Senin, 27 Juli 2015

pandangan hukum islam mengenai korupsi



BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Penegakan hukum yang terjadi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik. Tingginya angka kejahatan membuat pihak pemerintah bekerja keras untuk dapat menangani atau setidaknya mencegah terjadinya kejahatan. Kejahatan yang “hampir” menjadi budaya adalah korupsi, yang dalam bentuknya memiliki banyak macam dan jenis. Ironis memang, di negeri yang “katanya” mayaoritas beragama Islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual ini pernah meraih peringkat pertama sebagai Negara terkorup di Asia dan Negara paling lamban yang keluar dari krisis dibandingkan ngara-negara tetangganya. Sebagai umat Islam sudah selayaknya kita menangani permasalahan tersebut dilihat dari sudut pandang Islam.
Adalah suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di atas ditimpakan kepada Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk. Yang perlu dikritisi di sini ialah orientasi keberagamaan kita yang menekankan kesalehan ritual-formal dengan mengabaikan kesalehan moral-individual dan sosial. Model beragama seperti ini memang sulit untuk dapat mencegah pemeluknya dari perilaku-perilaku buruk, seperti korupsi. Padahal dalam perspektif ajaran Islam, korupsi merupakan perbuatan terkutuk, karena dampak buruk yang ditimbulkannya bagi suatu masyarakat dan bangsa sangatlah serius.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai apa itu korupsi? Bagaimana Islam melihat korupsi? Dan apa sanksi Islam mengenai tindak pidana korupsi?

1.2RUMUSAN MASALAH
1.                  Bagaimana pengertian korupsi menurut islam  ?
2.                  Bagaimana islam memandang korupsi ?
3.                  Bagaimana pandangan hukum islam mengenai korupsi ?
4.                  Apa saja sanksi-sanksi dalam islam terhadap tindak pidana korupsi /

1.3TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian korupsi menurut islam
2.      Bagaimana islam memandang korupsi 
3.      Bagaimana pandangan hukum islam dalam menghadapi korupsi
4.      Mengetahui sanksi-sanksi yang di berikan hukum islam untuk koruptor

 1.4   MANFAAT
Supaya pembaca mengetahui semua seluk beluk korupsi menurut prespektif hukum islam tentang hukum-hukum islam memandang korupsi dan sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya .

 BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian korupsi dalam islam
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam (fiqh) klasik, perilaku korupsi belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai, ketika para fuqaha berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak benar (akl amwal al-nas bi al-bathil) seperti yang diharamkan dalam al-Qur’an, tetapi apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi (corrup), maka dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau menyuap. Di antara berbagai bentuk kejahatan ini yang nampaknya paling mirip substansinya dengan korupsi ialah ghulul yang diartikan sebagai pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang dan risywah atau yang biasa dikenal dengan istilah suap.
Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang  juga amat dikutuk Allah swt.
Dalil  mengenai korupsi
Secara garis besar, Islam telah memperingatkan kepada hambanya agar tidak memakan suatu harta yang diperoleh dengan cara yang bathil (tidak baik). Sebagaimana tercantum dalam al-Quran:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (al-Nisa: 29)
2.1.1      Ghulul
Ghulul menurut bahasa adalah khianat, sedangkan menurut Ibn al-Atsir, ghulul adalah berkhianat mengenai harta rampasan perang atau mencuri harta tersebut, dan—masih menurutnya—setiap orang yang berkhianat secara sembunyi-sembunyi mengenai urusan sesuatu, maka ia telah berbuat ghulul .adapun definisi ghulul secara terminologis antara lain di kemukakan oleh rawas Qala’arji dan hamid sadiq qunaybi yaitu “mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya”[1]
 Adapun maksud dari ghulul menurut korupsi adalah berupa tindakan penggelapan yang dilakukan seseorang untuk memperkaya diri sendiri. Ada pula yang menganggap Harta Ghulul adalah harta yang diperoleh oleh pejabat (pemerintah atau swasta) melalui kecurangan atau tidak syar’i, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.
Hadis mengenai pelarangan ghulul adalah:
حدثنا علي بن عبد الله حدثنا سفيان عن الزهري أنه سمع عروة أخبرنا أبو حميد الساعدي قال: استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا من بني أسد يقال له بن اللتبية على صدقة فلما قدم قال: هذا لكم وهذا أهدي لي فقام النبي صلى الله عليه وسلم على المنبر, قال صفيان أيضا فصعد المنبر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال: ما بال العامل نبعثه فيأتي فيقول: هذا لك وهذا لي؟ فهلا جلس في بيت أبيه وأمه فينظر أيهدى له أم لا؟ والذي نفسي بيده لا يأتي بشيء إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاة تيعر. ثم رفع يديه حتى رأيت بياض إبطيه وقال: ألا هل بلغت. ثلاثا (رواه البخاري)
A. Sanksi hukum bagi pelaku
sanksi hukum pada ghulul tampaknya bersifat sanksi moral . ghulul mirip dengan jarimah riddah tetapi untuk dua jenis jarimah ini walaupun dalam ayat Al-Qur’an tidak di sebutkan teknis eksekusi dan jumlahnya , tetapi dalam hadits-hadits nabi secara tegas di sebutkan teknis dan jumlah sanksi keduanya . hal inilah yang membedakan antara ghulul dengan jarimah kisas dan hudud , sehingga ghulul masuk dalam kategori jarimah takzir .
dalam menangani kasus-kasus penggelapan atau ghulul , Rasulullah tampaknya lebih banyak melakukan pembinaan moral dengan menananmkan kesadaran untuk menghindari segala bentuk penyelewengan dan meningkatkan masyarakat akan adanya hukuman ukhrawi berupa siksa neraka yang akan di timpakan kepada pelakunya . 
2.1.2    Risywah (Suap)
Menurut terminologi Fiqh, Risywah (suap) adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan)nya atau agar ia mengikuti kemauannya. Sedangkan menurut Ibnu Nadim Risywah adalah segala sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang lainnya untuk memutuskan suatu perkara atau membawa (putusan tersebut) sesuai dengan keinginannya (yang memberi), atau sesuatu yang di berikan dalam rangka mewujudkan kemalahatan atau sesuatu yang di berikan dalam rangka membenarkan yang bathil atau menyalahkan yang benar.[2]  Risywah (suap) merupakan perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan Rasulnya sebagaimana dijelaskan dalam hadis.
Adapun hadis mengenai pelarangan suap adalah:
عبد الله بن عمرو قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: لعن الله الراشي والمرتشي (رواه ابن حبان)
Dari Abdullah ibn Amru berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. (H.R. Ibnu Hibban)
عن أبي هريرة قال: لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم (رواه الترمذي)
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum. (H.R. Turmuzi)
عن ثوبان قال: لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي والرائش يعنى الذي يمشى بينهما (رواه أحمد
Risywah atau suap memang tidak bisa terjadi dari satu pihak. Ia selalu melibatkan kedua belah pihak, bahkan sangat boleh jadi bisa tiga pihak. Yakni si penyuap (raasyii), yang disuap atau yang menerima suap (murtasyii) dan yang menjadi perantara (raaisy) . Oleh sebab itu, risywah ini memang merupakan kejahatan yang terorganisir. Sekaligus ia merupakan kejahatan yang susah dibongkar, karena antara pelaku dan korban sama-sama terlibat. Beda dengan kejahatan umumnya, pencurian, penipuan atau penganiayaan; pelaku dan korban tidak mungkin bersekongkol.
Dalam sebuah kasus risywah setidaknya pasti akan melibatkan tiga unsur utama yaitu pihak pemberi , pihak penerima pemberian dan barang bentuk dan jenis pemberian yang di serahterimakan.
Hukum perbuatan risywah di sepakati oleh para ulama adalah haram , khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar
A.    Klasifikasi dan sanksi hukum pelaku risywah
1.      Klasifikasi risywah
risywah yang di sepakati haram oleh para ulama adalah risywah yang dilakukan dengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar atau kata lain suap yang hukumnya haram adalah suap yang akibatnya mengalahkan pihak yang mestinya menang dan memenangkan pihak yang mestinya kalah . sedangkan suap yang di nyatakan oleh mayoritas ulama hukumnya halal adalah suap yang di lakukan dengan tujuan untuk menuntut atau memperjuangkan hak yang mestinya di terima oleh pemberi suap atau untuk menolak kemadaratan , kezaliman dan ketidakadilan yang di rasakan oleh pihak pemberi suap tersebut .
2.      Sanksi hukum bagi pelaku risywah
Adapun berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku risywah tampaknya tidak jauh beda dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulul yaitu hukuman takzir , sebab keduanya memang tidak termasuk dalam ranah kisas dan hudud . abdul aziz amir mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana risywah ini tidak di sebutkan jenis sanksi yang telah di tentukan maka sanksi yang di berlakukan adalah hukuman takzir[3].
Berbagai peraturan perundang-undangan yang di buat untuk menanggulangi dan memberantas korupsi di negeri ini sudah jauh lebih baik dan ideal bila di bandingkan dengan konsep yang masih merupakan doktrin hukum yang terdapat dalam kitab fiqih . berbagai perundang-undangan itulah yang merupakan bentuk konkrit dari konsep takzir yang di tawarkan oleh konsep fiqih jinayah , yaitu sebuah sanksi hukum yang tidak di jelaskn secara tegas mengenai jenis dan teknis serta tata cara melaksanakannya oleh Al-Qur’an dan hadits hadits nabi , melainkan di serahkan kepada pemerintah dan hakim setempat.
2.1.3  Ghasab (mengambil paksa hak orang lain)
Secara terminologis ghasab di definisikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan / terang-terangan[4]. Jadi ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan adanya unsur pemaksaan dan terkadang dengan adanya kekerasan serta di lakukan secara terang-terangan.
A.    Hukum dan dalil-dalil tentang larangan ghasab
Para ulama sepakat menyatakan bahwa ghasab merupakan perbuatan terlarang dan hukumnya haram untuk di lakukan . dalam hal ini imam al-nawawi mengatakan bahwa pada prinsipnya seluruh kaum muslimin sepakat menyatakan bahwa ghasab hukumnya haram.[5]
B.     Sanksi hukum pelaku ghasab
Dari pengertian dan dalil-dalil larangan ghasab baik dalil Al-Qur’an maupun hadits bisa di ketahu bahwa tidak ada satu naspun yang menjelaskan tentang bentuk , jenis dan jumlah sanksi hukum bagi pelaku ghasab . oleh karena itu ghasab masuk dalam kategori jarimah takzir . hanya saja untuk jarimah atau tindak pidana ghasab ada semacam sanksi-sanksi tertentu yang apabila di hubungkan dengan tradisi kategorisasi hukum di indonesia , sanksi pelaku ghasab masuk dalam jenis perdata bukan pidana .
Perilaku ghasab di bagi menjadi tiga kategori : yaitu pertama , jika barang yang di ghasab itu masih utuh seperti semula . kedua , jika barang yang di ghasab itu telah lenyap . ketiga , barang yang di ghasab itu hanya berkurang.[6] Ketiga kategori ini akan di paparkan satu persatu secara berurutan agar bisa di ketahui bentuk sanksi takzir seperti apa yang layak di berlakukan.
1.      Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabnya masih utuh.
Pelaku ghasab terhadap harta yang masih utuh seperti kondisi semula berupa kewajiban mengembalikan harta yang di ghasab tersebut . kalau barangnya bersifat produktif dan bisa menghasilkan income bagi pemilik , pelaku juga harus di tuntut untuk memperhitungkan kerugian korban akibat tindakan ghasab pelaku .
2.      Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabnya telah lenyap .
Dalam hal sanksi pelaku ghasab yang barangnya telah lenyap ini terdapat dua macam , yaitu : barang yang jenis , bentuk dan ukurannya pasti dan jelas seperti biji-bijian , minyak , uang maka pelaku wjaib mengembalikan barang tersebut secara sama dan pasti , baik dari sisi jenis , macam , sifat dan ukurannya .
3.      Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabannya berkurang .
Bila barang hasil ghasab yang di lakukan pelaku telah berkurang maka untuk menentukan jenis sanksinya harus di klasifikasikan menjaadi barang berupa makhlik hidup dan benda mati . dalam hal pelaku mengghasab makhluk hidup seperti binatang , maka pelaku berkewajiban mengembalikannya , di samping itu pelaku juga wajib mengembalikan jumlah kekurangan tersebut dengan nilai nominal dalam bentuk uang sebagai ganti rugi .
2.1.4   Khianat dan sanksinya .
Ungkapan khianat di gunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak orang lain dan dapat pula dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang di buatnya , khususnya dalam masalah hutang piutang atau masalah muamalah secara umum .
Sebagaimana pada jarimah ghulul , risywah dan ghasab , pada jarimah khianat , dalil-dalil yang menegaskan tentang keharaman jarimah khianat ini tidak menyebutkan masalah sanksi hukum secara eksplisit , jelas dan konkrit . oleh karena itu khianat masuk pada kategori jarimah takzir , bukan huddud dan qishash/diyat .

2.2  Pandangan Hukum islam terhadap korupsi
Dalam pidana korupsi, sanksi yang diterapkan bervariasi sesuai dengan tingkat kejahatannya. Mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Mengapa bervariasi? Karena tidak adanya nash qath’i yang berkaitan dengan tindak kejahatan yang satu ini. Artinya sanksi syariat yang mengatur hal ini bukanlah merupakan paket jadi dari Allah swt. yang siap pakai. Sanksi dalam perkara ini termasuk sanksi ta’zir, di mana seorang hakim (imam/pemimpin) diberi otoritas penuh untuk memilih—tentunya sesuai dengan ketentuan syariat—bentuk sanksi tertentu yang efektif dan sesuai dengan kondisi ruang dan waktu, di mana kejahatan tersebut dilakukan.
Syariah Islam yang menjadi sandaran hukum Islam mempunyai tujuan menciptakan maslahah (kebaikan dan keseimbangan) dalam tatanan masyarakat. Upaya untuk mewujudkan kemaslahatan ini kemudian dalam bahasa Agama disebut dengan maqashidusy syariah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdhul mal), baik harta milik pribadi ataupun publik dari berbagai bentuk penyelewengan dan pelanggaran.
Hukum perbuatan korupsi menurut pendapat para ulama secara ijma’ atau konsensus adalah haram. Haram karena bertentangan dengan prinsip maqashidusy syari’ah. Keharaman perbuatan korupsi dapat ditinjau dari berbagai segi yang antara lain :
1.      Perbuatan korupsi merupakan tindakan curang serta penipun yang akan merugikan keuangan negara dan kepentingan publik. Tindakan ini dikecam oleh Allah dan diancam dengan hukuman yang setimpal di akhirat (QS. Ali Imran : 161)
2.      Perbuatan korupsi yang merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri sendiri ataupun orang lain adalah satu bentuk penghianatan terhadap amanah kepemimpinan yang diberikan kepadanya. Berkhianat bahkan termasuk salah satu karakter orang munafiq
3.      perbuatan korupsi termasuk tindakan dzalim karena memperkaya diri atau orang lain dari harta kekayaan negara yang merupakan jerih payah masyarakat dan termasuk orang miskin yang membayar pajak. Perbuatan dzalim ini mendapatkan adzab yang pedih (QS. Az-Zukhruf : 60)
4.      termasuk kategori korupsi adalah kolusi dengan memberikan fasilitas negara kepada orang yang tidak berhak karena adanya kesepakatn-kesepakatan tertentu, seperti menerima suap dari pihak yang diuntungkannya. Nabi memperingatkan terhadap prilaku ini: “Allah melaknat orang-orang yang menyuap dan yang menerima suap.” Dalam riwayat lain disebut juga “dan perantaranya”. (HR. Ahmad). Juga dalam sabdanya yang lain : ”Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam satu jabatan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang dipungutnya tanpa sah di luar gajinya adalah korupsi.” (HR. Abu Dawud)
2.3  Sanksi- Sanksi Hukum Islam Terhadap Korupsi
1. Takzir , alternatif sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi
Dalam hukum Islam dikenal tiga tindakan pelanggaran, yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan(kafarat) dan tindak pidana takzir yang hukumannya diserahkan kepada hakim sesuai dengan tingkat pidananya. Menurut ulama fiqih pula, tindak pidana korupsi lebih dikelompokkan tindak pidana takzir walau menurut sifatnya lebih mirip dengan tindak pidana hudud seperti mencuri. Dengan demikian takzir adalah sebuah sanksi hukum yang di berlakukan kepada seorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran-pelanggaran baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia dan pelanggaran-pelanggaran yang di maksud tidak masuk pada kategori huddud dan kafarat
Jika termasuk tindak pidana hudud maka pelaku korupsi akan kena hukuman potong tangan. Dan bila termasuk tindak pidana takzir maka hukumannya adalah sebagaimana tergambar dalam keterangan berikut ini :
1.      hukuman peringatan, ancaman, teguran, celaan, dampratan, deraan, atau pukulan (QS. An-Nisa : 34)
2.      hukuman penjara, baik untuk sementara atau permanen
3.      hukuman penyaliban sebagaimana yang diberlakukan kepada pelaku tindak keonaran dan pembangkangan (hirabah)
4.      hukuman mati seperti yang diberlakukan kepada provokator, mata-mata, penyebar fitnah, kejahatan penyimpangan seksual dan perbuatan makar
5.      hukuman pengasingan atau pembuangan
6.      hukuman publikasi Daftar Orang-orang Tercela (DOT) seperti yang diberlakukan kepada pelaku kejahatan kesaksian palsu, kejahatan bisnis dan sebagainya
7.      hukuman pencopotan dari jabatan
8.      hukuman penyitaan harta dan sanksi berupa denda finansial.
Pembagian dan macam-macam hukum takzir
Imam muhammad abu zahrah mambagi hukuman takzir ini menjadi dua bagian besar , pembagian ini di tinjau dari segi hak yang di langgar oleh pelaku , yaitu hukuman takzir yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah. Selanjutnya ia memberikan contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak Allah dan pelakunya harus di hukum takzir seperti perbuatan dan ajaran – ajaran bid’ah yang merusak dan mengacaukan kebenaran agama islam , mencaci nabi muhammad dan melecehkannya , penculikan dan perdagangan bayi dan wanita untuk di pekerjakan menjadi PSK , produsen dan pengedar khamr , manipulasi dan penipuan dalam berbisnis , ghasab , risywah , memakan riba dan kesaksian palsu .
Adapun beberapa contoh pelanggaran yang berkaitan dengan hak manusia , abu zahrah mengemukakan seperti dalam kasus pembunuhan (seperti di sengaja) . dalam hal ini di samping adanya kewajiban pemberian diyat oleh pelaku kepada keluarga korban , masih terdapat satu sanksi hukum berupa takzir untuk memelihara hak manusia . demikian pula dalam masalah penganiayaan yang tidak mungkin di hukum qhisas , juga berlaku hukuman takzir , contoh lain bisa terjadi pada percobaan tindak pidana pembunuhan dan percobaan-percobaan tindak pidana yang lain termasuk dalam kasus penyekapan manusia dalam waktu lama atau hanya sebentar.[7]
2. sanksi moral, sanksi sosial dan sanksi akhirat bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Ketiga jenis sanksi ini yaitu sanksi moral , sanksi sosial dan sanksi akhirat tidak bisa di temukan dalam berbagai rumusan pasal UU no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi . hal ini bisa di mengerti karena memang bahasa hukum agak berbeda dengan bahasa moral atau akhlak . bahasa hukum pidana dengan berbagai rumusan pasal-pasalnya lebih pada pelaksanaan teknis menerapkan sanksi-sanksi baik berupa pidana kurungan , pidana penjara , pidana seumur hidup , pidana denda maupun pidana mati . tidak ada satupun jenis sanksi yang di hubungkan dengan persoalan moral atau akhlaq.
Mengenai sanksi moral , sanksi sosial dan sanksi akhirat pada zaman rasulullah bisa di simpulkan bahwa praktek-praktek penggelapan atau korupsi di zaman rasulullah baru terbatas pada benda dan harta-harta negara yang nominlnya masih relatif kecil . terhadap kasus diatas rasulullah tetap memberikan sanksi pidana takzir dengan cara di publikasikan kepada masyarakat luas , di hukum dengan skap beliau yang tidak berkenan menyalatkan jenazahnya dan di ancam akan di permalukan di depan Allah kelak di akhirat .
3. konsep taubat dan pengembalian harta hasil korupsi
taubat adalah sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan . para ulama sepakat menyatakan bahwa tobat dari setiap dosa yang pernah di lakukannya, termasuk dosa karena korupsi hukumnya wajib . atas dasar Al-Qur’an , hadits dan pendapat para ulama seseorang yang mengambil atau menzhalimi pihak lain untuk bisa di terima tobatnya ia harus meminta maaf kepada pihak yang di zalimi dan yang di rugikan . dalam hal ini penulis berpendapat bahwa orang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi selain dia harus bertaubat ia juga tetap wajib mengembalikan seluruh harta yang di korup kepada yang berhak dan berwenang menerimanya.
Pengembalian harta hasil korupsi ini wajib di lakukan oleh pelaku yang telah mendapatkan keputusan hukum . di samping itu, seorang koruptor juga wajib meminta maaf kepada seluruh rakyat sesuai dengan wilayah dan tempat tindak pidana korupsi itu di lakukan .

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari sini dapat di simpulkan bahwa pengertian korupsi adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau bersama-sama bebarapa orang yang berkaitan dengan kewenangan dan jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan .
Sedangkan dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang  juga amat dikutuk Allah swt.
Dalam pandangan islam korupsi itu disebut :
1.      ghulul (penggelapan harta)
2.      risywah (penyuapan)
3.      ghasab (mengambil hak orang lain)
4.      khianat
lalu dari berbagai tindakan pidana di atas islam juga memberikan sanksi-sanksi seperti
-          ta’zir
-          huddud
tetapi tindak pidana korupsi masuk pada tindak pidana ta’zir

3.2 REKOMENDASI

Pendidikan Anti Korupsi merupakan mata kuliah yang sangat penting, dengan adanya mata kuliah ini mahasiswa akan mempelajari lebih dalam tentang Pendidikan Anti Korupsi, sehingga diharapkan semua mahasiswa/mahasisiwi memiliki akhlaq yang mulia dan kelak menjadi seorang pemimpin yang adil dan jujur, sehingga menjadi seorang pemimpin yang tauladan.
Kami yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan tulisan/tugas makalah ini.
 
DAFTAR PUSTAKA

Abdoerouf.1986.Al-Qur’an dan ilmu hukum.cet 4 Jakarta : Bulan Bintang.
Ali, H Muhammad Daud . 1991 . asas asas hukum islam . pengantar ilmu hukum dan tata hukum islam di Indonesia . Jakakarta : Rajawali Pusat.
Ali, Zainuddin . 1998. Islam tekstual dan kontekstual .suatu kajian Aqidah , Syariah dan Akhlaq . Ujung Pandang : yayasan Al-ahkam.
Irfan , Dr. Muhammad Nurul .2006. tindak pidana korupssi di Indonesia dalam perspektif fiqih jinayah .Jakarta : Badan litbang dan diklat Departemen Agama RI : Jakarta
http:www.google.com







[1] Muhammad Rawais Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaybi,mu’jamu lughat al-fuqaha’,(Beirut:Dar al-Nafis, 1985),hlm 334
[2] Ibrahim Anis, dkk , Al-Mu’jam al Wasit, mesir : Majma’ al-Lughah al-Arabiyah,1927, cet ke-2 hlm.384
[3] Abdul Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syariah al Islamiyyah , hlm. 265
[4] Al-syarbini,mughni al-muhtaj, jlid 2 , hlm.275
[5] Al-Nawawi, al-majmu’ syarh al muhadzdzah , jilid 14, hlm 62
[6] Al-Nawawi, al majmu’ syarh al muhadzdzah, jilid 14 , hlm 65
[7] Muhammad abu zahrah,al-jarimah wa al uqubah fi fiqh al islami, hlm.61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar