Selasa, 28 Juli 2015

Fawatih al-suwar

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Al-Qur’an Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah Swt dan ia adalah kitab yang yang selalu dipelihara (Q.S. al-Hijr/15: 9). Dengan jaminan ayat tersebut, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Qur’an saat ini tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah Saw dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat. Al-Qur’an juga menjadi bukti kebenaran Rasulullah Saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap.
Al-Quran sebagai diketahui terdiri dari 114 surat, yang di awali dengan beberapa macam pembukaan (fawatih al-suwar) . Tentang fawatih al-suwar ini, ada yang berusaha menafsirkan makna huruf-huruf tersebut, namun sebagian besar menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt yang mengetahui.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa pengertian fawatih al-suwar?
1.2.2        Apa saja bentuk-bentuk redaksi fawatih al-suwar?
1.2.3        Bagaimana pandangan Ulama tentang fawatih al-suwar?
1.3  Tujuan
1.3.1        Menjelaskan pengertian fawatih al-suwar
1.3.2        Menjelaskan bentuk-bentuk redaksi fawatih al-suwar
1.3.3        Menjelaskan tentang pandangan Ulama tentang fawatih al-suwar
1.4  Manfaat
1.4.1        Mengetahui pengertian fawatih al-suwar
1.4.2        Mengetahui bentuk-bentuk redaksi fawatih al-suwar
1.4.3        Mengetahui tentang pandangan Ulama tentang fawatih al-suwar

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian fawatih al-suwar
Fawatih al-suwar  adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surah, ia merupakan bagian dari ayat Mutasyabihat. Karena ia bersifat mujmal, mu’awwal, dan musykil. Di dalam al-Qur’an terdapat huruf-huruf awalan dalam pembuka surah dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan kemahatahuan-Nya, sehingga kita terpanggil untuk menggali ayat-ayat tersebut. Dengan adanya suatu keyakinan bahwa semakin dikaji ayat al-Qur’an itu, maka semakin luas pengetahuan kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan ilmu tafsir yang kita lihat hingga sekarang ini.[1]
2. 2 Bentuk-bentuk redaksi fawatih al-suwar
            Diantara sekian ayat-ayat al-Qur’an yang telah banyak memicu diskusi dan refleksi dalam sejarah pemikiran islam adalah Huruf muqatta’ah yang menjadi pembuka surah (Fawatih al-suwar) yang terdapat di 29 surah dari 114 surah yang ada dalam al-Qur’an, yeng bentuk redaksinya dapat dijelaskan dalam gambar tabel berikut:
اسم السورة
الاية
رقم السورة
الرقم
البقرة
الم
2
1
ال عمرا ن
الم
3
2
الاعر ف
المص
7
3
يونس
الر
10
4
هود
الر
11
5
يوسف
الر
12
6
الرعد
الر
13
7
ابرهيم
الر
14
8
حجر
الر
15
9
مريم
كهيعص
19
10
طه
طه
20
11
الشعراء
طسم
26
12
النمل
طس
27
13
القصص
طسم
28
14
العنكبو ت
الم
29
15
الروم
الم
30
16
لقما ن
الم
31
17
السجد ة
الم
32
18
يس
يس
36
19
ص
ص
38
20
غا فر
حم
40
21
فصلت
حم
41
22
الشورى
حم
42
23
الزخرف
حم
43
24
الدخان
حم
44
25
الجا ثية
حم
45
26
الاحقا ف
حم
46
27
ق
ق
50
28
القلم
ن
68
29

            Adapun jumlah banyaknya fawatih al-suwar dapat dilihat dalam tabel berikut:
JUMLAH HURUF
NAMA HURUF
BANYAKNYA HURUF
NO
1
ن، ق، ص
3
1
2
حم (7)، طه، طس، يس
10
2
3
الم (6)، الر(5)، طسم (2)
13
3
4
المص، المر
2
4
5
كهيعص
1
5



2.3 Pandangan ulama terhadap fawatih al-suwar
Ketika akan membicarakan fenomena potongan huruf-huruf hijaiyah yang terdapat dalam al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa tidak ditemukan orang Arab yang mengenal ataupun menggunakan gaya bahasa seperti itu dalam permulaan ucapan mereka. Begitu juga kita tidak menemukan satu makna pun bagi huruf-huruf tersebut selain penyebutannya dalam huruf-huruf hijaiyah. Bahkan tak ditemukan satu pun hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah Saw mengenai tafsir huruf-huruf tersebut yang dapat dijadikan pegangan.[2] Barangkali inilah yang menjadi pemicu banyaknya pendapat para ulama dan perbedaan sudut pandang di antara mereka tentang penafsiran huruf-huruf tersebut.
      Secara ringkas, pendapat para ulama dapat dikemukakan ke dalam 2 sudut pandang utama, yakni:
1.     Penafsiran yang memandang huruf-huruf tersebut masuk ke dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah SWT.
2.     Penafsiran yang memandang huruf muqatta’ah yang terdapat pada fawatih al-suwar adalah huruf-huruf yang dapat ditafsiri maknanya.
Pandangan kelompok pertama yang diwakili oleh imam Al-suyuti, dalam menyikapi huruf-huruf hijaiyah yang terletak pada awal surah sebagai ayat-ayat mutasyabihat. Sekelompok Ulama yang termasuk mayoritas muhadditsin me-mauquf-kan maknanya kepada Allah dengan pernyataan “Allah a’lam”, hanya Allah yang maha mengetahui.[3] Mereka meyakini bahwa huruf-huruf yang menjadi pembuka surah (fawatih al-suwar) tersebut merupakan rahasia yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak dapat diterka oleh akal manusia. Demikian pula ahli-ahli hadis menukilkan dari Ibnu Mas’ud (w. 32 H./6523 M.) dan empat Khulafa al-Rasyidin, bahwa mereka berkata:
إنَّ هَذِهِ الْحُرُوْفِ عِلْمٌ مَسْتُوْرٌ وَسِرٌّ مَحْجُوْبٌ اِسْتَأْثَرَهُ اللهُ بِهِ
“Sesungguhnya huruf-huruf ini, adalah ilmu yang tersembunyi dan rahasia yang terdinding, yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya”.[4]
      Karenanya, ulama-ulama yang memaknakan fawatih al-suwar ini, tidak berani memberikan pendapat secara pasti, mereka hanya menyerahkan penafsirannya yang hakiki kepada Allah Swt.
      Kelompok kedua, yang memandang huruf-huruf hijaiyah pada fawatih al-suwar itu sebagai simbol yang mewakili tempat-tempat keluarnya huruf (makhararij al-huruf), seperti alif tempat keluarnya adalah kerongkongan, lam tempat keluarnya adalah lidah, dan mim tempat keluarnya adalah dengan mempertemukan antara bibir atas dan bawah. Dengan demikian alif, lam dan mim adalah huruf-huruf yang makhraj-nya berada diawal, tengah dan akhir yang dapat diartikan bahwasannya sepatutnya awal, tengah dan akhir dari setiap manusia adalah dzikir kepada Allah.[5] Di samping ulama yang berusaha mengungkapkan hikmah yang terkandung di dalam huruf-huruf tersebut, ada pula yang lebih jauh dari itu, yakni mencoba menafsirkan huruf demi huruf karena bagi mereka mustahil Allah Swt menurunkan ayat yang tidak dapat dimengerti artinya.[6] Misalnya, dengan menurut pandapat ibnu Abbas, huruf-huruf yang terdapat di awal surah al-Baqarah (الم) ditafsiri dengan “انا الله اعلم” atau alif ditafsiri “اللهlam ditafsiri “جبريل dan mim ditafsir “محمّد” jadi الم berarti القران مُنَزَّلٌ مِن اللهِ بِلسَانٍ جبريل  [7]على محمّد . Demikian juga dengan huruf-huruf yang terdapat di awal surah-surah yang lain dalam al-Qur’an. Seperti (الر) yang terdapat disurah yunus: 1, Hud: 1, Yusuf: 1, Ibrahim: 1, al-Hijr: 1, diartikan dengan “انا الله ارئ”. (المر) yang terdapat dalam surah al-Ra’d: 1, ditafsiri dengan “انا الله اعلم وارى” demikian juga dengan “المص” yang terdapat di surah al-A’raf: 1 ditafsiri dengan “انا الله اعلم وافصل”.[8] Ada pula ulama yang berpendapat bahwa huruf muqattha’ah tersebut merupakan kunci dari Asma’ Allah (nama-nama Allah). Sehingga berdasarkan pandangan ini maka (كهيعص) yang terdapat dalam surah Maryam: 1, ditafsiri dengan “انا الله الكريم الهادى الحكيم العليم الصادق”, (ق) ditafsiri dengan (القاهر/القادر) dan (ن) ditafsiri dengan (الناصر/النور).[9] Gagasan pemikiran yang dilontarkan oleh kelompok kedua ini mendapat tantangan keras dari para mutakallimin. Mereka menegaskan bahwa merupakan sesuatu yang mustahil apabila ada kalimat dalam al-Qur’an yang tidak dapat dipahami maknanya. Untuk menguatkan pendapatnya mereka berargumentasi dari beberapa ayat al-Qur’an diantaranya:
افلا يَتَدَ بَّرون القرانَ اَم علَى قلوب اقفا لها (محمّد: 24)
افلا يتد برون القران ولو كان مِن عندِ غير الله لَوَجَدوا فيه اختِلا فا كثيرا (النساء: 127)
            Disamping ayat tersebut, mereka juga mengemukakan argumentasi logis yaitu: “Seandainya ada ayat al-Qur’an yang tidak dapat dimengerti maksudnya, maka mengungkapkan ayat tersebut merupakan pengungkapan sia-sia, yang hal itu tidak mungkin dilakukan oleh Allah Swt.[10]
            Namun demikian Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok mutakallimin ini juga ditentang oleh pendukung kelompok kedua diatas. Penolakan mereka terhadap pandangan para mutakallimin didasarkan pada firman Allah yang terdapat didalam surah Ali ‘imran ayat 7.
... وما يعلم تاءويله الا الله والرا سخون فى العلم يقولون امنّا به كل من عند ربّنا...
            Didalam membaca ayat tersebut mereka mewajibkan waqaf setelah lafadz al-jalalahالا الله” sebab seandainya “والرا سخون فى العلم” di ‘atafkan kepada “الا الله” maka niscaya “يقولون امنّا به” menjadi kalimat yang terputus dengan kalimat sebelumnya . hal ini tidak boleh terjadi sebab “يقولون امنّا به” akan menjadi jumlah yang tidak berfaedah.[11] Adapun argumentasi logis yang mereka kemukakan adalah bahwasanya segala perbuatan (ibadah) yang diperintahkan Allah kepada manusia terbagi dua: pertama, sesuatu yang secara global hikmahnya dapat dipahami oleh rasionalitas manusia.[12] Sedangkan yang kedua adalah sesuatu yang hikmahnya tidak dapat diterka oleh manusia yang penuh dengan keterbatasan.[13] Taat dengan beribadah dalam kategori yang pertama belum bisa membuktikan adanya ketundukan yang sempurna kepada sang Maha pencipta. Sebab memungkinkan adanya tendesi lain yang berupa pencapaian kemaslahatan yang dapat dimengerti oleh rasionalitas manusia. Sedangkan taat dengan melakukan perintah dalam kategori yang kedua, dapat membuktikan adanya ketundukan yang sempurna. Sebab dengan tanpa mengetahui hikmah yang jelas dari ibadah yang dilakukan, maka tidak aka nada pretense lain dari ketaatan itu kecuali kepatuhan dan penghambaan secara totalitas kepada yang Maha Mengetahui hikmah.[14]
 
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.      Fawatih al-suwari adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surah, ia merupakan bagian dari ayat Mutasyabihat. Karena ia bersifat mujmal, mu’awwal, dan musykil. Di dalam al-Qur’an terdapat huruf-huruf awalan dalam pembuka surah dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan kemahatahuan-Nya, sehingga kita terpanggil untuk menggali ayat-ayat tersebut.
2.      Fawatih al-suwar adalah huruf-huruf hijaiyah yang dibaca sendiri-sendiri sesuai dengan hurufnya, yang menempati awal surah dari 29 surah yang terdapat dalam al-Qur’an. Ada 13 bentuk fawatih al-suwar yakni: كهيعص، طسم، المص، المر، الر، الم، يس، حم، طس، طه،ص، ن، ق
3.      Terdapat berbagai pandangan ulama tentang fawatih al-suwar tersebut, namun secara garis besar dapat dilihat dari 3 sudut pandang utama yakni; a. Penafsiran yang memandang huruf-huruf tersebut masuk ke dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah SWT dan tidak dapat diterka oleh akal manusia b. Penafsiran yang memandang huruf muqatta’ah yang terdapat pada fawatih al-suwar adalah huruf-huruf yang dapat ditafsiri maknanya.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Abu, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar (Cet III., Jakarta: Amzah, 2009).
Arifin, Abdullah syamsul, Studi al-Qur’an, (Jember: Buku Pena Salsabila 2011).
Al-Baghawy, Abu Muhammad bin Hasan, tafsir al-Baghawiy, Vol.1 (Bairut: Dar           al-kutub al-ilmiyah, 1993).
Al-Baidlawi, Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil, Vol. 1 (Bairut: Dar al-kitab al-ilmiyah, 1998).
Al-Barusiy, Isma’il haqqiy, Tafsir Ruh al-Ma’aniy, Vol. 1 (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.).
Hakim , Muhammad Baqir, Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Nashirul Haq, et. al. dengan judul Ulumul Qur’an (Cet. III; Jakarta: Al-Huda, 2006), 652.
Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Ilmu-ilmu Alqur’an: Media-Media Pokok dalam  menafsirkan al-Qur’an, Cet.II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998.











[1]Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar (Cet III., Jakarta: Amzah, 2009), 89.

[2] Lihat: Muhammad Baqir Hakim, Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Nashirul Haq, et. al. dengan judul Ulumul Qur’an (Cet. III; Jakarta: Al-Huda, 2006), 652.
[3] Lihat: Abu Muhammad bin Hasan al-Baghawy, tafsir al-Baghawiy, Vol.1 (Bairut: Dar al-kutub al-ilmiyah, 1993), 17.
[4] Lihat; T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Alqur’an: Media-Media Pokok dalam Menafsirkan Alqur’an (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998), 128.
[5] Lihat: Al-Baidlawi, Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil, Vol. 1 (Bairut: Dar al-kitab al-ilmiyah, 1998) 14.
[6] Abi Hayyan al-Andalusiy, Tafsir al-Bahr al-Muhit, 157-158
[7] Al-Baidlawi, anwar al-tanzil, 15.
[8] Al-Baghawy, tafsir al-Baghawiy, Vol. 1, 17.
[9] Isma’il haqqiy al-Barusiy, Tafsir Ruh al-Ma’aniy, Vol. 1 (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.) 28.
[10] Al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, 4-5
[11] Ibid, 5.
[12] Mereka mengemukakan bahwa ibadah yang dapat dipahami hikmahnya secara gambling antara lain: shalat, zakat dan puasa. Diantara hikmah shalat adalah untuk merendahkan diri secara tulus kepada sang pencipta, diantara hikmah zakat adalah untuk memenuhi sebagaian dari kebutuhan fakir miskin, sedangkan puasa dimaksudkan upaya melatih diri untuk memerangi hawa nafsu.
[13] Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain amal-amal badaniyah yang terdapat didalam ibadah haji, sperti melempar jumrah, sa’I, tawaf, dan sebagainya.
[14] Al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, 4-5

2 komentar: