Senin, 27 Juli 2015

Studi Hadits



BAB I
  PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Islam diyakini oleh penganutnya sebagai agama yang memiliki nilai dan ajaran yang universal , yang di hadirkan sebagai prinsip dasar bagi umat islam dalam kehidupan mereka serta untuk mensikapi realitas kehidupan dalam berbagai dimensinya pada segala ruang dan waktu . universalisme islam tersebut sangat terkait erat dengan keberadaan al-Qur’an sebagai sumber pokok yang bersifat ilahi , sunnah rasul yang datang dari nabi muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai pembawa risalah islam . dan biasanya segala yang berkaitan dengan tingkah laku dan perkataan rasul bisa di sebut sebagai hadits , dan fungsi dari hadits sebagai penguat dari hukum-hukum yang bersumber dari al-Qur’an oleh sebab itu dalam makalah ini kami akan sedikit memaparkan tentang hadits / al sunnah , atsar kedudukannya terhadap syariat islam dan pembukuannya . 

1.2.Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian al-hadits/ al-sunnah?
2)      Apa pengertian atsar?
3)      Apa pengertian hadits qudsi?
4)      Bagaimana kedudukan al-sunnah dalam syariat Islam?
5)      Apa fungsi al-sunnah terhadap al-qur’an?
6)      Bagaimana sistem pembukuan al-sunnah?
1.3.Tujuan
1)      Mengetahui pengertian al-hadits/ al-sunnah
2)      Mengetahui pengertian atsar
3)      Mengetahui pengertian hadits qudsi
4)      Mengetahui kedudukan al-sunnah dalam syariat Islam
5)      Mengetahui fungsi al-sunnah terhadap al-qur’an
6)      Mengetahui cara/ sistem pembukuan al-sunnah
1.4.Manfaat
Setelah membaca pengertian al hadits / as-sunnah , atsar serta kedudukan dan bagaimana cara pembukuannya pembaca jadi lebih memahami lebih banyak  sumber-sumber hukum yang ada di dalam agama islam selain al-Qur’an .

 BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Hadits atau as-sunnah
Berdasarkan definisi tersebut, Sunnah atau Hadits dapat Untuk menyebut apa yang berasal dari nabi muhammad , setidaknya ada dua istilah populer di kalangan masyarakat islam yakni al sunnah dan al hadits . dua istilah ini terkadang masih di anggap kurang definitif sehingga masih perlu di pertegas lagi menjadi hadits nabi dan sunnah nabi atau rasul . di luar dua istilah itu masih terdapat istilah lain yakni khabar dan atsar . hanya saja dua istilah terakhir ini nampak nya kurang berkembang .
Di tinjau dari sudut kebahasaan , kata al sunnah dan al hadist memiliki arti yang berbeda , al hadits secara bahasa berarti al jadid (baru) antonim dari kata al qadim (lama)[1] sedangkan kata al sunnah berarti at thariqah (jalan) baik yang terpuji maupun yang tercela[2]
dibagi tiga bagian:
1)      Sunnah Qauliyah yaitu Sunnah dalam bentuk perkataan atau ucapan Rasulullah SAW.Yang menerangkan hukum-hukum, tata cara, atau maksud ayat-ayat al-qur’an.
2)      Sunnah Fi’liyah yaitu Sunnah dalam bentuk perbuatan yang menerangkan cara meleksanakan ibadah seperti sholat, wuduk, manasik haji, dll.Dalam hal ini Rasulullah hanya bersabdah.Contoh ; “Sholatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat cara aku melaksanakan sholat.” (H.R.Bukhari)
3)      Sunnah Taqririyah yaitu ketetapan Rasulullah atau diamnya terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya, atau Nabi membiarkannya, tidak menegur atau melarangnya.Contoh, ketika Rasulullah dan para sahabatnya pulan dari suatu peperangan, di perjalanan mereka istirahat.Di tengah istirahat Rasulullah melihat para sahabatnya sedang membakar binatang biawak  lalu memakannya.Rasulullah diam membiarkannya. Diamnya Rasulullah terhadap perbuatan para sahabatnya, berarti mengizinkannya, artinya perbuatan itu diperbolehkannya.
Merujuk pada definisi tersebut nampak bahwa sunah atau hadits mempunyai pengertian yang sangat kompleks yakni mencakup segala riwayat yang berasal dari rasulullah berupa perkataan,perbuatan , taqrir, baik pada masa sebelum di angkatnya beliau sebagai rasul maupun sesudahnya (qobla nubuwwat maupun ba’da nubuwwat) .
Menurut muhadditsun hadits adalah riwayat-riwayat dari rasul dan setelah beliau di angkat menjadi rasul (ba’da nubuwwat)[3] dengan demikian pengertian hadits lebih sempit ketimbang pengertian sunnah yang cakupannya meliputi segala apa yang di riwayatkan nabi , baik sebelum bi’tsah (pengangkatan) maupun sesudahnya
  Menurut ulama ushul , hadits dan sunnah merupakan dua istilah yang berlainan pengertiannya. Bagi ahli ushul pengertian sunnah adalah[4]  : segala sesuatu yang datang dari nabi SAW selain Al-Qur’an baik berupa perkataan perbuatan atau taqrire yang bisa di jadikan sebagai dasar menetapkan hukum syara’
 Sedangkan menurut Fuqaha menggunakan istilah sunnah untuk menunjukkan salah satu bentuk atau sifat dari hukum islam , yakni suatu perbuatan yang hukumnya boleh di tinggalkan namun lebih utama di laksanakan .  
Adanya beragam definisi hadits dan sunnah tersebut merupakan bukti nyata adanya pandangan berbeda antara ahli hadits , ushul fiqih , dan fuqaha . perbedaan itu sebenarnya dapat di pahami karena masing – masing mempunyai kepentingan yang berbeda dalam memandang figur nabi muhammad .
2.2 Pengertian Atsar[5]

Secara etimologi atsar berarti bekas atau sisa. Sedangkan secara terminologi ada 2 pendapat; (1). Atsar sinonim dengan hadis (2). Atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat. Pendapat yang kedua ini mungkin berdasarkan arti etimologisnya. Dengan penjelasan, perkataan sahabat merupakan sisa dari sabda Nabi. Oleh karena itu, perkataan sahabat  disebut dengan atsar merupakan hal yang wajar

2.3 pengertian hadits qudsi
Hadits qudsi adalah hadist yang lafadnya berasal dari Rasulullah, sedangkan maknanya berasal dari Allah melalui ilham atau mimpi. Akan tetapi ada ulama yang menyatakan bahwa hadist qudsi adalah hadist yang lafad dan maknanya dari Allah swt.

2.4.Kedudukan al-Sunnah kedua dalam Syariat Islam[6]
Umat Islam sepakat bahwa Sunnah merupakan sumber kedua ajaran islam setelah al-qur’an, meski di kalangan imam  madzhab ada perbedaan dalam penentuan syrat penerimaannya. Doktrin Islam yang belum di jelaskan rincian hukumnya, tidak dijelaskan atau tidak di khususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dengan sunnah atau hadits. Berkaitan dengan sunnah sebagai sumber kedua ajaran islam, di bawah al-Qur’an, al-Syatibi memberikan argument sebagai berikut:[7]
1)      Al-qur’an bersifat qath’I al-wurud, sedangkan sunnah bersifat zhanni al-wurud- selain hadits mutawattir.
2)      Sunnah atau Hadits adakalanya menerangkan sesuatu yang masih global dalam al-Qur’an, kadangkala memberi komentar terhadap al-Qur’an, kadangkala membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan oleh al-qur’an.
3)      Di dalam hadits sendiri terdapat penegasan bahwa hadits atau sunnah menduduki posisi yang kedua setelah al-Qur’an.
Kedudukan sunnah sebagai sumber kedua dari ajaran Islam sebenarnya telah tercantum dalam Qs.an-Nisa’:59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlahkepada Allah danrasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an)  danrasul(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebihutama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat tersebu tmenunjukkan bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul berarti perintah taat pada al-Qur’an dan sunnah,[8] yang keduanya senantiasa saling berkaitan.

2.5   Fungsi As-sunnah terhadap Al-Qur’an
 Hadits – hadits nabi dalam kaitannya dengan Al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai berikut :
a.       Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah di tentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama sama menjadi sumber hukum . misalnya dalam Al-Qur’an di sebutkan bahwa Allah mengharamkan bersaksi palsu :
وَجتَنِبُو قَولَ الزُّور (الحج : 30)
Dan jauhilah perkataan dusta (QS al hajj : 30)

Kemudian nabi dengan haditsnya menguatkan :
اَلاَ اُنَبِّئُكُم بِاكبَرِ الكَبَائِرِ ؟ قُلنَا : بَلَى , يَا رَسُولَ الّلهِ ! قَالَ : الاِشرَاكُ بِالّلهِ , وعُقُوقُ الوَا لِدَينِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ : اَلاَ وَقَول الزُّور (متفق عليه)
perhatikan ! aku akan memberitahukan kepadamu sekalian tentang dosa yang paling besar . sahut kami : baiklah, hai Rasulullah . “beliau meneruskan sabdanya : 1. Musyrik kepada Allah; 2. Menyakiti kedua orang tua . saat itu rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi : awas ! berkata (bersaksi) palsu (HR. Bukhari dan muslim)

b.      Memberikan perincian dan penafsiran ayat ayat Al-Qur’an yang masih mujmal/global (bayan al-Mujmal) , memberikan batasan terhadaap hal yang masih belum terbatas di dlam Al-qur’an (taqyid Al-mutlaq) , memberikan taqhsish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-qur’an yang masih bersifat umum (taqsish Al-A’lam) dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di dalam al=Qur’an (taudlih al-musykil)
Contoh bayan al-mujmal
Di dalam Al-Qur’an hanya di sebutkan secara global tentang perintah solat dan zakat .
وَاَقِمُ الصّلاَةَ وَاَتُوا الزَّكَاة (البقرة : 43)
Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat..
Tetapi di dalamnya belum di jelaskan kaifiyat (cara-cara) menjalankan shalat, jumlah rakaat dalam shalat, nishab-nishab zakat dan sebagainya, secara terperinci
صَلُّوا كَمَا رَاَيتُمُونِى اُصَلىِ
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku sedang menjalankan shalat
Contoh taqyid Al-mutlaq
Di dalam Al-Qur’an di sebutkan tentang ketentuan anak dapat mempusakai harta orang tuanya dan keluarganya sebagai berikut :
يُوصِيكُمُ ا لّلهُ فِي اَولاَدِكُم للذَّ كَر مِثلُ حَظِّ الاُنثَيَي
Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan (QS. An-nisa’: 11)
Di dalam ayat tersebut tidak di jelaskan batasan (syarat-syarat) untuk saling pusaka-mempusakai antara mereka. Kemudian hadits mengemukakan batasan (syarat), tidak berlainan agama dan tidak adanya tindakan pembunuhan . sebagaimana sabda nabi :
لاَيَرِثُ المُسلِمُ الكَافِرُالمُسلِمُ (الحديث)
Si muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafirpun tidak boleh mewarisi harta si muslim.
لاَيَرِثُ القَاتِلُ مِنَ المَقتُولِ شَيئَا (الحديث)
Si pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang di bunuh sedikitpun .
Contoh takhshish al-‘am
Nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara umum, sebagaimana tercantum dalam surat al-maidah : 3
حُرِمَت ععَلَيكُمُ المَيتَةُ والدَّمُ وَلَحمُ الخِنجِرِ .
Di haramkan bagimu (memakan) bangkai , darah daging babi dan seterusnya (QS. Al-maidah : 3)
Kemudian hadits memberikan penentuan khusus (pengecualian) bagi macam-macam bangkai dan darah sebagai berikut :
اُحِلَّت لَنَا مَيتَتَانِ وَدَ مَانِ ،فَامَّاالمَيتَتَانِ الحُوتِ والجَرَادُ ، وَاَمَّاالدَّمَان
 فَالكِبَدُ والطِّحَالُ  
Di halalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa (HR. Ibnu majah dan al hakim)
Contoh tauhid al-musykil
Hadits yang menerangkan arti kata الخَيطُ  yang terdapat dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشرَبُوا يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيطُ الاَبيَضُ مِنَ الخَيطِ الاَسوَدِ مِنَ الفَجرِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam , yaitu fajar ...” di dalam hadits di terangkan bahwa yang di maksud الخَيطُ الاَبيَضُ (benang putih) ialah بَيَاضُالنَّهَارِ (terangnya siang) dan yang di maksud dengan الخَيطِ الاَسوَدِ (benang hitam) ialah سَوَادُالّليلِ  (gelapnya malam)
c.       Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tudak di dapati di dalam Al-Qur’an . hal ini berarti bahwa ketetapan hadits itu merupakan ketetapan hukum yang bersifat tambahan atas hal-hal yang tidak di singgung oleeh al-Qur’an dan hukum-hukum atau aturan aturan itu hanya berdasarkan al-hadits semata .


2.6  Sistem pembukuan As-sunnah[9]
Semua ulama dalam islam sepakat akan pentingnya peranan as-sunnah dalam berbagai disiplin  ajaran islam , termasuk tafsir , fiqih dan akhlak serta seterusnya
Penulisan sunnah mengalami penundaan , karena penulisan tersebut di larang oleh nabi SAW sendiri . larangan itu dapat di benarkan dengan alasan sebagai berikut :
a.       Di khawatirkan akan terjadi pembauran antar Al-Qur’an dan as-sunnah, sehingga mengakibatkan perubahan ayat-ayat Al-Qur’an.
b.      Nabi bermaksud menjaga perintah perintah syariah dalam batas batas yang ketat, sehingga beliau tidak menyukai berbagai pertanyaan yang di ajukan kepadanya, tentunya jawaban yang di berikan akan menimbulkan as-sunnah
c.       Bagi Al-Auza’i berpendapat bahwa alasan penundaan penulisan sunah adalah “bahwasanya sunnah sesuatu yang mulia apabila di sampaikan dengan lisan . tetapi, bila di tulis , maka sinarnya akan memudar dan akan jatuh pada tangan-tangan jahil .
d.      Ibnu abdul barr menyatakan bahwa larangan penulisan as-sunnah adalah agar setiap orang tidak mengandalkan pada apa yang mereka tulis tanpa menghafalkannya . sebab jika demikian halnya, kebiasaan menghafal sunnah akan hilang .
e.       Apabila sunnah itu di tulis , maka para sahabat mengalihkan perhatiannya pada penulisan sunnah tersebut daan mengabaikan perhatiannya pada penulisan al-Qur’an
f.       Karena pada zaman nabi SAW para sahabat belum membutuhkan as-sunnah dalam bentuk tulisan, bila mereka membutuhkan hukum sesuatu maka mereka cukup bertanya kepada nabi SAW secara langsung.

Sebagai akibat dari penundaan penulisan as-sunnah tersebut , maka terjadilah kasus-kasus yang sangat membahayakan dalam perkembangan yang berkaitan dengan as-sunnah :
a.       Hilangnya sejumlah hadits yang penting
b.      Penyebaran kebohongan dan kedustaan as-sunnah
c.       Perbedaan antara sesama muslim
d.      Penyebaran ra’yu (ijtihad yang di dasarkan pada dalil-dalil yang shohih)

Dalam proses pentadwinan sunnah dari periode ke periode mengalami beberapa perkembangan mulai zaman nabi sampai pada zaman pembuatan syarah sunnah dengan 7 fase :

 Fase pertama (masa rasulullah) tahun 13SH-11 SH
Fase ini , Nabi sebagai pusat perhatian para sahabat , apapun yang di datangkan dari nabi , baik berupa ucapan , perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi yang di buat pedoman dalam kehidupan para sahabat .
Pada fase pertumbuhan as-sunnah para sahabat belum ada kesiapan untuk menulis sunnah, hanya sebagian sahabat yang di perbolehkan menulisnya , seperti abu syah dan abdullah ibnu amer.
                 

Fase kedua (masa khulafaur rasyidin) tahun 12 H- 40 H
                  Fase ini di kenal dengan fase pembetas dan penyederhanaan periwayat as-sunnah . para sahabat berusaha menghafal dan memahami sunnah nabi kemudian disampaikan pada sahabat yang lain, juga para tabiin .
Cara-cara sahabat dalam meriwayatkan sunnah ada dua macam yang pertama : dengan lafadz asli . yang kedua : dengan makna
Fase ketiga tahun 41 H – akhir abad pertama H
Fase ini di kenal dengan fase pengembangan dan perluasan periwayatan sunnah sebagai akibat dari tidak di bukukannya sunnah , maka pada fase ini para ulama banyak berlawatan ke negeri lain untuk memperoleh sunnah yang tercecer . pada fase ini mulai terdapat pemalsuan sunnah, hal ini di karenakan fitnah di akhir kholifah usman dimana umat islam pecah menjadi tiga bagian yaitu :
1.      Golongan syiah
2.      Golongan khawarij
3.      Golongan jumhur .
Fase keempat permulaan abad kedua hijriah
Dapat di simpulkan bahwa dari fase pertama sampai fase ketiga , as-sunnah di riwayatkan hanya melalui mulut ke mulut dan masing-masing perawi meriwayatkan berdasarkan kekuatan hafalannya .
Sistem pembukuan fase ini masih bersifat temporer, yakni masih berbaur antara sunnah nabi , fatwa fatwa sahabat juga fatwa fatwa tabi’in, sehingga muncullah hadits marfu’, mauquf dan maqthu’ .
Fase ini terdapat pemisahan antara hadits tafsir dengan hadits siroh .pemalsuan hadits pada fase ini semakin meluas , karena terjadi perebutan kekuasaan antara rezim mu’awiyah dan rezim abbasiyah .
Fase kelima (masa pentashhihhan kaidah hadits) awal abad ketiga sampai akhirnya .
Pada fase ini para ulama’ hadits mulai memisahkan mana hadits dan mana fatwa sahabat dan tabi’in , demikian juga memilah-milah mana hadits shaheh, hasan maupun dhaif .
Kitab-kitab hadits yang terkenal keshahehannya fase ini di namakan “al-ushul al-khamsah” yaitu :
a.       Shahih bukhari
b.      Shahih muslim
c.       Shahih abu daud
d.      Sunnah at turmudzi
e.       Sunnah an-nasa’i
f.       Sunnah ibnu majjah (al kutubus sittah)
Fase keenam (masa tahdzib, istidrak, istikhraj, dan penyusunan jawami’, zawaid dan athraf)dari awal abad IV hingga tahun 656 H
Sitematika susunan hadits pada fase keenam ini lebih baik daripada fase-fase sebelumnya , karena upaya ulama fase ini bukan mencari , tapi hanya mengumpulkan dan selanjutnya mensistemasi menurut kehendak sendiri .


Fase ketujuh (tahun 656 H sampai sekarang)
Ciri-ciri fase ini hampir sama dengan fase keenam , hanya saja sekupnya di perluas . misalnya fase keenam mengumpulkan hadits dari kitab bukhari dan muslim , tetapi fase ketujuh mengumpulkan dari beberapa kitab hadits lalu di sistemasi menurut kehendak mualif .
Kecenderungan ulama mutakhkhirin adalah menyusun hadits menurut topik yang dibicarakan , dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Menetapkan masalah yang akan di bahas
b.      Menghimpun hadits hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c.       Menyusun runtutan hadits sesuai denghan masa turunnya , di sertai pengetahuan tentang asbabul wurudnya .
d.      Memahami korelasi hadits-hadits tersebut dalam babnya masing-masing
e.       Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
f.       Melengkapi pembahasan dengan ayat-ayat yang relevan dengan topik tersebut
g.      Memahami hadits – hadits tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun hadits-hadits yang mempunyai makna yang sama .


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Di tinjau dari beberapa pembahasan di atas bahwa sumber-sumber hukum selain al-Qur’an ada hadits/as-sunnah yakni sebagai hukum yang menguatkan hukum yang asli . hadits/as-sunnah itu sendiri merupakan sagala sesuatu yang di rujuk dari nabi Muhammad sebagai sandarannya . as-sunnah menduduki tingkatan yang kedua setelah al-Qur’an sebagai sumber hukum bagi umat islam .


                 














BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Ali mustafa ya’kub , kritik hadits (jakarta: pustaka firdaus,1995)
Louis ma’luf, al-munjid fi al lughat wa al a’lam (beirut: dar al – masyriq, 1986), h.21[1] Lihat, misalnya: ‘ajjaj al- khatib, ushul al hadits ‘ulumuh wa musthahaluh (beirut: dar al-fikr, 1975)
Lihat, misalnya: ‘ajjaj al- khatib, ushul al hadits ‘ulumuh wa musthahaluh (beirut: dar al-fikr,1975)
Mahmud abu rayyah,adlwa’ ala as-sunnah al muhammadiyah (mesir : dar al-ma’rif, 1957)
Mahmud Abu Rayyah, Adlwa’ ala as-Sunnah al-Muhammadiyah (Mesir: Dar al-Ma’arif,1957)

Tadjhab(ed), dimensi-dimensi islam (surabaya : karya abditama,1994)


[1] Ali mustafa ya’kub , kritik hadits (jakarta: pustaka firdaus,1995),h . 32
[2] Louis ma’luf, al-munjid fi al lughat wa al a’lam (beirut: dar al – masyriq, 1986), h.21
[3] Lihat, misalnya: ‘ajjaj al- khatib, ushul al hadits ‘ulumuh wa musthahaluh (beirut: dar al-fikr, 1975), h.19)
[4] Lihat, misalnya: ‘ajjaj al- khatib, ushul al hadits ‘ulumuh wa musthahaluh (beirut: dar al-fikr,1975), h. 27
[5] Tadjhab(ed), dimensi-dimensi islam (surabaya : karya abditama,1994),hal. 130
[6] Mahmud abu rayyah,adlwa’ ala as-sunnah al muhammadiyah (mesir : dar al-ma’rif, 1957), hal 39-40
[7] Mahmud Abu Rayyah, Adlwa’ ala as-Sunnah al-Muhammadiyah (Mesir: Dar al-Ma’arif,1957), h.39-40
[8] Abdul WahabKhalaf, ‘IlmUshul al-Fiqh (Kairo: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah, 1990), h.21
[9] Tadjhab(ed), dimensi-dimensi islam (surabaya : karya abditama,1994),hal. 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar