Senin, 27 Juli 2015

Pembawaan dan lingkungan dalam pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Masalah yang selalu menjadi perdebatan para ahli baik ahli pendidikan, psikologi, biologi, maupun ahli sosial adalah hal yang menyangkut pembawaan dan lingkungan yang mempengaruhi anak dalam pendidikan. Apakah perilaku yang ditampilkan oleh seorang anak itu merupakan pembawaan dari orang tuanya atau pengaruh dimana lingkungan itu berada.
            Banyak kasus yang terjadi pada anak seperti anak memiliki kebiasaan mencuri barang-barang teman atau orang lain. Setelah diamati ternyata orang tuanya terkenal biasa mencuri, hal ini apakah sifat mencuri anak tersebut merupakan keturunan atau pembawaan atau karena meniru kebiasaan mencuri dari lingkungan, tentunya butuh pengkajian yang teliti dan mendalam.
            Untuk mempermudah memahaminya akan dibahas masing-masing konsep tentang pembawaan dan lingkungan dalam pendidikan .

B.     Rumusan Masalah
    1. Apa yang dimaksud dengan pembawaan?
    2. Apa yang dimaksud dengan lingkungan?
    3. Bagaimana pembawaan dan lingkungan dalam pendidikan?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan tentang pembawaan.
2.      Menjelaskan  tentang lingkungan.
3.      Menjelaskan pembawaan dan lingkugan dalam pendidikan.

D.    Manfa’at
1.      Mengetahui tentang pembawaan dalam pendidikan.
2.      Mengetahui tentang lingkungan dalam pendidikan.
3.      Mengetahui tentang pembawaan dan lingkugan dalam pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembawaan
Pembawaan ialah seluruh kemungkinan atau kesanggupan (potensi) yang terdapat dalam suatu individu dan yang selama masa perkembangan benar-benar dapat diwujudkan (direalisasikan).[1]
Pembawaan tersebut berupa sifat, ciri, dan kesanggupan yang biasa bersifat fisik atau bisa juga yang bersifat psikis (kejiwaan). Warna rambut, bentuk mata, dan kemampuan berjalan adalah contoh sifat, ciri, dan kesanggupan yang bersifat fisik. Sedangkan sifat malas, lekas marah, dan kemampuan memahami sesuatu dengan cepat adalah sifat-sifat psikis yang mungkin berasal dari pembawaan. Pembawaan yang bermacam-macam itu tidak berdiri sendiri-sendiri, yang satu terlepas dari yang lain. Seluruh pembawaan yang terdapat dalam diri seseorang merupakan keseluruhan yang erat hubungannya satu sama lain; yang satu menentukan, mempengaruhi, menguatkan atau melemahkan yang lain. Manusia tidak dilahirkan dengan membawa sifat-sifat pembawaan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan struktur pembawaan. Struktur pembawaan itu menentukan apakah yang mungkin terjadi pada seseorang.
Demikianlah, kita dapat mengatakan bahwa anak atau manusia itu sejak dilahirkan telah mempunyai kesanggupan untuk dapat berjalan, potensi untuk berkata-kata dan lain-lain.
Kesanggupan-kesanggupan itu sendiri sebenarnya sudah ada dalam pembawaan, tidak dapat amat-amati. Hanya dengan memperhatikan prestasi-prestasi, bentuk-bentuk wataknya, dan tingkah laku suatu individu sajalah kita dapat mengambil kesimpulan tentang suatu pembawaan tertentu yang ada pada individu itu.
Itulah sebabnya maka dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan orang mengartikan pembawaan itu ialah kesanggupan-kesanggupan untuk mencapai prestasi yang tinggi(actual ability) saja. Seorang anak dikatakan mempunyai pembawaan ilmu pasti, jika ia telah menunjukkan kesanggupan-kesanggupan yang nyata dalam ilmu pasti dan melebihi anak-anak yang lain. Kemampuan khusus yang sampai mencapai prestasi yang tinggi biasa disebut berbakat atau bakat khusus. Sehingga ada yang dinamai bakat matematika, bakat seni, bakat menggambar dan seterusnya semua itu mengacu pada kemampuan yang paling tinggi atau mencapai prestasi yang tinggi.[2]
Pembawaan atau bakatnya terkandung dalam sel benih(kiemcel) yaitu keseluruhan kemungkinan yang tertentu oleh keturunan. Inilah yang dalam arti terbatas kita namakan pembawaan(aanleg).
Struktur Pembawaan
Disamping kita memahami bahwa pembawaan yang bermacam-macam yang ada pada anak itu tidak dapat kita amati, jadi belum dapat dilihat sebelum pembawaan itu menyatakan diri dalam perwujudannya (dari potential ability menjadi actual ability), kita hendaklah selalu ingat bahwa sifat-sifat dalam pembawaan (potensi-potensi) itu seperti : potensi untuk belajar ilmu pasti, berkata-kata, intelijensi yang baik dan lain-lain merupakan struktur pembawaan anak-anak.
   Perlu pula kiranya kita singgung sedikit beberapa macam pembawaan berikut :
1)      Pembawaan jenis
Tiap-tiap manusia biasa diwaktu lainnya telah memiliki pembawaan jenis, yaitu jenis manusia. Bentuk badannya, anggota-anggota tubuhnya, intelijensinya, ingatannya dan sebagainya semua itu menunjukkan ciri-ciri yang khas, dan berbeda dengan jenis-jenis makhluk lain.
2)      Pembawaan Ras
Dalam jenis manusia pada umumnya masih terdapat lagi bermacam-macam perbedaan yang juga termasuk pembawaan keturunan, yaitu pembawaan keturunan mengenai ras.
3)      Pembawaan Jenis Kelamin
Setiap manusia yang normal sejak lahir telah membawa pembawaan jenis kelamin masing-masing.


4)      Pembawaan Perseorangan
Kecuali pembawaan-pembawaan terebut diatas, tiap orang sendiri-sendiri (individu) memiliki pembawaan yang bersifat individual (pembawaan perseorangan) yang tipikal, banyak ditentukan oleh keturunan ialah pembawaan ras, pembawaan jenis dan pembawaan kelamin.
B.     Lingkungan
Lingkungan dalam pengertian umum, berarti situasi di sekitar kita. Dalam lapangan pendidikan, arti lingkungan itu luas sekali yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri anak, dalam alam semesta ini.
Lingkungan ini mengitari manusia sejak manusia dilahirkan sampai dengan meninggalnya. Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbah balik, artinya lingkungan mempengaruhu manusia, dan sebaliknya, manusia juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.
Lingkungan tempat anak mendapatkan pendidikan disebut dengan lingkungan pendidikan. Agar tidak menimbulkan salah pengertian, lingkungan sering pula disebut sebagai faktor dalam. Lingkungan sering pula disebut dengan milieu, envioronment.[3]
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.
Lingkungan sekitar dalam konteks pendidikan yang dikutip dari Ngalim membagi lingkungan menjadi tiga yaitu sebagai berikut:
1) lingkungan alam atau luar (external or physical environment), ialah segala sesuatu yang ada di dunia ini, selain manusia.
2) lingkungan dalam (internal environment), ialah segala sesuatu yang telah masuk ke dalam diri kita, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik kita, misalnya makanan yang telah diserap pembuluh-pembuluh darah dalam tubuh.
3) lingkungan social (social environment), ialah semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi kita.


C. Pembawaan dan Lingkungan dalam Pendidikan
Teori-teori Pembawaan dan Lingkungan dalam Pendidikan
1.Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui indera, Menurut penganut aliran ini, pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari stimulan-stimulan dari alam bebas dan yang diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Jadi, yang menentukan perkembangan anak (manusia) adalah semata mata faktor eksternal (lingkungan).
John Locke (1632-1714 M), salah seorang tokoh aliran emprisme, terkenal dengan Teori Tabularasanya. Menurut teori ini, anak yang baru dilahirkan dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi (a sheet of white paper avoid of all characters). Artinya bahwa anak sejak lahir tidak mempunyai pembawaan apa-apa (netral), tidak punya kecenderungan untuk menjadi baik atau menjadi buruk. Dengan demikian anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Dengan kata lain, hanya pendidikan (atau lingkungan) yang berperan atas pembentukan anak.[4]
Pengaruh aliran ini tampak juga pada salah satu mazhab psikologi yang disebut sebagai behaviorisme (aliran tingkah laku). Para tokoh aliran ini, seperti Thorndike, I. Pavlov, J.B. Watson, dan F. Skinner berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku. Mereka memandang manusia sebagaimakhluk reaktif (tidak aktif). Manusia hanyalah objek, benda hidup yang hanya dapat memberi respons kepada perangsang yang berasal dari lingkungannya. Jadi dalam hubungannya dengan lingkungan, seseorang hanya dapat bersifat autoplastis, tidak dapat bersifat alloplastis.
 Dengan demikian empirisme berpandangan bahwa pendidik memegang peranan yang sangat menentukan dalam proses pendidikan. Pendidiklah yang menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak didik dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Kemudian dari pengalaman-pengalaman akan dapat terbentuk susunan kebiasaan yang membentuk pribadi seseorang.
2.Nativisme
Sebagai reaksi terhadap empirisme, muncul nativisme. Istilah nativisme berasal dari kata nativus (latin) yang berarti karena kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi (pembawaan) yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Tokoh nativisme, Schopenhauer (1788-1860) berpendapat bahwa bayi lahir beserta pembawaannya, baik atau buruk. Seorang anak yang mempunyai pembawaan baik, maka dia akan menjadi baik. Sebaliknya, kalau anak mempunyai pembawaan buruk, maka dia akan tumbuh menjadi anak yang jahat. Pembawaan-pembawaan itu tidak akan dapat diubah oleh kekuatan luar (lingkungan).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran ini berpandangan bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hal-hal yang bersifat internalpada anak didik sendiri. Dengan kata lain, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Pendidikan yang tidak sesuai dengan pembawaan atau bakat anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebenarnya tidak diperlukan, dan inilah yang disebut sebagai pesimisme pedagogis.
3.Naturalisme
Pandangan yang mirip dengan pandangan nativisme dikemukakan oleh para penganut paham naturalisme. Sesuai dengan akar kata naturalisme, yakni nature ‘alam’ atau ‘apa yang dibawa sejak lahir’, aliran ini berpandangan bahwa seorang anak telah mempunyai pembawaan sejak lahir.
Meskipun kedua aliran sepakat dalam hal adanya pembawaan pada manusia, namun J.J. Rousseau (1712—1778) (tokoh utama naturalisme), berbeda pendapat dengan Schopenhauer (nativisme) tentang pembawaan tersebut. Schopenhauer berpendapat bahwa bayi lahir dengan dua kemungkinan pembawaan, yakni baik atau buruk, sedangkan Rosseau menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan hanya mempunyai pembawaan baik.
Kalau dalam hal keberadaan pembawaan manusia pandangan antara naturalisme dengan nativisme ada kesamaan, maka dalam hal besarnya peranan lingkungan dalam mempengaruhi perkembangan anak, justru pandangan naturalisme memiliki unsur kesamaan dengan empirisme. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan J.J. Rousseau bahwa “semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari Sang Pencipta, tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia”.
            Jadi, walaupun manusia lahir dengan potensi pembawaan baik, tetapi bagaimana hasil perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh itubaik, akan menjadi baiklah ia, tetapi bilamana pengaruh itu jelek akan jelek pula hasilnya.
Dengan berasumsi pada teori di atas, maka dalam hal pendidikan Rosseau berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Karena pendapat inilah maka naturalisme juga disebut sebagai negativisme. Mereka berpandangan bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam, inilah yang disebut sebagai “pendidikan alam”. Dengan pendidikan alam, anak dibiarkan berkembang menurut alam (nature)-nya, manusia atau masyarakat jangan mencampurinya agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa naturalisme, sebagaimana nativisme, tidak menganggap perlu diadakannya pendidikan (oleh manusia) bagi manusia. Bahkan dengan anggapan bahwa pendidikan dapat merusak pembawaan baik anak, naturalisme justru dapat dianggap menentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh manusia.
4.HukumKonvergensi
Nyatalah kedua pendirian yang baru ditemukan itu kedua-duanya ekstrim, tdak dapat dipertahankan. Karena itu adalah sudah sewajarnya kalau diusahakan adanya pendirian yang dapat mengatasi keberatsebelahan itu. Paham dianggap dapat mengatasi keberatsebelahan itu ialah paham Konvergensi, yang biasanya dianggap dirumusan secara baik untuk pertama kalinya oleh W. Stern.
Paham Konvergensi in berpendapat, bahwa di dalam perembangan individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan memankan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu; Akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang. Misalnya : Tiap anak manusia yang normal mempunyai bakat untuk berdiri tegak di atas kedua kaki; Akan tetapi bakat ini tidak akan menjadi actual(menjadi kenyataan) jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Anak yang semenjak kecilnya diasuh oleh serigala tak akan dapat berdiri tegak di atas dua kakinya ; mungkin dia kan berjalan di atas tangan dan kakinya( jadi seperti serigala). Di samping bakat sebagai kemungkinan yang harus di jawab dengan lingkungan yang sesuai, perlu pula dipertimbangkan soal kematangan( readiness). Bakat yang sudah ada sebagai kemungkinan kalau mendapat pengaruh lingkungan yang serasi, belum tentu dapat berkembang, kecuali kalau bakat itu memang sudah matang. Misalnya saja anak yang normal umur enam bulan, walaupun hidup di tengah-tengah manusia-manusia lain, tak akan dapat berjalan karena belum matang. Dewasa ini sebagian besar dari para ahli mengikuti konsepsi ini, dengan variasi yang bermacam-macam, ada yang pratiknya menganggap bahwa yang lebih dominan itu dasar, yaitu ahli-ahli psikologi konstitusional; adapula yang menganggap yang lebih dominant itu lingkungan. Kelompok yang kedu pada dewasa ini lebih banyak pengikut-pengikutnya terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu tokoh yang cukup populer yang mengikuti pendirian yang semacam dikemukakan paling akhir itu ialah Alfred Adler. Adler dengan pengikut-pengikutnya misalnya telah mengadakan studi yang mendalam mengenai sifat-sifat has anak dalam hubungan dengan kedudukanya dalam struktur keluarga: seperti misalnya anak sulung, anak bungsu, anak tunggal, anak yang semua saudaranya berlainan jenis dengan dia sendiri, dan sebagainya; mereka itu menunjukkan sifat-sifat yang khas bukan karena keturunan tetapi justru karena kedudukan mereka dalam struktur keluarga yang khas, yang menyebabkan adanya sikap yang khas dari orang-orang tua mereka serta anggota-anggota keluarga yang lain yang lebih dewasa. Juga mereka beranggapan bahwa kemiripan –kemiripan yang ada antara anak-anak dengan orang tua mereka tidaklah berakar pada dasar atau keturunan. Melainkan berakar pada lingkungan, yaitu peniruan; dalam perkembangannya anak meniru orang-orang yang lebih dewasa, dank arena pergaulannya terutama dengan orang tuanya, maka yang dijadikan obyek atau model peniruan adalah terutama orang tuanya.
5. Tut Wuri Handayani
Istilah tut wuri handayani berasal dari bahasa Jawa. Tut wuri berarti mengikuti dari belakang dan Handayani berarti mendorong, memotivasi, atau membangkitkan semangat. Tut wuri handayani pada awalnya merupakan inti salah satu dari “Asas 1922”, yakni tujuh buah asas dari Perguruan Taman Siswa (didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantoro). Asas pertama Perguruan Taman Siswa menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum. Asas inilah yang mendorong Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan cara lama yangmenggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa yang didasarkan pada perkembangan kodrati. Dari asas ini pulalah lahir sistem Among, di mana guru memperoleh sebutan pamong, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan semboyan tut wuri handayani, yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah, dan dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem Among adalah cara pendidikan yang dipakai dengan maksud mewajibkan pada guru supaya memperhatikan dan mementingkan kodrat-iradat para siswa dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.
Dengan menyimak uraian di atas, dapat dipahami bahwa konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantoro ini mengakui adanya bakat, pembawaan, ataupun potensi-potensi yang ada pada anak sejak dilahirkan. Potensi-potensi tersebut saling mempengaruhi dengan lingkungan dalam proses perkembangan anak. Purwanto menyatakan bahwa kalau dibandingkan dengan aliran-aliran pendidikan yang berkembang di Barat, tut wuri handayani lebih mirip dengan aliran konvergensi dari William Stern. Penganut aliran ini berpandangan bahwa perkembangan anak (manusia) ditentukan oleh proses interaksi antara pembawaan anak dengan lingkungan, termasuk pendidikan, yang mempengaruhi anak dalam perkembangannya.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pembawaan adalah seluruh kemungkinan atau kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu dan yang selama masa perkembangan benar benar dapat diwujudkan atau direalisasikan. Sedangkan lingkungan dalam pengertian umum, berarti situasi di sekitar kita. Dalam lapangan pendidikan, arti lingkungan itu luas sekali yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri anak, dalam alam semesta ini.
Berdasarkan uraian tentang pembawaan dan lingkungan sebagaimana diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembawaan dan keturunan memiliki hubungan yang penting dalam pendidikan. Pembawaan dan lingkungan menjadi modal dasar yang harus dikembangkan dalam pendidikan. Dengan demikian pendidikan akan memaksimalkan segala potensi yang dimiliki individu dengan memberikan pendidikan yang baik agar pembawaan dan lingkungan tersebut berkembang secara maksimal dan baik.
            Pendidikan yang diberikan sebenarnya tetap mengacu kepada pembawaan dan lingkungan. Pendidikan akan berhasil bila terdapat pembawaan dan lingkungan yang baik, dan sebaliknya sebaik apapun pendidikan yang diberikan bila tidak didukung oleh lingkungan dan pembawaan maka pendidikan kurang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2003, Ilmu Pendidikan, Jakarta : PT Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. 2011, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Rodliyah, Siti. 2013, Pendidikan & Ilmu Pendidikan, Jember : STAIN Jember Press.
Sulthon, 2011, Ilmu Pendidikan, Kudus: Nora Media Enterprise.


[1] DRS. M. Ngalim Purwanto. MP., Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal 66.
[2] Sulthon, Ilmu Pendidikan, (Kudus : Nora Media Enterprise, 2011), hal 102.
[3] Drs. H. Abu Ahmadi., Ilmu Pendidikan, (Jakarta : PT Rineka Cipta,2003) hal 64.
[4] Dr. Hj. St. Rodliyah, M.Pd., Pendidikan & Ilmu Pendidikan, (Jember : STAIN Jember Press, 2013), hal 117.

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus