Rabu, 29 Juli 2015

Ilmu Al-Jahr wa Al-Ta’dhil



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Para ahli hadits sepakat bahwa untuk menilai kualitas hadist, terlebih dahulu harus dilihat dari segi matan dan sanadnya. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan pribadi periwayat (rawi) hadits menyangkut dua hal; pertama, keadilan yang berhubungan dengan kualitas pribadi periwayat; dan kedua ke dhabithan yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal tersebut ada pada periwayat hadits maka periwayat itu dinyatakan tsiqah dan hadits yang diriwayatkan dapat diterima sebagai hujjah.
Dalam kajian Ulumul Hadits, pembahasan mengenai keadaan pribadi periwayat hadis, baik mengenai kualitas pribadinya maupun kapasitas intelektualnya, merupakan fokus kajian ilmu Jarh dan Ta’dil. Sehubungan dengan hal itu, bab ini akan membahas seputar masalah jarh dan ta;dil.[1]
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa Pengertian Ilmu Al-Jahr wa Al-Ta’dhil?
1.2.2        Metode apa yang digunakan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya?
1.2.3        Apa saja Macam-macam Keaiban rawi?
1.2.4        Apa saga Syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan?
1.2.5        Apa saja Tingkatan-Tingkatan al-Jarh wa al-Ta’dil?
1.2.6        Apa Perlawanan antara Jarh dan Ta’dil?
1.2.7        Apa saja Kitab-Kitab al-Jarh wa al-a’dil?
1.2.8        Bagaimana Sejarah Perkembangan Jahr dan Ta’dil?.
 
1.3  Tujuan
1.3.1        Mengetahui Pengertian Ilmu Al-Jahr wa Al-Ta’dhil
1.3.2        Mengetahui Metode apa yang digunakan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
1.3.3        Mengetahui Macam-macam Keaiban rawi
1.3.4        Mengetahui  Syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan
1.3.5        Mengetahui Tingkatan-Tingkatan al-Jarh wa al-Ta’dil
1.3.6        Mengetahui Perlawanan antara Jarh dan Ta’dil
1.3.7        Mengetahui Kitab-Kitab al-Jarh wa al-a’dil
1.3.8        Mengetahui Sejarah Perkembangan Jahr dan Ta’dil.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Ilmu Al-Jahr wa Al-Ta’dhil
Kalimat ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’.Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk masdar, dari kata جَرَحَ-يَجْرَحُ , yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Dikatakan juga جَرَحَ الْحَاكِمُ وَغَيْرُهُ الْشَّاهِدَ , yang berarti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya. Secara terminologi, al’jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Adapun ‘at-tajrih’ menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konskuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
Kemudian, pengertian al-adl secara etimologi berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari ‘lacur’. Orang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif. Adapun secara terminologi, al-adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.
Lafazh al-jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kepahalannya. Men-jarh atau metajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan ‘adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat yang terpuji  kepada rawi sehingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.
Dengan demikian, ilmu al-jahr wa at-ta’dil berarti :

اَلْعِلْمُ اَلَّذِيْ يُبْحَثُ فِيْ أَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ رِوَايَاتِهِمْ أَوْرَدِّهَا.
Ilmu yang menbahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta;dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadistnya.[2]
2.2  Manfaat Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi djarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus di tolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits di penuhi.[3]
Kalau ilmu al jahr wa at-ta’dil tidak dipelajari , paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah lainnya yang dikaitkan dengan hadits. Akibatnya mereka meriwayatkan hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis palsu.
Dengan mempelajari ilmu al jahr wa at-ta’dil maka kita dapat menyeleksi mana hadis shahih, hasan dan dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[4]
2.3  Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Ø  Metode untuk mengetahui kadilan dan kecacatan rawi
            Menta’dilkan ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa ke ‘adalahnya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat.
Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketepan berikut:
1.      Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa ia terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh karena mereka sudah terkenal dengan sebagai orang yang adil dikalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.
2.      Dengan pujian dari seorang yang adil(tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai perawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a.       Seorang rawi yang adil.
b.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka ataupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecactan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan:
1.      Berdasarkan berita tentang seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemashuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecatatannya.
2.      Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para Fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.[5]
Ø  Ada beberapa masalah yang berhubungan dengan men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan seorang rawi, diantaranya apabila penilaian itu secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan ada kalanya mufasar (disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:
a.       Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan  sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun men-tajrih-kan tidak diterima, kalau tidak menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dalam mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seorang men-tajrih menurut kenyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataannya. Jadi, agar jelas apakah ia tercatat atau tidak, perlu disebutkan sebab-sebabnya.
b.      Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi men-jarh-kan tidak perlu. Karena sebab-sebab men-ta’dil-kan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan men-tajrih-kan tidak bisa dibuat-buat.
c.       Untuk kedua-duanya, harus disebut sebab-sebabnya.
d.      Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya, sebab si farh dan mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Diantara sebab munculnya kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap para rawi.
Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi. Sebagaimana berikut:
a.       Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian pendapat kebanyakan fuqaha Madinah.
b.      Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilang tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
c.       Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Adapun kalau ke-adalah-annya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang men-ta’dil-kan (muzakky = mua’dil). Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Al-Laits, Ibnu Mubarak, Syu’aibah, Ishak, dan lain-lain.[6]
2.4  Macam-macam Keaiban rawi
Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam saja. Yakni:
1.      Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan syari’at),
Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasikkan. Mereka yang dianggap kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada Sayyidina ‘Ali, dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali ke dunia sebelum hari kiamat. Sedangkan orang-orang yang dianggap fasik, ialah golongan yang mempunyai itikad berlawanan dengan dasar syari’at.
2.      Mukhalafah (membedakan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah), mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadis, ialah apabila seorang rawi yang kuat ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadis berlawanan dengan riwayat orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama’kan. Periwayatan yang demikian disebut dengan syadz, dan kalau rawinya sangat lemah hafalannya, periwayatnya(haditsnya) disebut munkar.
3.      Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan),
Ghalath itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai hadis-hadis yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath, maka hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad)nya. sedang bila tidak didapati selain dengan jalan (sanad)nya, hendaklah ditawaqufkan.
4.      Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal identasnya)
Merupakan pan tangan untuk diterima haditsnya, selama belum jelas identitasnya, apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya.
5.      Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung).
Da’wa’l-inqitha’ (pendakwaan terputus) dalam sanad, misalnya mendakwa rawi mentadliskan atau mengirsalkan sesuatu hadits.[7]
                           

2.5  Syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan
 Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (Mu’addil) dan orang yang  men-jarah-kan (Jarih), yaitu:
1.      Berilmu pengetahuan,
2.      Takwa,
3.      Wara’,
4.      Jujur,
5.      Menjauhi fanatik golongan,
6.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.[8]
3.      Tingkatan-Tingkatan al-Jarh wa al-Ta’dil
            Para perawi yang meriwayatkan hadist bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedhabithannya, dan hafalan mereka. Diantara mereka ada hafalanya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketetapan, da nada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil, dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan ta’dil ada enam tingkatan, dengan perincian sebagai berikut :[9]

No
Tingkatan
Lafadz
Arti
1.
Tingkatan yang tertinggi dengan menggunakan af’alut tafdhil, menunjukkan sangat tsiqah.
أوثق الناس
أثبت الناس حفظا و عدلا

إليه المنتهي في الثبت

ثقة فوق الثقة
Orang yang paling tsiqah.
Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya.
Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah.
2.
Memperkuat kestiqahan perawi dengan membubuhi satu sifat-sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabitanya.
ثبت ثت, ثقة قة, ثبت ثقة, ضابط متقن
Orang yang teguh lagi teguh, orng yang tsiqah lagi tsiqah, orang yang teguh lagi tsiqah, orang yang kuat ingatan lagi menyakinkan ilmunya.
3.
Menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan.
ثبت, ثقة, ضابط, متقن                 

4.
Menunjukkan keadilan dan kedhabitan tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah).
صدوق
مأمون

لابأس به

Orang yang sangat jujur.
Orang yang dapat memegang amanat.
Orang yang tidak cacat.
5.
Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terfaham adanya kedhabitan.
محله الصدق
جيد الحديث
مقارب الحديث
Orang yang berstatus jujur
Orang yang baik hadistnya
Orang yang haditsnya berdekakatan dengan hadits orang lain yang tsiqah.

6.
Menunjuk arti mendekati cacat
صدوق إن شاء الله
 فلان صويلح
Orang yang jujur insyAllah
Orang yang sedikit salehannya.

Sedangkan untuk tingkatan jarh juga ada enam tingkatan, dengan perincian sebagai berikut:

No.
Tingkatan
Lafadz
Arti
1.
Tingkatan yang tertinggi dengan menggunakan af’alut tafdhil, menunjukkan sangat cacat.
أوضع الناس

أكذب الناس

إليه المنتهي في الوضع
Orang yang paling dusta.
Orang yang paling bohong.
Orang yang paling top kebohongannya.
2.
Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk shigat muballagah.
كذاب, وضاع, دجال
Orang yang pembohong, orang yang pendusta, orang yang penipu.
3.
Menunjukkan tuduhan dusta, bohong dsbnya.
فلان متهم بالوضع

فلان ساقط
فلان متروك الحديث
Orang yang dituduh bohong.
Orang yang gugur.
Orang yang ditinggal haditsnya.
4.
Menunjuk kepada bersangatan lemahnya.
مطرح الحديث

فلان ضعيف
فلان مردود الحديث
Orang yang di lemparkan haditsnya.
Orang yang lemah.
Orang yang ditolak haditsnya.
5.
Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya.
فلان لايحتج به

فلان مجهول

فلان منكر الديث
Orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya.
Orang yang tidak dikenal identitasnya.
Orang yang mungkar haditsnya.
6.
Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahanya.
ضعف حديث

فلان لين
Orang yang dhaifkan haditsnya.
Orang yang lunak.

2.6  Perlawanan antara Jarh dan Ta’dil.
        Apabila terdapat ta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama’ men-ta’dil-kan dan sebagian ulama’ yang lain men-tarjih-kan dalam hal ini terdapat empat pendapat:
1.      Jarh harus didahulukam secara mutlak, walaupun jumlah mu’addil-nya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberikan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh jumhuru’l ulama’.
2.      Ta’dil harus didahulukan daripada jarh. Karena sijarih dalam mengaibkan si rawi kurang tepat, karenakan sebab yang digunakan untuk mengaibkan itu bukan sebab yang mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedangkan mu’addil, sudah barang tentu tidak sembarangan menta’dilkan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
3.      Bila jumlah mu’addil-nya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan ta’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.
4.      Masih tetap dalam ke-ta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya. Pengarang at-taqrib mengemumakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jumlah mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarihnya, maka mndahulukan jarh itu sudah merupakan putusan ijma’.[10]
2.7  Kitab-Kitab al-Jarh wa al-a’dil
Sebagaimana diketahui, bahwa ketentuan shahih tidaknya suatu hadis didasarkan adil dan dlabith tidaknya para perawinya. Atas dasar ini, para ulama menyusun beberapa kitab yang membahas rentang keadilan dan kedlhabitan para perawi yang bersumber (dinukil) dari para imam yang adil dan terpercaya dengan diberi nama “at-ta’dil” dan kitab yang membahas cacatnya sifat keadilan dan kedlabitan mereka yang bersumber (dinukil) dari para imam yang tidak fanatik dan diberi nama “al-jarh”, selanjutnya kitab-kitab tersebut dinamakan “kutubu al-jarah wa al-ta’dil”.
            Kitab-kitab tersebut banyak macamnya, sebagian khusus membahas para perawi tsiqah (shahih dan dlabith), sebagian membahas para perawi yang lemah dan cacat dan sebagian yang lain membahas dari kedua sifat tersebut. Dari segi lain ada yang secara umum membahas para perawi hadis dengan tanpa memperhatikan kitab hadisnya dan ada yang membahasnya dari kitab hadis tertentu.
Usaha para ulama Ahlu al-jarh wa al-ta’dil diatas merupakan usaha yang menghasilkan karya yang sangat berharga. Hal ini disebabka karena mereka:
1.      Berusaha mengungkap secara cermat biografi semua perawi hadis,
2.      Menerangkan sifat adil-dlhabit atau tidaknya perawi hadis (jarh wa ta’dil),
3.      Menerangkan siapa saja yang pernah menerima hadis dari perawi tertentu dan dari siapa mereka menerimanya,
4.      Menerangkan perjalanan para perawi dalam rangka mencari atau menerima sumber,
5.      Menerangkan masa hidup para perawi, sehingga bias diketahui guru-guru mereka.
Dengan usaha tersebut, berarti mereka telah berhasil menyusun “Ensiklopedi Al-Kabiir” berisi tentang biografi para perawi hadis yang selalu terpelihara dan berlaku sepanjang masa. Karya tersebut nampaknya belum pernah tertandingi oleh karya generasi sekarang.[11]
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan hasil pentajrihan maupun penta’dilan para kritikus hadits sudah di kumpulkan. Pelopor pertama penyusun ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hambal. Sesudah itu maka terjadilah penyusunan karya-karya tentang jarh wat ta’dil menjadi semakin berkembang.
            Para penyusun mempunyai metode yang berlainan dalam menyusun kitab jarh wat ta’dil ini. Sebagian diantara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja dan sebagian lagi menggabungkan antarayang dla’if dan yang shiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka  yang sampai kepada meeka:
1.      Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip (tulisan tangan).
2.      Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di india. Karya beliau yang lain: At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir.
3.      Kitab  Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4.      Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkarim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5.      Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bi ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6.      Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di india bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7.      Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8.      Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
9.      Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
10.  Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk diantara yang paling besar dari kitab-kitab tetang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
11.  Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
12.  Kitab Al-Jami’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
13.  Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
14.  Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
15.  Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Ustman Adz-Dzahabi juga.
16.  Kitab Tadzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzhabi juga.
17.  Kitab Al-Kasyiffii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
Kitab Tadzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Ats qalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab-kitab Tahdzibu-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detail.[12]

2.8  Sejarah Perkembangan Harj dan Ta’dil
Kegiatan kritik hadist sebagai upaya untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang maqbul dan yang mardud, benih-benihnya telah di mulai sejak masa Nabi Muhammad. Tetapi pada waktu itu hanya terbatas pada kritik matan (al-naqd ad-dakhili) dengan cara menkonfirmasikan apa yang telah diterima sahabat dari sahabat yang lain kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa apa yang diterimanya itu benardari beliau. Atau, dengan cara membandingkannya dengan hadist yang lain atau dengan ayat al-Qur’an. Kemudian pada masa sahabat, kegiatan kritik hadist tidak hanya terbatas pada matan saja, tetapi sudah mulai pada kritik sanad hadist (an-naqd al-khariji). Diantara para sahabat yang merintis sanad hadist adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thallib, Aisyah, Abdullah bin umar, juga Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit. Kritik terhadap sanad hadist ini terutama setelah terjadinya al-fitnah al-kubra (bencana besar) dengan terbunuhnya Khalifah Usman bin afwan (61 H) dan peperangan antara Ali dan Muawiyah yang menimbulkan perpecahan dikalangan kaum muslimin. Pada masa inilah mulai  azas-azas dan kaedah-kaedah ilmu jarh dan ta’dil sebagai ilmu yang membahas tentang kritik hadist dari sanadnya. Dalam hal ini, Ibnu sirin mengatakan bahwa pada mulanya kaum muslimin tidak menanyakan tentang isnad. Namun setelah terjadi fitnah tersebut, mereka selalu mempertanyakan tentang periwayat hadis yang mereka terima.
Sikap kritis para sahabat dalam meriwayatkan hadis dilanjutkan oleh kalangan tabi’in. Diantaranya mereka yang ahli di bidang karakteristik hadis dapat disebutkan seperti said bin Musayyab (w. 93 H), Amiral al-Sya’bi (w.103 H),  Muhammad bin Sirin (w.110 H) juga ulama berikutnya seperti Syu’ban binHajjaj (82-160 H), al Awza’i (88-158 H), Malik bin Anas (93-179 H), Yahya bin Said al-Qattan (w .198 H), dan Abdurrahman bin al-Mahdi (135-198). Orang yang pertama yang menghimpun pembicaraan mengenai jarh dan ta’dil adalah Yahya bin Said al-Qattan. Pada abad kedua hujriyah ini, ilmu jarh dan ta’dil belum di bukukan, tetapi baru merupakan penyempurnaan dari azas dasar yang telah di letakkan pada masa sebelumnya.
Para ulama di atas, selanjutnya, menghasilkan sejumlah besar murid yang ahli di bidang kritik hadis. Di antara mereka yang terkenal adalah Yahya bin Ma’in (w. 223 H), murid dari Yahya bin Said al-qattan, Ali bin al-madin (w. 234 H), Ahmad bin Hambal         (w. 241). Kemudian pula para kritik terkenal, di antaranya Ibnu Isma’il al-Bukhari (194-259 H), Abu Zur’ah Abdullah bin Abd al-karim ar-Razi (200-264 H), Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi ( 240-377 H), dan lain-lain. Pada abad ketiga inilah muncul kitab-kitab yang secara khusus membicarakan jarh dan ta’dil seperti ma’rifat ar-Rijal  karya Yahya bin Ma’in, at-Tarikh al Kabir karya Imam Bukhari,dan kitah al-jarh wa ta’dil karya Abu Hatim ar-Razi.[13]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
         Jahr dan ta’dil adalah sebagian dari ilmu kritik sanad yang membahas keadaan para periwayathadis, baik kualitas pribadi maupun kapasitas intelektualnya. Ilmu ini saangat penting dalam menentukan kualits hadis yang diriwayatkannya. Oleh karena itu, pengembangan penelitian dan kritik terhadap para periwayat hadis, juga para ulamaahli kritik itu sendiri dengan bantuan berbagai disiplin ilmu, sangat diperlukan untuk mendapatkan data yang lebih objektif.
         Ilmu al-jahr wa al-ta’dhil ini muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan hadis, karena untuk mengetahui hadis shahih harus didahului dengan mengetahui periwayatannya, mengetahui pendapat kritikus periwayat tentang jujur tidaknya periwayat sehingga memungkinkan dapat membedakan hadis yang dapat diterima dan ditolak. Karena itu, para ulama hadis mengkaji tentang para periwayatan hadis, mengikuti kehidupan ilmiah mereka, menelaahdengan cermat sehingga di ketahui para periwayat yang sangat kuat hafalannya, yang dhabit, yang lebih lama berguru pada seseorang, dan sebagainya.[14]

DAFTAR PUSTAKA

Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta.: Kencana Media Group.
Khusniati Rofiah, Khusniati.2010. Studi Ilmu HADITS. Ponorogo: STAIN PO Press.
Mahmud Thahhan, Mahmud.2007. Intisari Ilmu Hadis. Malang: UIN-Malang Press.
Rahman,Fatchur. 1970. Ikhtisar Mushthalahul Hadits.Yogyakarta:PT Alma’arif.
Sholahudin, Agus.2009.  Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Suryadilaga. Alfatih.  2010. Ulumul hadis. Jogjakarta. Teras.


[1] M. alfatih suryadilaga. Ulumul hadis. Jogjakarta. Teras. 2010. Hal. 155.
[2] M.Agus Sholahudin. Ulumul Hadis. (Bandung: CV. Pustaka Setia.2009). hlm. 157.

[3] Khusniati Rofiah Studi Ilmu HADITS (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), hal 156
[4] M.Agus Sholahudin. Ulumul Hadis.( Bandung: CV. Pustaka Setia.2009). hlm.159.

[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,(Yogyakarta:PT Alma’arif,1970), hal.309

[6] M.Agus Sholahudin. Ulumul Hadis(. Bandung: CV. Pustaka Setia.2009). hlm. 160.

[7] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,(Yogyakarta:PT Alma’arif,1970), hal.308
[8] M.Agus Sholahudin. Ulumul Hadis. (Bandung: CV. Pustaka Setia.2009). hlm.162.
[9] Khusniati Rofiah Studi Ilmu HADITS (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), hal 158-159
[10] Khusniati Rofiah Studi Ilmu HADITS (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), hal 160
[11] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadis.( Malang: UIN-Malang Press.2007). hlm. 166.


[12] Khusniati Rofiah . Studi Ilmu HADITS (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010),  hal 161-163.

[13] Alfatih. Suryadilaga. 2010.( Ulumul hadis. Jogjakarta. Teras) .

[14] Idri, studi hadis, ( Jakarta,  kencana prenada media group,  2010). hlm 71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar