BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Fiqih itu adalah sebuah lautan yang
tidak diketahui tepinya. Maka dari itu, satu masalah saja
dapat berkembang dan bercabang dan bercabang-cabang menjadi yang sangat banyak.
Dan biasanya satu masalah saja mempunyai beberapa pendapat diantara berbagai
mazhab , bahkan bisa saja terjadi perbedaan pendapat diantara ulama ahli fiqih
dalam satu mazhab saja, atau juga terjadi perbedaan yang dikeluarkan oleh satu
orang alim saja.
Perbedaan dalam masalah hukum
merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada setiap pensyari’atan (tasyrî’)
yang menjadikan aktivitas-aktivitas manusia berikut adat-adat mereka sebagai
sumber, di samping juga pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan pertimbangan
mereka sebagai dasar pijakan. Hal itu disebabkan kerena adat-adat
manusia berbeda-beda, pekerjaan-pekerjaan mereka bermacam-macam, dan
pendapat-pendapat mereka beragam, sesuai dengan fitrah mereka yang diciptakan
Allah SWT. Bila dasar pikiran yang digunakan berbeda, sudah tentu hasilnya pun
akan berbeda pula. Itulah sebabnya seluruh syari’at positif (asy-syarî’ah
al-wadh’îyyah) hingga saat ini masih saja menjadi obyek perbedaan dan
pemicu perdebatan, karena itu merupakan ‘buatan’ sekaligus hasil pemikiran
manusia dalam upaya mencapai maslahat-maslahat yang mereka inginkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian
Perbedaan Pendapat?
2. Apa Sebab-sebab
Perbedaan Pendapat dalam Fiqh?
3. Bagaimana Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan dalam
Masalah Fiqh?
1.3 Tujuan
·
Menjelaskan Pengertian
Perbedaan Pendapat
·
Menjelaskan Sebab-sebab
Perbedaan Pendapat dalam Fiqh
·
Menjelaskan Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan dalam Masalah Fiqh
1.4
Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
·
Dapat mengetahui tentang Pengertian Perbedaan Pendapat
·
Mengetahui Sebab-sebab
Perbedaan Pendapat dalam Fiqh
·
Mengetahuhi Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan dalam Masalah
Fiqh
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf, secara lingusitik
dalam kajian bahasa Inggris, dapat diterjemahkan beranekaragam, difference of
opinion, distinction atau controvercy. Akan
tetapi, jika disimak secara mendalam, kata contovercy lebih tepat.
Dalam bentuk bahasa Arab, kata Ikhtilaf diambil dari
kata Khalafa yang berarti berpisah, perselisihan. Menurut istilah, Thaha Jabir
menjelaskan, Ikhtilaf adalah proses yang dilalui dengan metode yang berbeda
antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.
Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata
ikhtilaf atau khilaf. Perbadaan pendapat dalam fiqh merupakan perbedaan yang
disebabkan oleh perbedaan akal fikiran, karena bila diitinjau dari
sebab-musababnya secara global, perbedaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang
disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang disebabkan oleh akal
fikiran. Perbedaan yang disebabkan moral itu biasanya dikarenakan terlalu
menganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau
mendalami dengan seksama dan teliti, seperti su’udzon dengan orang lain,
fanatik buta terhadap pendapat seseorang atau madzhab dan golongan tertentu.
Ini tergolong ikhtilaf yang buruk dan tercela .
Adapun perbedaan yang disebabkan akal fikiran adalah
perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik masalah ilmiah seperti perbedaan
dalam cabang Syari’at Islam, atau bersifat akidah, politik, dan lain-lain. Perbedaan
pandangan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambah pengaruh-pengaruh
sampingan yang mempengaruhi akal, seperti lingkungan, zaman, situasi dan
kondisi, baik bersifat positif atau negatif.
Maka perbedaan dalam fiqh merupakan sesuatu hal yang
pasti terjadi, karena tabiatnya agama, bahasa, manusia juga tabiatnya alam dan
kehidupan. Oleh karena itu orang-orang yang menghendaki bersatunya semua orang
dalam satu pendapat di bidang hukum-hukum ibadah, muamalah dan lain-lain dari
cabang agama Islam, maka berarti ia menginginkan sesuatu hal yang mustahil
terjadi. Bahkan perbedaan dalam fiqh ini dianggap rahmat oleh mayoritas ulama
dengan merujuk salah satu hadist Nabi SAW yang dikeluarkan Imam al-Suyuthi
dalam “al-Jami’ al-Shogir” : ”ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan antar
umat-umatku adalah suatu rahmat).
Ikhtilaf fiqhi ini, tidak hanya dianggap sebagai hal
yang lazim dan rahmat, namun juga bisa merupakan harta karun warisan yang amat
berharga, karena perbedaan pendapat para ulama adalah peninggalan yang bisa
dijadikan bahan kajian bagi perkembangan fiqh itu sendiri di masa mendatang,
juga bahan pertimbangan dan masukan yang tidak sedikit nilainya.
Namun sayang ada sebagian kelompok umat Islam yang tidak mengetahui hal ini atau pura-pura tidak mengetahuinya. Mereka tidak
menganggap perbedaan umat Islam sebagai rahmat, mereka mengklaim bahwa kelompok
dan ibadah mereka yang paling benar, mereka membid’ahkan ibadah kelompok lain,
mencacinya, mengkritiknya bahkan mengkafirkannya, mereka menganggap dirinya
sebagai satu-satunya kelompok ahlus sunnah wal jama’ah yang sesuai dengan ulama
salaf (lampau), sehingga mereka menamakan dirinya dengan Jama’ah Salafiyah atau
Kaum Salafi.[1]
2.2
Sebab-sebab Perbedaan Pendapat
Prof.
Al-Zuhayli mengatakan bahwa sumber perbedaan diantara fuqaha pada dasarnya
adalah karena perbedaan tingkat kemampuan berfikir atau karena perbedaan
tingkat penguasaan dan pemahaman nash/dalil, dan juga karena perbedaan
metodologi yang dipakai dalam melakukan ijtihad. Selanjutnya Al-Zuhayli
menyebutkan sebab-sebab utama yang menimbulkan perbedaan tersebut secara lebih
rinci sebagai berikut :
A. اختلاف
معاني الالفاظ العربية (Perbedaan Arti Dari
Beberapa kata Arab)
Banyak kata-kata (lafadz) dalam
bahasa Arab yang mempunyai arti ganda, seperti kata “al-quruu’u” yang mempunyai
makna “suci” dan juga “haidl”. Tetapi para sahabat dalam memberikan makna
al-quruu’u dalam ayat 228 dari surat al-Baqarah, yang berkaitan dengan masalah
iddahnya wanita yang dicerai suaminya, menjadi berbeda pendapat. Ayat tersebut
adalah :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنفُسِهِنَّ
ثَلثَةَ قُرُوْءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’”. (QS. Al-Baqarah :228).
Ummul Mukminin Aisyah, Ibnu Umar,
Zaid bin Tsabit ra. memberi makna al-quruu’u disitu dengan arti “suci” (yakni
iddah wanita-wanita tersebut adalah tiga kali suci dari haidl). Sedang Abu
Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan
makna al-quruu’u dalam ayat tersebut dengan arti “haidl”.
Perbedaan ini berlanjut sampai
imam-imam madzhab. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti
pendapat kelompok yang pertama (al-quruu’u = at-thuhru), sementara Imam Abu
Hanifah mengikuti pendapat kelompok kedua (al-quruu’u = al-haidlu).
B.
اختلاف الرواية (Perbedaan
Riwayat)
Seperti ada sebuah hadits yang
sampai kepada seseorang diantara para ulama’, tetapi hadits tersebut tidak
sampai/tidak diketahui oleh ulama’ yang lainnya. Atau sampainya hadits tersebut
kepada sebagian ulama’ melalui jalur sanad yang lemah (dlo’if), sehingga mereka
tidak mau menggunakannya sebagai dalil atau dasar istinbath. Sedang yang lain
menerimanya melalui jalur sanad yang kuat (sahih) dan oleh karenanya mau
menggunakannya sebagai dalil/dasar istinbath.
C.
اختلاف المصادر (Perbedaan
Sumber Dalil)
Dalam berijtihad, terdapat
sumber-sumber dalil yang telah disepakati oleh ulama’ mujtahidin, seperti al-Qur’an,
as-sunnah, ijma’ dan qiyas. Namun di samping sumber-sumber dalil tersebut, ada
beberapa sumber yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf fiha), seperti
al-Istihsan, al-maslahah al-mursalah, Syar’u man qablana, al-urf, dan
lain-lain. Dalam menyikapi sumber-sumber dalil tersebut, antara pihak yang
menerima dan yang menolak, atau yang menerima tapi bersyarat, akan menyebabkan
kemungkinan terjadinya perbedaan hasil ijtihadnya.
D.
اختلاف القواعد الاصولية (Perbedaan Kaidah-kaidah Ushul Fiqih)
Seperti pendapat yang mengatakan : “Kalimat/kata umum
yang mempunyai arti khusus, tidak dapat dijadikan dalil/hujjah”. Atau pendapat
madzhab Dhahiri yang mengatakan : “al-Mafhum al-Muwafaqah” tidak dapat dipakai
sebagai dalil istinbath. Tapi madzhab-madzhab lain dapat menerimanya sebagai
dalil.
E.
الاجتهاد بالقياس (Ijtihad Dengan Dasar Qiyas)
Masalah ini banyak membuka perbedaan dalam skala yang
luas, mengingat qiyas itu mempunyai prinsip-prinsip, syarat-syarat dan
alasan-alasan (illah) yang banyak. Dan masing-masing illah mempunyai
kualifikasi (persyaratan) dan cara penggunaannya yang ruwet. Di sini membuka
peluang terjadinya perbedaan diantara ulama’ mujtahidin. Sebagai contoh,
madzhab Syafi’i mengatakan, bahwa “tertib” (urut-urutan) dalam melakukan wudlu sebagaimana tertera dalam ayat 6 surat
al-Maidah, yakni : membasuh muka, membasuh tangan sampai dengan siku, mengusap
kepala, kemudian membasuh kaki sampai dengan mata kaki. Adalah fardlu (wajib),
dan apabila hal tersebut diabaikan maka wudlunya tidak sah. Pendapat tersebut
didasarkan dalil qiyas dalam melakukan tata cara ibadah yang lainnya, seperti
ibadah sa’i yang dipaparkan dalam ayat 158 surat al-Baqarah, yakni ibadah sa’i
itu dilaksanakan “dari as-Shafa ke al-Marwah”, hal itu sebagai keharusan dan
tidak boleh dibalik dari al-Marwah ke as-Shafa karena Nabi SAW bersabda dalam
kaitan ini :
فَابْدَؤُا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Dahulukan apa yang didahulukan oleh Allah”.
Demikian halnya dengan cara berwudlu. Tetapi ada madzhab
lain yang memandang “tertib” tersebut bukan merupakan keharusan.
F.
التعارض والترخيح بين الادلة (Kontradiksi dan Pengunggulan Dalil)
Sebenarnya dalil-dalil syara’ yang utama (Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah yang shahih) itu tidak ada kontradiksinya, tetapi kontradiksi
itu muncul dari batas kemampuan kita dalam memahaminya, atau tingkat penguasaan
kita dalam menafsirkannya. Hal itu sebenَarnya yang
menjadi sebab timbulnya perbedaan dikalangan ulama’ dalam menetapkan fatwanya.
Contohnya Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal mengatakan, bahwa orang yang sedang melakukan ihram, tidak boleh menikah
atau menikahkan, dengan dasar hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Utsman bin
Affan ra. bahwa Rasulullah bersabda :
لَايَنْكِحُ اْلمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ
"Orang
yang sedang ihram tidak boleh menikah dan menikahkan". (HR. Imam
Muslim)
Juga ada hadits lain yang diriwayatkan Oleh Yazid bin
al-A’shom dari Maimunah ra. “Bahwa Nabi menikahinya setelah halal (selesai
tahallul), dan kumpul dengan beliau dalam keadaan halal (bebas ihram)”. (HR.
Imam Ahmad dan Imam Turmudzi).
Sedangkan Imam Abu Hanifah, membolehkan nikah dalam
keadaan sedang melakukan ihram, atas dasar hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas
ra. “Bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi Maimunah ketika beliau ihram”. (HR.
Bukhari).
Dalam contoh tersebut di atas, tampak adanya dua dalil
yang terlihat kontradiktif, dan ada perbedaan diantara ulama’ mujtahidin dalam
memilih mana dalil yang diunggulkan.[2]
Prof. Musthafa al-Khin, menyebutkan ada tujuh sebab-sebab
utama yang menimbulkan perbedaan diantara ulama’ Mujtahidin dalam melakukan
istinbath, yakni :
1.
اختلاف القراءات (Perbedaan
Bacaan)
Seperti perbedaan bacaan dari sebuah kalimat dari ayat
al-Qur’an yang mengakibatkan perbedaan dalam tata cara berwudlu’. Ayat tersebut
ialah ayat 6 dari surat al-Maidah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُواْ
بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-Maidah : 6).
Imam-imam ahli qira’at : Nafi’, Ibnu
Amir dan Al-Kisa’i membaca “Arjulakum” dengan nashab pada huruf lamnya (أَرْجُلَكُم). Sedangkan
yang lain : Ibnu Katsir, Abu Amr dan Hamzah, membaca “Arjulikum” dengan jer.
Mayoritas ulama’ (al-Jumhur) menyetujui bacaan nashab, dan berpendapat bahwa
cara berwudlu antara lain harus dengan “membasuh” kedua kaki sampai dengan
kedua mata kaki, tidak cukup hanya dengan “mengusapnya” saja. Kata “Arjulakum”
di athafkan (diselaraskan) ke kata-kata sebelumnya, yakni : “Wujuhakum wa
aidiyakum” bukannya diathafkan ke kata “Biru’usikum”.
2. عدم الاطلاع
على الحديث(Tidak
Mengetahui Adanya Hadits)
Sahabat-sahabat
Nabi SAW tidak sama pengetahuannya tentang hadits, sebagian mengetahui dan
sebagian lagi tidak mengetahui beberapa hadits tertentu, karena mereka tidak
selalu bersama-sama dengan Nabi SAW pada setiap waktu. Pada saat Nabi bersabda,
atau melakukan sesuatu, maka hanya sebagian saja diantara mereka yang
mengetahui.
Sebagai
contoh, masalah sahnya puasa seseorang yang masih junub (masih mempunyai hadats
besar) sampai kedahuluan waktu subuh. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah ra.
berkata : “Barang siapa yang sampai pada waktu subuh masih junub maka tidak
boleh berpuasa”. Waktu itu Abu Hurairah belum mendengar apa yang disampaikan
oleh Siti Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. : “Bahwa Nabi Muhammad SAW pernah
bangun waktu subuh dalam keadaan masih junub, kemudian beliau tetap
melaksanakan puasa Ramadhan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut
riwayat ini, Abu Hurairah ra. kemudian mengubah pendapatnya setelah mengetahui
apa yang disampaikan oleh Siti Aisyah dan Ummu Salamah.
3. الشك في ثبوت
الحديث (Keraguan Terhadap
Kebenaran Sebuah Hadits)
Para
sahabat Nabi SAW itu tidak begitu saja melakukan sesuatu karena adanya
keterangan tentang sunnah Nabi, tetapi mereka lebih dulu memastikan kebenaran
keterangan tersebut. Dan di dalam menguji kebenaran keterangan ini sering kali
terjadi perbedaan penilaian dan kesimpulan diantara para sahabat dan para
ulama’.
Dapat
dicontohkan di sini tentang “wajib atau tidaknya qadla bagi orang yang makan
atau minum karena lupa pada siang hari di bulan Ramadhan”.
Jumhur
ulama’ (Imam Hanafi, Syafi’i dan Ibnu Hanbal) berpendapat, bahwa orang yang
makan atau minum karena lupa pada siang hari di bulan Ramadhan, tidak wajib
qadla dan tidak perlu membayar kifarah(denda). Pendapat tersebut didasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW yang bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمُ فَاَكلَ اَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمُ
صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وسَقَاهُ
“Barang siapa lupa dan dia sedang puasa, kemudian dia makan atau
minum, maka dia supaya melanjutkan puasanya, karena seharusnya Allah-lah yang
memberi makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits
tersebut diperkuat lagi dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh
ad-Daruquthni, juga dari Abu Hurairah dengan sanad yang shohih :
اِذَا اَكَلَ الصَّائِمُ نَاسِيًا اَوْ شَرَبَ فَاِنَّمَا هُوَ
رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ اِلَيْهِ وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ
“Apabila seseorang sedang berpuasa itu makan atau minum
karena lupa, maka itu merupakan rizqi yang diberikan Allah kepadanya. Dan dia
tidak perlu qadla”.
Tapi
Imam Malik mempunyai pendapat lain, yaitu orang tersebut “batal puasanya dan
wajib qadla”. Alasannya, karena hadits yang pertama tadi masih perlu penafsiran
ulang lagi, sedangkan hadits yang kedua dinilai tidak shohih.
4. اختلاف في فهم
النص (Perbedaan
Dalam Memahami dan Menafsirkan Nash)
Perbedaan dalam
menilai otentisitas nash merupakan sebab perbedaan pendapat yang paling utama,
karena nash syara’ adalah sumber paling utama dalam menggali hukum, maka
apabila nash itu otentik juga dan tak ada seorang pun yang berani menyanggah. Inilah
pengertian ungkapan para Mujtahid:
اِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
Artinya: “Apabila (nash) hadis
itu betul, maka itulah madzhabku”.
Akan tetapi, sementara orang
menyalahtafsirkan ungkapan tersebut dengan mengatakan bahwa maksud ungkapan adalah
apabila hadis sampai kepada mujtahid barulah di amalkan walaupun hadis itu
dhaif, dan apabila tidak sampai, maka ia berfikir sendiri mengenai hukum, dan
apabila telah ada kesimpulan, walaupun kemudian beliau menemukan hadis shahih,
tetap beliau tinggalkan, alias tidak mau mengamalkannya. Sangkaan itu sungguh keliru, karena para mujtahid
mengatakan, bila hadis itu betul, itulah madzhabku, sebagaimana tersebut di
atas.[3]
Sebagai contoh dapat dikemikakan apa yang dilakukan oleh
Khalifah Umar bin Khattab ra. terhadap tanah hasil pengambil-alihan dari musuh,
di Iraq dan Mesir, yang diperoleh dengan paksaan (dalam peperangan). Khalifah
Umar berpendapat, agar tanah-tanah tersebut tidak dibagikan kepada para
prajurit yang ikut berperang sebagai “barang bergerak” (al-amwal al-manqulah)
yang menjadi harta rampasan, tetapi ditahan sebagai harta kekayaan negara, dan
penggarapannya diserahkan kepada mantan pemiliknya dengan membayar pajak bumi
dan hasil bumi, untuk dijadikan sumber pendapatan bagi pemberdayaan negara, dan
kepentingan sosial yang lebih luas. Alasan beliau adalah ayat 6-10 surat
al-Hasyr, dan ayat 41 surat al-Anfal yang ditakhsis dengan ayat-ayat dalam
surat al-Hasyr tersebut.
Waktu
itu terjadi polemik yang tajam, sebagian sahabat menuntut agar tanah-tanah
tersebut dibagi-bagi sebagai barang ghanimah. Mayoritas sahabat muhajirin pada
awalnya menuntut pembagian tanah tersebut, kecuali sahabat Utsman, Ali dan
Umar. Tetapi sebaliknya sahabat anshor hampir semua menyetujui pendapat
Khalifah Umar dan mendukungnya.
Di kalangan ulama’ madzhab juga terjadi perbedaan
pendapat dalam masalah-masalah ini.
a.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat, bahwa barang
rampasan perang (ghanimah) supaya dibagi kepada para prajurit yang megikuti
perang, baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak. Alasannya adalah
ayat Al-Qur’an pada surat al-Anfal tadi, di samping sunnah Nabi waktu membagi
tanah-tanah Khaibar kepada para prajurit yang ikut perang di sana. Barang
rampasan perang yang ditahan menjadi milik negara hanyalah terbatas pada barang
yang diperoleh tanpa melalui pertempuran, atau yang disebut “al-Fai’”.
b.
Imam Malik berpendapat, sebaiknya barang yang tidak
bergerak seperti tanah, tidak dibagi-bagi, tetapi menjadi barang wakaf yang
hasilnya untuk kepentingan umum dan untuk biaya operasional pemerintah, serta
fasilitas sosial lainnya. Kecuali kalau ada kepentingan khusus yang urgen pada
waktu tertentu, bisa juga barang tersebut dibagi oleh pemerintah.
c.
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa tanah-tanah yang
didapat melalui peperangan, terserah kepada kepala negara untuk mengambil
pilihan kebijakan. Apakah akan dibagikan kepada para prajurit seperti yang
dilakukan oleh Nabi atau dijadikan sumber pendapatan negara untuk kepentingan
umum, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra.
5. الا شتراك في
اللفظ (Kerancuan
Makna dalam Satu Kata)
Seperti
masalah waktu penyembelihan hewan qurban atau dam, yang oleh mayoritas ulama’
disepakati waktunya yaitu pada hari-hari tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah,
berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 28 :
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ
مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَام
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka
dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas
rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”. (QS.
Al-Hajj : 28)
Tetapi
para ulama’ berselisih pendapat dalam hal, bolehkah menyembelih
binatang-binatang tersebut pada malam hari-hari tersebut? Atau penyembelihan
itu terbatas hanya pada waktu siang harinya saja? Mayoritas ulama’ berpendapat,
bahwa penyembelihan binatang-binatang tersebut boleh dilakukan pada waktu siang
maupun malam pada hari-hari tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah tersebut
(al-Ayyam al-Ma’lumat).
Ulama’-ulama’
mujtahidin yang berpendapat demikian antara lain : Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur. Meskipun Imam Syafi’i
menganggap penyembelihan pada waktu malam itu hukumnya makruh.
Menurut
riwayat yang masyhur, Imam Malik tidak membolehkan penyembelihan
binatang-binatang tersebut pada waktu malam hari, yang boleh hanya pada siang
hari.
Perbedaan
ini terjadi karena kata “Ayyam” mempunyai arti “siang dan malam”, tetapi juga
mempunyai arti “siang” saja.
6. تعارض الادلة (Kontradiksi Beberapa Dalil)
Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapa, bahwa “tayammum” itu cukup dengan sekali sentuhan
(pada debu), untuk wajah dan kedua tangan. Pendapat ini banyak diikuti oleh
para ahli hadits. Diantara alasan/dalil yang dipakai adalah hadits yang
disampaikan oleh Ammar bin Yasir ra. yang mengatakan : “Saya diutus oleh
Rasulullah SAW untuk suatu keperluan. Saya sedang junub dan tidak menemukan air
untuk mandi janabah, maka saya berguling-guling di atas debu seperti binatang,
kemudian hal itu saya ceritakan kepada Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda
: Kamu cukup melakukan begini! Beliau memukul telapak tangannya ke tanah/debu
kemudian mengibaskannya, selanjutnya mengusapkan bagian telapak tangan beliau
ke muka beliau”.
Dalam
hadits Ammar yang lain, dia mengatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
فِى التّيَمُمِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَيْنَ
“Dalam bertayamum itu satu sentuhan/pukulan, untuk muka
dan kedua tangan”. (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Tapi madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi berpendapat,
bahwa tayammum itu harus dengan dua kali pukulan, satu untuk wajah dan yang
lainnya untuk kedua tangan. Dalilnya adalah hadits yang disampaikan oleh Ibnu
Umar ra. dan Abu Umamah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda :
اَلتَّيَمُمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ
اِلَى الْمِرْفَقِ
“Tayamum itu dua kali sentuhan/pukulan, sekali sentuhan untuk
muka, dan sentuhan lainnya untuk kedua tangan sampai dengan siku”.
7. عدم وجود النص
في المسال (Tidak Adanya
Nash Dalam Suatu Masalah)
Setelah
Nabi Muhammad wafat, muncul beberapa masalah, apalagi dengan terjadinya
masalah-masalah baru yang muncul kemudian sejalan dengan perkembangan dan
dinamika sosial di lingkungan masyarakat muslim, yang ternyata belum ada nash
dan ketetapan hukum yang dibuat oleh Nabi SAW maupun oleh wahyu. Para sahabat
dan ulama’ mau tidak mau harus menggunakan ijtihadnya atas dasar kesepakatan
para ahli (ijma’) atau atas dasar qiyas, atau dengan cara lain. Keadaan
demikian membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat.
Sebagai
contoh, masalah “hak waris kakek” bersama keberadaan saudara-saudara si mayit
(mirats al-jaddi ma’al ikhwati). Dalam masalah ini terdapat dua macam pendapat
di kalangan para sahabat Nabi SAW, kemudian berlanjut pada para ulama’ madzhab.
Pertama,
pendapat Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mu’adz bin Jabal, Abu Musa
Al-Asy’ari, Abu Hurairah dan Aisyah yang mengatakan : “bahwa kakek lebih
diutamakan daripada saudara mayit dalam hak waris”. Jika ada kakek bersama-sama
saudara bagi mayit, maka kakek menutup hak waris pada saudara mayit tersebut.
Kedua,
pendapat Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin
Mas’ud mengatakan : “bahwa kakek dan saudara-saudara si mayit itu sama-sama mendapat
hak waris”.
Para
ulama’ mujtahidin, Abu Hanifah, Zufar, Hasan bin Ziyad, Dawud ad-Dhahiri dan
Ibnu Hanbal (menurut satu riwayat) mengikuti pendapat “pertama”. Sedangkan
madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali (menurut riwayat yang lain), juga Muhammad
bin Hasan dan Abu Yusuf, mengikuti pendapat “kedua”.[4]
2.3
Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan dalam Masalah Fiqh
Sebenarnya, islam bukan saja menoleransi perbedaan hasil
ijtihad, melainkan juga menegaskan bahwa perbedaan hasil ijtihad justru akan membawa
kelapangan atau rahmat bagi umat, sebagaimana sabda Nabi SAW : “Perbedaan
pendapat dikalangan ulama akan menjadi rahmat (kelapangan)”.[5]
Semua mempunyai argumen masing-masing.Mengedepankan fikrah
& manhaj masing-masing. Pedoman hidup kita sama (quran & sunnah).
Tujuanpun sama. Hanya saja, kita berada pada perahu yang berbeda. Nahkoda kapal
mempunyai strategi masing-masing untuk melakukan navigasi dan mengarahkan awak
kapal untuk berlayar pada tujuan (yang sama tadi).
Ada berbagai macam aliansi, partai, dan pergerakan
organisasi di Indonesia itu adalah merupakan ketetapan yang sudah Allah sebut
melalui kitabNya.
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat – 13)
Sebagai hamba yang beriman, kita diperintahkan untuk bisa
menerima bahwa adanya berbagai macam perbedaan pendapat dan paham itu sudah
merupakan ketetapan Allah.Dan sudah seharusnya juga kita menyikapi hal ini
secara wajar.Dalam arti tetap menjalin interaksi dan toleransi terhadap berbagai
macam golongan dengan tetap mepertahankan nilai-nilai Islam.
Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal
yang baru.Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang
disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan
berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.
Untuk bidang hukum Islam, misalnya.Kita bisa melihat kitab
Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini
dicetak 15 jilid.Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai
pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya.Karena Ibnu Qudamah
tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam
pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’
tabi’in.
Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada.
Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga
pada tafsir, ulumul qur’an, syarah hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id
fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi
syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu
agama.Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang
beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut
ulama yang mumpuni di bidangnya.
Para sahabat pernah berbeda pendapat tentang menyikapi
perintah Rasulullah agar shalat di tempat Bani Quraidhah.Ibnu Abbas berbeda
pendapat dengan Aisyah tentang Rasulullah ketika Isra’ – Mi’raj, apakah Nabi
melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati atau melihat cahaya. Ibnu
Mas’ud berbeda pendapat dengan Utsman bin Affan tentang shalat di Mina pada
musim haji, di-qashar atau disempurnakan. Ibnu Mas’ud juga berbeda pendapat
dengan Ibnu Abbas tentang penafsiran salah satu tanda besar kiamat, yaitu
Ad-Dukhan (asap atau kabut).
Dan masih banyak lagi yang lainnya.Semua perbedaan itu tidak
menyebabkan mereka berpecah belah atau saling menghujat dan menjatuhkan, mereka
tetap bersaudara, rukun dan saling menghormati.
Bahkan, malaikat juga berbeda pendapat. Yaitu ketika ada
seseorang yang telah membunuh seratus orang (beberapa riwayat menyebut 99
orang), kemudian ia bertaubat dan pergi berhijrah lalu meninggal dunia dalam
perjalanan. Terjadi perbedaan pendapat antara malaikat rahmat dengan malaikat
adzab dalam menyikapinya. Malaikat rahmat (yang kita kenal dengan nama Ridwan)
berpendapat bahwa orang ini adalah ahli surga karena telah bertaubat, sedang
malaikat adzab (yang kita kenal dengan nama Malik) berpendapat bahwa orang ini
adalah ahli neraka karena telah membunuh seratus orang dan belum berbuat
kebaikan. Akhirnya Allah mengirimkan malaikat ketiga yang memutuskan perkara
bahwa orang tersebut adalah ahli surga.Kisah ini terdapat dalam riwayat-riwayat
sahih, seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Adapun berbagai macam fenomena yang sering timbul di tengah
hingar bingar perbedaan pendapat antar golongan ini biasanya mengakibatkan
seseorang terlalu berlebihan dan terlalu kaku (tidak fleksibel) dalam berpikir,
bergerak, dan belajar. Yang jatuhnya justru akan melemahkan fungsi dakwah itu
sendiri.
Fanatik.Atau yang juga kita kenal dengan istilah
Ashobiyah.Terlalu berlebihan dalam memuja golongannya, hanya menerima pendapat
dan masukan dari orang-orang kalangan internal mereka saja, dan tidak berkenan
menerima masukan dari pihak luar yang bukan golongan mereka.Alih-alih
mengamalkan saran, bahkan untuk sekedar menerima dengan rasa ikhlas saja juga terkadang
sulit.Karena sudah tertanam dalam kepala mereka bahwa golongannya adalah yang
paling benar.
Ruang Gerak Terbatas. Secara otomatis lingkup interaksi
dengan masyarakat sosial juga berubah. Karena sudah kadung fanatik dengan
pemahamannya, yang ternyata juga tidak sedikit dari pemahaman itu merupakan
tafsir yang kaku, maka tak bisa dipungkiri bahwa mereka juga akan membatasi
diri mereka sendiri dalam berdakwah (menyampaikan), karena melihat kondisi
masyarakat Indonesia saat ini memang sangat banyak manusia yang secara moral
dan perilaku sudah jauh dari nilai Islam.
Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam
fiqh harus disikapi dengan arif dan bijaksana.Kita tidak boleh besikap apriori
dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat
lainnya.Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan
dikalangan umat.Selain itu kita juga harus meninggalkan fanatisme individu,
madzhab dan golongan yang merupakan suatu hal yang patut di pertimbangkan dalam
menciptakan kerukunan dalam masyarakat serta dengan senantiasa berprasangka
baik dan tidak saling mencela.[6]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ø Dalam bentuk bahasa Arab, kata Ikhtilaf diambil dari
kata Khalafa yang berarti berpisah, perselisihan. Menurut istilah, Thaha Jabir
menjelaskan, Ikhtilaf adalah proses yang dilalui dengan metode yang berbeda
antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.
Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata
ikhtilaf atau khilaf. Perbadaan pendapat dalam fiqh merupakan perbedaan yang
disebabkan oleh perbedaan akal fikiran, karena bila diitinjau dari
sebab-musababnya secara global, perbedaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang
disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang disebabkan oleh akal
fikiran. Perbedaan yang disebabkan moral itu biasanya dikarenakan terlalu
menganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau
mendalami dengan seksama dan teliti, seperti su’udzon dengan orang lain,
fanatik buta terhadap pendapat seseorang atau madzhab dan golongan tertentu.
Ini tergolong ikhtilaf yang buruk dan tercela
Ø Sebab-sebab perbedaan pendapat:
1. Perbedaan mengenai sahih dan
tidaknya nash.
2. Perbedaan dalam memahami nash.
3. Perbedaan dalam menggabungkan dan
mengunggulkan nash-nash yang salingbertentangan..
4.Perbedaan dalam kaidah-kaidah
ushul sebagai sumber intinbath.
5. Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis
5. Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis
6. Perselisihan tentang ilat dari
suatu hukum.
Ø Sikap Kita Dalam Menghadapi
Perbedaan Pendapat Dalam Hukum Islam:
Perbedaan pendapat mengenai
masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Kita tidak boleh bersikap apriori
dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat
lainnya.Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di
kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan
perbedaan pendapat dalam fikih adalah masalah furu’iyah (cabang), bukan masalah
pokok.
Oleh karena itu, mempertajam
pertentangan atau perbedaan pendapat dalam masalah cabang ini hanyalah
membuang-buang waktu dan energi.
Sebenarnya di antara para imam
mazhab sendiri tidak ada satu pun yang merasa pendapatnya paling benar.Mereka
tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan.Bahkan diantara mereka tidak ada
yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti pendapat mazhabnya, karena mereka
menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan
lupa.
Imam Malik pernah berkata :“Saya ini
tidak lain, melainkan manusia biasa. Sayaboleh jadi salah dan boleh jadi
benar.Maka oleh sebab itu, lihatlah danpikirlah baik-baik pendapat saya.
Apabila sesuai dengan Kitab (Al Qur’an) danSunnah, maka ambillah ia dan jika
tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, makatinggalkanlah ia.”
Imam Syafi’i pernah berkata kepada
Imam Ar-Rabi’:“Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah s.a.w.
padahal bersalahan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku itu karena
sunnah itulah mazhab yang sebenarnya.”
Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam
mazhab sendiri tidak terjadi perselisihan,apalagi perpecahan. Mereka sebenarnya
telah benar-benar memahami HadisRasulullah saw. yang berbunyi:“Perbedaan
pendapat di kalangan umatku adalahsuatu rahmat.”
Di sini Rasulullah memberikan
isyarat kepada umatnya bahwa perbedaan pendapatitu pasti terjadi di antara
sesama umat Islam.
Dalam Hadis itu pula beliau
mengajarkan umatnya bagaimana menyikapi perbedaanpendapat tersebut.
Di sini tampak bahwa beliau ingin
agar perbedaan pendapat itu justrumempersatukan umat, bukan masalah
memecah-belah mereka.
3.2
Rekomendasi
Perbedaan pendapat mengenai
masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan
bijaksana.Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalahkan satu
pendapat dan membenarkan pendapat lainnya.Sikap apriori yang semacam ini dapat
memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat.
Kami yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan demi
penyempurnaan tulisan/tugas makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Ibrahim,
Muslim.1991.Pengantar Fiqh Muqaaren.Jakarta : Penerbit Erlangga
2. Mujtaba,
Saifudin. 2012.Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar.Jember: STAIN Jember Press
3. Suyatno.2011.Dasar-dasar
ilmu Fiqh & Ushul Fiqh.Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
4. Tholhah,
Muhammad Hasan.2006. Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU.Jakarta:Lantabora
Press
5. Tim
Guru MGPK Profinsi Jawa Timur.2012.Bahan Ajar Fiqih.Mojokerto : CV.
Sinar Mulia Mojosari
6. http://www.facebook.com/notes/iman-wahyudi/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-dalam-hukum-islam/10151660253313420
[1]http://www.facebook.com/notes/iman-wahyudi/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-dalam-hukum-islam/10151660253313420
[2]
Muhammad tholhah hasan, ahlus sunnah wal jamaah dalam persepsi dan tradisi
NU,(jakarta:Lantabora Press, 2006), hal.106-110
[3]
Muslim ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaren, (Jakarta : Penerbit Erlangga,
1991), hal.21-22
[4]
Saifudin Mujtaba, Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar, (Jember : STAIN Jember
Press, 2012), hal.145-153
[5]
Suyatno, Dasar-dasar ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media,
2011), hal. 38
[6]
Tim Guru MGPK Profinsi Jawa Timur, Bahan Ajar Fiqih, ( Mojokerto : CV.
Sinar Mulia Mojosari, 2012), hal. 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar