Senin, 27 Juli 2015

Pengertian Ritual Islam



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Studi ritual dalam islam merupakan studi yang agak terbengkalai dalam ranah studi islam, padahal islam saangat menekankan aspek ritual, jika studi ritual secara keseluruhan masih relative diabaikan dalam sejarah agama-agama, maka secara tradisonal telah ressive juga. Aspek ritual sangat penting untuk memberikan penjelasan komprehensif dan kontruktif dari makna-makna yang sebenarnya. Dan yang penting juga dilakukan pada kajian ini adalah mengkontruk sebuah perspektif baru dan dengan teori-teori modern sebagai terobosan studi tentang ritual islam komtemporer.
Maka topik yang lebih mendasar dari sudut pandang metodologis adalah bahwa ritual terminologi perlu ada survei menyeluruh seperti ananlisis tentang istilah, konsep, dan idiom ritual yang ditemukan dalam bahasa islam, dan yang berkaitan dengan mereka yang lebih atau kurang universal menggunakan istilah-istilah ilmiah.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa Pengertian Ritual Islam
1.2.2 Bagaimana Teori Studi Ritual dalam Islam
1.2.3 Apa Contoh Model Penelitian Ritual Islam
1.2.4 Bagaimana Praktek Ritual dalam Islam
1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui Ritual Islam
1.3.2 Untuk mengetahui Bagaimana Teori Studi Ritual dalam Islam
1.3.3 Untuk mengetahui Apa Saja Contoh Model Penelitian Ritual Islam
1.3.4 Untuk mengetahui Bagaimana Praktek Ritual dalam Islam
1.4 MANFAAT
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.
 BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ritual Islam
Secara umum, ritual dalam islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti shalat dan ritual yang tidak memiliki dalil dalam Al-Qur’an maupun Sunnah seperti maulid. Selain itu, ritual islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan dapat dibedakan menjadi tiga:
1.        Primer, ritual islam yang wajib dilakukan oleh umat islam. Seperti shalat wajib lima waktu.
2.        Sekunder, ritual islam yang sekunder adalah ibadat shalat sunnah. Seperti bacaan dalam ruku’ dan sujud, shalat tahajjud dan shalat dhuha.
3.        Tersier, ritual islam yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunnah. Seperti anjuran membaca ayat kursi.
   Dari segi tujuan, ritual islam ada dua:
1.      Ritual yang bertujuan mendapatkan ridha Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi.
2.      Ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya shalat istisqa’.

2.2 Teori Studi Ritual dalam Islam
Pergeseran Makna Ibadah Dalam Islam
Menurut Ismail Muhammad, ibadah yang diartikan secara khusus dan sempit merupakan ibadah dalam konteks yang dibatasi hanya pada praktek ritual yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ibadah dalam pengertian ini belum dikenal pada permulaan islam,ia baru diperkenalkan olek ulama fiqh, dengan tujuan mensistemisasi uraian-uraian atau pembagian-pembagian teknis materi pembahasan. Mereka terpaksa memilih aktifitas manusia antara lain dengan memberi nama muamalat (interaksi kemasyarakatan) untuk masalah semacam jual beli, gadai, dan sebagainya. [1]
Dalam masalah muamalah boleh kecuali yang dilarang, sedangkan dalam masalah ibadah semua tidak boleh kecuali yang diperintahkan”.
Popularitas pengertian tersebut mengaburkan makna ibadah.Ibadah dalam pengertian sempit inilah yang sering memperkenalkan suatu agama pada pihak lain karena ia berbeda halnya dengan akidah (kepercayaan) dipraktekkan dalam kehidupan nyata oleh para pemeluk agama sehingga ia dapat menjadi tanda bagi sifat agama dan keberagaman seseorang. Akhirnya shalat, puasa, zakat dan ritual lainnya hanya menjadi pembeda antara muslim dan non-muslim. Ibadah hanya berupa ritual-ritual dan tidak disadari bahwa makna ibadah lebih dalam dari pada memahami ritualnya saja. Dan perlu dipahami bahwa praktek-praktek ritual tersebut bersifat taufiqi (ditetapkan berdasarkan petunjuk/ketetapan Allah dan Rasul-Nya) sehingga ia harus diterima dan dilaksanakan sebagaimana adanya, berbeda dengan halnya muamalah.
Tata cara ibadah yang telah ditetapkan itu harus diterima dan diamalkan sebagai mana adanya,karena keberatan tentang bentuk atau cara tertentu dengan maksud mengubahnya dengan cara lain, akan mendatangkan keberatan-keberatan yang lain oleh pihak-pihak yang baru. Oleh karenanya dikenal dalam fiqh tentang madzhab. Perbedaan-perbedaan dalam madzhab didasari dengan al qur’an dan hadits atau ijma’ dan qiyas. Namun perbedaannya bukan pada perbedaan-perbedaan subtantif dan ritual tersebut. Misalnya puasa, semua ulama sepakat bahwa puasa dinyatakan sah apabila tidak makan dan minum(hal yang menyebabkan ia berbuka) dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Kemudian shalat,shalat harus menggunakan bahasa arab dan suci dari hadats,ritualnya dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan segala yang telah diatur dalam shalat,itu tidak bisa diubah sesuka hati. Perbedaan-perbedaan itu timbul akibat penafsiran Al qur’an dan Alhadits yang memang multi tafsir. Tetapi selagi tidak menghilangkan subtansi ibadah itu sendiri, itu tidak masalah.
Jika kita menanyakan dengan maksud keberatan dalam bentuk-bentuk ibadah dengan akal kita yang terbatas,dapat berarti kita menafikan wahyu. Turunnya wahyu oleh orang terpilih,yakni Rasul,adalah sebuah bukti bahwa adanya hal-hal yang belum dapat dijangkau oleh manusia. Akal kita sesungguhnya tidak berperan dalam menetapkan bentuk-bentuk ibadah. Semua bentuk-bentuk itu diperintahkan oleh Allah,yang hanya manusia yang berfikir saja yang akan menerima hikmahnya.


2.3 Contoh Model Penelitian Ritual Islam
Penelitian agama menempatkan diri sebagai suatu kajian yang menempatkan agama sebagai sasaran/obyek penelitian. Secara metodologis berarti agama haruslah dijadikan sebagai suatu yang riil betapapun mungkin terasa agama itu sesuatu yang abstrak. Dari sudut ini mungkin dapat dibedakan ke dalam tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subyek materi penelitian, yaitu agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh agama dan sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin (Taufik Abdullah, 1989:xii)
Pertama, agama sebagai doktrin. Penelitian agama sebagai suatu doktrin menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang timbul di antaranya: apakah substansi dari keyakinan religius itu, apakah yang diyakini sebagai kebenaran yang hakiki, apa makna Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010 41 ajaran agama itu bagi pemeluknya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mungkin paling berdekatan dengan usaha pencarian kebenaran agama, sebagaimana yang dilakukan oleh pemikir agama dan mujtahid.
Tetapi apabila para mujtahid mengatakan bahwa “inilah ajaran yang sesungguhnya” dan
pemikir mengatakan “inilah sepanjang penelitian saya yang benar”, maka akan terjadi kemandekan satu pemikiran karena pendapat/pemikirannya itu adalah sudah benar dan sempurna. Apabila ulama dan pemikir berpendapat demikian maka akan terjadi kemandekan pemikiran terhadap agama karena mereka sudah mengambil sebuah kesimpulan demikian. Tradisi ilmiah tidak berakhir dengan kepastian dan mendakwahkan diri sebagai penemu kebanaran. Tradisi ilmiah hanya berusaha menemukan apa yang dianggap benar.
Ali Syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran, menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan atau stagnasi dalam pemikiran, peradaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi Aristoteles. Di kala cara melihat masalah obyek itu berubah, maka sains, masyarakat dan dunia juga berubah dan segala akibatnya kehidupan manusia juga berubah (Ali Syari’ati, 1982:39). Dengan demikian kita dapat memahami akan pentingnya metodologi sebagai faktor fundamental dalam renaisans.
Karena bertolak dari keinginan untuk mengetahui dan memahami esensi agama, maka salah satu disiplin ilmu yang paling banyak berkecimpung dalam penelitian agama sebagai satu doktrin ini adalah perbandingan agama. Pengetahuan yang mendalam tentang esensi ajaran agama ini akan mampu meningkatkan pengalaman agama bagi seseorang sehingga pada akhirnya seseorang akan mampu menemukan makna agama bagi manusia itu sendiri. Ilmu perbandingan agama di sisi lain akan juga mampu menciptakan satu tatanan masyarakat agamis yang satu agama dengan agama yang lainnya dapat saling menghormati. Sehingga pada akhirnya kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Makna kerukunan tidak lagi sebatas pada tataran struktural idiologis yang bersifat eksklusif. Dalam penelitian agama sebaga doktrin, studi yang banyak dilakukan adalah bercorak sejarah intelektual atau sejarah
pemikiran dan biografi tokoh agama. Teks-teks keagamaan baik yang wahyu maupun hasil ijtihad/renungan, traidisi serta catatan sejarah merupakan bahan-bahan utama yang digali. Maka di samping filologi dan kritik teks serta ilmu filsafat maka sejarah merupakan disiplin yang memiliki peranan yang sangat penting.
Kategori kedua, adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama kata seorang ahli adalah landasan dari terbentuknya suatu “komunitas kognitif” (ibid, xiv). Artinya agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan hidup dan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula. Hanya dalam komunitas kognitif Islam bahwa Tuhan mutlak satu merupakan pengetahuan yang benar. Tri murti hanya riil di kalangan Hindu, sedangkan kesatuan roh kudus, Jesus dan Tuhan bapa adalah benar di masyarakat Kristen dan seterusnya.
Meskipun berangkat dari suatu ikatan spiritual para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Sebagai satu masyarakat komunitas inipun memiliki tatanan yang berstruktur dan tidak pula terlepas dari dinamika sejarah. Sebagai contoh penelitian kedua ini adalah terjadinya pengelompokan Islam Santri, Priyayi dan Abangan. Ketiga kelompok komunitas muslim ini memiliki corak dan karakteristik yang berbeda. Corak kajian atau penelitian dalam kategori ke dua ini dihuni oleh disiplin-disiplin ilmu sosial – sosiologi, antropologi, sejarah dan lainnya. Kategori ketiga, berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran agama yang dianutnya 42 Islam sebagai Objek Studi dan Penelitian (Suparno)
Dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, sedangkan kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, maka kategori ketiga adalah berusaha untuk mengetahui simbol-simbol dan ajaran agama. Salah satu pernyataan yang sering kita dengar adalah “meskipun tidak shalat dan berpuasa, tetapi jika Islam dihinakan suku bangsa ini akan tampil bergerak untuk membela Islam” artinya meskipun dimensi ritual masyarakat ini rendah namun dimensi keterikatan terhadap sebuah agama sangatlah kuat. Tentu ini hanyalah stereotype saja, tetapi dengan ini kita dapat mengetahui bahwa keterikatan seseorang terhadap agama antara yang satu dengan lainnya adalah tidak sama. Dalam pengertian tidak semua aspek atau dimensi agama mengikat pemeluknya dan tidak sama pula dalam keterikatan dalam beragama.
Sebagai contoh, si Ali lebih shaleh dibandingkan dengan si Amir. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang menyebabkan sikap keberagamaan yang berbeda? Apakah faktor pendidikannya, lingkungannya, status sosialnya ataukah ada faktor yang lainnya? Jadi kategori ketiga ini adalah masalah yang bersifat corak dan tingkatan keberagamaan. Meskipun ilmu-ilmu sosial yang bercorak kualitatif tidak terlalu sulit untuk memperlihatkan hal-hal yang berkaitan dengan keberagamaan ini.
                                                                                                                                           
2.4 Praktek Ritual dalam Islam
1.    Praktek keberagaman di jawa
Kajian islam normatif di jawa, misalnya nakamura dan peacock, pada umumnya memusatkan perhatian pada muslim perkotaan dan kaum modernis,atau aliran islam tradisional yang mewakili ortodoksi, lalu mengabaikan islam sebagaimana dipraktekkan sehari-hari dipedesaan. Untuk itu, informan yang khas dalam hal ini adalah orang yang mahfum dan memiliki artikulasi yang kuat dengan kedudukan dan posisi ideologis yang dapat diformalisasikan secara jelas.[2]
Dalam praktek keberagaman itu, pemisahan agama santri dan non-santri seperti uraian Geertz yang membagi konsisten, dan ambivalen yang tidak dapat ditangkap oposisi kategorial santri versus abangan.
Dikalangan orang asing dan imigran jawa didaerah banyuwangi, tidak perbedaan besar antara santri dan yang lain berkaitan dengan praktek keberagaman, terutama menganai selametan pandangan keagamaan jawa dalam tiga varian : santri, abangan dan priyayi, mengesankan bahwa praktisi ketiganya konsisten dengan identitas masing-masing. Didaerah tengah ini santri hidup berdampingan dengan abangan, suatu gejala yang ingin dibahas, suatu wilayah kompromi, tidak. Barangkali, dikotomi atau trikotomi yang diuraikan Geertz terlalu kasar jika digunakan dalam rangka analitis. Keterkaitan hubungan dapat dipahami dalam konteks kondisi lokal, bukan dalam pengertian tipe-tipe atau kategori-kategori ideal yang menurut definisi adalah satu atau dua langkah menjauhi kompromi realitas sosial. Dalam kehidupan masyarakat desa, setiap orang mengamati tetangganya, tetapi dosa dan pahala yang merupakan tema pokok dalam kehidupan keberagaman adalah urusan masing-masing orang. Misalnya saja pokok penting tentang puasa “adalah anda sendiri yang memperoleh pahala atau ganjaran, tetapi jika anda belajar mengontrol diri dari kemarahan dengan displin diri sendiri maka kehidupan anada akan lebih baik didunia ini”.[3]
Pemahaman muslim tradisional didesa-desa menkankan bahwa agama dan adat istiadat saling melengkapi, sehingga diantara keduanya tidak ada perbedaan, kalaupun ada sifatnya kabur. Puasa misalnya, dilihat sabagai kewajiban agama sekaligus adat. Seperti orang yang beragam karena keturunan, puasa memberikan manfaat kejiwaan, seperti tenaga batin, keamanan dan penguasaan diri. Manfaat ini menjadi pembenaran yang cukup signifikan bagi pelaksanaan ritual semacam puasa, tidak perlu masuk secara lebih dalam ke substansi otoritas scriptural. Ritual pragmatic semacam ini tentu saja terbuka bagi kritik dari sudut pandang yang lain. Dalam pandangan mistik yang reflektif, falasafa yang demikian itu mewujudkan dalam upacara ritual sederhana yang disebut slametan. Penekanan pada aturan dan teknik yang kehilangan makna akan menjadikan ritual tanpa tujuan, bahkan tidak memberikan efek kejiwaan sama sekali. Sebagaiman dikenal, golongan mistik menguraikan prilaku keagamaan pada tahapan-tahapan seperti sarengat dan hakikat, kebenaran mendasar atau makna esoterik karena itu bentuk luar dianggap sebagai inferior bagi makna bagian dalam, akibatnya muslim kejawen yang tata tidak pernah mempersoalkan aturan-aturan baku syari’at.
Dari sini ditegaskan bahwa islam normati dimasyarakat osing pedesaan dipandang sebagai praktek yang hamper tidak berisi doktrin. Bagi orang yang taat, yang melaksanakan shalat lima kali sehari semalam, melaksanakan puasa penuh, selalu berdzikir ditempat peribadatan atau dimanapun. Islam adalah suatu system reskripsi ritual disamping juga sistem kepercayaan yang koheren dan eksplisit. Ditengah masyarakat yang demikian, bila diantara mereka ada yang ingin membicarakan doktrin orang akan dengan cepat melemparkannya keaksioma yang tidak dapat diganggu gugat. Setelah itu dengan cepat kembali lagi ke praktek sosial yang lebih kongkrit tanpa harus mengiringinya dengan pengetahuan secara lebih detail.

2.    Refleksi atas kebergaman
Inti yang terpenting didalam memahami pikiran dan perilaku masyarakat adalah struktur sosial, interaksi sosial dan lembaga-lembaga sosial. Karena itu, untuk mengetahui nilai budaya disuatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan tatanan etika ataupun teori-teori agama sebagai sistem yang universal dan menjadi panutan bersama seluruh warga masyarakat.
Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam masalah agama, yaitu apa yang disebut dengan kepercayaan dan apa yang disebut ritus. Yang pertama merupakan bentuk dari pikiran (ideas) dan yang kedua merupakan bentuk dari tindakan. Antara kedua hal tersebut ,yakni antara kepercayaan dan ritus tidak dapat dipisahkan. Dalam hubungannya dengan masalah sosial kemasyarakatan, agama merupakan sarana memperkuat kesadaran kolekti yang diwujudkan dalam bentuk symbol-simbol atau ritus-ritusnya. Simbol, sebagaimana berlaku dalam setiap kepercayaan, tidak semata-mata merupakan persoalan pribadi. Simbol-simbol itu meskipun masuk dan berada dalam pikiran pribadi setiap individu, namun dapat pula dipandang sebagai sesuatu yang terlepas dari otak individu. Kemudian ketika dikatakan bahwa symbol-simbol itu menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat yang meresap dan tahan lama.
Serangkaian nilai yang menjadi pembibing itu adalah agama yang mewujud dalam sikap keseharian. Oleh karena itu, baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia atau masyarakat. Dengan ciri seperti diatas, dapat dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada akan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Sementara secara sosiologis, tidak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
 BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ritual dalam islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti shalat dan ritual yang tidak memiliki dalil dalam Al-Qur’an maupun Sunnah seperti maulid. Selain itu, ritual islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan dapat dibedakan menjadi tiga: Primer (ritual islam yang wajib dilakukan oleh umat islam seperti shalat wajib lima waktu),Sekunder (ibadat shalat sunnah seperti bacaan dalam ruku’ dan sujud, shalat tahajjud dan shalat dhuha),Tersier (ritual islam yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunnah. Seperti anjuran membaca ayat kursi).Dari segi tujuan, ritual islam ada dua:Ritual yang bertujuan mendapatkan ridha Allah semata dan balasa yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi,Ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, isalnya shalat istisqa’. untuk mengetahui nilai budaya disuatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan tatanan etika ataupun teori-teori agama sebagai sistem yang universal dan menjadi panutan bersama seluruh warga masyaraka.

B.     Rekomendasi
Dalam hal ini di rekomendasikan kepada pembaca bahwasanya kita sebagai muslim dapat menjalankan ritual studi yang ada dalam islam itu dengan seksama,menjadikan tatanan etika ataupun teori-teori agama sebagai sistem yang universal sebagai panutan utama seluruh warga masyarakat.melakukan ritual yang bertujuan mendapatkan keridhaan allah dan ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kholili, Ahmad. 2008. Islam Jawa. Malang: UIN-Malang Press
Syah, Ismail Muhammad., dkk. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Kamajaya, Harkono. 1995. Kebudayaan Jawa : Perpaduan dengan Islam.
Yogyakarta : Ikatan Penerbit Idonesia



[1] Prof. Dr. Ismail Muhammad Syah, S.H., dkk. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara (Jakarta, 1992), hal. 78-82
[2] Ahmad Kholili, M.Fil. Islam Jawa. UIN-Malang Press (Malang, 2008), hal. 273-306
[3] Harkono Kamajaya. Kebudayaan Jawa : Perpaduan dengan Islam. (Yogyakarta : Ikatan Penerbit Idonesia, 1995), hal. 247

Tidak ada komentar:

Posting Komentar