BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Studi ritual dalam
islam merupakan studi yang agak terbengkalai dalam ranah studi islam, padahal
islam saangat menekankan aspek ritual, jika studi ritual secara keseluruhan
masih relative diabaikan dalam sejarah agama-agama, maka secara tradisonal
telah ressive juga. Aspek ritual sangat penting untuk memberikan penjelasan
komprehensif dan kontruktif dari makna-makna yang sebenarnya. Dan yang penting
juga dilakukan pada kajian ini adalah mengkontruk sebuah perspektif baru dan
dengan teori-teori modern sebagai terobosan studi tentang ritual islam
komtemporer.
Maka topik yang lebih
mendasar dari sudut pandang metodologis adalah bahwa ritual terminologi perlu
ada survei menyeluruh seperti ananlisis tentang istilah, konsep, dan idiom
ritual yang ditemukan dalam bahasa islam, dan yang berkaitan dengan mereka yang
lebih atau kurang universal menggunakan istilah-istilah ilmiah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa
Pengertian Ritual
Islam
1.2.2 Bagaimana Teori
Studi Ritual dalam Islam
1.2.3 Apa Contoh
Model Penelitian Ritual Islam
1.2.4
Bagaimana Praktek Ritual dalam Islam
1.3
TUJUAN
1.3.1 Untuk
mengetahui Ritual Islam
1.3.2 Untuk
mengetahui Bagaimana Teori
Studi Ritual dalam Islam
1.3.3 Untuk
mengetahui Apa Saja Contoh
Model Penelitian Ritual Islam
1.3.4 Untuk
mengetahui Bagaimana Praktek
Ritual dalam Islam
1.4
MANFAAT
Adapun manfaat
penulisan makalah ini adalah sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan
serta pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ritual
Islam
Secara umum, ritual dalam islam dapat dibedakan menjadi dua:
ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah
seperti shalat dan ritual yang tidak memiliki dalil dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah seperti maulid. Selain itu, ritual islam dapat ditinjau dari sudut
tingkatan dapat dibedakan menjadi tiga:
1.
Primer, ritual islam yang wajib dilakukan oleh umat islam.
Seperti shalat wajib lima waktu.
2.
Sekunder, ritual islam yang sekunder adalah ibadat shalat
sunnah. Seperti bacaan dalam ruku’ dan sujud, shalat tahajjud dan shalat dhuha.
3.
Tersier, ritual islam yang berupa anjuran dan tidak sampai
pada derajat sunnah. Seperti anjuran membaca ayat kursi.
Dari segi tujuan, ritual islam ada dua:
1.
Ritual yang bertujuan mendapatkan ridha Allah semata dan
balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi.
2.
Ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini,
misalnya shalat istisqa’.
2.2 Teori Studi Ritual dalam Islam
Pergeseran Makna Ibadah Dalam Islam
Menurut Ismail Muhammad, ibadah yang
diartikan secara khusus dan sempit merupakan ibadah dalam konteks yang dibatasi
hanya pada praktek ritual yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti
shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
ibadah dalam pengertian ini belum dikenal pada permulaan islam,ia baru
diperkenalkan olek ulama fiqh, dengan tujuan mensistemisasi uraian-uraian atau
pembagian-pembagian teknis materi pembahasan. Mereka terpaksa memilih aktifitas
manusia antara lain dengan memberi nama muamalat (interaksi kemasyarakatan)
untuk masalah semacam jual beli, gadai, dan sebagainya. [1]
“Dalam masalah muamalah boleh kecuali
yang dilarang, sedangkan dalam masalah ibadah semua tidak boleh kecuali yang
diperintahkan”.
Popularitas pengertian tersebut mengaburkan makna
ibadah.Ibadah dalam pengertian sempit inilah yang sering memperkenalkan suatu
agama pada pihak lain karena ia berbeda halnya dengan akidah
(kepercayaan) dipraktekkan dalam kehidupan nyata oleh para pemeluk agama
sehingga ia dapat menjadi tanda bagi sifat agama dan keberagaman seseorang.
Akhirnya shalat, puasa, zakat dan ritual lainnya hanya menjadi pembeda antara
muslim dan non-muslim. Ibadah hanya berupa ritual-ritual dan tidak disadari
bahwa makna ibadah lebih dalam dari pada memahami ritualnya saja. Dan perlu
dipahami bahwa praktek-praktek ritual tersebut bersifat taufiqi (ditetapkan
berdasarkan petunjuk/ketetapan Allah dan Rasul-Nya) sehingga ia harus diterima
dan dilaksanakan sebagaimana adanya, berbeda dengan halnya muamalah.
Tata cara ibadah yang telah ditetapkan itu
harus diterima dan diamalkan sebagai mana adanya,karena keberatan tentang
bentuk atau cara tertentu dengan maksud mengubahnya dengan cara lain, akan
mendatangkan keberatan-keberatan yang lain oleh pihak-pihak yang baru. Oleh
karenanya dikenal dalam fiqh tentang madzhab. Perbedaan-perbedaan dalam madzhab
didasari dengan al qur’an dan hadits atau ijma’ dan qiyas. Namun perbedaannya
bukan pada perbedaan-perbedaan subtantif dan ritual tersebut. Misalnya puasa,
semua ulama sepakat bahwa puasa dinyatakan sah apabila tidak makan dan
minum(hal yang menyebabkan ia berbuka) dari terbit fajar sampai terbenamnya
matahari. Kemudian shalat,shalat harus menggunakan bahasa arab dan suci dari
hadats,ritualnya dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan segala
yang telah diatur dalam shalat,itu tidak bisa diubah sesuka hati.
Perbedaan-perbedaan itu timbul akibat penafsiran Al qur’an dan Alhadits yang
memang multi tafsir. Tetapi selagi tidak menghilangkan subtansi ibadah itu
sendiri, itu tidak masalah.
Jika
kita menanyakan dengan maksud keberatan dalam bentuk-bentuk ibadah dengan akal
kita yang terbatas,dapat berarti kita menafikan wahyu. Turunnya wahyu oleh
orang terpilih,yakni Rasul,adalah sebuah bukti bahwa adanya hal-hal yang belum
dapat dijangkau oleh manusia. Akal kita sesungguhnya tidak berperan dalam
menetapkan bentuk-bentuk ibadah. Semua bentuk-bentuk itu diperintahkan oleh
Allah,yang hanya manusia yang berfikir saja yang akan menerima hikmahnya.
2.3 Contoh Model Penelitian Ritual
Islam
Penelitian
agama menempatkan diri sebagai suatu kajian yang menempatkan agama sebagai
sasaran/obyek penelitian. Secara metodologis berarti agama haruslah dijadikan sebagai
suatu yang riil betapapun mungkin terasa agama itu sesuatu yang abstrak. Dari sudut
ini mungkin dapat dibedakan ke dalam tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi
subyek materi penelitian, yaitu agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat
yang dibentuk oleh agama dan sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin (Taufik
Abdullah, 1989:xii)
Pertama, agama sebagai doktrin. Penelitian agama sebagai suatu doktrin
menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang timbul di antaranya: apakah
substansi dari keyakinan religius itu, apakah yang diyakini sebagai kebenaran
yang hakiki, apa makna Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1,
April 2010 41 ajaran agama itu bagi pemeluknya? Pertanyaan-pertanyaan inilah
yang mungkin paling berdekatan dengan usaha pencarian kebenaran agama, sebagaimana
yang dilakukan oleh pemikir agama dan mujtahid.
Tetapi
apabila para mujtahid mengatakan bahwa “inilah ajaran yang sesungguhnya”
dan
pemikir mengatakan “inilah sepanjang penelitian saya yang benar”,
maka akan terjadi kemandekan satu pemikiran karena pendapat/pemikirannya itu
adalah sudah benar dan sempurna. Apabila ulama dan pemikir berpendapat demikian
maka akan terjadi kemandekan pemikiran terhadap agama karena mereka sudah
mengambil sebuah kesimpulan demikian. Tradisi ilmiah tidak berakhir dengan kepastian
dan mendakwahkan diri sebagai penemu kebanaran. Tradisi ilmiah hanya berusaha
menemukan apa yang dianggap benar.
Ali
Syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran, menyatakan bahwa faktor utama yang
menyebabkan kemandegan atau stagnasi dalam pemikiran, peradaban dan kebudayaan yang
berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran
analogi Aristoteles. Di kala cara melihat masalah obyek itu berubah, maka sains,
masyarakat dan dunia juga berubah dan segala akibatnya kehidupan manusia juga
berubah (Ali Syari’ati, 1982:39). Dengan demikian kita dapat memahami akan pentingnya
metodologi sebagai faktor fundamental dalam renaisans.
Karena
bertolak dari keinginan untuk mengetahui dan memahami esensi agama, maka salah
satu disiplin ilmu yang paling banyak berkecimpung dalam penelitian agama sebagai
satu doktrin ini adalah perbandingan agama. Pengetahuan yang mendalam tentang
esensi ajaran agama ini akan mampu meningkatkan pengalaman agama bagi seseorang
sehingga pada akhirnya seseorang akan mampu menemukan makna agama bagi manusia
itu sendiri. Ilmu perbandingan agama di sisi lain akan juga mampu menciptakan
satu tatanan masyarakat agamis yang satu agama dengan agama yang lainnya dapat
saling menghormati. Sehingga pada akhirnya kerukunan antar umat beragama dapat
terwujud dengan sebaik-baiknya. Makna kerukunan tidak lagi sebatas pada tataran
struktural idiologis yang bersifat eksklusif. Dalam penelitian agama sebaga doktrin,
studi yang banyak dilakukan adalah bercorak sejarah intelektual atau sejarah
pemikiran dan biografi tokoh agama. Teks-teks keagamaan baik yang
wahyu maupun hasil ijtihad/renungan, traidisi serta catatan sejarah
merupakan bahan-bahan utama yang digali. Maka di samping filologi dan kritik
teks serta ilmu filsafat maka sejarah merupakan disiplin yang memiliki peranan
yang sangat penting.
Kategori kedua,
adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama kata seorang ahli
adalah landasan dari terbentuknya suatu “komunitas kognitif” (ibid, xiv).
Artinya agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan
hidup yang diikat oleh keyakinan hidup dan kebenaran hakiki yang sama yang
memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula. Hanya dalam
komunitas kognitif Islam bahwa Tuhan mutlak satu merupakan pengetahuan yang
benar. Tri murti hanya riil di kalangan Hindu, sedangkan kesatuan roh kudus,
Jesus dan Tuhan bapa adalah benar di masyarakat Kristen dan seterusnya.
Meskipun
berangkat dari suatu ikatan spiritual para pemeluk agama membentuk masyarakat
sendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Sebagai satu masyarakat komunitas
inipun memiliki tatanan yang berstruktur dan tidak pula terlepas dari dinamika sejarah.
Sebagai contoh penelitian kedua ini adalah terjadinya pengelompokan Islam Santri,
Priyayi dan Abangan. Ketiga kelompok komunitas muslim ini memiliki corak dan karakteristik
yang berbeda. Corak kajian atau penelitian dalam kategori ke dua ini dihuni oleh
disiplin-disiplin ilmu sosial – sosiologi, antropologi, sejarah dan lainnya. Kategori
ketiga, berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat terhadap agama yang
dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran agama yang
dianutnya 42 Islam sebagai Objek Studi dan Penelitian (Suparno)
Dengan
segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, sedangkan kategori kedua meninjau agama
dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, maka kategori ketiga adalah berusaha
untuk mengetahui simbol-simbol dan ajaran agama. Salah satu pernyataan yang
sering kita dengar adalah “meskipun tidak shalat dan berpuasa, tetapi jika
Islam dihinakan suku bangsa ini akan tampil bergerak untuk membela Islam”
artinya meskipun dimensi ritual masyarakat ini rendah namun dimensi keterikatan
terhadap sebuah agama sangatlah kuat. Tentu ini hanyalah stereotype saja,
tetapi dengan ini kita dapat mengetahui bahwa keterikatan seseorang terhadap
agama antara yang satu dengan lainnya adalah tidak sama. Dalam pengertian tidak
semua aspek atau dimensi agama mengikat pemeluknya dan tidak sama pula dalam
keterikatan dalam beragama.
Sebagai
contoh, si Ali lebih shaleh dibandingkan dengan si Amir. Pernyataan ini menimbulkan
pertanyaan, apakah yang menyebabkan sikap keberagamaan yang berbeda? Apakah
faktor pendidikannya, lingkungannya, status sosialnya ataukah ada faktor yang
lainnya? Jadi kategori ketiga ini adalah masalah yang bersifat corak dan tingkatan
keberagamaan. Meskipun ilmu-ilmu sosial yang bercorak kualitatif tidak terlalu sulit
untuk memperlihatkan hal-hal yang berkaitan dengan keberagamaan ini.
2.4 Praktek Ritual dalam Islam
1. Praktek
keberagaman di jawa
Kajian islam normatif di
jawa, misalnya nakamura dan peacock, pada umumnya memusatkan perhatian pada
muslim perkotaan dan kaum modernis,atau aliran islam tradisional yang mewakili
ortodoksi, lalu mengabaikan islam sebagaimana dipraktekkan sehari-hari
dipedesaan. Untuk itu, informan yang khas dalam hal ini adalah orang yang
mahfum dan memiliki artikulasi yang kuat dengan kedudukan dan posisi ideologis
yang dapat diformalisasikan secara jelas.[2]
Dalam praktek keberagaman
itu, pemisahan agama santri dan non-santri seperti uraian Geertz yang membagi
konsisten, dan ambivalen yang tidak dapat ditangkap oposisi kategorial santri
versus abangan.
Dikalangan orang asing dan
imigran jawa didaerah banyuwangi, tidak perbedaan besar antara santri dan yang
lain berkaitan dengan praktek keberagaman, terutama menganai selametan pandangan
keagamaan jawa dalam tiga varian : santri, abangan dan priyayi, mengesankan
bahwa praktisi ketiganya konsisten dengan identitas masing-masing. Didaerah
tengah ini santri hidup berdampingan dengan abangan, suatu gejala yang ingin
dibahas, suatu wilayah kompromi, tidak. Barangkali, dikotomi atau trikotomi
yang diuraikan Geertz terlalu kasar jika digunakan dalam rangka analitis.
Keterkaitan hubungan dapat dipahami dalam konteks kondisi lokal, bukan dalam
pengertian tipe-tipe atau kategori-kategori ideal yang menurut definisi adalah
satu atau dua langkah menjauhi kompromi realitas sosial. Dalam kehidupan
masyarakat desa, setiap orang mengamati tetangganya, tetapi dosa dan pahala
yang merupakan tema pokok dalam kehidupan keberagaman adalah urusan
masing-masing orang. Misalnya saja pokok penting tentang puasa “adalah anda
sendiri yang memperoleh pahala atau ganjaran, tetapi jika anda belajar mengontrol
diri dari kemarahan dengan displin diri sendiri maka kehidupan anada akan lebih
baik didunia ini”.[3]
Pemahaman muslim tradisional
didesa-desa menkankan bahwa agama dan adat istiadat saling melengkapi, sehingga
diantara keduanya tidak ada perbedaan, kalaupun ada sifatnya kabur. Puasa
misalnya, dilihat sabagai kewajiban agama sekaligus adat. Seperti orang yang
beragam karena keturunan, puasa memberikan manfaat kejiwaan, seperti tenaga
batin, keamanan dan penguasaan diri. Manfaat ini menjadi pembenaran yang cukup
signifikan bagi pelaksanaan ritual semacam puasa, tidak perlu masuk secara
lebih dalam ke substansi otoritas scriptural. Ritual pragmatic semacam ini
tentu saja terbuka bagi kritik dari sudut pandang yang lain. Dalam pandangan
mistik yang reflektif, falasafa yang demikian itu mewujudkan dalam upacara
ritual sederhana yang disebut slametan. Penekanan pada aturan dan teknik
yang kehilangan makna akan menjadikan ritual tanpa tujuan, bahkan tidak
memberikan efek kejiwaan sama sekali. Sebagaiman dikenal, golongan mistik
menguraikan prilaku keagamaan pada tahapan-tahapan seperti sarengat dan hakikat,
kebenaran mendasar atau makna esoterik karena itu bentuk luar dianggap sebagai
inferior bagi makna bagian dalam, akibatnya muslim kejawen yang tata tidak
pernah mempersoalkan aturan-aturan baku
syari’at.
Dari sini ditegaskan bahwa
islam normati dimasyarakat osing pedesaan dipandang sebagai praktek yang hamper
tidak berisi doktrin. Bagi orang yang taat, yang melaksanakan shalat lima kali
sehari semalam, melaksanakan puasa penuh, selalu berdzikir ditempat peribadatan
atau dimanapun. Islam adalah suatu system reskripsi ritual disamping juga
sistem kepercayaan yang koheren dan eksplisit. Ditengah masyarakat yang
demikian, bila diantara mereka ada yang ingin membicarakan doktrin orang akan
dengan cepat melemparkannya keaksioma yang tidak dapat diganggu gugat. Setelah
itu dengan cepat kembali lagi ke praktek sosial yang lebih kongkrit tanpa harus
mengiringinya dengan pengetahuan secara lebih detail.
2. Refleksi
atas kebergaman
Inti yang terpenting
didalam memahami pikiran dan perilaku masyarakat adalah struktur sosial,
interaksi sosial dan lembaga-lembaga sosial. Karena itu, untuk mengetahui nilai
budaya disuatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan tatanan etika ataupun
teori-teori agama sebagai sistem yang universal dan menjadi panutan bersama
seluruh warga masyarakat.
Durkheim mengemukakan
dua hal pokok dalam masalah agama, yaitu apa yang disebut dengan kepercayaan
dan apa yang disebut ritus. Yang pertama merupakan bentuk dari pikiran (ideas)
dan yang kedua merupakan bentuk dari tindakan. Antara kedua hal tersebut ,yakni
antara kepercayaan dan ritus tidak dapat dipisahkan. Dalam hubungannya dengan
masalah sosial kemasyarakatan, agama merupakan sarana memperkuat kesadaran
kolekti yang diwujudkan dalam bentuk symbol-simbol atau ritus-ritusnya. Simbol,
sebagaimana berlaku dalam setiap kepercayaan, tidak semata-mata merupakan
persoalan pribadi. Simbol-simbol itu meskipun masuk dan berada dalam pikiran
pribadi setiap individu, namun dapat pula dipandang sebagai sesuatu yang
terlepas dari otak individu. Kemudian ketika dikatakan bahwa symbol-simbol itu
menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat yang meresap dan tahan lama.
Serangkaian nilai yang
menjadi pembibing itu adalah agama yang mewujud dalam sikap keseharian. Oleh
karena itu, baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang
sebagai instrumen untuk memahami dunia atau masyarakat. Dengan ciri seperti
diatas, dapat dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada akan dapat memberi
panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat
sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Sementara secara sosiologis, tidak
jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ritual dalam islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang
mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti
shalat dan ritual yang tidak memiliki dalil dalam Al-Qur’an maupun Sunnah
seperti maulid. Selain itu, ritual islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan
dapat dibedakan menjadi tiga: Primer (ritual islam yang wajib dilakukan oleh
umat islam seperti shalat wajib lima waktu),Sekunder (ibadat shalat sunnah
seperti bacaan dalam ruku’ dan sujud, shalat tahajjud dan shalat dhuha),Tersier
(ritual islam yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunnah. Seperti
anjuran membaca ayat kursi).Dari segi tujuan, ritual islam ada dua:Ritual yang
bertujuan mendapatkan ridha Allah semata dan balasa yang ingin dicapai adalah
kebahagiaan ukhrawi,Ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, isalnya
shalat istisqa’. untuk mengetahui nilai budaya disuatu
masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan tatanan etika ataupun teori-teori agama
sebagai sistem yang universal dan menjadi panutan bersama seluruh warga
masyaraka.
B.
Rekomendasi
Dalam hal ini di rekomendasikan kepada
pembaca bahwasanya kita sebagai muslim dapat menjalankan ritual studi yang ada
dalam islam itu dengan seksama,menjadikan tatanan etika ataupun teori-teori
agama sebagai sistem yang universal sebagai panutan utama seluruh warga
masyarakat.melakukan ritual yang bertujuan mendapatkan keridhaan allah dan
ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kholili, Ahmad.
2008. Islam Jawa. Malang:
UIN-Malang Press
Syah, Ismail
Muhammad., dkk. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Kamajaya,
Harkono. 1995. Kebudayaan Jawa : Perpaduan dengan Islam.
Yogyakarta : Ikatan Penerbit
Idonesia
[1] Prof. Dr. Ismail Muhammad Syah,
S.H., dkk. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara (Jakarta, 1992), hal. 78-82
[2] Ahmad Kholili, M.Fil. Islam
Jawa. UIN-Malang Press (Malang, 2008), hal. 273-306
[3] Harkono Kamajaya. Kebudayaan Jawa
: Perpaduan dengan Islam. (Yogyakarta : Ikatan Penerbit Idonesia, 1995), hal.
247
Tidak ada komentar:
Posting Komentar