A. Pengertian Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan pada dasarnya adalah segala
sesuatu yang ada dan terjadi di sekeliling
proses pendidikan yang terdiri dari manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati. Akan tetapi dalam hal ini,
menurut H. Rahmayulis (2008:270), yang paling menentukan adalah lingkungan dan
masyarakat.
Lingkungan pendidikan juga didefinisikan sebagai suatu institusi atau
kelembagaan tempat pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan
memengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan
kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan
pendidikan Islam. Kajian lingkungan pendidikan Islam (tabiyah Islamiyah)
biasanya terintregasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam
pendidikan.
Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah
suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang
memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik. Dalam Al-Quran
tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut,
kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktik sejarah yang
digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah,
sanggar, para sastrawan, madrasah, dan universitas.
Lingkungan seperti itu tidak disinggung secara langsung dalam Al-Quran,
tetapi Al-Quran juga menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan
sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan yentang tempat tinggal
manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam
Al-Quran sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya.
Sebagian ada yang dihubungkan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat
siksa dari Allah (Lihat QS Al-A’raf [7]: 4; QS Al-Isra’ [17]: 16; QS Al-Naml
[27]: 34), sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik
sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (QS Al-Nahl [16]: 112), dan
sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para Nabi (Lihat QS An-Naml
[27]: 56; QS Al-A’raf [7]: 88; dan QS Al-An’am [6]: 92). Semua ini menunjukan
bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat kegiatan pendidikan Islam.
Basuki dan M. Miftahul Ulum (2007: 145) berpendapat bahwa ingkungan
merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak
pendidikan Islam, yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap peserta didik.
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan. Disebabkan
lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses
belajar-mengajar secar aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana
seperti itu, proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan
pendidikan yang diharapkan.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kuttab,
yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf Al-Quran lalu
diajarkan pula ilmu Al-Quran dan menggunakan rumah Arqam sebagai institusi
pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kuttab,
dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga
sebagai lingkungan pendidikan.
Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan
menjadi tiga macam, yaitu keluarga - disebut juga sebagai salah satu dari
satuan pendidikan luar sekolah – sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah
sebagai pendidikan informal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan
nonformal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap
perkembangan pembinaan kepribadian peserta didik.
B.TRIPUSAT LINGKUNGAN PENDIDIKAN
1. Lingkungan pendidikan di keluarga
Dalam
proses pendidikan, sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum
mendapat bimbingan dari sekolah, seorang anak lebih dahulu memperoleh bimbingan
dari keluarga[1].
Dari kedua orang tua, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan
watak (kepribadian) dan mendapatkan pengarahan moral. Dalam keseluruhannya,
kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah
sebabnya, pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan
utama, serta merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan setelahnya.
Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak
sebagai peserta didik.
Menurut
pendapat Al-Ghozali (t.t., juz.3 III:57), anak-anak adalah suatu hal yang
sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tuanya. Hati anak
suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari segala ukiran serta gambaran. Ia mampu
menerima segala yang diukirkan atasnya dan condong kepada segala yang
dicondongkan kepadanya. Maka, bila ia dibiasakan ke arah kebaikan dan diajar
kebaikan jadilah ia baik dan berbahagia dunia akhirat, sedang ayah serta para
pendidik-pendidiknya turut mendapat bagian pahalanya. Tetapi, bila dibiasakan
berperilaku jelek atau dibiarkan dalam kejelekan maka celaka dan rusaklah ia,
sedang wali serta pemeliharanya mendapat beban dosanya. Untuk itu, wajiblah
wali menjaga anak dari perbuatan dosa dengan mendidik dan mengajar berakhlak
bagus, menjaganya dari teman-temannya yang jahat-jahat dan tak boleh
membiasakan anak dengan bernikmat-nikmat.
Tugas orang tua ini akan lebih jelas
lagi bila dihubungkan dengan firman Allah yang berbunyi, sebagai berikut.
ياَ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ
آمَنُوا قوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ ناَراً وَقودُهاَ النّاَسُ
وَالْحِجاَرَةُ عَلَيْهاَ مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لاَيَعْصُونَ الله ماَ
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلونَ ماَ يُؤْمَرُونَ {6 }
Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintah (QS At-Tahrim [66]: 6)
Keluarga
sebagai salah satu dari lingkungan pendidikan yang paling berpengaruh atas jiwa
anak (Arifin,1976:83), karena keluarga adalah lingkungan pertama, di mana
manusia melakukan komunikasi dan sosialisasi diri dengan manusia lain selain
dirinya. Di lingkungan keluarga pula manusia untuk pertama kalinya dibentuk;
baik sikap maupun kepribadiannya. Maka, keluarga mesti menciptakan suasana yang
edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia
sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam. Agar keluarga
mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara islami maka sebelum
dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an
memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai,
kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan
pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam Al-Qur’an disebut baligh.
Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian, tidak
dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran islam,
yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan
antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan
kesetaraan dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial,
pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut,
diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya salah satu di
antaranya: mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan
terhindar dari api neraka.
Disebabkan
besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip
Ramayulis (2002), mengategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya
untuk masa bayi dan kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai
pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain
sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab. Oleh karena itu, orang tua
dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baikberkenaan dengan ibadah,
akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang islami akan
terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses
pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk
memenuhi harapan tersebut, Al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi
lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga
itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah.
Firman Allah Swt. :
وَمِنْ
آياتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآياتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَرُوْنَ {21}
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS Ar-Rum [30]: 21)
Menurut
Salman Harun (1999), kata sakinah dalam ayat diatas diungkapkan dalam rumusan li
taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua
makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam Al-Qur’an, tiga di
antaranya membicarakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya
suami kerumah untuk menemukan ketenangan istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan
sehingga istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai
tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah
adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekurangannya sehingga
di antara suami istri saling melengkapi. Sementara rahma berarti
rasa cinta yang membuahkan pengapdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan
membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis.
Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam islam, yaitu
adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah),
dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri. Dengan demikian,
keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya
sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan
pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Selain
itu, fungsi keluarga dalam kajian lingkungan pendidikan Islam,
sekurang-kurangnya ada dua, yaitu :
a) Keluarga sebagai institusi sosial. Disni
orang tua berkewajiban mengembangkan fitrah dan bakat yang dimiliki oleh
anaknya. Pendidikan dalam perspektif ini harusnya tidak menempatkan anak
sebagai objek yang dipaksa mengikuti nalar dan kepentingan pendidikan, tetapi
sebaliknya pendidikan pada anak berarti mengembangkan potensi dasar pada anak
yang dimaksud. Dalam Islam, potensi yang dimaksud cenderung pada kebenaran.
Disebabkan ia cenderung pada kebenaran, maka orang tua dituntu untuk
mengarahkannya. Dalam kaitannya sebagai institusi sosial maka keluarga menjadi
bagian dari masyarakat dan negara. Tanggung jawab sosial dalam keluarga akan
menjadi kesadaran bagi perwujudan masyarakat yang baik. Seperti kita mafhumi,
keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama. Di lingkungan ini akan
diperkenalkan dengan kehidupan sosial. Adanya interaksi anggota keluarga yang
satu dengan keluarga yang lain menyebabkan ia menjadi bagian dari kehidupan
sosial.
b) Keluarga sebagai institusi keagamaan.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat dididik dan membutuhkan
pendidikan. Dalam perspektif Islam, yang jauh lebih penting lagi adalah peran
orang tua menanamkan nilai-nilai keagamaan dan keimanan anak. Aspek ini
membutuhkan kasih sayang, asuhan, dan perlakuan yang baik. Termasuk yang jauh
lebih penting lagi adalah peran orang tua menanamkan nilai-nilai keagamaan dan
keimanan anak. Model pendidikan keimanan yang diberikan orang tua kepada anak
dituntut agar lebih dapat merangsang anak dalam mencontoh perilaku orang tuanya
(uswatu hasanah).[2]
2. Lingkungan pendidikan di sekolah
Sekolah
atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal,
juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang islami. Bahkan, sekolah
bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik
peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat sekolah merupakan tempat
khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991) menyebutkan bahwa disebut sekolah bilamana dalam
pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai
perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang
telah ditetapkan. Secara historis, keberadaan sekolah merupakan perkembangan
lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung
di masjid pada periode awal terdapat pendidikan, peserta didik, materi, dan
metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta
didik.
Hanya
saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab,
pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini
kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian
pengunjung-pengunjung masjid.
Abdullah
Nata (2005) menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang
secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi, sebagai
akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam Al-Qur’an di jumpai
sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang
bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (QS Al-An’am [6]:
105), mempelajari Taurat (QS Al-A’raf [7]: 169), perintah agar mereka (ahli
kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca Al-Kitab (QS Ali ‘Imran
[7]: 79), pertanyaan kepada kaum yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat
dipelajari (QS Al-Qalam [68]: 37), informasi bahwa Allah tidak pernah
memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (QS Saba’
[34]: 44), dan berisi informasi bahwa Al-Qur’an ditujukan sebagai bacaan untuk
semua orang (QS Al-An’am [6]: 105). Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa
kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam
Al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai
tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat Al-Qur’an
yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di
indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga
pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) dan sekoalah milik organisasi Islam
dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN
dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang
berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan
Islam.
3. Lingkungan pendidikan di masyarakat
Masyarakat
sebagai lembaga pendidikan nonformal, juga menjadi bagian penting dalam proses
pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat.
Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam
akan memengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal yang tinggal di
sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki
tanggung jawab dalam mendidik tersebut.
Menurut
Al-Nahlawi (1995) tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut
hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu:
1) Menyadari bahwa Allah menjadikan
masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf
nahi munkar sebagaimana yang tertera dalam Surah Ali Imran (3): 104.
2) Dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak
di anggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian
dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka
mendidik anak sendiri.
3) Jika ada yang berbuat jahat, maka
masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlak, termasuk
adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik.
4) Masyarakat pun dapat melakukan pembinaan
melalui pengisolasian, ppemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan
sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi.
5) Pendidikan kemasyarakatan dapat
dilakukan melalui kerjasama yang utuh karena masyarakat Muslim adalah
masyarakat yang padu.
Dari
pendapat di atas dapa disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan
dalam terselenggara proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari
masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang
nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, uamt Islam
dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan
menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada
di lingkungan masyarakat yang kurang baik, perkembangan kepribadian anak
tersebur akan bermasalah.
Dalam
kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat
yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu
pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu
memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan
terselenggaranya pendidikan tersebut. Berpijak dari tanggung jawab tersebut,
maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan
kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid
remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan ruhani, dan sebagainya. Hakl ini
menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang
ada di sekitarnya.
Mengingat
pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, setiap individu
sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi
keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi dai dalamnya. Di indonesia
sendiri dikenal adanya konsep pebdidikan berbasis masyarakat (community
based education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam
penyelenggarakan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan
penyelenggarakan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan
penyelenggarakan lembaga pendidikan formal (sekolah), dengan konsep ini
menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya
sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan
formal.
C. Pengaruh Timbal Balik Antara Tripusat
Pendidikan Terhadap Perkembangan Peserta Didik
Untuk
mewujudkan pendidikan yang berkualitas, ketiga lembaga atau lingkungan
pendidikan diatas perlu bekerjasma secara harmonis. Orang tua di tingkat
keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama dalam aspek
keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nila. Orang tua juga harus
menyadari tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas taat
beribadah kepada Allah semata, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah khusus
lainnya. Akan tetapi, orang tua juga memperhatikan pendidikan bagi anaknya
sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada dalam Islam. Temasuk di antaranya
mempersiapkan anaknya memiliki kemampuan /keahlian sehingga ia dapat menjalankan hidupnya
sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah fil ardhi serta menemukan
kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu, orang tua juga dituntut
untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang baik sebab,
masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai anggota
dari suatu komunitas masyarakat itu sendiri.
Mengenai hal ini, Allah Swt. Juga telah
menegaskan:
إِنَّ
الله لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. (QS Al-Ra’d [13]: 11)
Menyadari besarnya tanggung jawab orang tua dalam
pendidikan anak, orang tua juga seyogiannya bekerjasama
dengan sekolah atau madrasah sebagai lingkungan pendidikan formal untuk
membantu pendidikan anak tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah, orang tua
mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut, bukan malah
menyerahkan begitu saja kepada sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah juga
menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari orang tua
mereka sehingga bantuan dan keterlibatkan orang tua sangat dibutuhkan.
Kemudian, sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal mungkin,
dalam tujuan peningkatan kualitas pendidikan yang ditetapkan. Begitu pula
masyarakat pada umumnya, harus menyadari pentingnya penyelenggaraan pendidikan
yang dimulai dari tingkat keluarga hingga kepada sekolah serta lembaga-lembaga
pendidikan non-formal lainnya dalam upaya pencerdasan umat. Sebab, antara
pendidikan dengan peradaban yang dihasilkan suatu masyarakat memiliki korelasi
positif, semakin berpendidikan suatu masyarakat, semakin tinggi pula peradaban
yang ia hasilkan; demikian sebaliknya.
Jadi, dibutuhkan pendidikan terpadu antara ketiga
lingkungan pendidikan tersebut. Dengan keterpaduan ketiganya, diharapkan
pendidikan yang dilaksanakan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan.
Pendidikan terpadu seperti inilah yang diinginkan dalam perspektif pendidikan
Islam. Bahkan, prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Bahkan prinsip integral
(terpadu) menjadi salah satu prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Prinsip ini
tentu tidak hanya keterpaduan antara dunia dan akhirat, individu dan
masyarakat, atau jasmani dan ruhani; tetapi juga keterpaduan antara lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat pun termasuk di dalamnya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
lingkungan pendidikan sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Sebab,
lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya
proses pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal,
yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga yang ideal dalam perspektif
Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Profil keluarga semacam ini sangat
diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian, orang tua harus menyadari pentingnya
sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus
memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan
sekolah tersebut.
[1] Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan bagian dari lembaga
pendidikan informal. Selain itu, keluarga juga disebut sebagai satuan
pendidikan luar sekolah. Pentingnnya pembahasan tentang keluarga ini mengingat
bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik
setiap anak.
[2] Dalam http://sirojul.blog.com/2011/08/08/lingkungan-pendidikan-dalam-perspektif-pendidikan-Islam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar