BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Telah kita ketahui bahwa ijtihad
telah berkembang sejak zaman
rasul. Sepanjang fiqih
mengandung pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf. Maka ijtihad akan terus
berkembang. Perkembangan
itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk
maupun macamnya. Secara
pasti dapat di ketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya
sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa
terbatas, dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti
sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib di pakai sehingga setiap kasus
ada ijtihad mengenainya. Disini kami akan membahas tentang masalah-masalah yang
bisa terkena ijtihad dan tidak bisa terkena ijtihad karena tidak semua masalah
dapat di selesaikan dengan cara berijtihad
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa Objek Ilmu Fiqih?
1.2.2
Apa Pengertian Ijtihad?
1.2.3
Objek Masalah yang Bisa Terkena Ijtihad?
1.2.4
Objek Masalah yang Tidak Bisa Terkena Ijtihad?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk
mengetahui Apa Objek Ilmu Fiqih
1.3.2
Untuk Mengetahui Apa Pengertian Ijtihad
1.3.3
Untuk
mengetahui Apa Saja Objek Masalah yang
Bisa Terkena Ijtihad
1.3.4
Untuk
mengetahui Apa Saja Objek Masalah yang
Tidak Bisa Terkena Ijtihad
1.4 Manfaat
1.4.1
Memberikan
Pengetahuan Tentang Pengertian Ilmu Fiqih
1.4.2
Memberikan
Pengetahuan Tentang Pengertian Ijtihad
1.4.3
Memberikan
Pengetahuan Tentang Objek Masalah yang Bisa Terkena Ijtihad
1.4.4
Memberikan
Pengetahuan Tentang Objek Masalah yang Tidak Bisa Terkena Ijtihad
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Objek Ilmu Fiqih
Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam
ilmu fiqih adalah perbuatan mukalaf dilihat dari hukum syarat perbuatan
tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah,
muamalah-muamalah dan ‘uqubah
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada
pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang
dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti sholat, puasa,
haji dan lain sebagainya.
Bagaian
muamalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah dan harta peninggalan. Pada bagian ini
juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.
Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang
menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, perampokan, pencurian,
pemberontakan, dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman
seperti qishosh,had, diyat, dan ta’zir.[1]
Untuk lebih
jelasnya masalah yang menyangkut bidang ibadah, mu’amalah, dan uqubah itu
adalah:
a. Masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan sholat,
puasa, zakat, haji, jihad dan nazar;
b. Masalah yang berkaitan dengan hukum kekeluargaan
seperti, perkawinan (nikah), talaq, ruju’, nafkah, wasiat, warisan (harta
pusaka);
c. Masalah-masalah yang terkena dengan mu’amalah
madaniyah seperti buyu’ (jual beli), hutang piutang, sewa menyewa, gadai,
syuf’ah, hawalah, melaksanakan amanah, memenuhi akad dan sebagainya;
d. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeliharaan
harta pada baitul mal;
e. Masalah-masalah yang berkaitan dengan tindak pidana
(‘uqubat) yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan pemeliharaan dan perlindungan
jiwa manusia seperti qishah, had dan ta’zir;
f. Masalah-masalah dengan hukum acara, gugatan,
peradilan, saksi, sumpah dan sebagainya;
g. Masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan negaranya atau yang disebut hukum tata negara seperti imamah,
sarat-sarat menjadi kepala negara, hak dan kewajiban penguasa, hak dan
kewajiban rakyat, permusyawaratan dan sebagainya;
h. Masalah-masalah ynag berkaitan dengan hubungan manusia
dengan masyarakat internasional, ini lazim disebut dengan hukuman
internasional, sebagai contoh misalnya masalah hubungan kerja sama antar
negara, masalah perang dan damai, lawanan, rampasan, jizyah, perjanjian antar
negara dan lain sebagainya.
Metode yang dipergunakan
dalam ilmu fiqih ini ialah dengan mempelajari dan memahami permasalahan yang
tumbuh dalam kehidupan manusia dan masyarakat, kemudian mengkaitkan masalah itu
dengan nash yang ada didalam Al-qur’an maupun hadits Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal masalah yang ada
nashnya secara jelas didalam Al-qur’an dan hadits, maka masalah ini tidak
menjadi persoalan karena nashnya sudah ada langsung diterapkan terhadap
permasalahan yang tumbuh tersebut. Akan tetapi terhadap permasalahan yang
nashnya bersifat umum, ijtihad, berdasarkan kepada nash-nash yang ada.[2]
2.2 Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd
atau al-
juhud, yang berarti al-masyaqat (kesulitan atau kesusahan) dan ath- thaqat (kesanggupan
atau kemampuan ). Dalam Al-Quran
disebutkan.
وَالّذِ يْنَ
لَمْ يَجِدُوْنَ اِلاَّ جُهْدَ هُمْ (التوبة)
“Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh
(sesuatu untuk di sedekahkan) selain kesanggupan”. (QS. At-Taubah : 79)
Kata al-jahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan
pekerjaan yang di lakukan lebih dari biasa
dan sulit untuk di laksanakan atau di senangi. Dalam pengertian inilah, Nabi
mengungkapkan kata-kata:
صَلُّوْا عَلَيَّ
وَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ
Artinya : Bacalah shalawat padaku dan
bersungguh-sungguhlah dalam
berdoa.
Ijtihad adalah masdar dari fi’il madhi ijtahada. Penambahan
hamzah dan ta’ pada ja-ha-da menjadi ijtihada pada
wazan if-ta-‘ala berarti “usaha itu lebih sungguh-sungguh” seperti
halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat
dan sungguh-sungguh” oleh sebab itu ijtihad berarti usaha keras atau pengarahan
daya upaya. Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan
atau memperoleh sesuatu sebaliknya, suatu usaha yang di lakukan tidak maksimal
dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak di sebut ijtihad, melainkan
daya nalar biasa ar-ra’y atau at-tafkir.
2.3 Masalah yang Bisa Terkena
Ijtihad
Ulama telah bersepakat
bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad
ditolerir, dan akan membawa
rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan di medannya
(majalul ijtihad). Lapangan atau
medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
1.
Masalah-masalah
baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah
secara jelas.
2.
Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3.
Nash-nash
Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4.
Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly
(kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita
melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah
kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua
pihak.
Sedangkan masalah yang bisa di ijtihad di lihat dari
sumber Al-Qur’an dan hadits
Ijtihad
bisa di pandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Yang
menjadi landasan di bolehkannya ijtihad
banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat di
antaranya:
1.
Firman Allah
SWT :
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِليْكَ الْكِتَابَ بِلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ
بِمَا اَرَاكَاللهُ (النّساء :
Artinya : sesungguhnya kami turunkan
kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi
di antara manusia dengan apa yang Allahh mengetahui kepadamu.
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan
qiyas.
اِنَّ فِى ذَلِكَ لَايَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya
: sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.
2. Adanya keterangan dari sunnah, yang membolehkan
berijtihad di antaranya:
Hadits yang di riwayatkan oleh umar:
اِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهِدُ فَاَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانَ وَاِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدُ ثلُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ
Artinya : jika seorang hakim menghukumi
sesuatu dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.
Dan hadits muadz ibnu jabal ketika
rasulullah SAW mengutusnya ke yaman untuk menjadi hakim di yaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِمُعَادٍ : بِمَ تَقْضِيْ ؟ قَالَ : بِمَا فِى كِتَابِ
اللهِ. قَالَ : فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِيْ بِمَا قَضَى
بِهِ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ : فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا قَضَا بِهِ رَسُوْلُ
اللهِ ؟ قَالَ : اَجْتَهِدُ بِرَأْيِ. قَالَ : اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ
رَسُوْلِهِ.
Artinya : Rasulullah SAW bertanya
, “dengan apa kamu menghukum?” ia menjawab , “dengan apa ang ada dalam kitab
Allah , bertanya rasulullah , “jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah ?” dia menjawab
“aku memutuskan dengan apa yang di putuskan Rasulullah”, rasul bertanya lagi ,
“jika tidak mendapatkan dalam ketetapan rasulullah ?” berkata mu’adz, “aku
berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda , “aku bersyukur kepada
Allah yang telah menyepakati utusan dari rasulnya”
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat
setelah nabi wafat. Mereka
selalu berijtihad jika
menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah
rasul.
2.4 Masalah yang Tidak Bisa
Terkena Ijtihad
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1.
Hukum Islam
yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy
(ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah
atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
Atas dasar itu
maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah
hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan
tegas. "Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara
kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan
al-Qur'an.
2.
Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui
mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga
macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan
sendirinya apabila hasil ijtihad
itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,"Tidak ada ijtihad dalam melawan
nash.
BAB
III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari
beberapa materi yang telah ada kelompok kami dapat menyimpulkan bahwa tidak
semua masalah dapat di selesaikan melalui ijtihad , di bawah ini merupakan
beberapa alasan masalah yang bisa di ijtihad :
1.
Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2.
Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3.
Nash-nash
Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4.
Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly
(kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Sedangkan masalah yang tidak bisa di ijtihad di
antaranya :
1.
Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau
Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul
fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi
al-dlarurah."
2.
Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui
mujtahid).
DAFTAR
PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab. ilmu ushul fiqih. Kuwait:
Dar Al-qolam, 1972.
Mujtaba,
Saifuddin. ilmu fiqih sebuah pengantar. STAIN JEMBER PRESS, 2012.
Syafe’i,
Rachmad . ilmu ushul fiqih. CV PUSTAKA SETIA, November 2012.
Tim
Depak, Pengantar ilmu fiqih. Jakarta: Depag, 1981.
www.Hasanal-banna.com /mutaghoyyirot
–dalam – masalah ijtihad dan taqlid/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar