Senin, 27 Juli 2015

Pengertian Perbedaan Pendapat



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Fiqih itu adalah sebuah lautan yang tidak diketahui tepinya. Maka dari itu, satu masalah saja dapat berkembang dan bercabang dan bercabang-cabang menjadi yang sangat banyak. Dan biasanya satu masalah saja mempunyai beberapa pendapat diantara berbagai mazhab , bahkan bisa saja terjadi perbedaan pendapat diantara ulama ahli fiqih dalam satu mazhab saja, atau juga terjadi perbedaan yang dikeluarkan oleh satu orang alim saja.
Perbedaan dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada setiap pensyari’atan (tasyrî’) yang menjadikan aktivitas-aktivitas manusia berikut adat-adat mereka sebagai sumber, di samping juga pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan pertimbangan mereka sebagai dasar pijakan. Hal itu disebabkan kerena adat-adat manusia berbeda-beda, pekerjaan-pekerjaan mereka bermacam-macam, dan pendapat-pendapat mereka beragam, sesuai dengan fitrah mereka yang diciptakan Allah SWT. Bila dasar pikiran yang digunakan berbeda, sudah tentu hasilnya pun akan berbeda pula. Itulah sebabnya seluruh syari’at positif (asy-syarî’ah al-wadh’îyyah) hingga saat ini masih saja menjadi obyek perbedaan dan pemicu perdebatan, karena itu merupakan ‘buatan’ sekaligus hasil pemikiran manusia dalam upaya mencapai maslahat-maslahat yang mereka inginkan.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Perbedaan Pendapat?
2.      Apa Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dalam Fiqh?
3.      Bagaimana Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan dalam Masalah Fiqh?
1.3    Tujuan
·         Menjelaskan Pengertian Perbedaan Pendapat
·         Menjelaskan Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dalam Fiqh
·         Menjelaskan Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan dalam Masalah Fiqh
1.4    Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
·         Dapat mengetahui tentang Pengertian Perbedaan Pendapat
·         Mengetahui Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dalam Fiqh
·         Mengetahuhi Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan dalam Masalah Fiqh

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf, secara lingusitik dalam kajian bahasa Inggris, dapat diterjemahkan beranekaragam, difference of opinion, distinction atau controvercy. Akan tetapi, jika disimak secara mendalam, kata contovercy lebih tepat.
Dalam bentuk bahasa Arab, kata Ikhtilaf diambil dari kata Khalafa yang berarti berpisah, perselisihan. Menurut istilah, Thaha Jabir menjelaskan, Ikhtilaf adalah proses yang dilalui dengan metode yang berbeda antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.
Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata ikhtilaf atau khilaf. Perbadaan pendapat dalam fiqh merupakan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan akal fikiran, karena bila diitinjau dari sebab-musababnya secara global, perbedaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang disebabkan oleh akal fikiran. Perbedaan yang disebabkan moral itu biasanya dikarenakan terlalu menganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau mendalami dengan seksama dan teliti, seperti su’udzon dengan orang lain, fanatik buta terhadap pendapat seseorang atau madzhab dan golongan tertentu. Ini tergolong ikhtilaf yang buruk dan tercela .
Adapun perbedaan yang disebabkan akal fikiran adalah perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik masalah ilmiah seperti perbedaan dalam cabang Syari’at Islam, atau bersifat akidah, politik, dan lain-lain. Perbedaan pandangan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambah pengaruh-pengaruh sampingan yang mempengaruhi akal, seperti lingkungan, zaman, situasi dan kondisi, baik bersifat positif atau negatif.
Maka perbedaan dalam fiqh merupakan sesuatu hal yang pasti terjadi, karena tabiatnya agama, bahasa, manusia juga tabiatnya alam dan kehidupan. Oleh karena itu orang-orang yang menghendaki bersatunya semua orang dalam satu pendapat di bidang hukum-hukum ibadah, muamalah dan lain-lain dari cabang agama Islam, maka berarti ia menginginkan sesuatu hal yang mustahil terjadi. Bahkan perbedaan dalam fiqh ini dianggap rahmat oleh mayoritas ulama dengan merujuk salah satu hadist Nabi SAW yang dikeluarkan Imam al-Suyuthi dalam “al-Jami’ al-Shogir” : ”ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan antar umat-umatku adalah suatu rahmat).
Ikhtilaf fiqhi ini, tidak hanya dianggap sebagai hal yang lazim dan rahmat, namun juga bisa merupakan harta karun warisan yang amat berharga, karena perbedaan pendapat para ulama adalah peninggalan yang bisa dijadikan bahan kajian bagi perkembangan fiqh itu sendiri di masa mendatang, juga bahan pertimbangan dan masukan yang tidak sedikit nilainya.
Namun sayang ada sebagian kelompok umat Islam yang tidak mengetahui hal ini atau pura-pura tidak mengetahuinya. Mereka tidak menganggap perbedaan umat Islam sebagai rahmat, mereka mengklaim bahwa kelompok dan ibadah mereka yang paling benar, mereka membid’ahkan ibadah kelompok lain, mencacinya, mengkritiknya bahkan mengkafirkannya, mereka menganggap dirinya sebagai satu-satunya kelompok ahlus sunnah wal jama’ah yang sesuai dengan ulama salaf (lampau), sehingga mereka menamakan dirinya dengan Jama’ah Salafiyah atau Kaum Salafi.[1]
2.2 Sebab-sebab Perbedaan Pendapat
Prof. Al-Zuhayli mengatakan bahwa sumber perbedaan diantara fuqaha pada dasarnya adalah karena perbedaan tingkat kemampuan berfikir atau karena perbedaan tingkat penguasaan dan pemahaman nash/dalil, dan juga karena perbedaan metodologi yang dipakai dalam melakukan ijtihad. Selanjutnya Al-Zuhayli menyebutkan sebab-sebab utama yang menimbulkan perbedaan tersebut secara lebih rinci sebagai berikut :
A.    اختلاف معاني الالفاظ العربية  (Perbedaan Arti Dari Beberapa kata Arab)
Banyak kata-kata (lafadz) dalam bahasa Arab yang mempunyai arti ganda, seperti kata “al-quruu’u” yang mempunyai makna “suci” dan juga “haidl”. Tetapi para sahabat dalam memberikan makna al-quruu’u dalam ayat 228 dari surat al-Baqarah, yang berkaitan dengan masalah iddahnya wanita yang dicerai suaminya, menjadi berbeda pendapat. Ayat tersebut adalah :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنفُسِهِنَّ ثَلثَةَ قُرُوْءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”. (QS. Al-Baqarah :228).
            Ummul Mukminin Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit ra. memberi makna al-quruu’u disitu dengan arti “suci” (yakni iddah wanita-wanita tersebut adalah tiga kali suci dari haidl). Sedang Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan makna al-quruu’u dalam ayat tersebut dengan arti “haidl”.
            Perbedaan ini berlanjut sampai imam-imam madzhab. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti pendapat kelompok yang pertama (al-quruu’u = at-thuhru), sementara Imam Abu Hanifah mengikuti pendapat kelompok kedua (al-quruu’u = al-haidlu).
B.     اختلاف الرواية (Perbedaan Riwayat)
Seperti ada sebuah hadits yang sampai kepada seseorang diantara para ulama’, tetapi hadits tersebut tidak sampai/tidak diketahui oleh ulama’ yang lainnya. Atau sampainya hadits tersebut kepada sebagian ulama’ melalui jalur sanad yang lemah (dlo’if), sehingga mereka tidak mau menggunakannya sebagai dalil atau dasar istinbath. Sedang yang lain menerimanya melalui jalur sanad yang kuat (sahih) dan oleh karenanya mau menggunakannya sebagai dalil/dasar istinbath.
C.     اختلاف المصادر (Perbedaan Sumber Dalil)
Dalam berijtihad, terdapat sumber-sumber dalil yang telah disepakati oleh ulama’ mujtahidin, seperti al-Qur’an, as-sunnah, ijma’ dan qiyas. Namun di samping sumber-sumber dalil tersebut, ada beberapa sumber yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf fiha), seperti al-Istihsan, al-maslahah al-mursalah, Syar’u man qablana, al-urf, dan lain-lain. Dalam menyikapi sumber-sumber dalil tersebut, antara pihak yang menerima dan yang menolak, atau yang menerima tapi bersyarat, akan menyebabkan kemungkinan terjadinya perbedaan hasil ijtihadnya.
D.    اختلاف القواعد الاصولية (Perbedaan Kaidah-kaidah Ushul Fiqih)
Seperti pendapat yang mengatakan : “Kalimat/kata umum yang mempunyai arti khusus, tidak dapat dijadikan dalil/hujjah”. Atau pendapat madzhab Dhahiri yang mengatakan : “al-Mafhum al-Muwafaqah” tidak dapat dipakai sebagai dalil istinbath. Tapi madzhab-madzhab lain dapat menerimanya sebagai dalil.
E.     الاجتهاد بالقياس (Ijtihad Dengan Dasar Qiyas)
Masalah ini banyak membuka perbedaan dalam skala yang luas, mengingat qiyas itu mempunyai prinsip-prinsip, syarat-syarat dan alasan-alasan (illah) yang banyak. Dan masing-masing illah mempunyai kualifikasi (persyaratan) dan cara penggunaannya yang ruwet. Di sini membuka peluang terjadinya perbedaan diantara ulama’ mujtahidin. Sebagai contoh, madzhab Syafi’i mengatakan, bahwa “tertib” (urut-urutan) dalam melakukan  wudlu sebagaimana tertera dalam ayat 6 surat al-Maidah, yakni : membasuh muka, membasuh tangan sampai dengan siku, mengusap kepala, kemudian membasuh kaki sampai dengan mata kaki. Adalah fardlu (wajib), dan apabila hal tersebut diabaikan maka wudlunya tidak sah. Pendapat tersebut didasarkan dalil qiyas dalam melakukan tata cara ibadah yang lainnya, seperti ibadah sa’i yang dipaparkan dalam ayat 158 surat al-Baqarah, yakni ibadah sa’i itu dilaksanakan “dari as-Shafa ke al-Marwah”, hal itu sebagai keharusan dan tidak boleh dibalik dari al-Marwah ke as-Shafa karena Nabi SAW bersabda dalam kaitan ini :
فَابْدَؤُا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Dahulukan apa yang didahulukan oleh Allah”.
Demikian halnya dengan cara berwudlu. Tetapi ada madzhab lain yang memandang “tertib” tersebut bukan merupakan keharusan.
F.      التعارض والترخيح بين الادلة (Kontradiksi dan Pengunggulan Dalil)
Sebenarnya dalil-dalil syara’ yang utama (Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang shahih) itu tidak ada kontradiksinya, tetapi kontradiksi itu muncul dari batas kemampuan kita dalam memahaminya, atau tingkat penguasaan kita dalam menafsirkannya. Hal itu sebenَarnya yang menjadi sebab timbulnya perbedaan dikalangan ulama’ dalam menetapkan fatwanya.
Contohnya Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, bahwa orang yang sedang melakukan ihram, tidak boleh menikah atau menikahkan, dengan dasar hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Utsman bin Affan ra. bahwa Rasulullah bersabda :
لَايَنْكِحُ اْلمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ
"Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan menikahkan". (HR. Imam Muslim)
Juga ada hadits lain yang diriwayatkan Oleh Yazid bin al-A’shom dari Maimunah ra. “Bahwa Nabi menikahinya setelah halal (selesai tahallul), dan kumpul dengan beliau dalam keadaan halal (bebas ihram)”. (HR. Imam Ahmad dan Imam Turmudzi).
Sedangkan Imam Abu Hanifah, membolehkan nikah dalam keadaan sedang melakukan ihram, atas dasar hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. “Bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi Maimunah ketika beliau ihram”. (HR. Bukhari).
Dalam contoh tersebut di atas, tampak adanya dua dalil yang terlihat kontradiktif, dan ada perbedaan diantara ulama’ mujtahidin dalam memilih mana dalil yang diunggulkan.[2]

Prof. Musthafa al-Khin, menyebutkan ada tujuh sebab-sebab utama yang menimbulkan perbedaan diantara ulama’ Mujtahidin dalam melakukan istinbath, yakni :
1.      اختلاف القراءات (Perbedaan Bacaan)
Seperti perbedaan bacaan dari sebuah kalimat dari ayat al-Qur’an yang mengakibatkan perbedaan dalam tata cara berwudlu’. Ayat tersebut ialah ayat 6 dari surat al-Maidah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ
بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-Maidah : 6).
           
            Imam-imam ahli qira’at : Nafi’, Ibnu Amir dan Al-Kisa’i membaca “Arjulakum” dengan nashab pada huruf lamnya (أَرْجُلَكُم). Sedangkan yang lain : Ibnu Katsir, Abu Amr dan Hamzah, membaca “Arjulikum” dengan jer. Mayoritas ulama’ (al-Jumhur) menyetujui bacaan nashab, dan berpendapat bahwa cara berwudlu antara lain harus dengan “membasuh” kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki, tidak cukup hanya dengan “mengusapnya” saja. Kata “Arjulakum” di athafkan (diselaraskan) ke kata-kata sebelumnya, yakni : “Wujuhakum wa aidiyakum” bukannya diathafkan ke kata “Biru’usikum”.
2.      عدم الاطلاع على الحديث(Tidak Mengetahui Adanya Hadits)
            Sahabat-sahabat Nabi SAW tidak sama pengetahuannya tentang hadits, sebagian mengetahui dan sebagian lagi tidak mengetahui beberapa hadits tertentu, karena mereka tidak selalu bersama-sama dengan Nabi SAW pada setiap waktu. Pada saat Nabi bersabda, atau melakukan sesuatu, maka hanya sebagian saja diantara mereka yang mengetahui.
            Sebagai contoh, masalah sahnya puasa seseorang yang masih junub (masih mempunyai hadats besar) sampai kedahuluan waktu subuh. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah ra. berkata : “Barang siapa yang sampai pada waktu subuh masih junub maka tidak boleh berpuasa”. Waktu itu Abu Hurairah belum mendengar apa yang disampaikan oleh Siti Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. : “Bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bangun waktu subuh dalam keadaan masih junub, kemudian beliau tetap melaksanakan puasa Ramadhan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
            Menurut riwayat ini, Abu Hurairah ra. kemudian mengubah pendapatnya setelah mengetahui apa yang disampaikan oleh Siti Aisyah dan Ummu Salamah.
3.      الشك في ثبوت الحديث (Keraguan Terhadap Kebenaran Sebuah Hadits)
            Para sahabat Nabi SAW itu tidak begitu saja melakukan sesuatu karena adanya keterangan tentang sunnah Nabi, tetapi mereka lebih dulu memastikan kebenaran keterangan tersebut. Dan di dalam menguji kebenaran keterangan ini sering kali terjadi perbedaan penilaian dan kesimpulan diantara para sahabat dan para ulama’.
            Dapat dicontohkan di sini tentang “wajib atau tidaknya qadla bagi orang yang makan atau minum karena lupa pada siang hari di bulan Ramadhan”.
            Jumhur ulama’ (Imam Hanafi, Syafi’i dan Ibnu Hanbal) berpendapat, bahwa orang yang makan atau minum karena lupa pada siang hari di bulan Ramadhan, tidak wajib qadla dan tidak perlu membayar kifarah(denda). Pendapat tersebut didasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW yang bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمُ فَاَكلَ اَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمُ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وسَقَاهُ
“Barang siapa lupa dan dia sedang puasa, kemudian dia makan atau minum, maka dia supaya melanjutkan puasanya, karena seharusnya Allah-lah yang memberi makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim).
            Hadits tersebut diperkuat lagi dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni, juga dari Abu Hurairah dengan sanad yang shohih :
اِذَا اَكَلَ الصَّائِمُ نَاسِيًا اَوْ شَرَبَ فَاِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ اِلَيْهِ وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ
“Apabila seseorang sedang berpuasa itu makan atau minum karena lupa, maka itu merupakan rizqi yang diberikan Allah kepadanya. Dan dia tidak perlu qadla”.
            Tapi Imam Malik mempunyai pendapat lain, yaitu orang tersebut “batal puasanya dan wajib qadla”. Alasannya, karena hadits yang pertama tadi masih perlu penafsiran ulang lagi, sedangkan hadits yang kedua dinilai tidak shohih.
4.      اختلاف في فهم النص (Perbedaan Dalam Memahami dan Menafsirkan Nash)
Perbedaan dalam menilai otentisitas nash merupakan sebab perbedaan pendapat yang paling utama, karena nash syara’ adalah sumber paling utama dalam menggali hukum, maka apabila nash itu otentik juga dan tak ada seorang pun yang berani menyanggah. Inilah pengertian ungkapan para Mujtahid:

اِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
Artinya: “Apabila (nash) hadis itu betul, maka itulah madzhabku”.
Akan tetapi, sementara orang menyalahtafsirkan ungkapan tersebut dengan mengatakan bahwa maksud ungkapan adalah apabila hadis sampai kepada mujtahid barulah di amalkan walaupun hadis itu dhaif, dan apabila tidak sampai, maka ia berfikir sendiri mengenai hukum, dan apabila telah ada kesimpulan, walaupun kemudian beliau menemukan hadis shahih, tetap beliau tinggalkan, alias tidak mau mengamalkannya. Sangkaan itu sungguh keliru, karena para mujtahid mengatakan, bila hadis itu betul, itulah madzhabku, sebagaimana tersebut di atas.[3]
            Sebagai contoh dapat dikemikakan apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. terhadap tanah hasil pengambil-alihan dari musuh, di Iraq dan Mesir, yang diperoleh dengan paksaan (dalam peperangan). Khalifah Umar berpendapat, agar tanah-tanah tersebut tidak dibagikan kepada para prajurit yang ikut berperang sebagai “barang bergerak” (al-amwal al-manqulah) yang menjadi harta rampasan, tetapi ditahan sebagai harta kekayaan negara, dan penggarapannya diserahkan kepada mantan pemiliknya dengan membayar pajak bumi dan hasil bumi, untuk dijadikan sumber pendapatan bagi pemberdayaan negara, dan kepentingan sosial yang lebih luas. Alasan beliau adalah ayat 6-10 surat al-Hasyr, dan ayat 41 surat al-Anfal yang ditakhsis dengan ayat-ayat dalam surat al-Hasyr tersebut.
            Waktu itu terjadi polemik yang tajam, sebagian sahabat menuntut agar tanah-tanah tersebut dibagi-bagi sebagai barang ghanimah. Mayoritas sahabat muhajirin pada awalnya menuntut pembagian tanah tersebut, kecuali sahabat Utsman, Ali dan Umar. Tetapi sebaliknya sahabat anshor hampir semua menyetujui pendapat Khalifah Umar dan mendukungnya.
Di kalangan ulama’ madzhab juga terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ini.
a.       Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat, bahwa barang rampasan perang (ghanimah) supaya dibagi kepada para prajurit yang megikuti perang, baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak. Alasannya adalah ayat Al-Qur’an pada surat al-Anfal tadi, di samping sunnah Nabi waktu membagi tanah-tanah Khaibar kepada para prajurit yang ikut perang di sana. Barang rampasan perang yang ditahan menjadi milik negara hanyalah terbatas pada barang yang diperoleh tanpa melalui pertempuran, atau yang disebut “al-Fai’”.
b.      Imam Malik berpendapat, sebaiknya barang yang tidak bergerak seperti tanah, tidak dibagi-bagi, tetapi menjadi barang wakaf yang hasilnya untuk kepentingan umum dan untuk biaya operasional pemerintah, serta fasilitas sosial lainnya. Kecuali kalau ada kepentingan khusus yang urgen pada waktu tertentu, bisa juga barang tersebut dibagi oleh pemerintah.
c.       Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa tanah-tanah yang didapat melalui peperangan, terserah kepada kepala negara untuk mengambil pilihan kebijakan. Apakah akan dibagikan kepada para prajurit seperti yang dilakukan oleh Nabi atau dijadikan sumber pendapatan negara untuk kepentingan umum, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra.
5.      الا شتراك في اللفظ (Kerancuan Makna dalam Satu Kata)
            Seperti masalah waktu penyembelihan hewan qurban atau dam, yang oleh mayoritas ulama’ disepakati waktunya yaitu pada hari-hari tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 28 :

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَام

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”. (QS. Al-Hajj : 28)
            Tetapi para ulama’ berselisih pendapat dalam hal, bolehkah menyembelih binatang-binatang tersebut pada malam hari-hari tersebut? Atau penyembelihan itu terbatas hanya pada waktu siang harinya saja? Mayoritas ulama’ berpendapat, bahwa penyembelihan binatang-binatang tersebut boleh dilakukan pada waktu siang maupun malam pada hari-hari tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah tersebut (al-Ayyam al-Ma’lumat).
            Ulama’-ulama’ mujtahidin yang berpendapat demikian antara lain : Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur. Meskipun Imam Syafi’i menganggap penyembelihan pada waktu malam itu hukumnya makruh.
            Menurut riwayat yang masyhur, Imam Malik tidak membolehkan penyembelihan binatang-binatang tersebut pada waktu malam hari, yang boleh hanya pada siang hari.
            Perbedaan ini terjadi karena kata “Ayyam” mempunyai arti “siang dan malam”, tetapi juga mempunyai arti “siang” saja.
6.      تعارض الادلة (Kontradiksi Beberapa Dalil)
            Imam Ahmad bin Hanbal berpendapa, bahwa “tayammum” itu cukup dengan sekali sentuhan (pada debu), untuk wajah dan kedua tangan. Pendapat ini banyak diikuti oleh para ahli hadits. Diantara alasan/dalil yang dipakai adalah hadits yang disampaikan oleh Ammar bin Yasir ra. yang mengatakan : “Saya diutus oleh Rasulullah SAW untuk suatu keperluan. Saya sedang junub dan tidak menemukan air untuk mandi janabah, maka saya berguling-guling di atas debu seperti binatang, kemudian hal itu saya ceritakan kepada Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda : Kamu cukup melakukan begini! Beliau memukul telapak tangannya ke tanah/debu kemudian mengibaskannya, selanjutnya mengusapkan bagian telapak tangan beliau ke muka beliau”.
            Dalam hadits Ammar yang lain, dia mengatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
فِى التّيَمُمِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَيْنَ

“Dalam bertayamum itu satu sentuhan/pukulan, untuk muka dan kedua tangan”. (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Tapi madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi berpendapat, bahwa tayammum itu harus dengan dua kali pukulan, satu untuk wajah dan yang lainnya untuk kedua tangan. Dalilnya adalah hadits yang disampaikan oleh Ibnu Umar ra. dan Abu Umamah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda :
اَلتَّيَمُمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ اِلَى الْمِرْفَقِ
“Tayamum itu dua kali sentuhan/pukulan, sekali sentuhan untuk muka, dan sentuhan lainnya untuk kedua tangan sampai dengan siku”.
7.      عدم وجود النص في المسال (Tidak Adanya Nash Dalam Suatu Masalah)
            Setelah Nabi Muhammad wafat, muncul beberapa masalah, apalagi dengan terjadinya masalah-masalah baru yang muncul kemudian sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial di lingkungan masyarakat muslim, yang ternyata belum ada nash dan ketetapan hukum yang dibuat oleh Nabi SAW maupun oleh wahyu. Para sahabat dan ulama’ mau tidak mau harus menggunakan ijtihadnya atas dasar kesepakatan para ahli (ijma’) atau atas dasar qiyas, atau dengan cara lain. Keadaan demikian membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat.
            Sebagai contoh, masalah “hak waris kakek” bersama keberadaan saudara-saudara si mayit (mirats al-jaddi ma’al ikhwati). Dalam masalah ini terdapat dua macam pendapat di kalangan para sahabat Nabi SAW, kemudian berlanjut pada para ulama’ madzhab.
            Pertama, pendapat Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mu’adz bin Jabal, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Hurairah dan Aisyah yang mengatakan : “bahwa kakek lebih diutamakan daripada saudara mayit dalam hak waris”. Jika ada kakek bersama-sama saudara bagi mayit, maka kakek menutup hak waris pada saudara mayit tersebut.
            Kedua, pendapat Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud mengatakan : “bahwa kakek dan saudara-saudara si mayit itu sama-sama mendapat hak waris”.
            Para ulama’ mujtahidin, Abu Hanifah, Zufar, Hasan bin Ziyad, Dawud ad-Dhahiri dan Ibnu Hanbal (menurut satu riwayat) mengikuti pendapat “pertama”. Sedangkan madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali (menurut riwayat yang lain), juga Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, mengikuti pendapat “kedua”.[4]

2.3 Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan dalam Masalah Fiqh
Sebenarnya, islam bukan saja menoleransi perbedaan hasil ijtihad, melainkan juga menegaskan bahwa perbedaan hasil ijtihad justru akan membawa kelapangan atau rahmat bagi umat, sebagaimana sabda Nabi SAW : “Perbedaan pendapat dikalangan ulama akan menjadi rahmat (kelapangan)”.[5]
Semua mempunyai argumen masing-masing.Mengedepankan fikrah & manhaj masing-masing. Pedoman hidup kita sama (quran & sunnah). Tujuanpun sama. Hanya saja, kita berada pada perahu yang berbeda. Nahkoda kapal mempunyai strategi masing-masing untuk melakukan navigasi dan mengarahkan awak kapal untuk berlayar pada tujuan (yang sama tadi).
Ada berbagai macam aliansi, partai, dan pergerakan organisasi di Indonesia itu adalah merupakan ketetapan yang sudah Allah sebut melalui kitabNya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat – 13)
Sebagai hamba yang beriman, kita diperintahkan untuk bisa menerima bahwa adanya berbagai macam perbedaan pendapat dan paham itu sudah merupakan ketetapan Allah.Dan sudah seharusnya juga kita menyikapi hal ini secara wajar.Dalam arti tetap menjalin interaksi dan toleransi terhadap berbagai macam golongan dengan tetap mepertahankan nilai-nilai Islam.

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru.Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.

Untuk bidang hukum Islam, misalnya.Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid.Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya.Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.

Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur’an, syarah hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu agama.Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni di bidangnya.

Para sahabat pernah berbeda pendapat tentang menyikapi perintah Rasulullah agar shalat di tempat Bani Quraidhah.Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Aisyah tentang Rasulullah ketika Isra’ – Mi’raj, apakah Nabi melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati atau melihat cahaya. Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Utsman bin Affan tentang shalat di Mina pada musim haji, di-qashar atau disempurnakan. Ibnu Mas’ud juga berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas tentang penafsiran salah satu tanda besar kiamat, yaitu Ad-Dukhan (asap atau kabut).

Dan masih banyak lagi yang lainnya.Semua perbedaan itu tidak menyebabkan mereka berpecah belah atau saling menghujat dan menjatuhkan, mereka tetap bersaudara, rukun dan saling menghormati.

Bahkan, malaikat juga berbeda pendapat. Yaitu ketika ada seseorang yang telah membunuh seratus orang (beberapa riwayat menyebut 99 orang), kemudian ia bertaubat dan pergi berhijrah lalu meninggal dunia dalam perjalanan. Terjadi perbedaan pendapat antara malaikat rahmat dengan malaikat adzab dalam menyikapinya. Malaikat rahmat (yang kita kenal dengan nama Ridwan) berpendapat bahwa orang ini adalah ahli surga karena telah bertaubat, sedang malaikat adzab (yang kita kenal dengan nama Malik) berpendapat bahwa orang ini adalah ahli neraka karena telah membunuh seratus orang dan belum berbuat kebaikan. Akhirnya Allah mengirimkan malaikat ketiga yang memutuskan perkara bahwa orang tersebut adalah ahli surga.Kisah ini terdapat dalam riwayat-riwayat sahih, seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Adapun berbagai macam fenomena yang sering timbul di tengah hingar bingar perbedaan pendapat antar golongan ini biasanya mengakibatkan seseorang terlalu berlebihan dan terlalu kaku (tidak fleksibel) dalam berpikir, bergerak, dan belajar. Yang jatuhnya justru akan melemahkan fungsi dakwah itu sendiri.
Fanatik.Atau yang juga kita kenal dengan istilah Ashobiyah.Terlalu berlebihan dalam memuja golongannya, hanya menerima pendapat dan masukan dari orang-orang kalangan internal mereka saja, dan tidak berkenan menerima masukan dari pihak luar yang bukan golongan mereka.Alih-alih mengamalkan saran, bahkan untuk sekedar menerima dengan rasa ikhlas saja juga terkadang sulit.Karena sudah tertanam dalam kepala mereka bahwa golongannya adalah yang paling benar.
Ruang Gerak Terbatas. Secara otomatis lingkup interaksi dengan masyarakat sosial juga berubah. Karena sudah kadung fanatik dengan pemahamannya, yang ternyata juga tidak sedikit dari pemahaman itu merupakan tafsir yang kaku, maka tak bisa dipungkiri bahwa mereka juga akan membatasi diri mereka sendiri dalam berdakwah (menyampaikan), karena melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini memang sangat banyak manusia yang secara moral dan perilaku sudah jauh dari nilai Islam.
Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fiqh harus disikapi dengan arif dan bijaksana.Kita tidak boleh besikap apriori dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya.Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan dikalangan umat.Selain itu kita juga harus meninggalkan fanatisme individu, madzhab dan golongan yang merupakan suatu hal yang patut di pertimbangkan dalam menciptakan kerukunan dalam masyarakat serta dengan senantiasa berprasangka baik dan tidak saling mencela.[6]


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ø  Dalam bentuk bahasa Arab, kata Ikhtilaf diambil dari kata Khalafa yang berarti berpisah, perselisihan. Menurut istilah, Thaha Jabir menjelaskan, Ikhtilaf adalah proses yang dilalui dengan metode yang berbeda antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.
Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata ikhtilaf atau khilaf. Perbadaan pendapat dalam fiqh merupakan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan akal fikiran, karena bila diitinjau dari sebab-musababnya secara global, perbedaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang disebabkan oleh akal fikiran. Perbedaan yang disebabkan moral itu biasanya dikarenakan terlalu menganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau mendalami dengan seksama dan teliti, seperti su’udzon dengan orang lain, fanatik buta terhadap pendapat seseorang atau madzhab dan golongan tertentu. Ini tergolong ikhtilaf yang buruk dan tercela
Ø  Sebab-sebab perbedaan pendapat:
1. Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash.
2. Perbedaan dalam memahami nash.
3. Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang salingbertentangan..
4.Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber intinbath.
5. Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis
6. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum.
Ø  Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat Dalam Hukum Islam:
Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya.Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fikih adalah masalah furu’iyah (cabang), bukan masalah pokok.
Oleh karena itu, mempertajam pertentangan atau perbedaan pendapat dalam masalah cabang ini hanyalah membuang-buang waktu dan energi.
Sebenarnya di antara para imam mazhab sendiri tidak ada satu pun yang merasa pendapatnya paling benar.Mereka tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan.Bahkan diantara mereka tidak ada yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti pendapat mazhabnya, karena mereka menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa.
Imam Malik pernah berkata :“Saya ini tidak lain, melainkan manusia biasa. Sayaboleh jadi salah dan boleh jadi benar.Maka oleh sebab itu, lihatlah danpikirlah baik-baik pendapat saya. Apabila sesuai dengan Kitab (Al Qur’an) danSunnah, maka ambillah ia dan jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, makatinggalkanlah ia.”
Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ar-Rabi’:“Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah s.a.w. padahal bersalahan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku itu karena sunnah itulah mazhab yang sebenarnya.”
Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam mazhab sendiri tidak terjadi perselisihan,apalagi perpecahan. Mereka sebenarnya telah benar-benar memahami HadisRasulullah saw. yang berbunyi:“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalahsuatu rahmat.”
Di sini Rasulullah memberikan isyarat kepada umatnya bahwa perbedaan pendapatitu pasti terjadi di antara sesama umat Islam.
Dalam Hadis itu pula beliau mengajarkan umatnya bagaimana menyikapi perbedaanpendapat tersebut.
Di sini tampak bahwa beliau ingin agar perbedaan pendapat itu justrumempersatukan umat, bukan masalah memecah-belah mereka.
3.2 Rekomendasi
Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan bijaksana.Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya.Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat.
Kami yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan tulisan/tugas makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Ibrahim, Muslim.1991.Pengantar Fiqh Muqaaren.Jakarta : Penerbit Erlangga
2.      Mujtaba, Saifudin. 2012.Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar.Jember: STAIN Jember Press
3.      Suyatno.2011.Dasar-dasar ilmu Fiqh & Ushul Fiqh.Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
4.      Tholhah, Muhammad Hasan.2006. Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU.Jakarta:Lantabora Press
5.      Tim Guru MGPK Profinsi Jawa Timur.2012.Bahan Ajar Fiqih.Mojokerto : CV. Sinar Mulia Mojosari
6.      http://www.facebook.com/notes/iman-wahyudi/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-dalam-hukum-islam/10151660253313420







[1]http://www.facebook.com/notes/iman-wahyudi/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-dalam-hukum-islam/10151660253313420

[2] Muhammad tholhah hasan, ahlus sunnah wal jamaah dalam persepsi dan tradisi NU,(jakarta:Lantabora Press, 2006), hal.106-110
[3] Muslim ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaren, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1991), hal.21-22
[4] Saifudin Mujtaba, Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar, (Jember : STAIN Jember Press, 2012), hal.145-153
[5] Suyatno, Dasar-dasar ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 38
[6] Tim Guru MGPK Profinsi Jawa Timur, Bahan Ajar Fiqih, ( Mojokerto : CV. Sinar Mulia Mojosari, 2012), hal. 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar