PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Islam merupakan ajaran yang
sempurna, lengkap dan universal yang terangkum dalam 3 hal pokok; Aqidah,
Syariah dan Akhlak. Artinya seluruh ajaran Islam bermuara pada tiga hal ini.
Aqidah,
syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan, karena ketiga unsur tersebut merupakan pondasi atau kerangka dasar dari Agama Islam.
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan, karena ketiga unsur tersebut merupakan pondasi atau kerangka dasar dari Agama Islam.
Ajaran Agama Islam yang seharusnya
bersumber pada Al-Qur’an dan as Sunnah telah banyak yang melenceng. Hal
itu dapat dilihat dengan banyaknya bermunculan aliran-aliran sesat atau yang
sifatnya bid’ah. Selain itu, kasus-kasus kriminalitas yang semakin
merajalela pada saat sekarang ini merupakan suatu cerminan keruntuhan
akhlak pada umat Islam saat ini. Untuk itulah, kita selaku umat Rasulullah SAW
perlu mengetahui serta mempelajari tentang Ilmu yang membahas ketiga unsur yang
menjadi kerangka dasar ajaran agama Islam tersebut agar kita tidak tersesat dan
tetap berada di jalan yang benar.
Oleh sebab itu, dalam makalah kali
ini kami membahas tentang ketiga unsur tersebut yaitu Aqidah, Syari’ah, dan Akhlaq. Dengan mempelajari dan mengambil
esensi dari ketiga unsur ini, semoga Allah memberikan kita petunjuk agar
selamat di dunia dan di akhirat.
Rumusan Masalah
Makalah ini terfokuskan pada empat
masalah yang akan dibahas penulis yaitu :
1.2.1. Apakah pengertian Aqidah?
1.2.2. Apakah pengertian Syariah?
1.2.3. Apakah pengertian Akhlaq ?
1.2.4. Apa kedudukan akhlaq pada
manusia ?
Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan dan
pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah
sebagai berikut :
1) Untuk
mengetahui pengertian Aqidah, serta manfaat mempelajari aqidah.
2)
Untuk mengetahui pengertian
syari’ah, serta karakteristiknya di dalam Islam.
3)
Untuk mengetahui definisi akhlaq,
serta cara pembentukan akhlaq.
Manfaat penulisan
1. Dapat mengetahui pengertian mengenai Aqidah,Syariah , dan
Akhlaq.
2.Dapat mengetahui contoh-contoh hal yang tergolong
Aqidah,Syariah , dan Akhlaq di dalam ajaran islam.
3.Dapat mengelompokkan hal-hal yang termasuk Aqidah,Syariah
, dan Akhlaq.
BAB II
PEMBAHASAN
AQIDAH
Pengertian
Aqidah
Akidah adalah suatu yang di anut oleh manusia dan di
yakininya, apakah berwujud agama atau lainnya. Demikian pengertian akidah
secara umum.
Apa
pula yang dikatakan akidah muslim atau akidah mukmin?
Akidah
muslim atau akidah mukmin, ialah suatu agama yang dianut oleh orang muslim atau
orang mukmin dengan perantara dalil-dalil yang yakin (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Maka akidah atau agama yang dimaksud disini tidak lain, kecuali agama islam.
Jadi orang-orang yang mengambil dalil dalam akidahnya selain dari al qur’an,
dan as-sunnah yang sahih bukanlah ia orang islam, sekalipun dalam pengakuaannya
beragama islam.[1]
Aqidah adalah bentuk masdar dari
kata “ ‘Aqoda, Ya’qidu, ‘Aqdan-‘Aqidatan ” yang berarti simpulan, ikatan,
sangkutan, perjanjian dan kokoh. Sedangkan secara teknis aqidah berarti iman,
kepercayaan dan keyakinan. Dan tumbuhnya kepercayaan tentunya di dalam hati,
sehingga yang dimaksud aqidah adalah kepercayaan yang menghujam atau tersimpul
di dalam hati.
Sedangkan menurut istilah aqidah
adalah hal-hal yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa merasa tentram
kepadanya, sehingga menjadi keyakinan kukuh yang tidak tercampur oleh
keraguan.Menurut M Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan aqidah menurut ketentuan
bahasa (bahasa arab) ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat di
dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya.Adapun aqidah menurut
Syaikh Mahmoud Syaltout adalah segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan
terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak
boleh dicampuri oleh keragu-raguan.
Aqidah atau keyakinan adalah suatu
nilai yang paling asasi dan prinsipil bagi manusia, sama halnya dengan nilai
dirinya sendiri, bahkan melebihinya.Sedangkan Syekh Hasan Al-Bannah menyatakan
aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi
ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan
keragu-raguan.
Upaya
Memperkokoh Aqidah
Salah satu cara untuk memperkokoh
aqidah adalah dengan memurnikan keimanan kepada Allah. Iman kepada Allah
merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting kedudukannya
dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar
supaya membuahkan aqidah yang benar pula tentang Allah SWT.
Fungsi dan
Sumber Aqidah
Fungsi Aqidah
Ibaratnya, Aqidah adalah dasar atau
pondasi mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus
semakin kuat dan kokoh pondasi dibuat. Kalau dasar/pondasi lemah, bangunan itu
akan roboh dan ambruk. Tak ada bangunan tanpa dasar/pondasi.
Dalam ajara Islam,
Aqidah-Akhlaq-Syari’ah (Ibadah dan Muamalah), tidak bisa dipisahkan, satu sama
lain saling terkait.
Jika seseorang memiliki aqidah yang
kuat pasti memiliki akhlaq yang mulia, melaksanakan ibadah sebagaimana tuntunan
dan bermuamalah sebaimana di syari’atkan Allah SWT. Juga, jika seseorang
berakhlaq mulia, pasti ia kuat aqidahnya, ibadahnya dan bermuamalahnya-pun
bagus dan seterusnya.
Sumber Aqidah Islam adalah Al-Qur’an
dan as Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an
dan oleh Rasulullah SAW dalam as Sunnahnya, wajib di imani (diyakini dan
diamalkan).
SYARI’AH
Pengertian syariah
Syariah
ialah apa-apa yang disyariatkan atau dimestikan oleh agama atau lainya itu bagi
seseorang untuk dilaksanakan ,berupa peraturan-peraturan dan hukum-hukum
sebagai manifestasi atau konsekuensi dari akidah yang dianut.Demikian arti
syariah secara umum.
Apa
pula yang dikatakan syariah islam?
Syariat
islam adalah apa-apa yang disyariatkan Allah terhadap semua hamba-Nya ,berupa
sunnah atau peraturan –peraturan dan hukum-hukum untuk dilaksanakan dan
diamalkan debagai perwujudan ,manifestasi dan konsekuensi dari akidah yang
dianut,yaitu akidah islam.yang sebenarnya menurut peraturan,tidak sah pemakaian
syariah itu kepada yang bukan peraturan Islam ,karena kata syariah itu hanya
terdapat dalam islam yang tertera dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul.[2]
Syariah (berarti jalan besar) dalam makna generik adalah
keseluruhan ajaran Islam itu sendiri (42 :13). Dalam pengertian teknis-ilmiah
syariah mencakup aspek hukum dari ajaran Islam, yang lebih berorientasi pada
aspek lahir (esetoris). Namum demikian karena Islam merupakan ajaran yang
tunggal, syariah Islam tidak bisa dilepaskan dari aqidah sebagai fondasi dan
akhlaq yang menjiwai dan tujuan dari syariah itu sendiri.
Syariah memberikan
kepastian hukum yang penting bagi pengembangan diri manusia dan
pembentukan dan pengembangan masyarakat yang berperadaban (masyarakat madani).
Syariah meliputi 2 bagian utama :
1) Ibadah ( dalam arti khusus), yang membahas
hubungan manusia dengan Allah (vertikal). Tatacara dan syarat-rukunya terinci
dalam Quran dan Sunah. Misalnya : salat, zakat, puasa
2) Mu'amalah, yang membahas hubungan
horisontal (manusia dan lingkungannya) . Dalam hal ini aturannya
aturannya lebih bersifat garis besar. Misalnya munakahat, dagang, bernegara,
dll.
Syariah Islam secara mendalam dan mendetil dibahas dalam
ilmu fiqh.
Dalam menjalankan syariah Islam, beberapa yang perlu menjadi
pegangan :
a) Berpegang teguh kepada Al-Quran dan
as Sunnah (24 :51, 4:59) menjauhi bid'ah (perkara yang diada-adakan)
b)
Syariah Islam telah memberi aturan yang jelas apa yang halal
dan haram (7 :33, 156-157), maka : Tinggalkan
yang subhat (meragukan). Ikuti yang
wajib, jauhi yang harap, terhadap yang didiamkan jangan bertele-tele.
c) Syariah Islam diberikan sesuai
dengan kemampuan manusia (2:286), dan menghendaki kemudahan (2 :185, 22 :78).
Sehingga terhadap kekeliruan yang tidak disengaja & kelupaan diampuni
Allah, amal dilakukan sesuai kemampuan
d) Hendaklah mementingkan persatuan dan
menjauhi perpecahan dalam syari’ah (3:103, 8:46).
Syari’ah harus ditegakkan dengan upaya sungguh-sungguh
(jihad) dan amar ma'ruf nahi munkar.
Perbedaan Syari’ah dan Fiqh
Sepintas
kita melihat bahwa syari’ah dan Fiqh tidak jauh berbeda, Ilmu Fiqh memang
membahas tentang tata cara beribadah yang termasuk dalam syari’ah. Keduanya ada
untuk saling melengkapi. Namun, tetap ada perbedaan diantara keduanya.
Berikut
ulasannya, Syari’ah terdiri dari dua bagian yaitu:
1. Ibadah yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
2. Muamalah
yang mengatur hubungan dengan sesama dan makhluk lainnya (binatang dan
tumbuhan). Sedangkan Fiqh menurut bahasa berarti ‘paham’ dan secara istilah
adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syari’ah yang berkaitan
dengan perbuatan dan perkataan mukallaf dan mengkaji secara mendalam ilmu
Syari’ah yang terdiri dari ibadah, baik yang bersifat mahdhah maupun
ghairmahdhah. Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks
hukum Islam, makna Syari'ah adalah Aturan yang bersumber dari nash yang
qat'i. Sedangkan Fiqh adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang
zanni.
Ibadah dan Mu’amalah dalam Kehidupan Manusia
Syari’ah
Islam berfungsi membimbing manusia dalam rangka mendapatkan ridha Allah dalam
bentuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Diturunkannya Syariat Islam kepada
manusia juga memiliki “tujuan” yang sangat mulia. Pertama, memelihara atau
melindungi agama dan sekaligus memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih
antara beriman atau tidak, karena, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama
Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256). Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih,
“...Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29). Pada hakikatnya,
Islam sangat menghormati dan menghargai hak setiap manusia, bahkan kepada kita
sebagai mu’min tidak dibenarkan memaksa
orang-orang kafir untuk masuk Islam. Berdakwah untuk menyampaikan
kebenaran-Nya adalah kewajiban. Namun demikian jika memaksa maka akan terkesan
seolah-olah kita butuh dengan keislaman mereka, padahal bagaimana mungkin kita
butuh keislaman orang lain, sedangkan Allah SWT saja tidak butuh dengan
keislaman seseorang.
Yang
kedua, “melindungi jiwa”. Syariat Islam sangat melindungi keselamatan jiwa
seseorang dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat, contohnya hukum
“qishash”. Di dalam Islam dikenal ada “tiga” macam pembunuhan, yakni pembunuhan
yang “disengaja”, pembunuhan yang “tidak disengaja”, dan pembunuhan
“seperti disengaja”. Hal ini tentunya dilihat dari sisi kasusnya, masing-masing
tuntutan hukumnya berbeda. Jika terbukti suatu pembunuhan tergolong yang
“disengaja”, maka pihak keluarga yang terbunuh berhak menuntut kepada
hakim untuk ditetapkan hukum qishash/mati atau membayar “Diyat”(denda). Dan,
hakim tidak punya pilihan lain kecuali menetapkan apa yang dituntut
oleh pihak keluarga yang terbunuh. Berbeda dengan kasus pembunuhan yang
“tidak disengaja” atau yang “seperti disengaja”, di mana Hakim harus
mendahulukan tuntutan hukum membayar “Diyat” (denda) sebelum qishash.
Bahwasanya dalam hukum qishash tersebut terkandung jaminan perlindungan jiwa,
kiranya dapat kita simak dari firman Allah SWT: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al
Baqarah, 2:179).
Yang
ketiga, “perlindungan terhadap keturunan”. Islam sangat melindungi keturunan
diantaranya dengan menetapkan hukum “Dera” seratus kali bagi pezina ghoiru
muhshon (perjaka atau gadis) dan rajam (lempar batu) bagi pezina muhshon
(suami/istri, duda/jand) (Al Hadits). Firman Allah SWT : “Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (An Nuur, 24:2). Ditetapkannya
hukuman yang berat bagi pezina tidak lain untuk melindungi keturunan.
Bayangkan bila dalam 1 tahun saja semua manusia dibebaskan berzina dengan siapa
saja termasuk dengan orangtua, saudara kandung dan seterusnya, betapa akan
semrawutnya kehidupan ini.
Yang
keempat, “melindungi akal”. Permasalahan perlindungan akal ini sangat
menjadi perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw
menyatakan, “Agama adalah akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal),
maka tiadalah agama baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus bisa dengan benar
mempergunakan akalnya. Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa menggunakan
akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang bersangkutan bebas dari
segala macam kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam kondisi lupa,
sedang tidur atau dalam kondisi terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum Allah
hanya berlaku bagi orang yang berakal atau yang bisa menggunakan akalnya.
Betapa sangat luar biasa fungsi akal bagi manusia, oleh karena itu kehadiran
risalah Islam diantaranya untuk menjaga dan memelihara agar akal tersebut tetap
berfungsi, sehingga manusia bisa menjalankan syariat Allah dengan baik dan
benar dalam kehidupan ini. Demikian pula, agar manusia dapat mempertahankan
eksistensi kemanusiaannya, karena memang akallah yang membedakan manusia dengan
makhluk-makhluk Allah yang lain. Untuk memelihara dan menjaga agar akal tetap
berfungsi, maka Islam mengharamkan segala macam
bentuk konsumsi baik makanan, minuman atau apa pun yang dihisap misalnya,
yang dapat merusak atau
mengganggu fungsi akal. Yang diharamkan oleh Islam adalah khamar. Yang disebut
khamar bukanlah hanya sebatas minuman air anggur yang dibasikan seperti dizaman
dahulu, tapi yang dimaksud khamar adalah, “setiap segala sesuatu yang membawa
akibat memabukkan” (Al Hadits).
Keharaman
Khamar sudah sangat jelas, di dalam QS. Al Maidah ayat 90 Allah SWT menyatakan,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al
Maa-idah,5:90) Ayat ini mengisyaratkan, bahwa seseorang yang dalam kondisi
mabuk, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib maka tergolong
syaitan, karena sifat syaitani sedang mengusai diri yang bersangkutan.
Yang
kelima, “melindungi harta”. Yakni dengan membuat aturan yang jelas untuk bisa
menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan
menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. “Laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al Maa-idah, 5:38). Juga peringatan keras
sekaligus ancaman dari Allah SWT bagi mereka yang memakan harta
milik orang lain dengan zalim, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka Jahannam)
(QS. An Nisaa, 4:10).
Yang
keenam, “melindungi kehormatan seseorang”. Termasuk melindungi nama
baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak
dilindungi kehormatannya dimata orang lain dari upaya pihak-pihak lain
melemparkan fitnah, misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan kejahatan.
Karena itu betapa luar biasa Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk
cambuk atau “Dera” delapan puluh kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan
kebenaran tuduhan zinanya kepada orang lain. Allah SWT berfirman: “Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik” (QS. An Nuur, 24:4). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat. Dan bagi mereka azab
yang besar” (QS. An Nuur,24:23). Dan larangan keras pula untuk kita
berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan menggunjing terhadap sesama
mu’min (QS. Al Hujurat,49:12).
Yang
ketujuh, “melindungi rasa aman seseorang”. Dalam kehidupan
bermasyarakat,seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang
pemimpin dalam Islam harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar
masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan
ketakutan”. Allah SWT berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al
Quraisy, 106:4).
Yang
kedelapan, “melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Islam menetapkan
hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap
pemerintahan yang sah yang dipilih oleh umat Islam “dengan cara yang Islami”.
Bagi mereka yang tergolong Bughot ini, dihukum mati, disalib atau dipotong
secara bersilang supaya keamanan negara terjamin (QS. Al Maa-idah, 5:33). Juga
peringatan keras dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Saw
menyatakan, “Apabila datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka
penggallah lehernya”.
AKHLAQ
Pengertian akhlaq
Kata akhlak berasal dari kata
akhlaaqun , jamak taksir dari kata khuluqun yang berarti perangai atau
kesopanan.[3]
Menurut
istilah Akhlak adalah perbuatan manusia yang bersumber dari dorongan jiwanya.[4]
Imam Al-Ghazali mengatakan :Akhlaq adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa(manusia ),yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang
dilakukan;tanpa melalui maksud untuk memikirkan(lebih lama).Maka jika sifat
tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan
norma agama,dinamakan akhlaq yang baik.Tetapi manakala ia melahirkan tindakan
yang jahat,maka dinamakan akhlak yang buruk.[5]
Jenis-jenis
akhlaq
Ulama Ahklaq menyatakan bahwa
akhlaq yang baik merupakan sifat para Nabi dan orang-orang Shiddiq ,sedangkan
akhlaq yang buruk merupakan sifat syaitandan orang-orang yang tercela. Maka
pada dasarnya ,akhlaq itu menjadi dua macam jenis:
1) Akhlaq
baik atau terpuji : yaitu perbuatan baik
terhadap Tuhan ,sesame manusia dan makhluk-makhluk lain;
2) Akhlaq
buruk atau tercela ;yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan ,sesama manusia dan
makhluk-makhluk lain.[6]
Pengertian
akhlaq secara etimologi berasal dari kata khuluq
dan jama’nya adalah akhlaq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku.
Kata akhlaq berakar dari kata khalaqa yang
berarti menciptakan, seakar dengan kata khaliq
(pencipta), makhluk (yang
diciptakan) dan khalaq (penciptaan).
Kesamaan
akar kata diatas mengiyakan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya
keterpaduan antara kehendak khaliq
(Tuhan) dengan prilaku makhluk (manusia).
Atau dengan kata lain, tata prilaku seseorang terhadap orang lain dan
lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang haqiqi jika tindakan atau
prilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq. Dari pengertian etimologi
tersebut diatas akhlaq merupakan tata aturan atau norma prilaku yang mengatur
hubungan antar sesama manusia, dan juga yang mengatur hubungan antar manusia
dengan Tuhan dan dengan alam semesta.
Apabila
kata akhlak dikaitkan dengan kalimat Islam,yang disebut al-Akhlak Islamiyah
atau al-Akhlak al-Karimah maka artinya adalah perbuatan dan tingkah laku yang
terbaik dan terpuji, sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan as Sunnah.
Secara
terminologis, Imam Ghazali mendefinisikan bahwa akhlaq adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan
mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara menurut Imam
Qurthubi akhlaq adalah adab atau tata krama yang dipegang teguh oleh seseorang
sehingga adab atau tata krama itu seakan menjadi bagian dari penciptaan
dirinya.
Akhlaq
terbagi menjadi dua yaitu akhlakul al-karimah (terpuji) dan akhlakul
al-madzmumah (tercela). Menurut objek atau sasarannya, akhlaq juga dapat
terbagi menjadi dua bagian yaitu akhlaq terhadap Khalik atau Pencipta yaitu
Allah SWT dan akhlaq terhadap makhluk. Makhluk adalah segala yang diciptakan
Allah, yang dibagi menjadi dua bagian yaitu manusia dan bukan manusia. Akhlaq
terhadap manusia terdiri dari akhlaq terhadap Nabi dan Rasul, akhlaq terhadap
diri sendiri, akhlaq terhadap keluarga, terhadap masyarakat,
terhadap bangsa dan hubungan antar bangsa.
Akhlaq
terhadap selain manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu terhadap benda mati,
terhadap alam nabati atau flora, dan terhadap alam hewani atau fauna. Ajaran
tentang dasar-dasar agama Islam ini, terjalin rukun agama yang disebut Hadis
Nabi yaitu Hadis Jibril (Iman, Islam, dan Ihsan).
Urgensi Akhlaq
Akhlak
mendapat kedudukan yang tinggi di dalam Islam, hal ini dapat dilihat dari
beberapa sebab antara lain :
1. Islam telah
menjadikan akhlak sebagai illat (alasan) kenapa agama Islam diturunkan. Hal ini
terdapat dalam sabda Rasulullah “Aku
diutus hanyalah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang
mulia” (HR Malik). Sesungguhnya realisasi akhlak yang mulia merupakan
inti risalah Nabi Muhammad saw.
2. Islam
menganggap orang yang paling tinggi darajat keimanannya ialah mereka
yang paling mulia akhlaknya. Dalam hadist dinyatakan “Orang-orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah
yang paling baik akhlaknya, dan manusia yang paling baik di antara kamu
adalah yang paling baik terhadap istrinya” (hadits shahih,
diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi). Selain itu terdapat juga hadist yang
artinya : “Sesungguhnya seseorang yang berakhlak baik akan mendapatkan derajat
orang yang bangun malam (beribadah), dan puasa pada siang harinya”. Jadi, Kemuliaan akhlak menunjukkan
kesempurnaan iman. Kemuliaan akhlak pada akhirnya akan mengantarkan orang-orang
beriman ke dalam surga. Rasulullah saw bersabda, “Yang paling banyak menyebabkan manusia
masuk surga adalah ketaqwaan kepada Allah SWT dan akhlak yang baik, sementara yang paling
banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah mulut dan kemaluan”.
(hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
3. Islam telah
mentakrifkan “Addin” dengan akhlak yang baik. Dalam hadist telah dinyatakan
bahwa telah bertanya kepada Rasulullah SAW. “Apakah Addin itu ? Sabda Rasulullah, akhlak yang baik
Ini berarti bahwa akhlak itu dianggap sebagai rukun Islam samalah
keadaannya dengan wukuf dipandang Arafah
dalam bulan Haji”.Berdasarkan sabda Rasulullah SAW tersebut, Haji itu
(amal haji) ialah wukuf diPadang Arafah, Wukuf di padang Arafah adalah dianggap
sebagai salah satu rukun amal haji, demikian juga keadaannya pada akhlak.
4. Di dalam
Islam, akhlak yang baik merupakan amalan utama yang dapat memberatkan neraca
amal baik di akhirat kelak. Hal ini dinyatakan dalam hadist Rasulullah SAW yang
artinya : “Tidak ada sesuatu yang lebih berat
dalam timbangan selain akhlak yang baik” (Shahih Jami). Dari
hadist tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa timbangan amal baik kita
diakhirat dapat ditambah beratnya dengan akhlak yang baik. Selain itu, akhlak
dan takwa sama kedudukannya dari sudut ini, yang mana kedua-duanya
merupakan perkara paling berat yang diletakkan dalam neraca akhirat.
Selain itu, Rasulullah pernah bersabda, “Kebajikan itu adalah akhlak yang baik” (HR Muslim). Jadi,
akhlak yang mulia adalah inti dari suatu kebajikan.
5. Dalam ajaran
Islam dinyatakan bahwa mereka yang berjaya memenangi kasih sayang Rasulullah
SAW pada hari akhirat ialah orang yang paling baik akhlaknya. Dalam hadist
Rasulullah SAW bersabda “Yang
paling aku kasihi di antara kamu dan yang paling dekat kedudukannya
padaku di hari akhirat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara
kamu”.
6. Keistimewaan
Nabi Muhammad SAW adalah keberadaannya sebagai manusia yang memiliki akhlak
tinggi, mulia dan agung. Akhlak ini dimiliki Beliau SAW
semenjak belum menjadi nabi dan rasul, sebagaimana pernyataan Ummul
Mukminin Khadijahra, “Demi Allah,
Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, demi Allah, engkau menyambung hubungan silaturrahim, berbicara benar,
memikul beban orang lain, membantu yang tidak berpunya, menyuguhkan
penghormatan untuk tamu dan membantu mereka yang terkena musibah”
(HR Bukhari). Selain itu terdapat juga dalam firman Allah Surah Al-Qalam
ayat 4
“Sesungguhnya engkau mempunyai akhlak yang
luhur”. Walau begitu
Beliau SAW tetap sering berdoa “Tuhanku,
tunjukilah aku akhlak yang paling baik”.
7. Syi’ar-syi’ar
ibadah Islam di antaranya dimaksudkan untuk menggapai akhlak yang mulia. Shalat
misalnya, dimaksudkan untuk mentarbiyah dan mendidik manusia agar berhenti
dari segala perbuatan keji dan munkar (QS Al-‘Ankabut: 45). Ibadah puasa
dimaksudkan untuk menggapai tingkatan taqwa (QS Al-Baqarah: 183). Berkaitan
dengan ibadah puasa ini, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan palsu (bohong), maka tidak ada keperluan bagi Allah swt terhadap puasa seseorang yang hanya
sekadar meninggalkan makan dan minum” (HR Bukhari). Zakat,
infak dan sedekah, di antara rahasianya adalah untuk menyucikan dan membersihkan jiwa dari berbagai
sifat buruk dan tercela (QS At-Taubah: 103). Sedangkan ibadah haji
difardhukan oleh Allah agar orang yang beribadah haji terlatih untuk tidak
berkata kotor, tidak berbuat fasik, dan tidak banyak berdebat kusir
(QS Al-Baqarah: 197).
Sumber
Akhlaq
Yang
dimaksud sumber akhlaq adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan
tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Al-Qur’an
dan as Sunnah, bukan akal fikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada
konsep etika dan moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya
sebagaimana pandangan Mu’tazilah.
Dalam
konsep akhlaq, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau
tercela, semata-mata karena Syara’ (Al-Qur’an dan as Sunnah) menilainya
demikian. Kenapa sifat sabar, syukur, pemaaf, pemurah, jujur misalnya dinilai
baik?tidak lain karena syara’ menilai semua sifat-sifat itu baik. Begitu juga
sebaliknya, kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya
dinilai buruk? Tidak lain karena Syara’ menilainya demikian.
Akhlak Dalam Kehidupan Manusia
1. Akhlak kepada Allah
a) Mensyukuri nikmat Allah (QS Al-Baqarah,
2: 52)
b) Malu berbuat
dosa (QS An Nahl: 19)
c) Allah sebagai tempat pengharapan (QS Al Huud: 56)
d) Optimis
terhadap pertolongan Allah (QS Yusuf: 87)Yang berputus asa dari rahmat Allah :
orang-orang kafir. Bersifat husnudzan kepada Allah (QS Fushilat: 22 ± 23)
e) Yakin akan janji-janji Allah (QS Al An’am: 160)
2. Akhlak kepada diri sendiri
Beberapa cara memperbaiki diri:
a) Taubatun
nashuha (QS At Tahrim: 8)
b) Muroqobah:
senantiasa merasa dalam pengawasan Allah (QS Al-Baqarah: 235)
c) Muhasabah:
evaluasi diri (QS Al Hasyr: 18)
d) Mujahadah: bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (QS Al ankabut: 69,
QSYusuf: 53)
3. Akhlak kepada orang lain
a. Akhlak
kepada orang tua:
Taat dan patuh kepada orang tua. QS
Lukman: 15, Harus taat dan patuh pada orang tua,namun jika orang tua memaksa
berbuat jahat, kita tidak boleh mengikuti.
4. Akhlak kepada masyarakat
a) Amar ma’ruf nahi munkar.
b) Menyebarkan
rahmat dan kasih sayang.
5. Akhlak
kepada lingkungan
a) Mengelola
dan memelihara lingkungan hidup.
b) Menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup.
BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Jadi, perbedaan antara aqidah,
syari’ah, dan akhlak adalah aqidah yang merupakan pegangan seorang muslim dalam
meyakini dan mengimani Allah SWT dan Islam. Syari’ah sebagai jalan, aturan, dan
tindakan konkret berupa ibadah kepada Allah SWT setelah meyakini dan
terbentuknya aqidah yang benar. Akhlak adalah perilaku, kebiasaan, dan budi
pekerti sebagai aplikasi aqidah dan syari’ah dalam kehidupan sehari-hari.
1.2. Saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih
banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan
penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan
masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR
PUSAKA
1. Drs.
Mahjuddin M.Pd.I ,Akhlaq Tasawuf
Mu’jizat Nabi,Karamah Wali dan Ma’rifah Sufi Jakarta:kalam mulia ,2009
2. Sayid
Sabiq,Aqidah Islam,Bandung:c.v.DIPONEGORO,1986
3. K.H. Zainal
Arifin Djamaris,Islam Aqidah dan Syariah
jilid1 Jakarta :PT Raja Grafindo persada,1996.
[3]
Drs.H. Mahjuddin,M.Pd.I ,AKHLAQ TASAWUF I .Jakarta ,KALAM MULIA ,2009.1
[4]
Drs.H. Mahjuddin,M.Pd.I ,AKHLAQ TASAWUF I .Jakarta ,KALAM MULIA ,2009.5
[5]
Al-Ghazali ,Ihya ulimiddin,Juz III ,Usaha Keluarga ,Semarang ,tt hal.52
[6]
Drs.H. Mahjuddin,M.Pd.I ,AKHLAQ TASAWUF I .Jakarta ,KALAM MULIA ,2009. Hal.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar