BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Para
ahli hadits sepakat bahwa untuk menilai kualitas hadist, terlebih dahulu harus
dilihat dari segi matan dan sanadnya. Dalam hubungannya dengan penelitian
sanad, yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan
pribadi periwayat (rawi) hadits menyangkut dua hal; pertama, keadilan yang
berhubungan dengan kualitas pribadi periwayat; dan kedua ke dhabithan yang
berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal tersebut ada
pada periwayat hadits maka periwayat itu dinyatakan tsiqah dan hadits yang
diriwayatkan dapat diterima sebagai hujjah.
Dalam kajian Ulumul
Hadits, pembahasan mengenai keadaan pribadi periwayat hadis, baik mengenai
kualitas pribadinya maupun kapasitas intelektualnya, merupakan fokus kajian
ilmu Jarh dan Ta’dil. Sehubungan dengan hal itu, bab ini akan membahas seputar
masalah jarh dan ta;dil.[1]
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa Pengertian Ilmu Al-Jahr wa Al-Ta’dhil?
1.2.2
Metode apa yang digunakan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi
dan masalah-masalahnya?
1.2.3
Apa saja Macam-macam Keaiban rawi?
1.2.4
Apa saga Syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan?
1.2.5
Apa saja Tingkatan-Tingkatan al-Jarh wa al-Ta’dil?
1.2.6
Apa Perlawanan antara Jarh dan Ta’dil?
1.2.7
Apa saja Kitab-Kitab al-Jarh wa al-a’dil?
1.2.8
Bagaimana Sejarah Perkembangan Jahr dan Ta’dil?.
1.3 Tujuan
1.3.1
Mengetahui Pengertian Ilmu Al-Jahr wa Al-Ta’dhil
1.3.2
Mengetahui Metode apa yang digunakan untuk mengetahui keadilan dan
kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
1.3.3
Mengetahui Macam-macam Keaiban rawi
1.3.4
Mengetahui Syarat-syarat bagi
orang yang men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan
1.3.5
Mengetahui Tingkatan-Tingkatan al-Jarh wa
al-Ta’dil
1.3.6
Mengetahui Perlawanan antara Jarh dan Ta’dil
1.3.7
Mengetahui Kitab-Kitab al-Jarh wa al-a’dil
1.3.8
Mengetahui Sejarah Perkembangan Jahr dan Ta’dil.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ilmu Al-Jahr wa Al-Ta’dhil
Kalimat ‘al-jarh’ dan
‘al-adl’.Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk masdar, dari kata جَرَحَ-يَجْرَحُ
, yang berarti seseorang membuat luka pada
tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.
Dikatakan juga جَرَحَ الْحَاكِمُ
وَغَيْرُهُ الْشَّاهِدَ , yang berarti hakim dan yang lain
melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan
sebagainya. Secara terminologi, al’jarh berarti munculnya suatu sifat
dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan
kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya
atau bahkan tertolak riwayatnya. Adapun ‘at-tajrih’ menyifati seorang perawi
dengan sifat-sifat yang membawa konskuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau
tidak diterima.
Kemudian,
pengertian al-adl secara etimologi berarti sesuatu yang terdapat dalam
jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari ‘lacur’. Orang adil berarti
orang yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti
menilainya positif. Adapun secara terminologi, al-adl berarti orang yang
tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.
Lafazh
al-jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat
mencacatkan keadilan dan kepahalannya. Men-jarh atau metajrih seorang
rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan
kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan ‘adil
adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama
dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat yang terpuji kepada rawi sehingga apa yang diriwayatkannya
dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.
Dengan
demikian, ilmu al-jahr wa at-ta’dil berarti :
اَلْعِلْمُ
اَلَّذِيْ يُبْحَثُ فِيْ أَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ
رِوَايَاتِهِمْ أَوْرَدِّهَا.
Ilmu
yang menbahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat
mereka.
Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta;dil merupakan
suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat atau
adilnya seorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap
klasifikasi hadistnya.[2]
2.2 Manfaat Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan
apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama
sekali. Apabila seorang rawi djarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus di tolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang
yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain
untuk menerima hadits di penuhi.[3]
Kalau ilmu al jahr wa at-ta’dil tidak
dipelajari , paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang
meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal perjalanan hadis semenjak Nabi
Muhammad SAW sampai dibukukan begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan
kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian sebuah
hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di
bidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah lainnya yang dikaitkan
dengan hadits. Akibatnya mereka meriwayatkan hadis yang disandarkan kepada
Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat
untuk kepentingan golongannya.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah
riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari
Rasulullah dan hadis palsu.
Dengan mempelajari ilmu al jahr wa at-ta’dil
maka kita dapat menyeleksi mana hadis shahih, hasan dan dhaif, terutama dari
segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[4]
2.3 Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi
dan masalah-masalahnya
Ø Metode untuk mengetahui kadilan dan
kecacatan rawi
Menta’dilkan
ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa ke ‘adalahnya, yakni
sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat.
Keadilan seorang rawi itu dapat
diketahui dengan salah satu dari dua ketepan berikut:
1. Dengan kepopulerannya di kalangan para
ahli ilmu bahwa ia terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti
terkenalnya sebagai orang yang adil kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin
Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain
sebagainya. Oleh karena mereka sudah terkenal dengan sebagai orang yang adil
dikalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan
keadilannya.
2. Dengan pujian dari seorang yang
adil(tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai perawi yang adil oleh orang yang adil,
yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan
keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a. Seorang rawi yang adil.
b. Setiap orang yang dapat diterima
periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka
ataupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecactan seorang
rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan:
1. Berdasarkan berita tentang seorang rawi
dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau
pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah
kemashuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecatatannya.
2. Berdasarkan pentajrihan dari seorang
yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.demikian ketetapan
yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para Fuqaha
sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.[5]
Ø Ada beberapa masalah yang berhubungan
dengan men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan seorang rawi, diantaranya
apabila penilaian itu secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan
ada kalanya mufasar (disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham
ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:
a. Men-ta’dil-kan tanpa
menyebutkan sebab-sebabnya dapat
diterima, karena sebab itu banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya
tentu akan menyibukkan saja. Adapun men-tajrih-kan tidak diterima, kalau
tidak menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan
satu sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dalam mengemukakan sebab jarh,
hingga tidak mustahil seorang men-tajrih menurut kenyakinannya, tetapi
tidak dalam kenyataannya. Jadi, agar jelas apakah ia tercatat atau tidak, perlu
disebutkan sebab-sebabnya.
b. Untuk ta’dil, harus disebutkan
sebab-sebabnya, tetapi men-jarh-kan tidak perlu. Karena sebab-sebab men-ta’dil-kan
itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan men-tajrih-kan
tidak bisa dibuat-buat.
c. Untuk kedua-duanya, harus disebut
sebab-sebabnya.
d. Untuk kedua-duanya, tidak perlu
disebutkan sebab-sebabnya, sebab si farh dan mu’addil sudah
mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Diantara sebab munculnya
kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman
tentang penilaian terhadap para rawi.
Masalah
berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang
dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi.
Sebagaimana berikut:
a. Minimal dua orang, baik dalam soal
syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian pendapat kebanyakan
fuqaha Madinah.
b. Cukup seorang saja, dalam soal
riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilang tersebut tidak
menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’dil-kan
dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
c. Cukup seorang saja, baik dalam soal
riwayah maupun dalam soal syahadah.
Adapun
kalau ke-adalah-annya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau
dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang men-ta’dil-kan
(muzakky = mua’dil). Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal,
Al-Laits, Ibnu Mubarak, Syu’aibah, Ishak, dan lain-lain.[6]
2.4 Macam-macam Keaiban rawi
Keaiban seorang rawi
itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam saja. Yakni:
1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela,
diluar ketentuan syari’at),
Orang
yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan
adakalanya tergolong orang yang difasikkan. Mereka yang dianggap kafir, ialah
golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada
Sayyidina ‘Ali, dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan
kembali ke dunia sebelum hari kiamat. Sedangkan orang-orang yang dianggap fasik,
ialah golongan yang mempunyai itikad berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah (membedakan dengan
periwayatan orang yang lebih tsiqah), mukhalafah yang dapat menimbulkan
kejanggalan dan kemungkaran suatu hadis, ialah apabila seorang rawi yang kuat
ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadis berlawanan dengan riwayat
orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang
kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama’kan. Periwayatan yang demikian
disebut dengan syadz, dan kalau rawinya sangat lemah hafalannya,
periwayatnya(haditsnya) disebut munkar.
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam
periwayatan),
Ghalath
itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang disifati
banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai hadis-hadis yang
telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan
orang lain yang tidak disifati dengan ghalath, maka hadis yang diriwayatkan
oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan
(sanad)nya. sedang bila tidak didapati selain dengan jalan (sanad)nya,
hendaklah ditawaqufkan.
4. Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal
identasnya)
Merupakan
pan tangan
untuk diterima haditsnya, selama belum jelas identitasnya, apabila sebagian
orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain
mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah
mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya.
5. Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya
tidak bersambung).
Da’wa’l-inqitha’
(pendakwaan terputus) dalam sanad, misalnya mendakwa rawi mentadliskan atau
mengirsalkan sesuatu hadits.[7]
2.5 Syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan
dan men-tarjih-kan
Ada beberapa
syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (Mu’addil) dan orang
yang men-jarah-kan (Jarih),
yaitu:
1.
Berilmu pengetahuan,
2.
Takwa,
3.
Wara’,
4.
Jujur,
5.
Menjauhi fanatik golongan,
6.
Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.[8]
3.
Tingkatan-Tingkatan
al-Jarh wa al-Ta’dil
Para
perawi yang meriwayatkan hadist bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi
keadilannya, kedhabithannya, dan hafalan mereka. Diantara mereka ada hafalanya
sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketetapan, da nada pula yang sering
lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang
berdusta dalam hadits. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan jarh
dan ta’dil, dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan
ta’dil ada enam tingkatan, dengan perincian sebagai berikut :[9]
No
|
Tingkatan
|
Lafadz
|
Arti
|
1.
|
Tingkatan yang tertinggi dengan menggunakan
af’alut tafdhil, menunjukkan sangat tsiqah.
|
أوثق
الناس
أثبت
الناس حفظا و عدلا
إليه
المنتهي في الثبت
ثقة
فوق الثقة
|
Orang yang paling tsiqah.
Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya.
Orang
yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah.
|
2.
|
Memperkuat kestiqahan perawi dengan membubuhi satu
sifat-sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabitanya.
|
ثبت
ثت, ثقة قة, ثبت ثقة, ضابط متقن
|
Orang
yang teguh lagi teguh, orng yang tsiqah lagi tsiqah, orang yang teguh lagi
tsiqah, orang yang kuat ingatan lagi menyakinkan ilmunya.
|
3.
|
Menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang
mengandung arti kuat ingatan.
|
ثبت, ثقة, ضابط,
متقن
|
|
4.
|
Menunjukkan keadilan dan kedhabitan tetapi dengan
lafadz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah).
|
صدوق
مأمون
لابأس
به
|
Orang yang sangat jujur.
Orang yang dapat memegang amanat.
Orang
yang tidak cacat.
|
5.
|
Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terfaham
adanya kedhabitan.
|
محله
الصدق
جيد
الحديث
مقارب
الحديث
|
Orang yang berstatus jujur
Orang yang baik hadistnya
Orang yang haditsnya berdekakatan
dengan hadits orang lain yang tsiqah.
|
6.
|
Menunjuk arti mendekati cacat
|
صدوق
إن شاء الله
فلان صويلح
|
Orang yang jujur insyAllah
Orang
yang sedikit salehannya.
|
Sedangkan untuk
tingkatan jarh juga ada enam tingkatan, dengan perincian sebagai berikut:
No.
|
Tingkatan
|
Lafadz
|
Arti
|
1.
|
Tingkatan yang tertinggi dengan menggunakan
af’alut tafdhil, menunjukkan sangat cacat.
|
أوضع الناس
أكذب
الناس
إليه
المنتهي في الوضع
|
Orang yang paling dusta.
Orang yang paling bohong.
Orang
yang paling top kebohongannya.
|
2.
|
Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan
lafadz berbentuk shigat muballagah.
|
كذاب,
وضاع, دجال
|
Orang
yang pembohong, orang yang pendusta, orang yang penipu.
|
3.
|
Menunjukkan tuduhan dusta, bohong dsbnya.
|
فلان
متهم بالوضع
فلان
ساقط
فلان
متروك الحديث
|
Orang yang dituduh bohong.
Orang yang gugur.
Orang
yang ditinggal haditsnya.
|
4.
|
Menunjuk kepada bersangatan lemahnya.
|
مطرح
الحديث
فلان
ضعيف
فلان
مردود الحديث
|
Orang yang di lemparkan haditsnya.
Orang yang lemah.
Orang
yang ditolak haditsnya.
|
5.
|
Menunjukkan kepada kelemahan dan
kekacauan rawi mengenai hafalannya.
|
فلان
لايحتج به
فلان
مجهول
فلان
منكر الديث
|
Orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya.
Orang yang tidak dikenal identitasnya.
Orang
yang mungkar haditsnya.
|
6.
|
Menyifati rawi dengan sifat-sifat
yang menunjukkan kelemahanya.
|
ضعف
حديث
فلان
لين
|
Orang yang dhaifkan haditsnya.
Orang
yang lunak.
|
2.6 Perlawanan antara Jarh dan Ta’dil.
Apabila terdapat ta’arudl antara jarh
dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama’ men-ta’dil-kan dan sebagian
ulama’ yang lain men-tarjih-kan dalam hal ini terdapat empat pendapat:
1. Jarh harus didahulukam secara mutlak,
walaupun jumlah mu’addil-nya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarih
tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil dan kalau
jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberikan menurut lahirnya
saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si
mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh jumhuru’l ulama’.
2. Ta’dil harus didahulukan daripada jarh.
Karena sijarih dalam mengaibkan si rawi kurang tepat, karenakan sebab yang
digunakan untuk mengaibkan itu bukan sebab yang mencacatkan yang sebenarnya,
apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedangkan mu’addil, sudah barang tentu
tidak sembarangan menta’dilkan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang
tepat dan logis.
3. Bila jumlah mu’addil-nya lebih banyak
daripada jarihnya, didahulukan ta’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat
memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar
mereka.
4. Masih tetap dalam ke-ta’arudlan-nya
selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya. Pengarang at-taqrib mengemumakan
sebab timbulnya khilaf ini, ialah jumlah mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau
jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarihnya, maka mndahulukan jarh itu
sudah merupakan putusan ijma’.[10]
2.7 Kitab-Kitab al-Jarh wa al-a’dil
Sebagaimana diketahui, bahwa ketentuan
shahih tidaknya suatu hadis didasarkan adil dan dlabith tidaknya para
perawinya. Atas dasar ini, para ulama menyusun beberapa kitab yang membahas
rentang keadilan dan kedlhabitan para perawi yang bersumber (dinukil) dari para
imam yang adil dan terpercaya dengan diberi nama “at-ta’dil” dan kitab
yang membahas cacatnya sifat keadilan dan kedlabitan mereka yang bersumber
(dinukil) dari para imam yang tidak fanatik dan diberi nama “al-jarh”,
selanjutnya kitab-kitab tersebut dinamakan “kutubu al-jarah wa al-ta’dil”.
Kitab-kitab tersebut banyak
macamnya, sebagian khusus membahas para perawi tsiqah (shahih dan
dlabith), sebagian membahas para perawi yang lemah dan cacat dan sebagian yang
lain membahas dari kedua sifat tersebut. Dari segi lain ada yang secara umum membahas
para perawi hadis dengan tanpa memperhatikan kitab hadisnya dan ada yang
membahasnya dari kitab hadis tertentu.
Usaha
para ulama Ahlu al-jarh wa al-ta’dil diatas merupakan usaha yang
menghasilkan karya yang sangat berharga. Hal ini disebabka karena mereka:
1. Berusaha mengungkap secara cermat
biografi semua perawi hadis,
2. Menerangkan sifat adil-dlhabit atau
tidaknya perawi hadis (jarh wa ta’dil),
3. Menerangkan siapa saja yang pernah
menerima hadis dari perawi tertentu dan dari siapa mereka menerimanya,
4. Menerangkan perjalanan para perawi dalam
rangka mencari atau menerima sumber,
5. Menerangkan masa hidup para perawi,
sehingga bias diketahui guru-guru mereka.
Dengan usaha tersebut,
berarti mereka telah berhasil menyusun “Ensiklopedi Al-Kabiir” berisi
tentang biografi para perawi hadis yang selalu terpelihara dan berlaku
sepanjang masa. Karya tersebut nampaknya belum pernah tertandingi oleh karya
generasi sekarang.[11]
Penyusunan karya dalam
ilmu Al-Jarh wat Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan
hasil pentajrihan maupun penta’dilan para kritikus hadits sudah di kumpulkan.
Pelopor pertama penyusun ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin
Al-Madini, dan Ahmad bin Hambal. Sesudah itu maka terjadilah penyusunan
karya-karya tentang jarh wat ta’dil menjadi semakin berkembang.
Para
penyusun mempunyai metode yang berlainan dalam menyusun kitab jarh wat ta’dil
ini. Sebagian diantara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja
dalam karyanya. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja dan
sebagian lagi menggabungkan antarayang dla’if dan yang shiqaat.
Sebagian besar
metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi
sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada meeka:
1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin
Ma’in (wafat tahun 233H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip (tulisan tangan).
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan
Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat
tahun 256 H), dicetak di india. Karya beliau yang lain: At-Tarikh Al-Kabiir,
Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir.
3. Kitab
Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly
(wafat tahun 261 H), manuskrip.
4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-matrukiin, karya
Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkarim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun
wal-Matrukuun min Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bi ‘Amr
Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya
Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di india
bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far
Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H),
manuskrip.
8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin
minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun
354 H), manuskrip; dan karyanya kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam
Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam
naskah yang dicetak dengan nomor.
10. Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya
Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk diantara
yang paling besar dari kitab-kitab tetang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada
kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para
imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan
ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi
hadits secara umum.
11. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya
Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
12. Kitab Al-Jami’I baina
Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat
tahun 507 H); dicetak.
13. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya
Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600
H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas
perawi kutub sittah. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan
peringkasan atasnya.
14. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh
Al-hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
15. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Ustman Adz-Dzahabi juga.
16. Kitab Tadzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzhabi
juga.
17. Kitab Al-Kasyiffii Ma’rifat man Lahu
Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
Kitab
Tadzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Ats qalani (wafat tahun 852
H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh
Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara
terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu
diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab-kitab
Tahdzibu-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detail.[12]
2.8 Sejarah Perkembangan Harj dan Ta’dil
Kegiatan kritik hadist sebagai upaya
untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang maqbul dan yang mardud,
benih-benihnya telah di mulai sejak masa Nabi Muhammad. Tetapi pada waktu
itu hanya terbatas pada kritik matan (al-naqd ad-dakhili) dengan cara
menkonfirmasikan apa yang telah diterima sahabat dari sahabat yang lain kepada
Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa apa yang diterimanya itu benardari
beliau. Atau, dengan cara membandingkannya dengan hadist yang lain atau dengan
ayat al-Qur’an. Kemudian pada masa sahabat, kegiatan kritik hadist tidak hanya
terbatas pada matan saja, tetapi sudah mulai pada kritik sanad hadist (an-naqd
al-khariji). Diantara para sahabat yang merintis sanad hadist adalah Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thallib, Aisyah, Abdullah bin umar, juga Ibnu
Abbas dan Ubadah bin Shamit. Kritik terhadap sanad hadist ini terutama setelah
terjadinya al-fitnah al-kubra (bencana besar) dengan terbunuhnya
Khalifah Usman bin afwan (61 H) dan peperangan antara Ali dan Muawiyah yang
menimbulkan perpecahan dikalangan kaum muslimin. Pada masa inilah mulai azas-azas dan kaedah-kaedah ilmu jarh
dan ta’dil sebagai ilmu yang membahas tentang kritik hadist dari
sanadnya. Dalam hal ini, Ibnu sirin mengatakan bahwa pada mulanya kaum muslimin
tidak menanyakan tentang isnad. Namun setelah terjadi fitnah tersebut, mereka
selalu mempertanyakan tentang periwayat hadis yang mereka terima.
Sikap kritis para sahabat dalam
meriwayatkan hadis dilanjutkan oleh kalangan tabi’in. Diantaranya mereka yang
ahli di bidang karakteristik hadis dapat disebutkan seperti said bin Musayyab
(w. 93 H), Amiral al-Sya’bi (w.103 H),
Muhammad bin Sirin (w.110 H) juga ulama berikutnya seperti Syu’ban
binHajjaj (82-160 H), al Awza’i (88-158 H), Malik bin Anas (93-179 H), Yahya
bin Said al-Qattan (w .198 H), dan Abdurrahman bin al-Mahdi (135-198). Orang
yang pertama yang menghimpun pembicaraan mengenai jarh dan ta’dil adalah
Yahya bin Said al-Qattan. Pada abad kedua hujriyah ini, ilmu jarh dan ta’dil
belum di bukukan, tetapi baru merupakan penyempurnaan dari azas dasar yang
telah di letakkan pada masa sebelumnya.
Para ulama di atas, selanjutnya,
menghasilkan sejumlah besar murid yang ahli di bidang kritik hadis. Di antara
mereka yang terkenal adalah Yahya bin Ma’in (w. 223 H), murid dari Yahya bin
Said al-qattan, Ali bin al-madin (w. 234 H), Ahmad bin Hambal (w. 241). Kemudian pula para kritik
terkenal, di antaranya Ibnu Isma’il al-Bukhari (194-259 H), Abu Zur’ah Abdullah
bin Abd al-karim ar-Razi (200-264 H), Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (
240-377 H), dan lain-lain. Pada abad ketiga inilah muncul kitab-kitab yang
secara khusus membicarakan jarh dan ta’dil seperti ma’rifat
ar-Rijal karya Yahya bin Ma’in, at-Tarikh
al Kabir karya Imam Bukhari,dan kitah al-jarh wa ta’dil karya Abu
Hatim ar-Razi.[13]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Jahr
dan ta’dil adalah sebagian dari ilmu kritik sanad yang membahas keadaan para
periwayathadis, baik kualitas pribadi maupun kapasitas intelektualnya. Ilmu ini
saangat penting dalam menentukan kualits hadis yang diriwayatkannya. Oleh
karena itu, pengembangan penelitian dan kritik terhadap para periwayat hadis,
juga para ulamaahli kritik itu sendiri dengan bantuan berbagai disiplin ilmu, sangat
diperlukan untuk mendapatkan data yang lebih objektif.
Ilmu al-jahr wa al-ta’dhil ini muncul
bersamaan dengan munculnya periwayatan hadis, karena untuk mengetahui hadis
shahih harus didahului dengan mengetahui periwayatannya, mengetahui pendapat
kritikus periwayat tentang jujur tidaknya periwayat sehingga memungkinkan dapat
membedakan hadis yang dapat diterima dan ditolak. Karena itu, para ulama hadis
mengkaji tentang para periwayatan hadis, mengikuti kehidupan ilmiah mereka,
menelaahdengan cermat sehingga di ketahui para periwayat yang sangat kuat
hafalannya, yang dhabit, yang lebih lama berguru pada seseorang, dan
sebagainya.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Idri.
2010. Studi Hadis. Jakarta.: Kencana Media Group.
Khusniati
Rofiah, Khusniati.2010.
Studi Ilmu HADITS. Ponorogo:
STAIN PO Press.
Mahmud
Thahhan, Mahmud.2007. Intisari
Ilmu Hadis. Malang: UIN-Malang Press.
Rahman,Fatchur. 1970. Ikhtisar
Mushthalahul Hadits.Yogyakarta:PT
Alma’arif.
Sholahudin,
Agus.2009. Ulumul Hadis. Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Suryadilaga.
Alfatih. 2010. Ulumul hadis. Jogjakarta.
Teras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar