      Relevansi Hadits dengan Ayat
Dalam al-Quran surat Adz-Dzariyat: 24 – 27, Allah telah berfirman

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ  (٢٤) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (٢٥) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (٢٦) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (٢٧)
     Sudah sampaikah padamu cerita tentang tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman." Ibrahim menjawab: "Salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal." Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya lalu dibawanya daging bakar dari anak sapi yang gemuk dan dihidangkannya kepada mereka, Ibrahim berkata: "Tidakkah kalian makan?"  
                 Syaikh Salim Al-Hilali hafidhahullah menerangkan panjang lebar firman Allah di atas dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin. Ia mengatakan: "Ini adalah kisah tentang malaikat-malaikat yang mulia. Mereka mendatangi Ibrahim `alaihis salam untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan anaknya Ya`qub. Mereka lantas mengucapkan salam dan Ibrahim pun menjawabnya dengan sebaik-baiknya. Beliau tidak mengenali mereka sebab mereka datang dalam bentuk pemuda tampan, beliau sangka mereka adalah tamu-tamu sehingga beliau berkeinginan menjamu mereka dan memang beliaulah yang pertama kali menjamu tamu. Beliau menyelinap dengan sembunyi-sembunyi dan dengan segera beliau datang dengan membawa daging panggang dari sapi yang gemuk. Itulah makanan terbaik yang dimiliki yang beliau panggang di atas batu panggang. Kemudian beliau mendekatkannya kepada mereka dan mempersilahkan dengan ungkapan yang lembut dan penghormatan yang bagus: ‘Tidakkah kalian makan?’
                 Dalam ayat-ayat ini terkandung adab menjamu tamu. Beliau (Ibrahim ‘alaihis salam) datang dengan segera membawa makanan tanpa mereka (para tamu) sadari dan tanpa mengharap sebelumnya karena ungkapan (tuan rumah): ‘Kami akan menghidangkan makan’, tetapi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi, beliau menjamu tamunya dengan seutama-utama apa yang beliau dapati dari hartanya lalu beliau dekatkan dengan cara yang baik di hadapan mereka. Tidak dengan meletakkannya lalu berkata: "Silahkan mendekat!"  Tidak pula dengan perintah yang memberatkan pendengar dalam sighat jazm, tetapi beliau mengucapkan: "Tidakkah kalian makan?"
E.       Ajaran dalam Hadits
Dalam hadis diatas berisi tentang:
1.    Hubungan antar anggota masyarakat.
          Manusia hidup di dunia ini berbaur degan manusia lain. Islam telah berusaha agar hubungan tersebut terjalin dengan baik dan benar. Ini akan terealisasikan ketika antara satu dengan yang lainnya saling menghormati, dan komitmen satu sama lain.[3]
2.    Membatasi diri untuk berkata yang baik adalah tanda kesempurnaan iman seseorang.
         Dalam hadist ini Rasulullah SAW mendorong kita untuk berkomitmen terhadap etika yang baik dan perbuatan yang bermanfaat. Dorongan tersebut dilakukan dengan cara menjelaskan kepada kita bahwa diantara tanda kesempurnaan iman seseorang adalah membatasi diri berbicara yang bermanfaat baginya, baik yang berhubungan dunia maupun akhirat, dan hal-hal yang membawa manfaat bagi masyarakat.
3.    Berlaku baik kepada tetangga
         Diatara tanda kesempurnaan iman dan islam adalah berlaku baik kepada tetangga dan tidak menyakitinya. Berbuat baik kepada tetangga merupakan keharusan. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu sama lain. Adapun cara berbuat ada berbagai macam diantaranya memberikan bantuan kepada tetangga, saling tolong-menolong dan lain-lain.
4.    Menghormati tamu.
            Menghormati tamu merupakan tanda kesempurnaan iman. Dalam hadist disebutkan bahwa barang siapa yang komitmen terhadap ajaran Islam dan mengikuti jejak orang-orang mukmin, maka ia harus menghormati tamu. Sikap ini merupakan bukti rasa percaya dan ketawakalan seseorang kepada Allah SWT. Karena itu Rosulullah SAW bersabda “ barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamu”.
            Menurut Imam Ahmad berpendapat bahwa menjamu tamu adalah wajib, selama sehari semalam. Hal ini didasari oleh hadist yang diriwayatkan oleh ibnu Majah, bahwa Rosulullah SAW bersabda: “menjamu tamu sehari semalam adalah kewajiban seorang muslim”.
            Al Qadhi iyadh berkata, “makna hadist diatas bahwa yang memiliki hukum wajib dalam syariat islam adalah memuliakan tetangga dan tamu serta memperlakukan mereka dengan baik.[4]
5.     Adab menerima tamu dan bertamu
            Menghormati bisa dalam bentuk bersikap ramah, berbicara dengan baik, bersegera menyajikan jamuan, termasuk menjamu dengan makanan yang ada atau yang lebih baik dari yang dimakan keluarganya selama sehari semalam. Dua hari berikutnya dengan makanan yang dimakan oleh keluarganya, dengan tidak memaksakan diri hingga membebani keluarganya.
F.       Asbabul Wurud Hadits
                 Ketika Allah melihat salah satu bentuk, dimana Allah Swt memperlihatkan kepada hamba-hamba Nya bahwa Allah melihat semua perbuatan yang terkecil sekalipun. Maka disaat itu datanglah tamu kepada Sang Nabi saw dan Sang Nabi saw tidak bisa menjamunya karena tidak ada makanan. Rasul tanya pada istrinya “punya makanan apa kita untuk menjamu tamu ini?”, istri Nabi saw menjawab “tidak ada, yang ada cuma air”. Maka Rasul berkata “siapa yang mau menjamu tamuku ini?”  Satu orang anshar langsung mengacungkan tangan “aku yang menjamu tamumu ya Rasulullah”. Kemudian sahabat itu membawa tamu rasul itu  ke rumahnya, sampai dirumah mengetuk pintu dengan keras hingga istrinya bangun. “Kenapa suamiku? kau tampak terburu-buru”. “akrimiy dhaifa Rasulillah, kita dapat kemuliaan tamunya Rasulullah. Ayoo.. muliakan, keluarkan semua yang kita miliki daripada pangan dan makanan, semua keluarkan. Ini tamu Rasulullah bukan tamu kita, datang kepada Rasul, Rasul saw tidak bisa menyambutnya. Rasul tanya “siapa yang bisa menyambutnya?”, aku buru - buru tunjuk tangan, ini kemuliaan besar bagi kita.” Istrinya berkata “suamiku, makanannya hanya untuk 1 orang. Tidak ada makanan lagi, itu pun untuk anak- anak kita. 2 orang anak- anak kita hanya akan makan makanan untuk 1 orang, kau ini bagaimana menyanggupi undangan tamu Rasul? kau tidak bertanya lebih dulu? apakah kita punya kambing, punya ayam, punya beras, punya roti, jangan main terima sembarangan!” Maka suaminya sudah terlanjur menyanggupi “sudah kalau begitu anak kita tidurkan cepat- cepat, matikan lampu agar anaknya tidur”. “belum makan, suruh tidur jangan suruh makan malam, biar saja”.
                 Di tidurkan anaknya tanpa makan. Lalu tinggal makanan yang 1 piring untuk 1 orang, “ini bagaimana? tamunya tidak mau makan kalau hanya ditaruh 1 piring kalau shohibul bait (tuan rumah) tidak ikut makan karena cuma 1 piring makanannya”. Suaminya berkata “nanti sebelum kau keluarkan piringnya, lampu ini kau betulkan lalu saat makan tiup agar mati pelitanya, jadi pura- pura lampu mati. Taruh piring, silahkan makan dan kita taruh piring kosong di depan kita, tamu makan kita tidak usah makan tapi seakan “ akan makan dan tidak kelihatan lampunya gelap”.
                 Maka tamunya tidak tahu cerita lampunya mati, pelitanya rusak, tamunya makan dengan tenangnya, nyenyak dalam tidurnya, pagi-pagi shalat subuh kembali kepada Rasul saw “Alhamdulillah ya Rasulullah aku dijamu dengan makanan dan tidur dengan tenang”. Rasul berkata “Allah semalam sangat ridho kepada shohibul bait (tuan rumah) yang menjamumu itu” (shahih Bukhari).[5]
                 Allah tersenyum, bukan Allah itu seperti manusia bisa tersenyum tapi maksudnya Allah sangat sayang dan sangat gembira. Dengan perbuatan itu Allah sangat terharu, bukan terharu karena tamunya saja tapi juga karena shohibul bait berucap. akrimiy dhaifa Rasulillah” muliakan tamu Rasulullah. Ini yang membuat Allah terharu, untuk tamunya Rasulullah rela anaknya tidak makan, tidur semalaman dalam keadaan lapar untuk memuliakan tamunya Rasulullah saw.
           
G.      Kata Kunci Hadits
                 Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya itu) menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badan nya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿36
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. ((QS. Al Isra’ : 36)
                 Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.
                 Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…………maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
                  Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”.
                 Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” di dahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.
H.      Adab Menerima Tamu dan Bertamu
                 Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali silaturahmi dan persaudaraan yang dianjurkan dalam Islam,namun sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tata krama dalam bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu dapat tercapai.
                 Dalam Islam diberi bimbingan dalam bertamu, yaitu jangan bertamu pada tiga waktu aurat ialah sehabis zuhur, sesudah isya’, dan sebelum subuh. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An Nur : 58)
                 Ketiga waktu tersebut dikatakan sebagai waktu aurat karena waktu-waktu itu biasanya digunakan. Lazimnya, orang yang beristirahat hanya mengenakan pakaian yang sederhana (karena panas misalnya) sehingga sebagian dari auratnya terbuka. Apabila budak dan anak-anak kecil saja diharuskan meminta izin bila akan masuk ke kamar ayah dan ibunya, apalagi orang lain yang bertamu. Bertamu pada waktu-waktu tersebut tidak mustahil justru akan menyusahkan tuan rumah yang hendak istirahat, karena terpaksa harus berpakaian rapi lagi untuk menerima kedatangan tamunya.
                 Adapun lama waktu dalam bertamu paling lama ialah selama tiga hari, sebagaimana hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ أَبْصَرَتْ عَيْنَايَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعَتْهُ أُذُنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ بِهِ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَمَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Barangsiapa yg beriman kepada Allah, maka hendaklah ia memuliakan tamunya dgn memenuhi bagian (hak, batasan) nya. Mereka para sahabat berkata, Apakah bagiannya?Beliau menjawab: Bagiannya adl sehari semalam. Batasan bertamu itu adl tiga hari, & setelah hari itu adl sedekah. Dan barangsiapa yg beriman kepada Allah & hari akhirat, maka hendaklah ia berkata-kata baik atau diam. Abu Isa berkata; Ini adl hadits hasan shahih.” [HR. Tirmidzi No.1890].
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَمَا أُنْفِقَ عَلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَقَدْ رَوَاهُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيُّ هُوَ الْكَعْبِيُّ وَهُوَ الْعَدَوِيُّ اسْمُهُ خُوَيْلِدُ بْنُ عَمْرٍو وَمَعْنَى قَوْلِهِ لَا يَثْوِي عِنْدَهُ يَعْنِي الضَّيْفَ لَا يُقِيمُ عِنْدَهُ حَتَّى يَشْتَدَّ عَلَى صَاحِبِ الْمَنْزِلِ وَالْحَرَجُ هُوَ الضِّيقُ إِنَّمَا قَوْلُهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ يَقُولُ حَتَّى يُضَيِّقَ عَلَيْهِ
“Bertamu itu (batasannya) adl tiga hari, sedangkan lamanya bertamu secara syar'i adl sehari semalam. Dan apa yg diinfakkan kepadanya setelah itu adl bernilai sedekah. Dan tak halal baginya untuk bermalam di suatu rumah hingga ia menyusahkan shahibul bait (pemilik rumah). Hadits semakna juga diriwayatkan dari Aisyah & Abu Hurairah. Malik bin Anas & Al Laits bin Sa'd telah meriwayatkannya dari Sa'id Al Maqburi. Abu Isa berkata; Ini adl hadits hasan shahih. Abu Syuraih adl Al Ka'bi Al 'Adawi namanya Khuwailid bin Amr. Menurutnya, makna sabda beliau: Laa Yatswi bahwa hendaklah tamu tak bermalam hingga menyusahkan shahibul bait. Al Haraj artinya kesempitan atau kesusahan. Sabda beliau: Hatta Yuhrijahu maksudnya: Hingga ia menyusahkannya”. [HR. Tirmidzi No.1891]
                 Sedangkan bagi tuan rumah dan seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw,“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu.
Adab bertamu bagi Tamu:
a.         Hendaknya memenuhi undangan dan tidak terlambat darinya kecuali ada udzur/halangan, karena hadits Nabi saw:“Barangsiapa yang diundang kepada walimah atau yang serupa, hendaklah ia memenuhinya”. (HR. Muslim)
b.        Hendaknya tidak membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang yang kaya, karena tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk) terhadap perasaannya. Ini berarti Islam secara NYATA mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan manusia, kecuali dalam hal takwa. Apabila kita sedang berpuasa sekalipun, diharapkan hadir. Ada hadits yang bersumber dari Jabir Radhiallaahu anhu menyebutkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda:”Barangsiapa yang diundang untuk jamuan sedangkan ia berpuasa, maka hendaklah ia menghadirinya. Jika ia suka makanlah dan jika tidak, tidaklah mengapa.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani).
c.         Jangan terlalu lama menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah juga jangan tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya siap. Bertamu tidak boleh lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari itu.
d.        Hendaknya pulang dengan hati lapang dan memaafkan segala kekurangan yang ada pada tuan rumah.
e.         Hendaknya mendoakan untuk orang yang mengundangnya seusai menyantap hidangannya.
“Ya Allah, ampunilah mereka, belas kasihilah mereka, berkahilah bagi mereka apa yang telah Engkau karunia-kan kepada mereka. Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi kami makan, dan berilah minum orang yang memberi kami minum”.
f.         Tidak mengintai ke dalam bilik atau jendela.
Jika kita hendak bertamu dan telah sampai di halaman rumah, tidak diizinkan mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui penghuninya ada atau tidak.
g.        Tidak masuk rumah walaupun pintunya terbuka.
Dari ayat 27 An Nuur, sebagaimana telah ditulis di atas, kita baru boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah.
h.        Minta izin maksimal 3 kali. Tamu yang hendak masuk di (halaman) rumah orang lain jika telah meminta izin tiga kali, tidak ada yang menjawab atau tidak diizinkan, hendaknya pergi. Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata,“Abu Musa telah meminta izin tiga kali kepada Umar untuk memasuki rumahnya, tetapi tidak ada yang menjawab, lalu dia pergi, maka sahabat Umar menemuinya dan bertanya,”Mengapa kamu kembali?” Dia menjawab,”Saya mendengar Rasulullah bersabda,”Barangsiapa meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah kembali.”
i.          Tidak menghadap ke arah pintu masuk.
Ketika tamu tiba di depan rumah, hendaknya tidak menghadap ke arah pintu. Tetapi hendaknya dia berdiri di sebelah pintu, baik di kanan maupun di sebelah kiri. Hal ini dicontohkan Rasululloh SAW.Dari Abdulloh bin Bisyer ia berkata,“Adalah Rasululloh SAW apabila mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya ke depan pintu, tetapi berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan ”Assalamu ‘alaikum … assalamu ‘alaikum …”
j.          Hendaknya menyebut nama yang jelas.
Ketika tuan rumah menanyakan nama, tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban “Saya” atau jawaban yang tidak jelas. Karena tujuan tuan rumah bertanya adalah ingin tahu siapa tamu yang mengunjunginya dan untuk menentukan sikap apakah tamu tersebut boleh masuk atau tidak.
Adab menerima tamu bagi Tuan Rumah:
1.        Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan/melupakan orang-orang fakir. Rasulullah saw bersabda:“Seburuk-buruk makanan adalah makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya orang-orang kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).
2.        Undangan jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi niat untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw dan membahagiakan teman-teman sahabat, ataupun syukuran dalam rangka bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT.
3.        Tidak memaksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu anhu ia menuturkan:“Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR. Al-Bukhari)
4.        Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan.
5.        Jangan menampakkan kejemuan/kebosanan terhadap tamu, tetapi tunjukkanlah kegembiraan dengan kahadiran tamu tersebut.
6.        Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya.
7.        Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hidangan) sebelum tamu selesai menikmati jamuan.
8.        Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian[6]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.        Hadits tentang bertamu dan menerima tamu tersebut merupakan hadits shahih, karena di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang mana hadits setiap hadits yang diriwayatkan oleh beliau pasti melalui penyaringan yang kuat.
2.        Hadits tersebut mempunyai kaitan/relevansi dengan surat Ad-Dzariyat ayat 24-27 yang mempunyai kandungan adab dalam menjamu tamu. Seperti kisah nabi Ibrahim. Ketika beliau kedatangan seorang tamu, tanpa lama-lama dan secara sembunyi-sembunyi beliau menjamu tamunya dengan seutama-utamanya dengan apa yang beliau miliki dari hartanya lalu beliau dekatkan dengan cara yang baik di hadapan mereka. Tidak dengan meletakkannya lalu berkata: "Silahkan mendekat!"  Tidak pula dengan perintah yang memberatkan pendengar dalam sighat jazm, tetapi beliau mengucapkan: "Tidakkah kalian makan?".
3.        Ajaran dalam hadits tersebut yakni:
a.       Hubungan antar anggota masyarakat
b.      Membatasi diri untuk berkata yang baik adalah tanda kesempurnaan iman seseorang
c.       Berlaku baik kepada tetangga
d.      Menghormati tamu
e.       Adab menerima tamu dan bertamu
4.        Asbabul wurud hadits tersebut yakni pada suatu hari nabi kedatangan seorang tamu akan tetapi nabi tidak dapat menjamu tamu tersebut sehingga nabi menawarkan kepada para sahabat untuk menjamu tamu tersebut. salah seorang sahabat anshor mengacungkan tangan dan siap untuk menjamu tamu tersebut. sahabat tersebut langsung pulang dan menyiapkan jamuannya. Sahabat tersebut mengatakan hal tersebut kepada istrinya, sang istri berkata, dengan apa kita menjamu tamu tersebut sedang makanannya hanya cukup untuk satu orang, itupun anak kita belum makan. Sang suami menyuruh untuk menidurkan sang anak tanpa makan malam. Selanjutnya sang istri bertanya lagi tamu tersebut tidak akan mau makan kalau kita juga tidak makan sedangkan makanannya hanya cukup untuk satu orang saja. Jawab sang suami “ketika mereka makan kita matikan saja lampunya, kita berikan makanan kepada mereka dan kita berpura-pura ikut makan dengan membawa piring kosong”. Dan mereka menjalankan rencana tersebut, tamu tersebut makan dengan tenangnya tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya. Dan tamu tersebut pulang dalam keadaan kenyang dan senang. Pada saat shalat subuh berjamaah dengan Rasulullah tamu tersebut berkata kepada Rasulullah “Alhamdulillah ya Rasulullah aku dijamu dengan makanan dan tidur dengan tenang”. Rasul berkata “Allah semalam sangat ridho kepada shohibul bait (tuan rumah) yang menjamumu itu”.(Shahih Bukhari)
5.        Menghormati tamu merupakan tanda kesempurnaan iman. Dalam hadist disebutkan bahwa barang siapa yang komitmen terhadap ajaran Islam dan mengikuti jejak orang-orang mukmin, maka ia harus menghormati tamu. Sikap ini merupakan bukti rasa percaya dan ketawakalan seseorang kepada Allah SWT. Karena itu Rosulullah SAW bersabda “ barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamu”.
6.        Adab bertamu bagi tamu: Hendaknya memenuhi undangan dan tidak terlambat, tidak membedakan siapa yang mengundang, pulang dengan hati lapang, mendoakannya, dll.
Adab menerima tamu bagi tuan rumah: tidak memilih antara yang kaya dan yang miskin, tidak memberatkan tamu, segera memberikan hidangan, ketika tamu pulang mengantarkan tamu hingga keluar
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bugha, Musthofa Dieb. 1998. Al- Wafi Fi syarhil An- Nawawiyah, Jakarta: Muhil Dhofir Lc,
Nashiruddin, Syaikh Muhammad. 2008. Shahih at-Targhib wa at-Tarhib. Jakarta:Pustaka Sahifa.
An-Nawawi, Imam. 2010. Syarah Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Azzam.
Www.geocities.com/dmgto/mabhats201/tamu.htm - 22k.
‘abdul ‘aziz, Nada bin Fathi as-sayyid. 2007. Ensiklopedi Adab Islam menurut al-qur’an dan as-sunnah, Jakarta: pustaka Imam Asy-Syafi’i.


[1] Musthofa Dieb Al-Bugha, Al- Wafi Fi syarhil An- Nawawiyah, Jakarta: Muhil Dhofir Lc, 1998. Hlm: 101
[2] Syaikh Muhammad Nashiruddin, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, Jakarta:Pustaka Sahifa, 2008. Hlm: 77
[3] Syaikh Muhammad Nashiruddin, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, Jakarta:Pustaka Sahifa, 2008. Hlm: 102
[4] Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Hlm: 122

[5] Www.geocities.com/dmgto/mabhats201/tamu.htm - 22k

[6] abdul ‘aziz, Nada bin Fathi as-sayyid. 2007. Ensiklopedi Adab Islam menurut al-qur’an dan as-sunnah, Jakarta: pustaka Imam Asy-Syafi’i. hal. 153

1 komentar:

  1. salam, boleh saya dapatkan sumber asbab nuzul tu. saya tekan link no 5 x keluar

    BalasHapus