BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Ilmu Nasikh Mansukh (ilmu yang menerangkan ayat-ayat penghapusan
hukum dan ayat-ayat yang dihapus hukumnya). Di dalam uraian yang berkenaan
dengan turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur dan rahasia yang mana
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, menurut kejadian dan peristiwa
pengangsuran sesuai dengan perkembangan adat kebiasaan dan tradisi masyarakat,
yaitu mengambil langkah perlahan-lahan satu demi satu, sesuai dengan pendirian:
“perlahan-lahan yang teratur lebih baik dari pada cepat-cepat yang kacau
balau”.
Pengetahuan ini akan
memudahkan kita untuk menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian dari
peristiwa yang telah diterangkan Al-Qur’an dan menampakkan kepada kita,
menerangkan kepada kita bahwasanya Al-Qur’an adalah datang dari Allah karena
Allah lah yang menghapuskan mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang
dikehendaki tanpa ada seorangkan yang ikut campur.
Perhatikan tentang
turunnya ayat-ayat Makkiyah dan Madadiyah yang beriringan, nyatalah bahwa kita
memerlukan suatu ilmu yang menyotori langkah-langkah itu akan menolong
kita dalam meneliti satu persatu, yang dipandang sebagai suatu cara
pengangsuran didalam turunnya wahyu.
1.2
Rumusan Masalah
Apa Pengertian Nasikh Mansukh ?
Apa Syarat Terjadinya Naskh ?
Apa Macam-macam Naskh dalam Al-Quran ?
Bagaimana Perbedaan Pandangan terhadap Ada dan Tidaknya Naskh ?
1.3
Tujuan Penulisan
Menjelaskan
Pengertian Nasikh Mansukh.
Menjelaskan
Syarat Terjadinya Naskh.
Menjelaskan
Macam-macam Naskh dalam Al-Quran.
Menjelaskan
Perbedaan Pandangan terhadap Ada dan Tidaknya Naskh.
1.4
Manfaat Penulisan
Mengetahui Pengertian Nasikh Mansukh.
Mengetahui Syarat Terjadinya Naskh.
Mengetahui Macam-macam Naskh dalam Al-Quran.
Mengetahui Perbedaan Pandangan terhadap Ada dan Tidaknya Naskh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nasikh Mansukh
Tasyri’ samawi diturunkan dari allah
kepada para rasul-nya untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan
mu’amalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami
perubahan karena ditegakkan atas tauhid uluhiyah dan rububiyah
maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu semuanya sama.
Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ
أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan
kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan
kepadanya, ‘bahwa tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah olehmu sekalian
akan aku,’” (al-Anbiya’
[21]:25).
Mengenai bidang ibadah dan mu’amalah
maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan
persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang
berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa
mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Di samping itu, perjalanan dakwah
pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah
memasuki era pekembangan dan
pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda
dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa
pembuat syari’at (musyarri’), yaitu Allah,rahmat dan ilmunya meliputi
segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milik-nya.
لاَ يُسْأَلُ
عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَلُونَ
“
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-nya, dan mereka lah yang akan
ditanyai.” (al-Anbiya’
[21]:23).
Oleh karena itu wajarlah jika Allah
menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasyri’ lain untuk menjaga
kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-nya yang azali tentang yang
petama dan yang terkemudian.
Naskh menurut bahasa
dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya:نسخت الشمس الظل artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang; danيح اثر المشي و نسخت الرartinya,
angin menghapus jejak pejalanan. Kata naskh juga dipergunakan untuk
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Misalnya: نسخت الكتاب artinya, saya memindahkan
(menyalin) apa yang ada dalam buku. Di dalam Qur’an dinyatakan:إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ ما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (al-Jasiyah [45]:29). Maksudnya, kami
memindahkan (mencatat) amal perbuatan ke dalam lembaran (catatan amal).[1]
Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum
syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “Hukum”,
maka tidak termasuk dalam pengertian naskhmenghapuskan”kebolehan” yang bersifat
asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan khitab syara’”
mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau
penghapusan ijma’ atau qiyas.
Kata nasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan “Allah”,
seperti terlihat dalam: مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ (al-Baqarah [2]:106); dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya
naskh diketahui, seperti dikatakan: هذه الاية نا سخة الاية
كذا (ayat ini menghapus ayat
anu); dan juga dengan “hukum yang menghapuskan” hukum yang lain.
Mansukh adalah
hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang
terkandung di dalamnya, misalnya, adalah penghapusan (nasikh) hukum
wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaimana akan
dijelaskan.
Makki
berkata:[2]
segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas
tertentu, seperti firman Allah:فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ (maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-nya) (al-Baqarah [2]:109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab
ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu,
tidak ada naskh di dalamnya.
2.2 Syarat Terjadinya Naskh
Nasakh tidak bisa ditentukan oleh seseorang sesuai dengan
kehendaknya, seperti yang tergambar dalam definisi di atas. Ia mempunyai
syarat-syarat, yaitu sebagai berikut.[3]
a.
Hukum yang di mansukhkan itu adalah hukum syara’. Maksudnya, tidak
termasuk dalam kategori kajian ini pembatalan hukum ghayr asy-syar’ (yang bukan
hukum syara’) atau yang tidak menyangkut dengan hukum.
b.
Hukum yang terkandung pada nash al-mansukh. Nasakh tidak pernah ada
jika makna-makna nash itu tidak bertentangan.
c.
Dalil yang di nasakh-kan
harus muncul lebih awal dari dalil yang menasakh-kan, tidak boleh
sebaliknya. Maka ayat al-makkiyah tidak bisa me-nasakh-kan ayat al-madaniyah.
Akan tetapi, ayat al madaniyah dapat me-nasakh-kan ayat al-makkiyah
d.
Hukum yang di-nasakh-kan itu haruslah hal-hal yang menyangkut
dengan perintah, larangan, dan hukuman. Nasakh tidak terjadi pada hal-hal yang
menyangkut berita. Sebab, jika nasakh terjadi pada ayat-ayat berita, berarti
telah terjadi kebohongan pada ayat yang nasakh-kan. Hal ini jelas mustahil.
e.
Hukum yang di-nasakh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi
harus berlaku di sepanjang waktu.
f.
Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan
sebelum munculnya nash an-nasikh.
g.
Status nash an-nasikh harus sama dengan nash al-mansukh. Maka nash
yang zhanni al-wurud tidak bisa men-nasakhk-an nash yang qath’i al-wurud. Jika
ditemukan pertentangan antara keduanya maka jelas yang dipegang adalah nash qath’i al wurud.
2.3 Macam-Macam Naskh dalam Al-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi
menjadi empat macam yaitu:[4]
1.
Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang
terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 5
surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:
يَاَيُّهَاالنَّبِيُّ
حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ اِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ
صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِ وَاِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوْا
اَلْفًا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاَنَّهُمْ قَوْمُ لَايَفْقَهُوْنَ.
Artinya:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat perang orang mukmin untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan
dapat mengalahakan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar
diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir
adalah kaum yang tidak mengerti.” (Q.S. Al-Anfal:65)
Ayat ini menurut jumhur ulama di-nasikhkan oleh ayat yang
mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat
yang sama:
اَلْئَنَ
خَفَّفَ اللهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ اَنَّ فِيْكُمْ ضَعْفًا فَاِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِ وَاِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ اَلْفٌ
يَغْلِبُوْا اَلْفَيْنِ بِاِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِيْنَ.
Artinya:
“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa
kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir. Dan jika diantara kamu
terdapat seribu orang yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang
kafir.” (Q.S. Al-Anfal:66)
2.
Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling
bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah
yang sama, serta kedua-duanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang
kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang
mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat
Al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتَ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ.
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat
bagi ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini, menurut pendukung teori nasikh di-nasikh oleh hadist la
wasyiyyah li waris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3.
Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara
keseluruhan. Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat
Al-Baqarah ayat 234 di-nasikh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun oleh ayat 240
dalam surat yang sama.
4.
Nasikh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua
individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus
hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera
80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat
An-Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan
nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang
sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi
nasikh kepada tiga macam yaitu:
1.
Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara
bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan
tidak benar diamalkan. Misalnya sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu
hadist ‘Aisyah r.a.
كَانَ فِيْمَا
أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْاَنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ
نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
وَهُنَّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْأَنِ
Artinya:
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh
radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemmudian di nasikh oleh llima
(isapan menyusu) yang diketahui. Setelah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir
tetap dibaca sebagai bagian Al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap
bersaudara apabila salah seorang diantara keduanya menyusu kepada ibu salah
seorang diantara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini
kemudian di nasikh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan
dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termasuk didalam mushaf
karena baik bacaannya maupun hukumnya telah di nasikh.
2.
Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat
Islam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan
ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan
dalam surat Al-Kafirun ayat 6:
لَكُمْ
دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ.
Artinya:
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”(Q.S. Al-Kafirun:6)
Contoh lainnya adalah ayat tentang mendahulukan sedekah (Q.S.
Al-Mujadilah:12):
يَاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ
نَجْوَىكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌلَكُمْ وَاَطْهَرُ فَاِنْ لَمْ تَجِدُوْا
فَاِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih,
jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Mujadilah:12)
Ayat ini di nasikh oleh surat yang sama ayat 13:
ءَاَشْفَقْتُمْ
اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَىكُمْ صَدَقَتٍ فَاِذْلَمْ
تَفْعَلُوْاوَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُواالصَّلَوةَ وَاَتُواالزَّكَوةَ
وَاَطِيْعُوااللهَ وَرَسُوْلَهُ وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
Artinya:
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah
telah memberi taubat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah:13)
3.
Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya
diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an.
Ayat yang dinyatakan mansukh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu
adalah:
اِذَازَنَا
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا......
Artinya:
“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah
keduanya...”
Cerita tentang ayat orang tua berzina diatas diturunkan berdasarkan
riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada
mengenai ayat yang dianggap bacaannya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa
Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
اَلشَّيْخُ
وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتةَ بِمَا قَضَيَا مِنَ الَّلذَّةِ.
Artinya:
“Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka berdua
lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah
nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:
1.
Nasikh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Para ulama sepakat akan
kebolehannya.
2.
Nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah,
nasikh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir
atau masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang
menghapusnya berupa sunnah ahad. Bila kedua jenis sunnah di atas berstatus
qath’i tsubut, sebagaimana Al-Qur’an, hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang
bersifat zhanny tsubut. Keputusan-keputusan kalangan Hanafiyah mendapat
bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama ashul fiqh. Bagi mereka, apa pun
jenis sunnah yang akan menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an, hal itu tidak
diperkenankan. Untuk itu, As-Syafi’i mengajukan analisisnyasebagai berikut:
Sunnah tidak sederajat dengan Al-Qur’an. Padahal, nasikh yang dijanjikan Tuhan
dalam surat Al-Baqarah ayat 106 adalah sepadan derajatnya atau bahkan lebih
tinggi. Dalam surat Yunus ayat 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak untuk
mengubah Al-Qur’an atas kemauannya. Surat An-Nahl ayat 44, menyatakan bahwa
misi Muhammad adalah penjelas (mubayin) terhadap Al-Qur’an, sehingga setelah
mereka memperoleh penjelasan darinya, umat bisa mengamalkan Al-Qur’an. Bila
Muhammad berhak menghapus ketentuan Al-Qur’an, nanti yang diamalkan umat bukan
lagi Al-Qur’an, tetapi As-Sunnah. Ini berarti bertentangan dengan kandungan
surat An-Nahl ayat 44. Menghindari nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunnah bisa
menjauhi celaan atas diri Muhammad.
3.
Nasikh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Menurut mayoritas ahli ushul,
nasikh semacam ini benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat
shalat ke Bait Al-Muqdas menjadi ke Ka’bah. Akan tetapi, lagi-lagi As-Syafi’i
menlak penghapusan semacam ini. Baginya jika Muhammad menentukan suatu
ketentuan, kemudian turun ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan
membuat ketentuan baru yang sesuai dengan Al-Qur’an. Jika tidak demikian, akan
terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi bayan Al-Qur’an
sudah dihapus.
4.
Nasikh As-Sunnah dengan As-Sunnah. Bagi Al-Qaththan, pada dasarnya,
ketentuan nasikh dalam ijma’dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.
2.4 Perbedaan Pandangan terhadap Ada dan
Tidaknya Naskh
Dalam masalah
naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:[5]
1.
Orang yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena
menurutnya, naskh mengandung konsep al-bada’ , yakni nampak jelas
setelah kabur(tidak jelas). Yang dimaksud mereka adalah, naskh itu adakalanya
tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalnya karena sesuatu hikmah
yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang
didahului oleh ketidakjelasan. Dan inipun mustahil pula bagi-nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab
masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu.
Jadi pengetahuan-nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia
membawa hamba-hambanya dai satu hukum ke hukum lain adalah karena sesuatu
maslahat yang telah diketahuinya jauh sebelum itu, sesuatu dengan hikmah dan
kekuasaannya yang absolut terhadap segala milik-nya.
Orang yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at musa menghapuskan
syari’at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti
pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Isarail, yang semula dihalalkan.
Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا
حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ
“semua makanan adalah halal bagi bani israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh israil(ya’kub) untuk dirinya sendiri”. (Ali ‘Imran [3]:93). Dan firman-nya:
وَعَلَى الَّذِيۡنَ هَادُوۡا حَرَّمۡنَا كُلَّ ذِىۡ ظُفُرٍ
“dan kepada orang-orang yahudi kami haramkan segala binatang
yang berkuku.”(al-An’am [6]:146).
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa adam menikah dengan saudara
perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan demikian atas musa,
dan musa memerintahkan bani israil agar membunuh siapa saja di antara mereka
yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah ini dicabut kembali.
2.
Orang syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan
naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu
hal yang mungkin terjadi bgi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat
kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka
mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali
r.a secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
يمحوا الله ما يشاء ويثبت.
“Allah
menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d
[13]:39), dengan pengertian bahwa Allah
siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan
terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan sesuatu
yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya
mengandung maslahat. Disamping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam
banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan:
إنّ الحسنات يذهبن السّيأت
“sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud [11]:114). Juga penghapusan
kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang bertaubat dengan taubatnya, serta
penetapan iman dan ketaatan mereka. Hal ini tidak menuntut adanya kejelasan
yang di dahului kekaburan bagi allah. Tetapi ia melakukan itu semua berdasarkan
pengetahuan-nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
3.
Abu muslim al-asfahani. Menurutnya, secara logika nasikh dapat saja
terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menutrut syara’. Dikatakan pula bahwa ia
menolak sepenuhnya terjadi nasikh dalam al-Qur’an berdasarkan firmannya.
لايأتيه الباطل
من بين يديه ولا من خلفه تنزيل مّن حكيم حميد
“yang tidak datang kepadanya (Qur’an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakngnya, yang diturunkan dari sisi tuha yang maha bijaksana lagi
maha terpuju.”(fussilat [41]:42)
Dengan
pengertian bahwa hukum-hukum qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya dan
mengenai ayat-ayat tentang nasikh, semuanya ia takhsiskan.
Pendapat Abu Muslim
ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa qur’an tidak
di dahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya. Dan tidak datang pula
sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4.
Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nasikh adalah suatu hal yang
dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’,verdasarkan
dalil-dalil:
a.
Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan.
Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu
yang lain. Karna hanya dialah yang lebih mengetahui kepentingan
hamba-hamba-nya.
b.
Nas-nas kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasikh dan
terjadinya antara lain:
a)
Firman Allah
وإذا بدّلنا اية مكان اية
“dan apabila kami mengganti suatu ayat ditempat ayat yang lain”(an-nahl [16]:101);dan firmannya:
ما ننسخ من اية أوننسهانأت بخير مّنها أو مثلها
“apa saja ayat yang kami nasikhkan, atau kami jadikan(manusia)
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”(al-Baqarah[2]:106).
b)
Dalam sebuah hadis shahih, dari ibn abbas r.a, umar r.a
berkata:”yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah
ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia
mengatakan:’aku tidak akan meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku
dengar dari Rasulullah SAW.’ Padahal Allah telah berfirman: apa saja ayat yang
kami nasikhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya.”(al-Baqarah[2]:106).
PENUTUP
Kesimpulan
Nasikh mansukh adalah menerangkan ayat-ayat
penghapus hukum dan ayat-ayat yang dihapus hukumnya. Nasikh mansukh mempunyai
fungsi dan manfaat yang sangat besar agar pengetahuan tentang hukum tidak
menjadi kacau dan kabur. Terdapat syarat dan macam-macam naskh dalam Al-Quran
dan perbedaan pandangan terhadap ada dan tidaknya naskh.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2013. Studi Ilmu-ilmu Qur’an.
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Rosihin,
Anwar. 2007. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Yusuf,
Kadar M. 2012. Studi Al Quran. Jakarta: Teruna Grafica.
[1] Manna’
Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2013), hal 326.
[2]Ia adalah Makki bin Hamusy bin Muhammad bin
Mukhtar al-Qaisi al-Muqri’, dengan nama panggilan Abu Muhammad, berasal dari
Qairawan. Ia mempunyai banyak karangan tentang ulumul Qur’an dan bahasa Arab.
Salah satu karyanya ialahan-nasikh wal-mansukh. Tinggal di Cordova dan
pergi ke mesir dua kali. Wafat pada 437 H.
[5] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), hal 330.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar