BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tiada yang lebih berharga
dan berarti dalam hidup seseorang hamba selain berinteraksi dengan Al-Qur’anul karim.
Al-Qur’an merupakan petunjuk hidup bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan.
Wajib mempelajarinya bagi setiap umat muslim. Jika kita ingin menuju jalan yang
lurus dan benar, maka kita harus menggunakan petunjuk dengan cara belajar.
Al-Qur’an adalah salah satu sumber dan dalil hukum, juga merupakan sumber
dari segala ilmu pengetahuan. Sebagaimana kita ketahui bahwasannya pendidikan itu
sangatlah penting, agar akhlak, sifat, perilaku dan pikiran kita terjaga dan berada
di jalan yang benar.
Pada zaman sekarang, banyak pemimpin yang tidak menjalankan amanat dengan
baik, tidak memimpin sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan tidak mau mendengarkan
aspirasi rakyat. Oleh karena itu, kami disini akan mencoba menerangkan sebuah ayat
yang memberikan pendidikan agar menjadi pemimpin yang baik bagi rakyat dan taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kandungan dari QS. Ali-‘Imron: 159. Dalam ayat
ini menjelaskan tentang keharusan menjadi pemimpin yang lemah lembut, mau memaafkan
rakyat yang berbuat salah dan tidak menghukumnya dengan serta merta, selalu mendengarkan
argumen atau pendapat dari rakyatnya, serta selalu betawakal kepada Allah untuk
setiap hasil musyawarah dan keputusan yang telah di tetapkannya. Maka setiap manusia
perlu adanya sebuah pendidikan tentang menjadi pemimpin yang baik yang akan mengantarkannya
kepada jalan yang benar supaya ia tidak terjerumus dalam jalan kesesatan.
B.
Perumusan Masalah
a.
Apa latar
belakang (Ababu an-Nuzul) dari turunnya surat ali-‘imron 159?
b.
Apa
tafsir tekstual dari surat ali-‘imron 159?
c.
Apa
tafsir kontekstual dari surat ali-‘imron 159?
d.
Apa makna
pendidikan dari surat ali-‘imron 159?
C.
Tujuan Masalah
a.
Mengetahui
latar belakang (Ababun Nuzul) dari
turunnya surat ali-‘imron 159
b.
Mengetahui
tafsir tekstual dari surat ali-‘imron 159
c.
Mengetahui
tafsir kontekstual dari surat ali-‘imron 159
d.
Mengetahui
makna pendidikan dari surat ali-‘imron 159
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ayat dan Terjemahannya
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَاُنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَ
اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْن
Artinya:”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun
bagi mereka, dan bermusyawarohlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(Ali-‘Imron 159)
B.
Mufradat
القلب = عضو بري الشكل مودوع فى الجا نب الا يسر من
الصد ر و هو اهم اعضاء الحركة الد مو ية
استغفر
= طلب منه تعا لى ان يغفره له
توكل
= استسلم اليه (على الله )
توكل
= اظهر العجزوا عتصد على الغير (فى
الامر)
عفو
= صفح عنه وترك عقوبته
الشورى = هو المجلس المؤلف لاستماع الدعاوى عرفيا او
للتداول في شواون البلاد
C.
Munasabah
وَلَئِن قُتِلْتُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَوْمُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِّنَ
اللّهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌمِّمَّا يَجْمَعُونَ
Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meningga, tentulah
ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang
mereka kumpulkan. (QS.
Ali-‘imron: 157)
وَلَئِن مُّتُّمْ أَوْقُتِلْتُمْ لإِلَى الله تُحْشَرُونَ
Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah
saja kamu dikumpulkan. (QS.
Ali-‘imron: 158)
Setelah ayat yang lalu melarang mengikuti orang-orang kafir dan munafik,
serta menjelaskan kekeliruan ucapan-ucapan mereka tentang kematian, dan keengganan
mereka berjihad karena takut menemui kematian, disini dan melalui ayat di atas,
Allah menjelaskan ganjaran gugur dijalan Allah serta apa yang diraih setelah kematian.
Dengan menggunakan kata yang mengandung makna penekanan tentang kebenaran apa yang
akan diberitakan, yaitu sungguh, ayat ini menyatakan bahwa sungguh, demi
Allah, wahai orang-orang yang benar-benar beriman, kalau kamu gugur dijalan
Allah memperjuangkan nilai-nilai-Nya atau meninggal dengan cara apapun
yang ditetapkan-Nya maka tentulah–demikian sekali Allah menekankan apa
yang akan disampaikannya –ampunan Allah terhadap dosa dan kesalahan kamu
dan rahmat-Nya akan di anugerahkan kepada kamu, dan tentu saja ampunan dan
rahmat itu lebih baik bagimu dari apa yang mereka kumpulkan, baik
yang dikumpulkan itu harta benda, termasuk harta rampasan perang, ataupun selainnya
yang berkaitan dengan gemerlapan duniawi. Dan sungguh jika kamu meninggal baik
dalam keadaan islam maupun tidak, atau gugur, baik demi karena Allah
ataupun bukan, pasti kepada Allah saja, bukan kepada selainnya, kamu dikumpulkan,
untuk kemudian diberi balasan sesuai dengan niat dan amal kamu.
Ayat 158 diakhiri dengan perintah menyerahkan diri kepada Allah
SWT, yakni penyerahan diri yang sebelumnya telah didahului oleh aneka upaya manusia.
Kebulatan tekad yang mendahului perintah bertawakal menuntut upaya maksimal manusia,
menuntut penggunaan segala sebab atau sarana pencapaian tujuan. Dengan demikian,
ia adalah kekuatan, sedang tawakal adalah kesadaran akan kelemahan diri di
hadapan Allah dan habisnya upaya disertai kesadaran bahwa Allah adalah penyebab
yang menentukan keberhasilan dan kegagalan manusia. Dengan demikian, upaya
dan tawakal adalah gabungan sebab dan penyebab. Allah mensayaratkan melalui
sunnatullah bahwa penyebab baru akan turun tangan jika sebab telah dilaksanakan.
Karena itu, perintah bertawakal dalam al-Qur’an selalu didahului oleh perintah berupaya
sekuat kemampuan. Hakikat yang diisyaratkan diatas di kemukakan secara lebih jelas
dengan firman-nya:
إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ
يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ ۗ وَعَلَى اللَّهِ
فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“jika Allah hendak
menolong kamu, maka tekad manusia atau jin atau makhluk apapun yang
dapat mengalahkan kamu betapapun kebesaran kemampuannya, jika Allah
membiarkan kamu, yakni tidak memberimu pertolongan, maka siapakah gerangan
yang dapat menolong kamu sesudah-Nya, yakni selain Allah? Jelas tak ada!
Kamu mengaku percaya kepada Allah, maka berupaya dan berserah dirilah kepada-Nya.
Karena itu pula hendaklah kepada Allah saja, bukan kepada nabi, wali
atau penguasa, atau kekuatan apapun orang-orang mukmin bertawakal. Karena
itu pula mereka yang tidak berserah diri kepada Allah, pasti ada sesuatu yang
kurang dalam imannya”.
Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat
mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka
siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?
Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. (QS. Ali-‘imron: 160)
D.
Asbabun Nuzul
Asbabul-Nuzul dari ayat ini adalah
pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam Perang Badar, banyak kaum
musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu
Rasulallah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shidiq dan Umar bin
Khattab. Rasulullah SAW meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang
tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya
dikembalikan ke keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti
bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar bin Khattab
juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh
saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar
dibelakang hari, mereka tidak berani menghina dan mencaci Islam. Sebab
bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuataannya dimata mereka. Dari dua
pendapat yang bertolak belakang ini, Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk
mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan
agar Rasulallah SAW berbuat lemah lembut. Kalau bersikeras hati mereka tidak
akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat
ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shidiq. Di sisi lain
memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawarahan pendapatnya
tidak diterima, hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah Sangat
mencintai orang-orang yang bertawakal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan
perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.
E.
Tafsir Tekstual
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا.
Hai orang-orang yang beriman,
ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih
baik akibatnya. (QS. An-nisa’: 59)
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ
أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.
Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-baqarah: 233).
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS.As-syura
: 38).
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ
مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin. (QS:
At-Taubah Ayat: 128)
F.
Tafsir Kontekstual
a.
Tafsir
Al-Misbah
Ayat ini diberikan
Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan
sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah
melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup
banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk
marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan
Nabi SAW. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau
menerima usulan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak
memaki dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi
hanya menegurnya dengan halus.
Jika demikian, maka
disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari
bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain
sebagaimana dipahami dari huruf (ما) maa yang digunakan disini dalam kontek penetapan
rahmat-Nya–disebabkan karena rahmat Allah itu–engkau berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar
kata lagi berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan oleh antipati
terhadapmu. Karena perangaimu tidak seperti itu maka maafkanlah
kesalahan-kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan
kepada Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam
urusan peperangan dalam urusan dunia, bukan urusan syari’at atau agama. Kemudian
apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkan
tekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah sambil bertawakal
kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan
membimbing mereka kearah apa yang mereka harapkan, dan menggantungkannya kepada Qodar Allah Swt.[1]
b.
Tafsir Al Azhar
Di
dalam ayat ini bertemulah pujian tinggi dari Allah terhadap Rasul Nya, karena
sikapnya lemah lembut, tidak lekas marah kepada umatnya yang tengah dituntun
dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa
orang yang meninggalkan tugasnya. Karena lupa akan harta itu, namun Rasulullah
tidak terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.
Dalam ayat ini Allah menegaskan sebagai pujian pada Rasulullah, bahwasanya
sikap yang lemah lembut itu, ialah karena kedalam dirinya telah dimasukan oleh
Allah rahmat-Nya.
Dengan
sanjungan Allah yang sangat tinggi kepada Rasul-Nya, karena lemah lembut-Nya
itu, berarti bahwa Allah senang sekali jika sikap itu diteruskan. Pemimpin
yang kasar dan berkeras hati atau kaku sikapnya, akan seganlah orang
menghampiri. Orang akan menjauh satu per satu. Kepada beberapa
diantaranya kita umat Muhammad yang diberi pula tugas dari Allah untuk mewarisi
Nabi, melanjutkan kepemimpinan beliau, dengan ayat ini diberi pulalah tuntunan,
bahwasannya seorang pemimpin yang selalu hanya bersikap kasar dan berkeras
hati, tidaklah akan jaya dalam memimpin. Didalam ayat ini juga dijelaskan bahwa
jika ada yang berbuat kesalahan maka kita wajib memaafkannya. Dan Inilah inti
dari kepemimpinan itu.
c.
Tafsir Jalalain
Maka
berkat rahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut hai Muhammad (kepada mereka)
sehingga kamu hadapi pelanggaran mereka terhadap perintahmu itu dengan sikap
lunak (dan sekiranya kamu bersikap keras) artinya akhlakmu jelek dan tidak
terpuji (berhati kasar) hingga kamu mengambil tindakan keras terhadap mereka (tentulah
mereka akan manjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka) atas
kesalahan yang mereka perbuat (dan mintakanlah ampunan bagi mereka) atas kesalahan-kesalahan itu
hingga ku ampuni (serta berundinglah dengan mereka) artinya mintalah pendapat
atau buah pikir mereka (mengenai urusan itu) yakni urusan peperangan dan
lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umatmu meniru sunah dan jejak
langkahmu, maka Rasulallah SAW banyak bermusyawarah dengan mereka. (Kemudian
apabila kamu telah berketetapan hati) untuk melaksanakan apa yang kamu
kehendaki setelah bermusyawarah itu (maka bertawakallah kepada Allah) artinya
percayalah kepada-Nya. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal) kepada-Nya.
Dalam hal ini dapat di ambil sebuah garis
besar, yaitu:
Seorang
pemimpin harus mempunyai sifat lemah lembut terhadap rakyatnya, meskipun dalam
kondisi emosi
Seorang
pemimpin harus melakukan musyawarah mufakat dalam memutuskan suatu permasalahan
dan bersedia mendengarkan argument rakyatnya
Seorang
pemimpin harus berlapang dada untuk memaafkan kesalahan yang telah diperbuat
oleh rakyat
Apabila telah mencapai suatu kesepakatan dalam
musyawarah, maka semua pihak harus melaksanakan dan bertawakal kepada Allah
SWT. Allah mencintai hamba-hambanya yang bertawakal.[2]
G.
Makna Pendidikan dalam Ayat
Seorang
pemimpin atau pendidik harus berlaku lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak
berhati keras
Mudah
dalam memberi maaf dan bersedia menerima argumen-argumen orang lain
Seorang
pemimpin atau pendidik harus melakukan musyawarah kepada rakyat atau peserta
didiknya ketika terdapat suatu permasalahan
Apabila telah dicapai
suatu kesepakatan, maka semua pihak harus menerima dan bertawakal (menyerahkan
diri dan segala urusan) kepada Allah SWT. karena Allah mencintai hamba-hambanya
yang bertawakal.[3]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Latar
belakang atau asbabun nuzul dari surat ali-‘imron 159 adalah pada saat Nabi
Muhammad SAW melakukan perang badar, kaum muslimin memperoleh kemenangan dan
mendapat tawanan serta harta rampasan, kemudian nabi meminta pendapat Abu bakar
dan Umar mengenai tawanan dan harta rampasan tersebut. Abu bakar berpendapat
untuk mengembalikan tawanan kepada keluarganya sedangkan Umar berpendapat untuk
membunuh tawanan tersebut. Kemudian nabi dihadapkan pada keputusan yang sulit
untuk memilih antara kedua pendapat tersebut. Dan Allah menurunkan surat
ali-‘imron ayat 159 untuk menjawab permasalah Nabi yang dalam arti menyetujui
pendapat Abu bakar
2.
Tafsir
tekstual dari surat ali-‘imron 159 adalah terdapat dalam surat al-Baqarah 233,
as-Syuro 38, an-nisa’58, at-taubah 128. Yang dari semua ayat tersebut
menjelaskan tentang pentingnya bermusyawarah
3.
Tafsir
kontekstual dari surat ali-‘imron 159 adalah:
·
Seorang
pemimpin harus mempunyai sifat lemah lembut terhadap rakyatnya, meskipun dalam
kondisi emosi
·
Seorang
pemimpin harus melakukan musyawarah mufakat dalam memutuskan suatu permasalahan
dan bersedia mendengarkan argument rakyatnya
·
Seorang
pemimpin harus berlapang dada untuk memaafkan kesalahan yang telah diperbuat
oleh rakyat
4.
Makna
pendidikan dari surat ali-‘imron 159 adalah:
·
Pemimpin
atau pendidik harus berlaku lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras
·
Mudah
dalam memberi maaf dan bersedia menerima argumen-argumen orang lain
·
Pemimpin
atau pendidik harus melakukan musyawarah kepada rakyat atau peserta didik ketika
terdapat suatu permasalahan
·
Apabila telah dicapai
suatu kesepakatan, maka semua pihak harus menerima dan bertawakal (menyerahkan
diri dan segala urusan) kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalli, Imam Jalaludin. 1995. Terjemahan Tafsir Jalalain. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Shihab, M. Quraish. 2011. Tafsir Al-Misbah Volume 2. Jakarta:
Lentera Hati.
Quthb, Sayyid. 2001. Fi Zhilalil-Qur’an. Jakarta: Gema
Insani Press.
Kamus-munjid-fillughahwala’lam,
kamus 1992 darulmasyrik, bairudlibanon, cetakan. Ke-33.
[1].
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb Jilid 2 Hal 192 - 196
[2]
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 2,
(jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 229-230
[3]
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 2,
(jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 229-230
Tidak ada komentar:
Posting Komentar