Rabu, 29 Juli 2015

Lingkungan Pendidikan



A.    Pengertian Lingkungan Pendidikan

Lingkungan  pendidikan pada dasarnya adalah segala sesuatu yang ada dan terjadi di sekeliling  proses pendidikan yang terdiri dari manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,  dan benda mati. Akan tetapi dalam hal ini, menurut H. Rahmayulis (2008:270), yang paling menentukan adalah lingkungan dan masyarakat.
      Lingkungan pendidikan juga didefinisikan sebagai suatu institusi atau kelembagaan tempat pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan memengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Kajian lingkungan pendidikan Islam (tabiyah Islamiyah) biasanya terintregasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam pendidikan.
      Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik. Dalam Al-Quran tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktik sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar, para sastrawan, madrasah, dan universitas.
      Lingkungan seperti itu tidak disinggung secara langsung dalam Al-Quran, tetapi Al-Quran juga menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan yentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam Al-Quran sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Lihat QS Al-A’raf [7]: 4; QS Al-Isra’ [17]: 16; QS Al-Naml [27]: 34), sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (QS Al-Nahl [16]: 112), dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para Nabi (Lihat QS An-Naml [27]: 56; QS Al-A’raf [7]: 88; dan QS Al-An’am [6]: 92). Semua ini menunjukan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat kegiatan pendidikan Islam.
        Basuki dan M. Miftahul Ulum (2007: 145) berpendapat bahwa ingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan Islam, yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap peserta didik. Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan. Disebabkan lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar-mengajar secar aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
        Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kuttab, yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf Al-Quran lalu diajarkan pula ilmu Al-Quran dan menggunakan rumah Arqam sebagai institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kuttab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
        Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam, yaitu keluarga - disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah – sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai pendidikan informal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan nonformal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan pembinaan kepribadian peserta didik.

B.TRIPUSAT LINGKUNGAN PENDIDIKAN
1.      Lingkungan pendidikan di keluarga
Dalam proses pendidikan, sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapat bimbingan dari sekolah, seorang anak lebih dahulu memperoleh bimbingan dari keluarga[1]. Dari kedua orang tua, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan watak (kepribadian) dan mendapatkan pengarahan moral. Dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya, pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan setelahnya. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai peserta didik.
Menurut pendapat Al-Ghozali (t.t., juz.3 III:57), anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari segala ukiran serta gambaran. Ia mampu menerima segala yang diukirkan atasnya dan condong kepada segala yang dicondongkan kepadanya. Maka, bila ia dibiasakan ke arah kebaikan dan diajar kebaikan jadilah ia baik dan berbahagia dunia akhirat, sedang ayah serta para pendidik-pendidiknya turut mendapat bagian pahalanya. Tetapi, bila dibiasakan berperilaku jelek atau dibiarkan dalam kejelekan maka celaka dan rusaklah ia, sedang wali serta pemeliharanya mendapat beban dosanya. Untuk itu, wajiblah wali menjaga anak dari perbuatan dosa dengan mendidik dan mengajar berakhlak bagus, menjaganya dari teman-temannya yang jahat-jahat dan tak boleh membiasakan anak dengan bernikmat-nikmat.
            Tugas orang tua ini akan lebih jelas lagi bila dihubungkan dengan firman Allah yang berbunyi, sebagai berikut.
ياَ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا قوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ ناَراً وَقودُهاَ النّاَسُ وَالْحِجاَرَةُ عَلَيْهاَ مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لاَيَعْصُونَ الله ماَ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلونَ ماَ يُؤْمَرُونَ {6 }
Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintah (QS At-Tahrim [66]: 6)
Keluarga sebagai salah satu dari lingkungan pendidikan yang paling berpengaruh atas jiwa anak (Arifin,1976:83), karena keluarga adalah lingkungan pertama, di mana manusia melakukan komunikasi dan sosialisasi diri dengan manusia lain selain dirinya. Di lingkungan keluarga pula manusia untuk pertama kalinya dibentuk; baik sikap maupun kepribadiannya. Maka, keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam. Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara islami maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam Al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian, tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya salah satu di antaranya: mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka.
Disebabkan besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis (2002), mengategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab. Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baikberkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, Al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
      Firman Allah Swt. :
وَمِنْ آياتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَرُوْنَ  {21}
  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS Ar-Rum [30]: 21)
       Menurut Salman Harun (1999), kata sakinah dalam ayat diatas diungkapkan dalam rumusan li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam Al-Qur’an, tiga di antaranya membicarakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami kerumah untuk menemukan ketenangan istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekurangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sementara rahma berarti rasa cinta yang membuahkan pengapdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri. Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
       Selain itu, fungsi keluarga dalam kajian lingkungan pendidikan Islam, sekurang-kurangnya ada dua, yaitu :
a)      Keluarga sebagai institusi sosial. Disni orang tua berkewajiban mengembangkan fitrah dan bakat yang dimiliki oleh anaknya. Pendidikan dalam perspektif ini harusnya tidak menempatkan anak sebagai objek yang dipaksa mengikuti nalar dan kepentingan pendidikan, tetapi sebaliknya pendidikan pada anak berarti mengembangkan potensi dasar pada anak yang dimaksud. Dalam Islam, potensi yang dimaksud cenderung pada kebenaran. Disebabkan ia cenderung pada kebenaran, maka orang tua dituntu untuk mengarahkannya. Dalam kaitannya sebagai institusi sosial maka keluarga menjadi bagian dari masyarakat dan negara. Tanggung jawab sosial dalam keluarga akan menjadi kesadaran bagi perwujudan masyarakat yang baik. Seperti kita mafhumi, keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama. Di lingkungan ini akan diperkenalkan dengan kehidupan sosial. Adanya interaksi anggota keluarga yang satu dengan keluarga yang lain menyebabkan ia menjadi bagian dari kehidupan sosial.
b)      Keluarga sebagai institusi keagamaan. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat dididik dan membutuhkan pendidikan. Dalam perspektif Islam, yang jauh lebih penting lagi adalah peran orang tua menanamkan nilai-nilai keagamaan dan keimanan anak. Aspek ini membutuhkan kasih sayang, asuhan, dan perlakuan yang baik. Termasuk yang jauh lebih penting lagi adalah peran orang tua menanamkan nilai-nilai keagamaan dan keimanan anak. Model pendidikan keimanan yang diberikan orang tua kepada anak dituntut agar lebih dapat merangsang anak dalam mencontoh perilaku orang tuanya (uswatu hasanah).[2]

2.      Lingkungan pendidikan di sekolah
Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang islami. Bahkan, sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991) menyebutkan bahwa disebut sekolah bilamana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan. Secara historis, keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidikan, peserta didik, materi, dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik.
Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.
Abdullah Nata (2005) menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi, sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam Al-Qur’an di jumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (QS Al-An’am [6]: 105), mempelajari Taurat (QS Al-A’raf [7]: 169), perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca Al-Kitab (QS Ali ‘Imran [7]: 79), pertanyaan kepada kaum yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (QS Al-Qalam [68]: 37), informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (QS Saba’ [34]: 44), dan berisi informasi bahwa Al-Qur’an ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (QS Al-An’am [6]: 105). Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam Al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) dan sekoalah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan Islam.
3.      Lingkungan pendidikan di masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan nonformal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan memengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik tersebut.
Menurut Al-Nahlawi (1995) tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu:
1)      Menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang tertera dalam Surah Ali Imran (3): 104.
2)      Dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak di anggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri.
3)      Jika ada yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlak, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik.
4)      Masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, ppemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi.
5)      Pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerjasama yang utuh karena masyarakat Muslim adalah masyarakat yang padu.
Dari pendapat di atas dapa disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan  pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggara proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, uamt Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, perkembangan kepribadian anak tersebur akan bermasalah.
Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut. Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan ruhani, dan sebagainya. Hakl ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi dai dalamnya. Di indonesia sendiri dikenal adanya konsep pebdidikan berbasis masyarakat (community based education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggarakan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggarakan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggarakan lembaga pendidikan formal (sekolah), dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.
C.    Pengaruh Timbal Balik Antara Tripusat Pendidikan Terhadap Perkembangan Peserta Didik
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan diatas perlu bekerjasma secara harmonis. Orang tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nila. Orang tua juga harus menyadari tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas taat beribadah kepada Allah semata, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah khusus lainnya. Akan tetapi, orang tua juga memperhatikan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada dalam Islam. Temasuk di antaranya mempersiapkan anaknya memiliki kemampuan /keahlian  sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah fil ardhi serta menemukan kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu, orang tua juga dituntut untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang baik sebab, masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai anggota dari suatu komunitas masyarakat itu sendiri.
      Mengenai hal ini, Allah Swt. Juga telah menegaskan:
إِنَّ الله لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS Al-Ra’d [13]: 11)
Menyadari besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak, orang tua juga                     seyogiannya bekerjasama dengan sekolah atau madrasah sebagai lingkungan pendidikan formal untuk membantu pendidikan anak tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah, orang tua mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut, bukan malah menyerahkan begitu saja kepada sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah juga menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari orang tua mereka sehingga bantuan dan keterlibatkan orang tua sangat dibutuhkan. Kemudian, sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal mungkin, dalam tujuan peningkatan kualitas pendidikan yang ditetapkan. Begitu pula masyarakat pada umumnya, harus menyadari pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat keluarga hingga kepada sekolah serta lembaga-lembaga pendidikan non-formal lainnya dalam upaya pencerdasan umat. Sebab, antara pendidikan dengan peradaban yang dihasilkan suatu masyarakat memiliki korelasi positif, semakin berpendidikan suatu masyarakat, semakin tinggi pula peradaban yang ia hasilkan; demikian sebaliknya.
Jadi, dibutuhkan pendidikan terpadu antara ketiga lingkungan pendidikan tersebut. Dengan keterpaduan ketiganya, diharapkan pendidikan yang dilaksanakan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pendidikan terpadu seperti inilah yang diinginkan dalam perspektif pendidikan Islam. Bahkan, prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Bahkan prinsip integral (terpadu) menjadi salah satu prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Prinsip ini tentu tidak hanya keterpaduan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, atau jasmani dan ruhani; tetapi juga keterpaduan antara lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat pun termasuk di dalamnya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Sebab, lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga yang ideal dalam perspektif Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan  rahmah. Profil keluarga semacam ini sangat diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian, orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut.




[1]  Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, keluarga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnnya pembahasan tentang keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak.   
[2]  Dalam http://sirojul.blog.com/2011/08/08/lingkungan-pendidikan-dalam-perspektif-pendidikan-Islam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar