Senin, 27 Juli 2015

Ijtihad



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman rasul. Sepanjang fiqih mengandung pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Secara pasti dapat di ketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas, dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib di pakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya. Disini kami akan membahas tentang masalah-masalah yang bisa terkena ijtihad dan tidak bisa terkena ijtihad karena tidak semua masalah dapat di selesaikan dengan cara berijtihad

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa Objek Ilmu Fiqih?
1.2.2        Apa Pengertian Ijtihad?
1.2.3        Objek Masalah yang Bisa Terkena Ijtihad?
1.2.4        Objek Masalah yang Tidak Bisa Terkena Ijtihad?

1.3  Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui Apa Objek Ilmu Fiqih
1.3.2        Untuk Mengetahui Apa Pengertian Ijtihad
1.3.3        Untuk mengetahui Apa Saja Objek Masalah yang Bisa Terkena Ijtihad
1.3.4        Untuk mengetahui Apa Saja Objek Masalah yang Tidak Bisa Terkena Ijtihad        


1.4   Manfaat
1.4.1        Memberikan Pengetahuan Tentang Pengertian Ilmu Fiqih
1.4.2        Memberikan Pengetahuan Tentang Pengertian Ijtihad
1.4.3        Memberikan Pengetahuan Tentang Objek Masalah yang Bisa Terkena Ijtihad
1.4.4        Memberikan Pengetahuan Tentang Objek Masalah yang Tidak Bisa Terkena Ijtihad

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Objek Ilmu Fiqih
Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqih adalah perbuatan mukalaf dilihat dari hukum syarat perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah, muamalah-muamalah dan ‘uqubah
      Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti sholat, puasa, haji dan lain sebagainya.
      Bagaian muamalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah dan harta peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.
      Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, pemberontakan, dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman seperti qishosh,had, diyat, dan ta’zir.[1]
      Untuk lebih jelasnya masalah yang menyangkut bidang ibadah, mu’amalah, dan uqubah itu adalah:
a.       Masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan sholat, puasa, zakat, haji, jihad dan nazar;
b.      Masalah yang berkaitan dengan hukum kekeluargaan seperti, perkawinan (nikah), talaq, ruju’, nafkah, wasiat, warisan (harta pusaka);
c.       Masalah-masalah yang terkena dengan mu’amalah madaniyah seperti buyu’ (jual beli), hutang piutang, sewa menyewa, gadai, syuf’ah, hawalah, melaksanakan amanah, memenuhi akad dan sebagainya;
d.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeliharaan harta pada baitul mal;
e.       Masalah-masalah yang berkaitan dengan tindak pidana (‘uqubat) yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan pemeliharaan dan perlindungan jiwa manusia seperti qishah, had dan ta’zir;
f.       Masalah-masalah dengan hukum acara, gugatan, peradilan, saksi, sumpah dan sebagainya;
g.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan negaranya atau yang disebut hukum tata negara seperti imamah, sarat-sarat menjadi kepala negara, hak dan kewajiban penguasa, hak dan kewajiban rakyat, permusyawaratan dan sebagainya;
h.      Masalah-masalah ynag berkaitan dengan hubungan manusia dengan masyarakat internasional, ini lazim disebut dengan hukuman internasional, sebagai contoh misalnya masalah hubungan kerja sama antar negara, masalah perang dan damai, lawanan, rampasan, jizyah, perjanjian antar negara dan lain sebagainya.
Metode yang dipergunakan dalam ilmu fiqih ini ialah dengan mempelajari dan memahami permasalahan yang tumbuh dalam kehidupan manusia dan masyarakat, kemudian mengkaitkan masalah itu dengan nash yang ada didalam Al-qur’an maupun hadits Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal masalah yang ada nashnya secara jelas didalam Al-qur’an dan hadits, maka masalah ini tidak menjadi persoalan karena nashnya sudah ada langsung diterapkan terhadap permasalahan yang tumbuh tersebut. Akan tetapi terhadap permasalahan yang nashnya bersifat umum, ijtihad, berdasarkan kepada nash-nash yang ada.[2]

2.2  Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al- juhud, yang berarti al-masyaqat (kesulitan atau kesusahan) dan ath- thaqat (kesanggupan atau kemampuan ). Dalam  Al-Quran disebutkan.
وَالّذِ يْنَ لَمْ يَجِدُوْنَ اِلاَّ جُهْدَ هُمْ (التوبة)
“Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk di sedekahkan) selain kesanggupan”. (QS. At-Taubah : 79)
Kata al-jahd  beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang di lakukan lebih dari biasa dan sulit untuk di laksanakan atau di senangi. Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
صَلُّوْا عَلَيَّ وَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ
Artinya : Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.
Ijtihad adalah masdar dari fi’il madhi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada ja-ha-da menjadi ijtihada pada wazan if-ta-‘ala berarti “usaha itu lebih sungguh-sungguh” seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh” oleh sebab itu ijtihad berarti usaha keras atau pengarahan daya upaya. Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu sebaliknya, suatu usaha yang di lakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak di sebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa ar-ra’y atau at-tafkir.

2.3  Masalah yang Bisa Terkena Ijtihad
         Ulama  telah  bersepakat  bahwa  ijtihad  dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan  membawa  rahmat  manakala  ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan  dan  dilakukan  di  medannya  (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
1.       Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2.      Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3.       Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4.      Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya  kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang  telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
Sedangkan  masalah yang bisa di ijtihad di lihat dari sumber Al-Qur’an dan hadits
 Ijtihad bisa di pandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Yang  menjadi landasan di bolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat di antaranya:
1.     Firman Allah SWT :

اِنَّا اَنْزَلْنَا اِليْكَ الْكِتَابَ بِلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا اَرَاكَاللهُ (النّساء :
Artinya : sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allahh mengetahui kepadamu.
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.
اِنَّ فِى ذَلِكَ لَايَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.
2.      Adanya keterangan dari sunnah, yang membolehkan berijtihad di antaranya:
Hadits yang di riwayatkan oleh umar:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهِدُ  فَاَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانَ وَاِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدُ ثلُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ

Artinya : jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.
Dan hadits muadz ibnu jabal ketika rasulullah SAW mengutusnya ke yaman untuk menjadi hakim di yaman.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِمُعَادٍ : بِمَ تَقْضِيْ ؟ قَالَ : بِمَا فِى كِتَابِ اللهِ. قَالَ : فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِيْ بِمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ : فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا قَضَا بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَ : اَجْتَهِدُ بِرَأْيِ. قَالَ : اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِهِ.

Artinya : Rasulullah SAW bertanya , “dengan apa kamu menghukum?” ia menjawab , “dengan apa ang ada dalam kitab Allah , bertanya rasulullah , “jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah ?” dia menjawab “aku memutuskan dengan apa yang di putuskan Rasulullah”, rasul bertanya lagi , “jika tidak mendapatkan dalam ketetapan rasulullah ?” berkata mu’adz, “aku berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda , “aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari rasulnya”
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah rasul.

2.4  Masalah yang Tidak Bisa Terkena Ijtihad
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1.       Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas. "Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.

2.      Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).
         Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur  dengan  sendirinya  apabila  hasil  ijtihad  itu berlawanan  dengan  nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash.
 
BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Dari beberapa materi yang telah ada kelompok kami dapat menyimpulkan bahwa tidak semua masalah dapat di selesaikan melalui ijtihad , di bawah ini merupakan beberapa alasan masalah yang bisa di ijtihad :
1.      Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2.      Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3.       Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4.      Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).

Sedangkan masalah yang tidak bisa di ijtihad di antaranya :
1.      Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
2.      Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).

DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul Wahab. ilmu ushul fiqih. Kuwait: Dar Al-qolam, 1972.
Mujtaba, Saifuddin. ilmu fiqih sebuah pengantar. STAIN JEMBER PRESS, 2012.
Syafe’i, Rachmad . ilmu ushul fiqih. CV PUSTAKA SETIA, November 2012.
Tim Depak, Pengantar ilmu fiqih. Jakarta: Depag, 1981.
www.Hasanal-banna.com /mutaghoyyirot –dalam – masalah ijtihad dan taqlid/.



[1] Abdul Wahab Khalaf, ilmu ushul al-fiqh, 12
[2] Tim Depag, Pengantar ilmu fiqih, 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar