BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Ingkar As-Sunnah ?
2. Apa saja golongan Ingkar As-Sunnah ?
3. Bagaimana sejarah perkembangan Ingkar As-Sunnah ?
4. Apa saja argumen yang dijadikan dasar golongan Ingkar As-Sunnah ?
5. Bagaimana bantahan terhadap argumen golongan Ingkar As-Sunnah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi Ingkar As-Sunnah.
2. Mengetahui golongan-golongan Ingkar As-Sunnah.
3. Mengetahui sejarah perkembangan Ingkar As-Sunnah.
4. Mengetahui argumen yang dijadikan dasar golongan Ingkar As-Sunnah.
5. Mengetahui bantahan terhadap argumen golongan Ingkar As-Sunnah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ingkar As-Sunnah
a.
Arti Bahasa
Kata “Ingkar
Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “Ingkar” dan ”Sunnah”. Kata “Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab :أِنْكَارًا
أَنْكَرَ يُنْكِرُyang mempunyai beberapa arti diantaranya : “ Tidak mengakui dan
tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu
(antonim kata al-‘irfan, dan menolak
apa yang tidak tergambarkan dalam hati, misalnya firman Allah Swt:
فَدَخَلُواْعَلَيْهِ
فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ,مُنْكِرُوْنَ.٥٠
Artinya:
Lalu mereka (saudara-saudara Yusuf) masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf mengenal
mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya. (QS. Yusuf (12): 58)
يَعْرِفُهُمْ نِعْمَتَ اللهِ ثُمَّ يُنْكِرُوْنَهَا وَأَكْثَرُهُمُ
الْكَفِرُونَ ٨٣
Artinya:
Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang kafir.
(QS. An-Nahl (16): 83).
Al-Askari
membedakan antara makna Al-Inkar dan Al-Juhdu. Kata Al-Inkar terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai
pengetahuan, sedang Al-Juhdu terhadap
sesuatu yang nampak dan disertai pengetahuan. Dengan demikian bisa jadi orang
mengingkari sunnah sebagai hujjah di kalangan orang yang tidak banyak
pengetahuannya tentang ulum al-hadist.
Dari beberapa
kata “Ingkar” di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara etimologis
diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin
atau lisan dan hati yang di latar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau
faktor lain, misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan dan lain-lain.
Sedang kata “sunnah” secara mendetail telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
Orang yang
menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadist disebut
ahli bid’ah dan menuruti hawa nafsunya(أَهْلُ الْأهْوَاءِ وَالْبَدْعَ). Mereka ahli bid’ah yang mengikuti kemauan hati dan akal
pikirannya. Mereka itu, kaum Khawarij, Mu’tazilah dan lain-lain, karena mereka
itu umumnya menolak sunnah. Gelar ini
diberikan kepada mereka yang menempati sekte-sekte tersebut, karena mereka ber-istinbath, membela dan mempertahankan
untuk hawa nafsu. Sebagaimana Ahlu sunnah sebagai penolong sunnah dan pembelanya,
ber-istinbath sesuai dengan sunnah.
b.
Arti Menurut Istilah
Ada beberapa
definisi Ingkar Sunnah yang sifatnya masih sangat sederhana pembatasannya di
antaranya sebagai berikut.
1)
Paham yang timbul dalam masyarakat Islam menolak hadist atau sunnah
sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah al-Qur’an.
2)
Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas ummat Islam yang
menolak dasar hukum Islam dari sunnah shahih baik sunnah praktis atau secara
formal dikodifikasikan para ulama’, baik secara totalitas mutawatir maupun ahad atau
sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.
Definisi kedua lebih rasional yang mengakumulasi berbagai macam
ingkar sunnah yang terjadi di sebagian masyarakat belakangan ini terutama,
sedang definisi sebelumnya tidak mungkin terjadi karena tidak ada atau tidak
mungkin seorang muslim mengingkari sunnah sebagai dasar hukum Islam.
Dari definisi di atas dapat
dipahami bahwa Ingkar Sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah
Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya.[1] Ada
kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sumber hukum Islam, misalnya
sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi, dan lain-lain. Sunnah yang diingkari
adalah sunnah shahih baik secara substansial yakni sunnah praktis pengamalan
al-Qur’an (sunnah ‘amaliyah)atau
sunnah formal yang dikodifikasikan para ulama’ meliputi perbuatan, perkataan,
dan persetujuan Nabi Saw. Bisa jadi mereka menerima sunnah secara substansial
tetapi mereka menolak sunnah formal atau menolak seluruhnya.
Paham Ingkar Sunnah bisa jadi menolak keseluruhan sunnah baik
sunnah mutawatirah dan ahad atau menolak yang ahad saja dan atau sebagian saja.
Demikian juga penolakan sunnah tidak didasari alasan yang kuat, jika dengan
alasan yang dapat diterima oleh akal yang sehat, seperti seorang mujtahid yang
menemukan dalil yang lebih kuat daripada hadist yang ia dapatkan, atau hadist
itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedhaifannya, atau karena ada tujuan
syar’i yang lain, maka tidak digolongkan Ingkar Sunnah.
B.
Golongan Ingkar As-Sunnah
Asy-Syafi’i
membagi golongan Ingkar Al-Sunnah menjadi tiga golongan yakni (1)Golongan yang
menolak seluruh sunnah, (2)Golongan yang menolak sunnah, kecuali yang memiliki
kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’an, dan (3)Golongan yang menolak sunnah yang
berstatus ahad. Golongan yang terakhir ini hanya menerima sunnah yang berstatus
mutawatir.[2]
a.
Golongan yang menolak hadist secara keseluruhan.
Alasan
yang dipergunakan mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab, yang sudah
barang tentu menggunakan ushlub-ushlub bahasa yang biasa dipergunakan oleh
bangsa Arab. Sehingga kalau seseorang telah menggunakan ushlub bahasa Arab, ia
akan mampu memahami Al-Qur’an tanpa memerlukan penjelasan sunnah dan yang
lainnya.
2)
Al-Qur’an sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an itu telah
mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia mengenai segala aspek kehidupannya.
Imam
Syafi’i tidak menerangkan dengan konkret di dalam kitabnya Al-Umm mengenai
siapa yang menolak sunnah itu. Menurut Abu Dzahrah dalam kitab Asy-Syafi’i
halaman 218 bahwa yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi’i ialah golongan zindiq dan
sebagian golongan khawarij, tetapi menurut Asy-Syaikh Al-Khudlari, guru besar
sejarah hukum Islam pada Egyptian University, bahwa golongan yang dimaksud oleh
Imam Syafi’i adalah golongan mu’tazilah.
b.
Golongan yang menolak sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki
kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’an.
Pendapat
dari golongan kedua ini menurut lahirnya mengandung dua kemungkinan:
1)
Mereka menolak hadist baik ahad maupun mutawatir, kecuali bila ada
nash Al-Qur’an yang sama mengenai lafadznya atau maknanya dengan hadist
tersebut. Pada hakekatnya pendapat ini sama dengan pendapat yang pertama.
2)
Kemungkinan kedua ialah mereka tidak menerima sunnah, kecuali jika
ada sandaran hukumnya dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an itu sebagai mashdar
al-awwal al-kull, yaitu sumber hukum yang pertama yang bersifat universal bagi
syari’at Islam.
c.
Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad.
Golongan
ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1)
Hadist ahad tingkatannya zanni.
2)
Ada kemungkinan perawi-perawinya lupa atau berbuat salah.
3)
Sejarah telah membuktikan bahwa tidak sedikit orang-orang atau
golongan-golongan tertentu untuk maksud tertentu, misalnya untuk maksud
politik, untuk kepentingan pribadi, fanatik kepada golongan yang membuat
hadist-hadist palsu.
Menurut
Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya Al-Hadist wa Al-MuHadis un halaman 25, bahwa
golongan yang menolak hadist ahad ialah golongan Qodariyah, Rafidloh, dan
sebagian madzhab zahiri.
Sebagian
golongan Khawarij dan Mu’tazilah, juga tidak menerima hadist ahad sebagai
hujjah. Sebab di dalam hadist itu terdapat kemungkinan kesalahan purbasangka
dan kebohongan dari rawi-rawinya. Dengan demikian tidak memberikan faedah ilmu
qath’iy, padahal Allah SWT berfirman:
ولا تقف ما ليس لك به علم
“Dan jangankah engkau
mengikuti apa yang tidak engkau mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Surat Al-Isra’: 36).
Sesuatu
yang tidak memberikan faedah ilmu qath’iy tidak dapat digunakan sebagai hujjah
untuk menetapkan aqidah dan tidak pula dapat digunakan mewajibkan beramal.
C.
Sejarah Perkembangan Ingkar
As-Sunnah
1. Ingkar As-Sunnah Klasik
Ingkar sunnah klasik diawali akibat
konflik internal umat Islam yang dikobarkan oleh sebagian kaum zindik yang
berkedok pada sekte-sekte dalam Islam, kemudian diikuti oleh para pendukungnya,
dengan cara saling mencaci para sahabat dan melemparkan hadis palsu. Penolakan
sunnah secara keseluruhan bukan karakteristik umat Islam. Semua umat Islam
menerima kehujahan sunnah. Namun, mereka berbeda dalam memberikan kriteria
persyaratan kualitas sunnah. Ingkar sunnah klasik hanya terdapat di Bashrah
Irak karena ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam syari’ah Islam,
tetapi setelah diberikan penjelasan akhirnya menerima kehujjahannya.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat
tentang ingkar as-sunnah klasik, yaitu bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan
masih merupakan pendapat perseorangan dan hal itu muncul akibat ketidaktahuan
mereka tentang fungsi dan kedudukan sunnah dalam Islam. Karena itu, setelah
diberi tahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya menerimanya.[3]
2. Ingkar Sunnah Modern
Sejak abad ketiga sampai abad keempat
belas Hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan bahwa kalangan umat
Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk menolak sunnah sebagai salah satu
sumber syari’at Islam, baik secara perseorangan atau kelompok. Pemikiran untuk
menolak sunnah yang muncul pada abad I H (ingkar as-sunnah klasik) sudah
lenyap ditelan masa pada akhir abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriyah,
pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan, dan kali ini dengan bentuk dan
penampilan yang berbeda dari ingkar as-sunnah klasik. Ingkar As-Sunnah
modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin
melumpuhkan dunia Islam. Ingkar sunnah modern ini banyak yang bersifat kelompok
yang terorganisasi, dan tokoh-tokohnya banyak yang mengklaim dirinya sebagai
mujtahid dan pembaharu. Di antara mereka ada yang tetap menyebarkan
pemikirannya secara diam-diam walaupun penguasa setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap
aliran tersebut.[4]
D.
Argumentasi Ingkar As-Sunnah
Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar as-sunnah baik yang
klasik maupun yang modern memiliki argumen-argumen yang dijadikan pegangan oleh
mereka. Tanpa argumen-argumen itu, barangkali pemikiran itu tidak mempunyai pengaruh
apa-apa. Berikut ini akan dijelaskan argumen-argumen mereka dan sanggahan para ulama
ahli hadist terhadap mereka.
1.
Agama Bersifat Konkret dan Pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal
yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai sunnah, berarti landasan agama
itu tidak pasti. Al-qur’an yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti,
seperti dituturkan dalam ayat-ayat berikut :
الم(1) ذلك الكتب لاريب فيه(2)
Alif
Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa. (QS. Al- Baqoroh [2]: 1-2)
Sementara apabila agama islam itu bersumber dari hadist, ia tidak
akan memiliki kepastian sebab keberadaan hadist khususnya hadist ahad bersifat dhanni
(dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada peringkat pasti. Karena itu,
apabila agama Islam berlandaskan hadist di samping al-Qur’an, Islam akan
bersifat ketidakpastian. Dan ini dikecam oleh Allah dalam firman-Nya :
وانّ الظنّ لايغنى من الحقّ شيئا
“Sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun
terhadap kebenaran.”(QS.An-Najm[53]:28)
Demikianlah, argumen pertama ingkar
as-sunnah, baik yang klasik maupun yang modern, seperti diungkapkan oleh
Taufiq Sidqi (Mesir) dan Jam’iyah Ahl Al-Qur’an (Pakistan).
2.
Al-Qur’an SudahLengkap
Dalam syari’at Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman :
مافرّطنافي
الكتب من شيئ
Tiadalah
Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an). (QS.Al-An’aam [6]: 38)
Jika kita berpendapat
Al-Qur’an masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara tegas mendustakan
Al-Qur’an dan kedudukan Al-Qur’an yang membahas segala hal secara tuntas. Padahal,
ayat diatas membantah Al-Qur’an masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu,
dalam syari’at Allah tidak mungkin di ambil pegangan lain, kecuali Al-Qur’an.
Argument ini dipakai oleh Taufiq Sidqidan Abu Rayyah.
3.
Al-Qur’an Tidak Memerlukan Penjelas
Al-Qur’an tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Qur’an
merupakan penjelasan terhadap segala hal. Allah berfirman :
ونزّلناعليك الكتب تبينا لكل شيئ وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين.
Dan Kami turunkan kepadamu
Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(QS.An-Nahl [16]:89)
وهوالذي أنزل إليكم الكتب مفصّلا.
Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci.
(QS.Al-An’am [6]: 114)
Ayat-ayat ini dipakai dali loleh para
pengingkar sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka menganggap Al-Qur’an sudah cukup
karena memberikan penjelasan terhadap segala masalah. Mereka adalah orang-orang
yang menolak hadist secara keseluruhan, seperti Taufiq Sidqidan Abu Rayyah.[5]
E.
Bantahan Terhadap Ingkar As-Sunnah
1.
Bantahan Terhadap Argumen Pertama
Alasan mereka bahwa sunnah itu dhanni(dugaankuat) sedang kita diharuskan mengikuti yang pasti (yakin),
masalahnya tidak demikian. Sebab, Al-Qur’an sendiri meskipun kebenarannya sudah
diyakini sebagai kalamullah, tidak semua ayat memberikan petunjuk hukum
yang pasti sebab banyak ayat yang pengertiannya masih dhanni(dhanni
ad-dalalah). Bahkan, orang yang memakai pengertian ayat seperti ini juga tidak
dapat meyakinkan bahwa pengertian itu bersifat pasti (yakin). Dengan demikian,
berarti ia juga tetap mengikuti pengertian ayat yang masih bersifat dugaan kuat
(dhanni ad-dalalah). Adapun firmanAllah :
ومايتبع أكثرهم إلاّظنّا. إنّ الظنّ لايغنى من الحقّ شيئا
36. dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.(QS.Yunus
[10]: 36)
Yang dimaksud dengan “kebenaran” (al-haq) disini adalah masalah
yang sudah tetap dan pasti. Jadi, maksud ayat ini selengkapnya adalah, bahwa dhanni
tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap dengan pasti, sedangkan dalam
hal menerima hadist, masalahnya tidak demikian.
Untuk membahtah orang-orang yang menolak hadist ahad, Abu Al-Husain
Al-Bashri Al-Mu’tazili mengatakan, “Dalam menerima hadis-hadis ahad, sebenarnya
kita memakai dalil-dalil pasti yang mengharuskan untuk menerima hadist-hadist itu.”
Jadi, sebenarnya kita tidak memakai dhanni yang bertentangan dengan haq,
tetapi kita mengikuti atau memakai dhann yang memang diperintahkan
Allah.
Para pengingkar sunnah juga mengkritik imam Syafi’I yang menetapkan
hukum dengan hadist ahad yang bersifat dhann. Mereka bertanya
“apakah ada dalil yang bersifat dhanni yang dapat menghalalkan suatu masalah
yang sudah diharamkan dengan dalil qath’i (pasti dan yakin)?” Imam
Syafi’i menjawab “ya, ada.” Mereka bertanya lagi, “apakah itu?” Imam Syafi’i menjawab
dengan melontarkan pertanyaan, “Bagaimana pendapatmu terhadap orang membawa harta
yang ada disebelah saya ini, apakah orang itu haram dibunuh dan hartanya haram
dirampas?” mereka menjawab, “ya, demikian, haram dibunuh dan hartanya haram
dirampas.” Imam Syafi’i bertanya lagi, “Apabila ternyata dua orang saksi yang
mengatakan bahwa orang tersebut baru saja membunuh orang lain dan merampok hartanya,
bagaimana pendapatmu?” mereka menjawab, “Ia mesti di qishas dan hartanya harus dikembalikan
kepada ahli waris orang yang terbunuh.” Imam Syafi’i bertanya lagi, “apakah tidak
mungkin dua orang saksi tersebut bohong atau keliru?” mereka menjawab, “Ya,
mungkin.” “Kalau begitu,” kata Imam Syafi’i selanjutnya, “Kamu telah membolehkan
membunuh (mengqishas) dan merampas harta dengan dalil yang dhanni, padahal
dua masalah itu sudah diharamkan dengan dalil yang pasti.” “ya”, komentar mereka
lagi, “karena kita diperintahkan untuk menerima kesaksian.”
2.
Bantahan Terhadap Argumen Kedua dan Ketiga
Kelompok pengingkar sunnah, baik pada masa lalu maupun belakangan,
umumnya ‘kekurangan waktu’ dalam mempelajari Al-Qur’an. Hal itu karena mereka kebanyakan
hanya memakai dalil ayat 89 surat An-Nahl, yaitu :
ونزّلناعليك الكتب تبينا لكل شيئ وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين.
Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.(QS.An-Nahl [16]: 89)
Padahal dalam ayat 44 surat An-Nahl itu juga, Allah befirman :
وأنزلنا إليك الذكر لتبيّن للناس مانزّل إليهم ولعلّهم يتفكّرون.
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.(QS.An-Nahl[16]:44)
Apabila Allah sendiri yang menurunkan Al-Qur’an itu sudah membebankan
kepada nabi- Nya agar ia menerangkan isi Al-Qur’an, dapatkah dibenarkan seorang
muslim menolak keterangan atau penjelasan tentang isi Al-Qur’an tersebut, dan memakai
Al-Qur’an sesuai pemahamannya sendiri seraya tidak mau memakai penjelasan-penjelasan
yang berasal dari nabi SAW.? Apakah ini tidak berarti percaya kepada sejumlah ayat
Al-Qur’an dan tidak percaya kepada ayat-ayat yang lain? Allah SWT berfirman :
أفتؤمنون ببعض الكتب وتكفرون ببعض. فما جزاءمن يفعل ذلك منكم إلاّ خزي
في الحيوة الدنيا ويوم القيمة يردّون إلى أشدّ العذاب وما الله بغفل عمّا تعملون.
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi
orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia,
dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.(QS.Al-Baqoroh [2]: 85)
Sedangkan argument mereka dengan ayat 38 surat Al-An’am :
مافرطنافي الكتب من شيئ
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun
dalam Al-Kitab (al-qur’an). (QS.Al-An’am [6]: 38)
Hal itu tidak pada tempatnya sebab Allah juga menyuruh kita untuk memakai
apa yang disampaikan oleh Nabi SAW. Seperti dalam firman-Nya :
وماءاتىكم
الرسول فخذوه وما نهىكم عنه فانتهوا.
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.(QS.Al-Hasyr [59]: 7)
Allah jugaberfirman :
وماكان
لمؤمن ولامؤمنة اذا قضى الله ورسوله امرا ان يكون لهم الخيرة من امرهم ومن يعص
الله ورسوله فقد ضلّ ضللال مبينا.
36. dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang
nyata.(QS.Al-Ahzab [33]: 36)
Berdasarkan teks Al-Qur’an, Rasulullah SAW sajalah yang diberi tugas
untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an, sedangkan kita diwajibkan untuk menerima
dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau, baik berupa perintah maupun larangan.Semua
ini bersumber dari Al-Qur’an. Kita tidak memasukkan unsur lain kedalam Al-Qur’an
sehingga masih di anggap memiliki kekurangan. Hal ini tak ubahnya seperti seorang
yang diberi yang megah yang lengkap dengan segala fasilitasnya. Akan tetapi, ia
tidak mau memakai lampu sehingga pada malam hari, istana itu gelap. Sebab,
menurut dia, istana itu sudah paling lengkap dan tidak perlu hal-hal lain.
Apabila istana itu dipasang lampu-lampu dan lain-lain, berarti ia masih memerlukan
masalah lain, sebab kabel-kabel lampu mesti disambung dengan pembangkit tenaga listrik
dari luar. Akhirnya, ia menganggap bahwa gelap yang terdapat dalam istana itu sebenarnya
sudah merupakan cahaya.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Ingkar As-Sunnah adalah Sebuah sikap penolakan terhadap Sunah Rosul, baik
sebagian maupun keseluruhannya.
2.
3 jenis golongan yang termasuk Ingkar As-Sunnah, yaitu :
·
Kelompok yang menolak hadis-hadis Rosul SAW,secara
keseluruhan.
·
Kelompok yang menolak hadis-hadis yang tak disebutkan
dalam Al-Qur’an secara tersirat ataupun tersurat.
·
Kelompok yang
hanya menerima hadis-hadis mutawatir & menolak hadis-hadis Ahad, walaupun
shahih.
3. Sejarah perkembangan Ingkar As-Sunnah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
ingkar as-sunnah klasik dan modern.
4.
Beberapa argumen yang dijadikan dasar
oleh golongan ingkar as-sunnah, diantaranya:
·
Agama bersifat Kongret dan pasti
·
Al-Qur’an sudah lengkap
·
Al-Qur’an tidak memerlukan Penjelas.
5. Bantahan terhadap terhadap ketiga argumen terbagi menjadi dua, yaitu
bantahan terhadap argumen pertama dan bantahan terhadap argumen kedua dan
ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
M. M Azami. 1994. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Rasyid, Daud. 2006. Sunnah di Bawah
Ancaman: Dari Snouck Hugronje hingga Harun Nasution. Bandung: Syaamil.
Solahuddin, M. Agus dan Agus Suyadi.
2013. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustka Setia.
Yaqub, Mustafa Ali. 2004. Kritik Hadis.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
[1] Daud Rasyid. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hugronje hingga
Harun Nasution (Bandung: Syaamil, 2006), hlm vi.
[2] M. M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), hlm 14.
[3] Ali Mustafa Yaqub. Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004), hlm 44.
[4] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis ( Bandung: CV
Pustaka Setia, 2013), hlm 215-216.
[5] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis ( Bandung: CV
Pustaka Setia, 2013), hlm 219-221.
[6] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis ( Bandung: CV
Pustaka Setia, 2013), hlm 222-226.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar