Selasa, 28 Juli 2015

Ilmu Nasikh Mansukh



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Ilmu Nasikh Mansukh (ilmu yang menerangkan ayat-ayat penghapusan hukum dan ayat-ayat yang dihapus hukumnya). Di dalam uraian yang berkenaan dengan turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur dan rahasia yang mana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, menurut kejadian dan peristiwa pengangsuran sesuai dengan perkembangan adat kebiasaan dan tradisi masyarakat, yaitu mengambil langkah perlahan-lahan satu demi satu, sesuai dengan pendirian: “perlahan-lahan yang teratur lebih baik dari pada cepat-cepat yang kacau balau”.
      Pengetahuan ini akan memudahkan kita untuk menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian dari peristiwa yang telah diterangkan Al-Qur’an dan menampakkan kepada kita, menerangkan kepada kita bahwasanya Al-Qur’an adalah datang dari Allah karena Allah lah yang menghapuskan mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki tanpa ada seorangkan yang ikut campur.
      Perhatikan tentang turunnya ayat-ayat Makkiyah dan Madadiyah yang beriringan, nyatalah bahwa kita memerlukan suatu ilmu yang menyotori langkah-langkah itu akan menolong kita dalam meneliti satu persatu, yang dipandang sebagai suatu cara pengangsuran didalam turunnya wahyu.

1.2  Rumusan Masalah
Apa Pengertian Nasikh Mansukh ?
Apa Syarat Terjadinya Naskh ?
Apa Macam-macam Naskh dalam Al-Quran ?
Bagaimana Perbedaan Pandangan terhadap Ada dan Tidaknya Naskh ?
1.3  Tujuan Penulisan
Menjelaskan Pengertian Nasikh Mansukh.
Menjelaskan Syarat Terjadinya Naskh.
Menjelaskan Macam-macam Naskh dalam Al-Quran.
Menjelaskan Perbedaan Pandangan terhadap Ada dan Tidaknya Naskh.
1.4  Manfaat Penulisan
Mengetahui Pengertian Nasikh Mansukh.
Mengetahui Syarat Terjadinya Naskh.
Mengetahui Macam-macam Naskh dalam Al-Quran.
Mengetahui Perbedaan Pandangan terhadap Ada dan Tidaknya Naskh.
 BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Nasikh Mansukh
            Tasyri’ samawi diturunkan dari allah kepada para rasul-nya untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan atas tauhid uluhiyah dan rububiyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu semuanya sama. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya, ‘bahwa tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku,’” (al-Anbiya’ [21]:25).
            Mengenai bidang ibadah dan mu’amalah maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Di samping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era pekembangan  dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat syari’at (musyarri’), yaitu Allah,rahmat dan ilmunya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milik-nya.
لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَلُونَ
“ Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-nya, dan mereka lah yang akan ditanyai.” (al-Anbiya’ [21]:23).
            Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasyri’ lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-nya yang azali tentang yang petama dan yang terkemudian.
            Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya:نسخت الشمس الظل artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang; danيح اثر المشي و نسخت الرartinya, angin menghapus jejak pejalanan. Kata naskh juga dipergunakan untuk memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Misalnya: نسخت الكتاب  artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Di dalam Qur’an dinyatakan:إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ ما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (al-Jasiyah [45]:29). Maksudnya, kami memindahkan (mencatat) amal perbuatan ke dalam lembaran (catatan amal).[1]
Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “Hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian naskhmenghapuskan”kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan khitab syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau penghapusan ijma’ atau qiyas.
Kata nasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan “Allah”, seperti terlihat dalam:  مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ (al-Baqarah [2]:106); dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh diketahui, seperti dikatakan: هذه الاية نا سخة الاية كذا (ayat ini menghapus ayat anu); dan juga dengan “hukum yang menghapuskan” hukum yang lain.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya, adalah penghapusan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaimana akan dijelaskan.
Makki berkata:[2] segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah:فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ (maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-nya) (al-Baqarah [2]:109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada naskh di dalamnya.


2.2       Syarat Terjadinya Naskh
Nasakh tidak bisa ditentukan oleh seseorang sesuai dengan kehendaknya, seperti yang tergambar dalam definisi di atas. Ia mempunyai syarat-syarat, yaitu sebagai berikut.[3]
a.       Hukum yang di mansukhkan itu adalah hukum syara’. Maksudnya, tidak termasuk dalam kategori kajian ini pembatalan hukum ghayr asy-syar’ (yang bukan hukum syara’) atau yang tidak menyangkut dengan hukum.
b.      Hukum yang terkandung pada nash al-mansukh. Nasakh tidak pernah ada jika makna-makna nash itu tidak bertentangan.
c.       Dalil yang di nasakh-kan  harus muncul lebih awal dari dalil yang menasakh-kan, tidak boleh sebaliknya. Maka ayat al-makkiyah tidak bisa me-nasakh-kan ayat al-madaniyah. Akan tetapi, ayat al madaniyah dapat me-nasakh-kan ayat al-makkiyah
d.      Hukum yang di-nasakh-kan itu haruslah hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman. Nasakh tidak terjadi pada hal-hal yang menyangkut berita. Sebab, jika nasakh terjadi pada ayat-ayat berita, berarti telah terjadi kebohongan pada ayat yang nasakh-kan. Hal ini jelas mustahil.
e.       Hukum yang di-nasakh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi harus berlaku di sepanjang waktu.
f.       Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nash an-nasikh.
g.      Status nash an-nasikh harus sama dengan nash al-mansukh. Maka nash yang zhanni al-wurud tidak bisa men-nasakhk-an nash yang qath’i al-wurud. Jika ditemukan pertentangan antara keduanya maka jelas yang dipegang adalah  nash qath’i al wurud.
2.3       Macam-Macam Naskh dalam Al-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu:[4]
1.      Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 5 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:
يَاَيُّهَاالنَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ اِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِ وَاِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوْا اَلْفًا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاَنَّهُمْ قَوْمُ لَايَفْقَهُوْنَ.
Artinya:                                                             
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat perang orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahakan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.” (Q.S. Al-Anfal:65)
Ayat ini menurut jumhur ulama di-nasikhkan oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
اَلْئَنَ خَفَّفَ اللهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ اَنَّ فِيْكُمْ ضَعْفًا فَاِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِ وَاِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ اَلْفٌ يَغْلِبُوْا اَلْفَيْنِ بِاِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِيْنَ.
Artinya:
“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir. Dan jika diantara kamu terdapat seribu orang yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (Q.S. Al-Anfal:66)
2.      Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-duanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتَ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ.
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini, menurut pendukung teori nasikh di-nasikh oleh hadist la wasyiyyah li waris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3.      Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 di-nasikh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun oleh ayat 240 dalam surat yang sama.
4.      Nasikh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam yaitu:
1.      Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak benar diamalkan. Misalnya sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadist ‘Aisyah r.a.
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْاَنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُنَّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْأَنِ
Artinya:
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemmudian di nasikh oleh llima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang diantara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang diantara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian di nasikh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termasuk didalam mushaf karena baik bacaannya maupun hukumnya telah di nasikh.
2.      Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat Islam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat Al-Kafirun ayat 6:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ.
Artinya:
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”(Q.S. Al-Kafirun:6)
Contoh lainnya adalah ayat tentang mendahulukan sedekah (Q.S. Al-Mujadilah:12):
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَىكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌلَكُمْ وَاَطْهَرُ فَاِنْ لَمْ تَجِدُوْا فَاِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Mujadilah:12)
Ayat ini di nasikh oleh surat yang sama ayat 13:
ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَىكُمْ صَدَقَتٍ فَاِذْلَمْ تَفْعَلُوْاوَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُواالصَّلَوةَ وَاَتُواالزَّكَوةَ وَاَطِيْعُوااللهَ وَرَسُوْلَهُ وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
Artinya:
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah:13)
3.      Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya  tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
اِذَازَنَا الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا......
Artinya:
“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya...”
Cerita tentang ayat orang tua berzina diatas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaannya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
اَلشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتةَ بِمَا قَضَيَا مِنَ الَّلذَّةِ.
Artinya:
“Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka berdua lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:
1.      Nasikh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Para ulama sepakat akan kebolehannya.
2.      Nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasikh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir atau masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah ahad. Bila kedua jenis sunnah di atas berstatus qath’i tsubut, sebagaimana Al-Qur’an, hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersifat zhanny tsubut. Keputusan-keputusan kalangan Hanafiyah mendapat bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama ashul fiqh. Bagi mereka, apa pun jenis sunnah yang akan menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an, hal itu tidak diperkenankan. Untuk itu, As-Syafi’i mengajukan analisisnyasebagai berikut: Sunnah tidak sederajat dengan Al-Qur’an. Padahal, nasikh yang dijanjikan Tuhan dalam surat Al-Baqarah ayat 106 adalah sepadan derajatnya atau bahkan lebih tinggi. Dalam surat Yunus ayat 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak untuk mengubah Al-Qur’an atas kemauannya. Surat An-Nahl ayat 44, menyatakan bahwa misi Muhammad adalah penjelas (mubayin) terhadap Al-Qur’an, sehingga setelah mereka memperoleh penjelasan darinya, umat bisa mengamalkan Al-Qur’an. Bila Muhammad berhak menghapus ketentuan Al-Qur’an, nanti yang diamalkan umat bukan lagi Al-Qur’an, tetapi As-Sunnah. Ini berarti bertentangan dengan kandungan surat An-Nahl ayat 44. Menghindari nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunnah bisa menjauhi celaan atas diri Muhammad.
3.      Nasikh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Menurut mayoritas ahli ushul, nasikh semacam ini benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat ke Bait Al-Muqdas menjadi ke Ka’bah. Akan tetapi, lagi-lagi As-Syafi’i menlak penghapusan semacam ini. Baginya jika Muhammad menentukan suatu ketentuan, kemudian turun ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang sesuai dengan Al-Qur’an. Jika tidak demikian, akan terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi bayan Al-Qur’an sudah dihapus.
4.      Nasikh As-Sunnah dengan As-Sunnah. Bagi Al-Qaththan, pada dasarnya, ketentuan nasikh dalam ijma’dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.
2.4       Perbedaan Pandangan terhadap Ada dan Tidaknya Naskh
Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:[5]
1.      Orang yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya, naskh mengandung konsep al-bada’ , yakni nampak jelas setelah kabur(tidak jelas). Yang dimaksud mereka adalah, naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalnya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan inipun mustahil pula bagi-nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuan-nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hambanya dai satu hukum ke hukum lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahuinya jauh sebelum itu, sesuatu dengan hikmah dan kekuasaannya yang absolut terhadap segala milik-nya.
Orang yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Isarail, yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ
“semua makanan adalah halal bagi bani israil melainkan makanan yang diharamkan oleh israil(ya’kub) untuk dirinya sendiri”. (Ali ‘Imran [3]:93). Dan firman-nya:
وَعَلَى الَّذِيۡنَ هَادُوۡا حَرَّمۡنَا كُلَّ ذِىۡ ظُفُرٍ
dan kepada orang-orang yahudi kami haramkan segala binatang yang berkuku.”(al-An’am [6]:146).
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan demikian atas musa, dan musa memerintahkan bani israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah ini dicabut kembali.
2.      Orang syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bgi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
يمحوا الله ما يشاء ويثبت.
Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d [13]:39),  dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan:
إنّ الحسنات يذهبن السّيأت
sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud [11]:114). Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan mereka. Hal ini tidak menuntut adanya kejelasan yang di dahului kekaburan bagi allah. Tetapi ia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
3.      Abu muslim al-asfahani. Menurutnya, secara logika nasikh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menutrut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi nasikh dalam al-Qur’an berdasarkan firmannya.
لايأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل مّن حكيم حميد
yang tidak datang kepadanya (Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakngnya, yang diturunkan dari sisi tuha yang maha bijaksana lagi maha terpuju.”(fussilat [41]:42)
Dengan pengertian bahwa hukum-hukum qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya dan mengenai ayat-ayat tentang nasikh, semuanya ia takhsiskan.
          Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa qur’an tidak di dahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya. Dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4.      Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nasikh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’,verdasarkan dalil-dalil:
a.    Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karna hanya dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-nya.
b.    Nas-nas kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasikh dan terjadinya antara lain:
a)    Firman Allah
وإذا بدّلنا اية مكان اية
“dan apabila kami mengganti suatu ayat ditempat ayat yang lain”(an-nahl [16]:101);dan firmannya:
ما ننسخ من اية أوننسهانأت بخير مّنها أو مثلها 
apa saja ayat yang kami nasikhkan, atau kami jadikan(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”(al-Baqarah[2]:106).
b)        Dalam sebuah hadis shahih, dari ibn abbas r.a, umar r.a berkata:”yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan:’aku tidak akan meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW.’ Padahal Allah telah berfirman: apa saja ayat yang kami nasikhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya.”(al-Baqarah[2]:106).


PENUTUP
Kesimpulan
Nasikh mansukh adalah menerangkan ayat-ayat penghapus hukum dan ayat-ayat yang dihapus hukumnya. Nasikh mansukh mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat besar agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Terdapat syarat dan macam-macam naskh dalam Al-Quran dan perbedaan pandangan terhadap ada dan tidaknya naskh.
 DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2013. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Rosihin, Anwar. 2007. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Yusuf, Kadar M. 2012. Studi Al Quran. Jakarta: Teruna Grafica.


[1] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), hal 326.
[2]Ia adalah Makki bin Hamusy bin Muhammad bin Mukhtar al-Qaisi al-Muqri’, dengan nama panggilan Abu Muhammad, berasal dari Qairawan. Ia mempunyai banyak karangan tentang ulumul Qur’an dan bahasa Arab. Salah satu karyanya ialahan-nasikh wal-mansukh. Tinggal di Cordova dan pergi ke mesir dua kali. Wafat pada 437 H.

[3] Kadar M Yusuf, Studi Al Quran (Jakarta: Teruna Grafica, 2012), hal 111.

[4] Anwar Rosihin, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal 173-178.

[5] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), hal 330.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar