BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penegakan
hukum yang terjadi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik.
Tingginya angka kejahatan membuat pihak pemerintah bekerja keras untuk dapat
menangani atau setidaknya mencegah terjadinya kejahatan. Kejahatan yang
“hampir” menjadi budaya adalah korupsi, yang dalam bentuknya memiliki banyak
macam dan jenis. Ironis memang, di negeri yang “katanya” mayaoritas beragama
Islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual ini pernah meraih peringkat
pertama sebagai Negara terkorup di Asia dan Negara paling lamban yang keluar
dari krisis dibandingkan ngara-negara tetangganya.
Sebagai umat Islam sudah selayaknya kita menangani permasalahan tersebut
dilihat dari sudut pandang Islam.
Adalah
suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di atas ditimpakan kepada Islam
sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk. Yang perlu dikritisi di sini
ialah orientasi keberagamaan kita yang menekankan kesalehan ritual-formal
dengan mengabaikan kesalehan moral-individual dan sosial. Model beragama
seperti ini memang sulit untuk dapat mencegah pemeluknya dari perilaku-perilaku
buruk, seperti korupsi. Padahal dalam perspektif ajaran Islam, korupsi
merupakan perbuatan terkutuk, karena dampak buruk yang ditimbulkannya bagi suatu
masyarakat dan bangsa sangatlah serius.
Oleh karena
itu, makalah ini akan membahas mengenai apa itu korupsi? Bagaimana Islam
melihat korupsi? Dan apa sanksi Islam mengenai tindak pidana korupsi?
1.2RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pengertian korupsi menurut islam
?
2.
Bagaimana islam memandang korupsi ?
3.
Bagaimana pandangan hukum islam mengenai korupsi ?
4.
Apa saja sanksi-sanksi dalam islam terhadap tindak pidana korupsi /
1.3TUJUAN
1. Mengetahui pengertian korupsi menurut islam
2. Bagaimana islam memandang korupsi
3. Bagaimana pandangan hukum islam dalam menghadapi korupsi
4. Mengetahui sanksi-sanksi yang di berikan hukum islam
untuk koruptor
1.4 MANFAAT
Supaya pembaca mengetahui semua
seluk beluk korupsi menurut prespektif hukum islam tentang hukum-hukum islam memandang
korupsi dan sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya .
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian korupsi dalam islam
Dalam
khazanah pemikiran hukum Islam (fiqh) klasik, perilaku korupsi belum
memperoleh porsi pembahasan yang memadai, ketika para fuqaha berbicara
tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak benar (akl amwal
al-nas bi al-bathil) seperti yang diharamkan dalam al-Qur’an, tetapi
apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi (corrup), maka dapat
berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau menyuap. Di antara berbagai bentuk kejahatan ini yang nampaknya
paling mirip substansinya dengan korupsi ialah ghulul yang diartikan
sebagai pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang
dan risywah atau yang biasa dikenal dengan istilah suap.
Dalam
konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah),
dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan
berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan
termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang juga amat dikutuk
Allah swt.
Dalil mengenai korupsi
Secara
garis besar, Islam telah memperingatkan kepada hambanya agar tidak memakan
suatu harta yang diperoleh dengan cara yang bathil (tidak baik).
Sebagaimana tercantum dalam al-Quran:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (al-Nisa:
29)
2.1.1
Ghulul
Ghulul menurut bahasa adalah khianat, sedangkan menurut Ibn
al-Atsir, ghulul adalah berkhianat mengenai harta rampasan perang atau
mencuri harta tersebut, dan—masih menurutnya—setiap orang yang berkhianat
secara sembunyi-sembunyi mengenai urusan sesuatu, maka ia telah berbuat ghulul
.adapun definisi ghulul secara terminologis antara
lain di kemukakan oleh rawas Qala’arji dan hamid sadiq qunaybi yaitu “mengambil
sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya”[1]
Adapun maksud dari ghulul menurut
korupsi adalah berupa tindakan penggelapan yang dilakukan seseorang untuk
memperkaya diri sendiri. Ada pula yang menganggap Harta Ghulul adalah harta
yang diperoleh oleh pejabat (pemerintah atau swasta) melalui kecurangan atau
tidak syar’i, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.
Hadis
mengenai pelarangan ghulul adalah:
حدثنا علي بن عبد الله حدثنا سفيان عن
الزهري أنه سمع عروة أخبرنا أبو حميد الساعدي قال: استعمل
النبي صلى الله عليه وسلم رجلا من بني أسد يقال له بن اللتبية على صدقة فلما قدم قال:
هذا لكم وهذا أهدي لي فقام النبي صلى الله عليه وسلم على المنبر, قال صفيان أيضا
فصعد المنبر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال: ما بال العامل نبعثه فيأتي فيقول: هذا
لك وهذا لي؟ فهلا جلس في بيت أبيه وأمه فينظر أيهدى له أم لا؟ والذي نفسي بيده لا
يأتي بشيء إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة
لها خوار أو شاة تيعر. ثم رفع يديه حتى رأيت بياض إبطيه وقال: ألا هل بلغت. ثلاثا
(رواه البخاري)
A. Sanksi hukum bagi
pelaku
sanksi hukum pada
ghulul tampaknya bersifat sanksi moral . ghulul mirip dengan jarimah riddah
tetapi untuk dua jenis jarimah ini walaupun dalam ayat Al-Qur’an tidak di
sebutkan teknis eksekusi dan jumlahnya , tetapi dalam hadits-hadits nabi secara
tegas di sebutkan teknis dan jumlah sanksi keduanya . hal inilah yang membedakan
antara ghulul dengan jarimah kisas dan hudud , sehingga ghulul masuk dalam
kategori jarimah takzir .
dalam menangani
kasus-kasus penggelapan atau ghulul , Rasulullah tampaknya lebih banyak
melakukan pembinaan moral dengan menananmkan kesadaran untuk menghindari segala
bentuk penyelewengan dan meningkatkan masyarakat akan adanya hukuman ukhrawi
berupa siksa neraka yang akan di timpakan kepada pelakunya .
2.1.2 Risywah (Suap)
Menurut terminologi Fiqh, Risywah (suap) adalah
segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang
bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan)nya atau agar
ia mengikuti kemauannya. Sedangkan menurut Ibnu Nadim Risywah
adalah segala sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang
lainnya untuk memutuskan suatu perkara atau membawa (putusan tersebut) sesuai
dengan keinginannya (yang memberi), atau sesuatu yang di berikan dalam rangka
mewujudkan kemalahatan atau sesuatu yang di berikan dalam rangka membenarkan
yang bathil atau menyalahkan yang benar.[2] Risywah (suap) merupakan perbuatan yang
dilaknat oleh Allah dan Rasulnya sebagaimana dijelaskan dalam hadis.
Adapun
hadis mengenai pelarangan suap adalah:
عبد الله بن عمرو قال: سمعت رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقول: لعن الله الراشي والمرتشي (رواه ابن حبان)
Dari
Abdullah ibn Amru berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah
melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. (H.R. Ibnu Hibban)
Dari Abu
Hurairah ra. Berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima
suap dalam hukum. (H.R. Turmuzi)
عن ثوبان قال: لعن رسول
الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي والرائش يعنى الذي يمشى بينهما (رواه أحمد
Risywah atau suap memang tidak bisa terjadi dari satu pihak. Ia selalu
melibatkan kedua belah pihak, bahkan sangat boleh jadi bisa tiga pihak. Yakni
si penyuap (raasyii), yang disuap atau yang menerima suap (murtasyii) dan
yang menjadi perantara (raaisy) . Oleh sebab itu, risywah ini
memang merupakan kejahatan yang terorganisir. Sekaligus ia merupakan kejahatan
yang susah dibongkar, karena antara pelaku dan korban sama-sama terlibat. Beda
dengan kejahatan umumnya, pencurian, penipuan atau penganiayaan; pelaku dan
korban tidak mungkin bersekongkol.
Dalam sebuah kasus risywah setidaknya pasti akan
melibatkan tiga unsur utama yaitu pihak pemberi , pihak penerima pemberian dan
barang bentuk dan jenis pemberian yang di serahterimakan.
Hukum perbuatan risywah di sepakati oleh para ulama
adalah haram , khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan
menyalahkan yang benar
A.
Klasifikasi dan sanksi hukum pelaku risywah
1.
Klasifikasi risywah
risywah
yang di sepakati haram oleh para ulama adalah risywah yang dilakukan dengan
tujuan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar atau kata lain
suap yang hukumnya haram adalah suap yang akibatnya mengalahkan pihak yang
mestinya menang dan memenangkan pihak yang mestinya kalah . sedangkan suap yang
di nyatakan oleh mayoritas ulama hukumnya halal adalah suap yang di lakukan
dengan tujuan untuk menuntut atau memperjuangkan hak yang mestinya di terima
oleh pemberi suap atau untuk menolak kemadaratan , kezaliman dan ketidakadilan
yang di rasakan oleh pihak pemberi suap tersebut .
2.
Sanksi hukum bagi pelaku risywah
Adapun
berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku risywah tampaknya tidak jauh beda
dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulul yaitu hukuman takzir , sebab
keduanya memang tidak termasuk dalam ranah kisas dan hudud . abdul aziz amir
mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana
risywah ini tidak di sebutkan jenis sanksi yang telah di tentukan maka sanksi
yang di berlakukan adalah hukuman takzir[3].
Berbagai
peraturan perundang-undangan yang di buat untuk menanggulangi dan memberantas
korupsi di negeri ini sudah jauh lebih baik dan ideal bila di bandingkan dengan
konsep yang masih merupakan doktrin hukum yang terdapat dalam kitab fiqih .
berbagai perundang-undangan itulah yang merupakan bentuk konkrit dari konsep
takzir yang di tawarkan oleh konsep fiqih jinayah , yaitu sebuah sanksi hukum
yang tidak di jelaskn secara tegas mengenai jenis dan teknis serta tata cara
melaksanakannya oleh Al-Qur’an dan hadits hadits nabi , melainkan di serahkan
kepada pemerintah dan hakim setempat.
2.1.3 Ghasab
(mengambil paksa hak orang lain)
Secara terminologis ghasab di definisikan sebagai upaya
untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan / terang-terangan[4].
Jadi ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin
pemiliknya dengan adanya unsur pemaksaan dan terkadang dengan adanya kekerasan
serta di lakukan secara terang-terangan.
A.
Hukum dan dalil-dalil tentang larangan ghasab
Para ulama sepakat menyatakan bahwa ghasab merupakan
perbuatan terlarang dan hukumnya haram untuk di lakukan . dalam hal ini imam
al-nawawi mengatakan bahwa pada prinsipnya seluruh kaum muslimin sepakat menyatakan
bahwa ghasab hukumnya haram.[5]
B.
Sanksi hukum pelaku ghasab
Dari
pengertian dan dalil-dalil larangan ghasab baik dalil Al-Qur’an maupun hadits
bisa di ketahu bahwa tidak ada satu naspun yang menjelaskan tentang bentuk ,
jenis dan jumlah sanksi hukum bagi pelaku ghasab . oleh karena itu ghasab masuk
dalam kategori jarimah takzir . hanya saja untuk jarimah atau tindak pidana
ghasab ada semacam sanksi-sanksi tertentu yang apabila di hubungkan dengan
tradisi kategorisasi hukum di indonesia , sanksi pelaku ghasab masuk dalam
jenis perdata bukan pidana .
Perilaku
ghasab di bagi menjadi tiga kategori : yaitu pertama , jika barang yang di
ghasab itu masih utuh seperti semula . kedua , jika barang yang di ghasab itu
telah lenyap . ketiga , barang yang di ghasab itu hanya berkurang.[6]
Ketiga kategori ini akan di paparkan satu persatu secara berurutan agar bisa di
ketahui bentuk sanksi takzir seperti apa yang layak di berlakukan.
1.
Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabnya masih
utuh.
Pelaku ghasab terhadap harta yang masih utuh seperti
kondisi semula berupa kewajiban mengembalikan harta yang di ghasab tersebut .
kalau barangnya bersifat produktif dan bisa menghasilkan income bagi pemilik ,
pelaku juga harus di tuntut untuk memperhitungkan kerugian korban akibat
tindakan ghasab pelaku .
2.
Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabnya telah
lenyap .
Dalam hal sanksi pelaku ghasab yang barangnya telah
lenyap ini terdapat dua macam , yaitu : barang yang jenis , bentuk dan
ukurannya pasti dan jelas seperti biji-bijian , minyak , uang maka pelaku wjaib
mengembalikan barang tersebut secara sama dan pasti , baik dari sisi jenis ,
macam , sifat dan ukurannya .
3.
Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabannya
berkurang .
Bila barang hasil ghasab yang di lakukan pelaku telah
berkurang maka untuk menentukan jenis sanksinya harus di klasifikasikan
menjaadi barang berupa makhlik hidup dan benda mati . dalam hal pelaku
mengghasab makhluk hidup seperti binatang , maka pelaku berkewajiban
mengembalikannya , di samping itu pelaku juga wajib mengembalikan jumlah
kekurangan tersebut dengan nilai nominal dalam bentuk uang sebagai ganti rugi .
2.1.4 Khianat
dan sanksinya .
Ungkapan khianat di gunakan bagi seseorang yang
melanggar atau mengambil hak orang lain dan dapat pula dalam bentuk pembatalan
sepihak perjanjian yang di buatnya , khususnya dalam masalah hutang piutang
atau masalah muamalah secara umum .
Sebagaimana pada jarimah ghulul , risywah dan ghasab ,
pada jarimah khianat , dalil-dalil yang menegaskan tentang keharaman jarimah
khianat ini tidak menyebutkan masalah sanksi hukum secara eksplisit , jelas dan
konkrit . oleh karena itu khianat masuk pada kategori jarimah takzir , bukan
huddud dan qishash/diyat .
2.2 Pandangan
Hukum islam terhadap korupsi
Dalam
pidana korupsi, sanksi yang diterapkan bervariasi sesuai dengan tingkat
kejahatannya. Mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk,
pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Mengapa bervariasi? Karena
tidak adanya nash qath’i yang berkaitan dengan tindak kejahatan yang
satu ini. Artinya sanksi syariat yang mengatur hal ini bukanlah merupakan paket
jadi dari Allah swt. yang siap pakai. Sanksi dalam perkara ini termasuk sanksi ta’zir,
di mana seorang hakim (imam/pemimpin) diberi otoritas penuh untuk
memilih—tentunya sesuai dengan ketentuan syariat—bentuk sanksi tertentu yang
efektif dan sesuai dengan kondisi ruang dan waktu, di mana kejahatan tersebut
dilakukan.
Syariah Islam yang menjadi sandaran hukum Islam mempunyai tujuan menciptakan
maslahah (kebaikan dan keseimbangan) dalam tatanan masyarakat. Upaya
untuk mewujudkan kemaslahatan ini kemudian dalam bahasa Agama disebut dengan maqashidusy
syariah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah
terpeliharanya harta (hifdhul mal), baik harta milik pribadi
ataupun publik dari berbagai bentuk penyelewengan dan pelanggaran.
Hukum perbuatan korupsi menurut pendapat para
ulama secara ijma’ atau konsensus adalah haram. Haram
karena bertentangan dengan prinsip maqashidusy syari’ah. Keharaman
perbuatan korupsi dapat ditinjau dari berbagai segi yang antara lain :
1. Perbuatan korupsi
merupakan tindakan curang serta penipun yang akan merugikan keuangan negara dan
kepentingan publik. Tindakan ini dikecam oleh Allah dan diancam dengan hukuman
yang setimpal di akhirat (QS. Ali Imran : 161)
2. Perbuatan korupsi yang
merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri sendiri
ataupun orang lain adalah satu bentuk penghianatan terhadap amanah kepemimpinan
yang diberikan kepadanya. Berkhianat bahkan termasuk salah satu karakter orang
munafiq
3. perbuatan korupsi
termasuk tindakan dzalim karena memperkaya diri atau orang lain dari harta
kekayaan negara yang merupakan jerih payah masyarakat dan termasuk orang miskin
yang membayar pajak. Perbuatan dzalim ini mendapatkan adzab yang pedih (QS.
Az-Zukhruf : 60)
4. termasuk kategori
korupsi adalah kolusi dengan memberikan fasilitas negara kepada orang yang
tidak berhak karena adanya kesepakatn-kesepakatan tertentu, seperti menerima
suap dari pihak yang diuntungkannya. Nabi memperingatkan terhadap prilaku ini:
“Allah melaknat orang-orang yang menyuap dan yang menerima suap.” Dalam
riwayat lain disebut juga “dan perantaranya”. (HR. Ahmad). Juga dalam
sabdanya yang lain : ”Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam satu
jabatan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang dipungutnya tanpa sah di luar
gajinya adalah korupsi.” (HR. Abu Dawud)
2.3 Sanksi- Sanksi Hukum Islam Terhadap Korupsi
1. Takzir , alternatif
sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi
Dalam hukum Islam dikenal tiga tindakan pelanggaran, yaitu tindak pidana
hudud, tindak pidana pembunuhan(kafarat) dan tindak pidana takzir yang
hukumannya diserahkan kepada hakim sesuai dengan tingkat pidananya. Menurut
ulama fiqih pula, tindak pidana korupsi lebih dikelompokkan tindak pidana
takzir walau menurut sifatnya lebih mirip dengan tindak pidana hudud
seperti mencuri. Dengan demikian takzir adalah sebuah sanksi hukum yang di
berlakukan kepada seorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan
pelanggaran-pelanggaran baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia dan
pelanggaran-pelanggaran yang di maksud tidak masuk pada kategori huddud dan
kafarat
Jika termasuk tindak pidana hudud maka pelaku korupsi akan kena
hukuman potong tangan. Dan bila termasuk tindak pidana takzir maka hukumannya
adalah sebagaimana tergambar dalam keterangan berikut ini :
1. hukuman peringatan,
ancaman, teguran, celaan, dampratan, deraan, atau pukulan (QS. An-Nisa : 34)
2. hukuman penjara, baik
untuk sementara atau permanen
3. hukuman penyaliban
sebagaimana yang diberlakukan kepada pelaku tindak keonaran dan pembangkangan (hirabah)
4. hukuman mati seperti
yang diberlakukan kepada provokator, mata-mata, penyebar fitnah, kejahatan
penyimpangan seksual dan perbuatan makar
5. hukuman pengasingan
atau pembuangan
6. hukuman publikasi
Daftar Orang-orang Tercela (DOT) seperti yang diberlakukan kepada pelaku
kejahatan kesaksian palsu, kejahatan bisnis dan sebagainya
7. hukuman pencopotan dari
jabatan
8. hukuman penyitaan harta
dan sanksi berupa denda finansial.
Pembagian dan macam-macam hukum takzir
Imam muhammad abu zahrah mambagi hukuman takzir ini menjadi dua
bagian besar , pembagian ini di tinjau dari segi hak yang di langgar oleh
pelaku , yaitu hukuman takzir yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak
Allah. Selanjutnya ia memberikan contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan
dengan hak Allah dan pelakunya harus di hukum takzir seperti perbuatan dan
ajaran – ajaran bid’ah yang merusak dan mengacaukan kebenaran agama islam , mencaci
nabi muhammad dan melecehkannya , penculikan dan perdagangan bayi dan wanita
untuk di pekerjakan menjadi PSK , produsen dan pengedar khamr , manipulasi dan
penipuan dalam berbisnis , ghasab , risywah , memakan riba dan kesaksian palsu
.
Adapun beberapa contoh pelanggaran yang berkaitan dengan hak
manusia , abu zahrah mengemukakan seperti dalam kasus pembunuhan (seperti di
sengaja) . dalam hal ini di samping adanya kewajiban pemberian diyat oleh
pelaku kepada keluarga korban , masih terdapat satu sanksi hukum berupa takzir
untuk memelihara hak manusia . demikian pula dalam masalah penganiayaan yang
tidak mungkin di hukum qhisas , juga berlaku hukuman takzir , contoh lain bisa
terjadi pada percobaan tindak pidana pembunuhan dan percobaan-percobaan tindak
pidana yang lain termasuk dalam kasus penyekapan manusia dalam waktu lama atau
hanya sebentar.[7]
2. sanksi moral, sanksi sosial dan sanksi akhirat bagi pelaku
tindak pidana korupsi.
Ketiga jenis sanksi ini yaitu sanksi moral , sanksi sosial dan
sanksi akhirat tidak bisa di temukan dalam berbagai rumusan pasal UU no. 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi . hal ini bisa di
mengerti karena memang bahasa hukum agak berbeda dengan bahasa moral atau
akhlak . bahasa hukum pidana dengan berbagai rumusan pasal-pasalnya lebih pada
pelaksanaan teknis menerapkan sanksi-sanksi baik berupa pidana kurungan ,
pidana penjara , pidana seumur hidup , pidana denda maupun pidana mati . tidak
ada satupun jenis sanksi yang di hubungkan dengan persoalan moral atau akhlaq.
Mengenai sanksi moral , sanksi sosial dan sanksi akhirat pada zaman
rasulullah bisa di simpulkan bahwa praktek-praktek penggelapan atau korupsi di
zaman rasulullah baru terbatas pada benda dan harta-harta negara yang nominlnya
masih relatif kecil . terhadap kasus diatas rasulullah tetap memberikan sanksi
pidana takzir dengan cara di publikasikan kepada masyarakat luas , di hukum
dengan skap beliau yang tidak berkenan menyalatkan jenazahnya dan di ancam akan
di permalukan di depan Allah kelak di akhirat .
3. konsep taubat dan pengembalian harta hasil korupsi
taubat adalah sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah
atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan . para
ulama sepakat menyatakan bahwa tobat dari setiap dosa yang pernah di
lakukannya, termasuk dosa karena korupsi hukumnya wajib . atas dasar Al-Qur’an
, hadits dan pendapat para ulama seseorang yang mengambil atau menzhalimi pihak
lain untuk bisa di terima tobatnya ia harus meminta maaf kepada pihak yang di
zalimi dan yang di rugikan . dalam hal ini penulis berpendapat bahwa orang yang
pernah melakukan tindak pidana korupsi selain dia harus bertaubat ia juga tetap
wajib mengembalikan seluruh harta yang di korup kepada yang berhak dan
berwenang menerimanya.
Pengembalian harta hasil korupsi ini wajib di lakukan oleh pelaku yang
telah mendapatkan keputusan hukum . di samping itu, seorang koruptor juga wajib
meminta maaf kepada seluruh rakyat sesuai dengan wilayah dan tempat tindak
pidana korupsi itu di lakukan .
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari sini dapat di simpulkan bahwa pengertian korupsi adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau bersama-sama bebarapa orang yang
berkaitan dengan kewenangan dan jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan .
Sedangkan
dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi
merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah),
akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala
dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara
dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka
bumi, yang juga amat dikutuk Allah swt.
Dalam
pandangan islam korupsi itu disebut :
1. ghulul (penggelapan
harta)
2. risywah (penyuapan)
3. ghasab (mengambil hak
orang lain)
4. khianat
lalu dari berbagai
tindakan pidana di atas islam juga memberikan sanksi-sanksi seperti
-
ta’zir
-
huddud
tetapi tindak pidana
korupsi masuk pada tindak pidana ta’zir
3.2 REKOMENDASI
Pendidikan Anti Korupsi merupakan mata kuliah yang sangat penting,
dengan adanya mata kuliah ini mahasiswa akan mempelajari lebih dalam tentang
Pendidikan Anti Korupsi, sehingga diharapkan semua mahasiswa/mahasisiwi
memiliki akhlaq yang mulia dan kelak menjadi seorang pemimpin yang adil dan
jujur, sehingga menjadi seorang pemimpin yang tauladan.
Kami
yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, saran
dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan tulisan/tugas
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerouf.1986.Al-Qur’an dan ilmu hukum.cet 4 Jakarta :
Bulan Bintang.
Ali, H Muhammad Daud . 1991 . asas asas hukum islam . pengantar
ilmu hukum dan tata hukum islam di Indonesia . Jakakarta : Rajawali Pusat.
Ali, Zainuddin . 1998. Islam tekstual dan kontekstual .suatu
kajian Aqidah , Syariah dan Akhlaq . Ujung Pandang : yayasan Al-ahkam.
Irfan , Dr. Muhammad Nurul .2006. tindak pidana korupssi di
Indonesia dalam perspektif fiqih jinayah .Jakarta : Badan litbang dan
diklat Departemen Agama RI : Jakarta
http:www.google.com
[1] Muhammad Rawais Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaybi,mu’jamu lughat
al-fuqaha’,(Beirut:Dar al-Nafis, 1985),hlm 334
[2] Ibrahim Anis, dkk , Al-Mu’jam al Wasit, mesir : Majma’ al-Lughah
al-Arabiyah,1927, cet ke-2 hlm.384
[3] Abdul Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syariah al Islamiyyah , hlm.
265
[4] Al-syarbini,mughni al-muhtaj, jlid 2 , hlm.275
[5] Al-Nawawi, al-majmu’ syarh al muhadzdzah , jilid 14, hlm 62
[6] Al-Nawawi, al majmu’ syarh al muhadzdzah, jilid 14 , hlm 65
[7] Muhammad abu zahrah,al-jarimah wa al uqubah fi fiqh al islami, hlm.61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar