BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Siapapun
pasti akan merasakan jatuh cinta. Cinta adalah sebuah anugerah Tuhan pada
setiap makhluknya tanpa terkecuali.Cinta adalah sebuah fitrah yang ada pada
setiap makhluk.Cinta tidak memandang siapapun dan apapun.Ia akan hinggap pada
tiap-tiap makhluk dengan caranya sendiri.
Islam
memandang cinta sebagai salah satu wujud dari iman. Cinta dalam Islam menjadi
salah satu alat untuk dapat mengimani Allah beserta lima komponen iman lainnya.
Ketika seorang muslim tengah jatuh cinta pada Allah, maka komponen iman lainnya
secara perlahan turut serta atas rasa cinta yang tumbuh pada diri seorang
muslim tersebut.
Ketika
seseorang sedang jatuh cinta, ada pertanyaan yang sering diajukan. Apakah yang
melandasi cintanya ? Adakah murni karena cinta ataukah hanya nafsu belaka ?
Bagaimanakah cinta yang murni ? Bagaimana pula cinta karena nafsu ?Pertanyaan
ini sering terjadi ketika seorang manusia jatuh cinta pada lawan
jenisnya.Pertanyaan ini jarang diajukan ketika manusia jatuh cinta pada
Penciptanya.Ironis !
Terlalu
banyak konsepsi mengenai cinta. Konsepsi ini pun lahir sebab proses yang
beraneka ragam dari masing-masing individu. Pengalaman yang berbeda-beda inilah
yang menyimpulkan cinta melalui perspektif-perspektif yang beragam.Cinta yang
demikian adalah cinta secara lahiriah terhadap sesama makhluk.Hal ini tentu
berbeda dengan cinta yang bersinggungan dengan Khaliq, Pencipta alam semesta
beserta isinya.
Cinta
kepada Allah tidak bisa dideskripsikan dengan analogi cinta kepada makhluk.
Cinta kepada Allah mempunyai proses yang berbeda dengan cinta kepada makhluk.
Cinta kepada Allah bukanlah cinta yang dari mata turun kehati sebagaimana cinta
kepada makhluk.Orang jawa sendiri mempunyai pepatah mengenai cinta, yaitu
witing tresno jalaran soko kulino yang artinya benih-benih cinta tumbuh sebab
seringnya bertemu. Mungkinkah cinta kepada Allah disebabkan karena bertemu
dengan Allah ?Padahal bertemu dengan Allah hanya bisa terjadi ketika nanti di
surga.
Oleh
sebab itu manusia hanya bisa berujar bahwa cinta dan bencinya karena
Allah.Bukan berarti statemen ini menafikan cinta makhluk kepada Allah.Namun
bentuk manifestasi cinta kepada Allah adalah dengan cinta dan benci
karenaNya.Untuk mewujudkan rasa cinta dan benci karena Allah bukanlah hal yang
mudah sebagaimana mudah diucapkan.Cinta dan benci karena Allah lebih diarahkan
pada cinta dan benci yang timbul pada hati.Hal-hal yang berkaitan dengan hati
bukanlah hal yang ada pada ranah akal.Namun demikian ada langkah-langkah yang
dapat ditempuh untuk mewujudkan sehingga cinta dan benci karena Allah dapat
terwujudkan.
A.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang
permasalahan yang telah di sebutkan di atas, dapat di susun rumusan masalah
sebagai berikut.
1.
Apakah yang dimaksud dengan Cinta
dan Benci?
2.
Bagaimana Tumbuhnya Cinta dan Benci?
3.
Bagaimana Proporsi
Cinta dan Benci?
4.
Bagaimana Cinta Horizontal dan Cinta Vertikal?
5.
Bagaimana Memposisikan Cinta dan Benci Secara Manusiawi?
6.
Bagaimana Memposisikan Cinta dan Benci karena Allah?
7.
Bagaimana Manajemen Cinta dan Benci?
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diketahui
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui apakah yang dimaksud dengan Cinta dan Benci?
2.
Mengetahui bagaimana Tumbuhnya Cinta dan Benci?
3.
Mengetahui
bagaimana Proporsi Cinta dan Benci?
4.
Mengetahui
bagaimana Cinta Horizontal
dan Cinta Vertikal?
5.
Mengetahui
bagaimana Memposisikan Cinta
dan Benci Secara Manusiawi?
6.
Mengetahui
bagaimana Memposisikan Cinta
dan Benci karena Allah?
7.
Mengetahui
bagaimana Manajemen Cinta dan
Benci?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Cinta dan Benci
Cinta adalah sebuah anugerah Allah
yang baik.Namun kehadiran benci tidak dapat dinafikan begitu saja. Dua hal ini
selalu beriringan. Ketika seseorang tengah jatuh cinta, maka benci harus
diwaspadai. Ketika seseorang tengah benci pada seseorang, cinta akan datang dan
menghapus perasaan benci yang timbul. Demikianlah dua hal ini selalu menghiasi
hati seseorang dengan kadarnya sendiri.
Cinta yang merupakan fitrah pada
setiap manusia, tidak bisa timbul dengan sendirinya.Ia laksana ikan yang perlu
umpan untuk memancingnya. Demikian halnya dengan benci.Namun yang perlu
diwaspadai adalah nafsu yang dapat menyusup diantara cinta dan benci.Manusia
memiliki tiga nafsu, yaitu nafsu muthmainnah, nafsu ammarah dan nafsu
lawwamah.Ketika cinta datang maka nafsu muthmainnah berperan.Nafsu ammarah
berperan ketika benci tengah merasuk pada diri manusia.
Di dalam Lisan al-‘Arabi disebutkan
bahwa hubb antonim dari bughd yaitu benci. Mahabbah (cinta) menurut Imam
al-Ghazali berasal dari kata hubb, yang artinya biji atau inti. Sedangkan
sebagian sufi mengatakan hubb t[1]erdiri
dari dua kata, ha dan ba. Huruf ha artinya ruh, dan ba berarti badan. Karena
itu, hub merupakan ruh dan badan dari proses keagamaan kita. Dan يَبْغُضَ dari madly بَغُضَ
yang berarti membenci. Atau dapat berarti نَقِيضُ الحبّ (lawan cinta).
Para ahli Filologi(Fiqh al-Lughah)
berpendapat bahwa arti dari al-hubb itu berasal dari حبب الأسنان yang bermakna, “didi yang putih, bersih,
kemilau.” Cinta itu dianalogikan dengan
gigi yang putih berseri, sebab cinta membuat hidup menjadi lebih hidup dan
lebih bergairah.
Pendapat lain mengemukakan bahwa
arti dari kata al-hubb itu berasal dari القرط
yang bermakna “anting-anting”. Alasannya bahwa anting-anting selalu
terguncang-guncang dan tidak henti-hentinya tergoyang-goyang ketika dikenakan
di telinga wanita. Demikian halnya dengan cinta seorang yang tengah dimabuk
cinta akan selalu gelisah sebab khawatir cintanya tidak kesampaian dan
senantiasa gundah memikirkan diri sang kekasih pujaan. Pada situasi seperti ini
hatinya tidak akan pernah tenang, tenteram, dan damai.[2]
Kadar cinta dan benci pada manusia
sejatinya dapat berkurang dan bertambah sebagaimana iman. Segala hal yang
berkaitan dengan hati tentunya akan mengalami kegoncangan sebab sifat hati yang
labil. Hal ini berlaku pada manusia secara umum.Berbeda dengan mereka para
ulama’, auliya’ serta nabi dan rasul yang imannya selalu bertambah serta malaikat
yang konsisten dengan imannya.
Cinta secara luas diartikan dengan
segala macam bentuk kesenangan atau kegembiraan serta kebahagiaan.Sebaliknya
benci secara luas diartikan sebagai sebuah bentuk ketidaksenangan secara
umum.Kagum muncul serta merta iri.Rajin muncul serta merta malas.Konteks cinta
dan benci karena Allah bukanlah sebagaimana analogi tadi melainkan lebih pada
sebuah bentuk wujud keimanan pada Allah.
Cinta
karena Allah bukan sekedar slogan, tetapi adalah hakekat yang membutuhkan
adanya bukti. Allah menunjukkan cara untuk membuktikan kecintaan kepada-Nya
dengan firman-Nya.
B. Tumbuhnya Cinta dan Benci
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia
tentu akan bersinggungan dengan perasaan, ucapan, perbuatan, serta sikap yang
dilakukan tentunya memiliki kadar yang berbeda dalam realisisanya. Porsi makan
antara pagi, siang dan malam tentunya mengalami perbedaan.Demikian juga dengan
tindakan serta perilaku. Ketika bangun dari tidur mungkin seseorang diliputi
kesenangan karena ia telah melewati waktu istirahatnya dengan tidur nyenyak.
Namun seketika ia bisa langsung berubah murung bahkan tegang mengingat tugas
telah menumpuk di depan mata.
Hal demikian bukanlah hal tabu
dikalangan manusia. Manusia selalu mengedepankan aspek rasio terhadap segala
hal yang dihadapinya sebelum akhirnya berlabuh pada aspek perasaan yang
seakan-akan menjadi terminal terakhir dari setiap masalah. Seketika pula
manusia akan merasa senang serta sedih. Cinta dan benci jika tidak dikontrol
dengan baik akan terjadi ketimpangan. Cinta dan benci akan selalu mengiringi
manusia.
Ketika cinta tumbuh bersemi pada
diri manusia, bisa dipastikan ia tengah mengalami hal-hal yang baik dan indah.
Ketika hal yang baik dan indah tersebut ternoda, maka benci secara perlahan
bahkan spontan akan muncul menggantikan cinta. Normalnya, jika cinta yang
tumbuh serta telah mendapat perawatan dari sang pecinta ternoda, secara reflek
amarah akan muncul dalam bentuk benci. Tidak ada padi yang tak dikelilingi
hama.
C.
Proporsi Cinta dan Benci
Cinta dan benci tak dapat
dipisahkan. Hanya saja kadar cinta dan benci lah yang harus mendapat perhatian.
Hal ini dimaksudkan agar cinta yang tumbuh bukanlah cinta buta ataupun cinta
yang melewati batas sehingga menembus batas-batas kemanusiaan. Cinta yang dilandasi
nafsu tidak akan bertahan lama sebab cintanya memiliki tujuan-tujuan tertentu
saja. Namun cinta yang memang lahir secara naluriyah murni akan terjaga sebab
tujuan cintanya tidak memiliki target-target tertentu.
Tidak mudah memproporsikan cinta
hingga seratus persen.Jikapun bisa sifatnya hanya sementara.Penyebabnya adalah
benci yang tidak dikontrol dengan baik.Dalam cinta yang seratus persen tersebut
harus ada benci dalam artian sebagai bentuk preventif. Menjaga kemungkinan yang
akan timbul tentu akan lebih baik daripada harus menahan kesalahan yang timbul
disebabkan lalainya langkah preventif.
حدثنا محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال: حدثنا
أيوب، عن أبي قلابة، عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (ثلاث من كن فيه
وجد حلاوة الإيمان: أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا
يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار)
Artinya:
“ada 3(tiga) perkara yang apabila
terdapat pada diri seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman, yaitu:
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain, dia tidak menyukai
seseorang kecuali karena Allah, dia tidak ingin terjerumus kedalam kekufuran
sebagaimana dia tidak ingin dilempar ke dalam kobaran api Neraka.” (H.R Bukhari
dan Muslim)
Hadis diatas menyiratkan bahwa
proporsi cinta dan benci secara seimbang merupakan salah satu kunci untuk
merasakan bagaimana manisnya iman dimana harus diawali dengan cinta serta
diiringi oleh benci.Kedudukan Nabi dengan Mar’a disana lebih pada
derajatnya.Sejatinya, hadis diatas mengindikasikan bagaimana kita
memproporsikan cinta terhadap orang yang kita hadapi.
D. Cinta Horizontal dan Cinta Vertikal
Konteks keagamaan, cinta memiliki
dualisme pada dirinya terutama pada manusia.Manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna melakukan interaksi tidak hanya dengan sesamanya, namun juga dengan
Penciptanya sebagai wujud peribadatan.Interaksi yang timbul tentu dilandasi
oleh perasaan serta pemikiran.Konteks pemikiran mungkin bisa direkayasa namun
perasaan selalu jujur terhadap siapapun.
Setiap manusia tentu akan mengalami
jatuh cinta pada sesamanya. Hal ini murni terjadi sebagai cinta pertama. Apakah
mungkin cinta pertama terjadi langsung terhadap Allah ?Secara akal ataupun
perasaan jarang terjadi.Sebab cinta tumbuh ketika manusia melakukan
interaksi.Interaksi yang terjadi haruslah dengan bertatap muka, bertemu serta
berkomunikasi langsung.Maka demikianlah cinta secara horizontal tumbuh yang
menjadi pijakan awal sebelum menumbuhkan cinta secara vertikal terhadap
Pencipta.
Ketika seseorang tengah dilanda
cinta terhadap sesama makhluk, secara implisit terdapat pesan yang seharusnya
dapat diungkap.Istilah lainnya adalah hikmah dibalik setiap peristiwa.Ketika
dua hati tengah terpaut, ada hal yang harus diungkap, yaitu kebesaran Allah yang
telah mempersatukan dua hati tersebut. Berawal dari mengagumi kebesaran Allah
itulah akan muncul benih-benih rasa kagum terhadap Allah sebagaimana munculnya
benih-benih cinta terhadap sesama makhluk.
Benih-benih kekaguman akan
berkembang menjadi benih-benih cinta. Ketika benih-benih cinta telah berproses
menjadi cinta, maka manusia akan tahu bagaimana cinta terhadap makhluk dan
cinta terhadap Khaliq. Secara perlahan manusia akan mendapati perbedaan antara
cinta pada makhluk serta cinta pada Allah. Perbedaan itupun muncul sesuai
dengan proses individu masing-masing dalam memahami rasa cintanya kepada Allah.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَسَنٌ
حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا زَبَّانُ بْنُ فَائِدٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ
مُعَاذٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ
أَفْضَلِ الإِيمَانِ قَالَ
« أَفْضَلُ الإِيمَانِ أَنْ تُحِبَّ لِلَّهِ وَتُبْغِضَ
فِى اللَّهِ وَتُعْمِلَ لِسَانَكَ فِى ذِكْرِ اللَّهِ ». قَالَ وَمَاذَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « وَأَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ
وَتَكْرَهَ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ وَأَنْ تَقُولَ خَيْراً أَوْ تَصْمُتَ
»
Hadis diatas menyiratkan bahwa kadar
cinta kepada makhluk haruslah sesuai dengan kadar cinta kepada diri sendiri.
Ketika manusia mampu menyetarakan kadar cintanya terhadap makhluk lainnya
sebagaimana ia mampu mencintai dirinya sendiri, maka ketika itu pula ia mampu
secara bertahap cinta dan benci disebabkan Allah. Balance yang timbul
memberikan pengaruh pada psikis manusia bagaimana ia harus bersikap
seebagaimana mestinya.
E.
Memposisikan Cinta dan Benci Secara Manusiawi
Cinta dan benci pada diri manusia
merupakan hal yang pasti ada.Sebesar apapun rasa cinta yang dimiliknya memiliki
potensi rasa benci, demikian juga sebaliknya.Meskipun demikian, manusia
memiliki rambu-rambu tersendiri untuk mengatur potensi rasa cinta dan benci
pada dirinya.Rambu-rambu yang harus dijaga adalah nafsu.Nafsu merupakan elemen
penting yang ada pada manusia yang isinya bergantung pada sikap manusia dalam mengaturnya.
Manusia yang mampu mengolah nafsunya
dengan baik tentu akan memunculkan potensi cinta dengan baik pula. Namun jika
ia gagal mengolah nafsunya, tentu potensi benci akan berkembang dengan baik
menguasai pemiliknya. Manusia dengan kemampuan instingnya harus dimaksimalkan
agar tidak timbul potensi buruk yang ada pada dirinya.Usaha untuk
mengendalikannya harus diupayakan secara maksimal sebagai bentuk perwujudan
cinta pada Allah.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو
الْكَلْبِىُّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
سِيرِينَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أُرَاهُ رَفَعَهُ قَالَ « أَحْبِبْ حَبِيبَكَ
هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ
هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا
»
Dapat disimpulkan bahwa manusia
tidak boleh melakukan segala hal secara berlebihan, termasuk cinta dan benci.
Dua hal ini sebagaimana tertera dalam hadis diatas akan datang silih berganti
sehingga harus diatur sedemikian rupa oleh pemilikinya. Posisi hati sebagai
induk cinta dan benci harus berperan secara maksimal sehingga benci dan cinta
dapat dijaga secara maksimal.
F.
Memposisikan Cinta dan Benci Karena Allah
Pada ranah inilah peran hati begitu
urgen.Konteks tasawuf membagi manusia dengan dua sifatnya, sifat kemanusiaan
serta sifat kebinatangan.Manusia dengan sifat kebinatangannya selalu memiliki
hasrat untuk memiliki tanpa ingin memberi, menguasai secara komprehensif,
menjadi yang terbaik serta sifat-sifat individual yang terkesan buruk.Sifat
inilah yang seharusnya dibuang jauh-jauh dari diri manusia baik secara potensi
maupun aksinya.
Ketika manusia benar-benar memiliki
sifat-sifat kemanusiaanya secara utuh, rasa cinta yang tumbuh dan berkembang
adalah rasa cinta yang benar-benar tulus tanpa ada tendensi apapun. Ketika
cinta yang ada tumbuh, maka cinta tersebut tidak akan pernah mengharapkan
timbal balik apapun dari yang dicintainya. Hal ini disebabkan rasa cinta yang
benar-benar murni. Maka ketika manusia mencintai segala hal karena rasa
cintanya kepada Allah, ia akan mendapat balasan yang tak pernah diharapkan
sebelumnya dalam artian balasan yang baik. Sebab dengan mendasari segala cinta
dengan cinta kepada Allah, manusia akan menampilkan cintanya secara penuh serta
mendedikasikannya sepenuh hati kepada yang dicintainya sebab cintanya kepada
Allah.
حدثنا مسلمة بن جابر اللخمي ، ثنا منبه بن عثمان ، حدثني صدقة
، حدثني النعمان ، عن مكحول ، ويحيى بن الحارث ، عن القاسم ، عن أبي أمامة ، أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال : « من أحب لله وأبغض (1) لله وأعطى لله ومنع لله
فقد استكمل الإيمان
»
Ketika cinta, benci, memberi serta
melarang didasari rasa cinta kepada Allah, iman seseorang akan menjadi
sempurna. Namun untuk melakukan segala hal dengan didasari rasa cinta kepada
Allah bukanlah hal mudah. Memunculkan cinta sejati karena Allah butuh beberapa
proses tersendiri sehingga nantinya cinta tersebut tumbuh secara alamiyah
sesuai proses yang dilaluinya.
Bagaimanakah dengan benci karena
Allah ?bukankah Allah adalah dzat yang maha baik dari segala sifat-sifat buruk
? Allah adalah dzat yang memang baik dari segala sifat-sifat buruk.Benci karena
Allah bukan berarti menjadikan Allah sebagai kambing hitam atas rasa benci yang
ada, melainkan menjadikan Allah sebagai alasan utama terhadap sesuatu yang memang
dibenci Allah.Allah dengan segala sifat-sifat baiknya membenci segala perbuatan
buruk manusia.Ketika manusia mampu membenci karena Allah juga membenci
perbuatan tersebut maka manusia tersebut telah mampu mewujudkan salah satu
cabang iman dalam wujud benci dan cinta karena Allah bukan karena nafsu
kebinatangannya.
Menjadikan Allah sebagai alasan
untuk cinta dan benci bukanlah mencari alasan agar cinta dan benci yang
dimiliki menjadi benar.Benci dan cinta karena Allah sejatinya adalah mendasari
perasaan cinta dan benci karena berlandaskan iman kepada Allah. Perasaan benci
dan cinta karena dasar iman kepada Allah tentu akan memunculkan suatu kebaikan
baik bagi yang menyatakan ataupun orang yang menerima pernyataan tersebut.
Cinta dan benci yang ada merupakan representasi dari cinta dan benci
sebagaimana cinta dan bencinya Allah, bukan representasi dari cinta dan
bencinya seorang manusia.
Kecintaan Allah serta kebencian
Allah telah jelas. Allah tentu cinta terhadap segala bentuk kebaikan serta
benci akan segala bentuk keburukan. Sebisa mungkin bagi seorang muslim untuk
melatih dirinya untuk membiasakan diri dengan segala perbuatan yang disenangi
Allah serta menjauhi segala perbuatan yang dibenci olehNya. Adanya pembiasaan
ini merupakan sebuah bentuk konkrit upaya preventif pada diri seorang muslim
serta penanam benih-benih kebaikan sehingga dalam perilaku sehari-harinya ia
dapat merepresentasikan cinta dan benci yang Allah tunjukkan. Hadis berikut ini
menunjukkan betapa benci dan cinta dijelaskan sebagai bentuk iman yang paling
ampuh.
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنا أبو بكر أحمد بن إسحاق الفقيه
أنا محمد بن محمد بن حيان نا أبو الوليد نا جرير بن عبد الحميد عن ليث عن عمرو بن
مرة عن معاوية بن سويد عن البراء بن عازب
: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل أي عرى الإيمان
أوثق ؟ قال : الحب لله و البغض لله
G.
Manajemen Cinta dan Benci
Mendiskusikan cinta dan benci tentu
melibatkan segenap perasaan yang dimiliki.Perkara-perkara hati bukanlah menjadi
ranah akal sepenuhnya, namun menjadi milik hati hampir seratus persen.Hal ini
terjadi disebabkan muara dari cinta dan benci adalah hati. Secerdas apapun akal
manusia mencari solusi, tidak akan pernah terealisasi secara maksimal sebab
terkadang akan bertolak belakang dengan hati.
حدثنا أبو نعيم حدثنا زكرياء عن عامر قال سمعت النعمان بن بشير
يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول
( الحلال بين والحرام بين وبينهما مشبهات لا يعلمها كثير
من الناس فمن اتقى المشبها استبرأ لدينه وعرضه ومن وقع في الشبهات كراع يرعى حول
الحمى أوشك أن يواقعه ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله في أرضه محارمه ألا
وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
Sangat jelas bahwa hati menjadi
pusat dari diri manusia.Jika hati rusak maka rusaklha keseluruhan komponen
manusia. Demikian sebaliknya, jika hati baik, maka seluruh komponen akan
menjadi baik. Manajemen hati lebih diupayakan darri pengaruh eksternal
masing-masing individu.Menjaga hati wajib hukumnya agar terhindar dari
sifat-sifat tercela.
Manajemen cinta dan benci berpusat
pada hati.Jika hati mensugestikan cinta terlebih dahulu maka aura pertama yang
ditimbulkan adalah rasa sayang sebab cinta tersebut. Namun jika sugesti awal
adalah benci, maka aura negatif akan tumbuh sebab benci tersebut. Demikian
halnya jika manusia benci dan cinta karena Allah.Persepsi awal yang harus
dimiliki adalah persepsi positif dalam menyikapi segala hal. Meskipun hal yang
kita hadapi merupakan hal yang dibenci Allah sebab Allah tidak serta merta
membenci kondisi makhluknya tanpa adanya proses menjadi baik. Benci yang Allah
maksudkan adalah kondisi terakhir dari manusia tersebut. Hadis berikut
merupakan sedikit contoh akan apa yang Allah suka dan benci.
قال : وثنا إبراهيم بن فراس قال : قال أبو إسحاق الخواص : « إن
الله يحب ثلاثة ويبغض ثلاثة ، فأما ما يحب : فقلة الأكل ، وقلة النوم ، وقلة
الكلام ، وأما ما يبغض : فكثرة الكلام ، وكثرة الأكل ، وكثرة النوم »
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Memahami cinta dan benci karena
Allah harus diawali dengan memahami cinta dan benci secara luas.Cinta dan benci
karena Allah jangan sampai disamakan dengan cinta dan bencinya seorang manusia.
Ada sekat-sekat yang tidak bisa ditembus meskipun melalui sumber yang sama
yaitu hati. Cinta dan benci karena Allah didasari dengan iman sedangkan cinta
dan benci seorang manusia lebih didasari pada nafsu.
Upaya konkrit yang harus dilakukan
bagi masing-masing individu adalah melakukan pembiasaan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang baik sebagai langkah memahami cinta dan benci karena
Allah. Ketika seseorang telah terbiasa dengan hal-hal yang baik, ia akan
mendapati hikmah disetiap kegiatan yang dilakukannya. Dari hikmah tersebut
muncul rasa kekaguman yang menjadi titik awal tumbuhnya cinta kepada Allah.
Dengan demikian, cinta dan benci
karena Allah dapat terealisasi sebagaimana dikonsepkan serta dilakukan oleh
Nabi. Titik-titik hikmah yang muncul akan menjadi pemicu bertambahnya rasa
cinta kepada Allah sehingga segala perbuatan akan didasari iman kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Bin Asy Syarif, Mahmud. 2003. Al-Qur’an Bertutur Tentang
Cinta.Yogyakarta: Cahaya Hikmah
Rakhmat Jalaluddin.2005.Meraih Cinta Ilahi.Bandung : PT:
REMAJA ROSDAKARYA
Anwar Rosihon.2010. AKHLAK TASAWUF. Bandung. CV
PUSTAKA SETIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar