Rabu, 29 Juli 2015

Latar belakang (Ababu an-Nuzul) dari turunnya surat ali-‘imron 159



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Tiada yang  lebih berharga dan berarti dalam hidup seseorang hamba selain berinteraksi dengan Al-Qur’anul karim. Al-Qur’an merupakan petunjuk hidup bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan. Wajib mempelajarinya bagi setiap umat muslim. Jika kita ingin menuju jalan yang lurus dan benar, maka kita harus menggunakan petunjuk dengan cara belajar.
Al-Qur’an adalah salah satu sumber dan dalil hukum, juga merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan. Sebagaimana kita ketahui bahwasannya pendidikan itu sangatlah penting, agar akhlak, sifat, perilaku dan pikiran kita terjaga dan berada di jalan yang benar.
Pada zaman sekarang, banyak pemimpin yang tidak menjalankan amanat dengan baik, tidak memimpin sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, kami disini akan mencoba menerangkan sebuah ayat yang memberikan pendidikan agar menjadi pemimpin yang baik bagi rakyat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kandungan dari QS. Ali-‘Imron: 159. Dalam ayat ini menjelaskan tentang keharusan menjadi pemimpin yang lemah lembut, mau memaafkan rakyat yang berbuat salah dan tidak menghukumnya dengan serta merta, selalu mendengarkan argumen atau pendapat dari rakyatnya, serta selalu betawakal kepada Allah untuk setiap hasil musyawarah dan keputusan yang telah di tetapkannya. Maka setiap manusia perlu adanya sebuah pendidikan tentang menjadi pemimpin yang baik yang akan mengantarkannya kepada jalan yang benar supaya ia tidak terjerumus dalam jalan kesesatan.

B.     Perumusan Masalah
a.       Apa latar belakang (Ababu an-Nuzul) dari turunnya surat ali-‘imron 159?
b.      Apa tafsir tekstual dari surat ali-‘imron 159?
c.       Apa tafsir kontekstual dari surat ali-‘imron 159?
d.      Apa makna pendidikan dari surat ali-‘imron 159?
C.    Tujuan Masalah
a.       Mengetahui latar belakang (Ababun Nuzul)  dari turunnya surat ali-‘imron 159
b.      Mengetahui tafsir tekstual dari surat ali-‘imron 159
c.       Mengetahui tafsir kontekstual dari surat ali-‘imron 159
d.      Mengetahui makna pendidikan dari surat ali-‘imron 159

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ayat dan Terjemahannya
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَاُنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْن
Artinya:”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarohlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(Ali-‘Imron 159)
B.     Mufradat
القلب     = عضو بري الشكل مودوع فى الجا نب الا يسر من الصد ر و هو اهم اعضاء الحركة الد مو ية
استغفر   = طلب منه تعا لى ان يغفره له
توكل     =  استسلم اليه (على الله )
توكل     =  اظهر العجزوا عتصد على الغير (فى الامر)
عفو    = صفح عنه وترك عقوبته
الشورى    = هو المجلس المؤلف لاستماع الدعاوى عرفيا او للتداول في شواون البلاد
C.    Munasabah
 وَلَئِن قُتِلْتُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَوْمُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌمِّمَّا يَجْمَعُونَ
            Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meningga, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. (QS. Ali-‘imron: 157)
وَلَئِن مُّتُّمْ أَوْقُتِلْتُمْ لإِلَى الله تُحْشَرُونَ
            Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan. (QS. Ali-‘imron: 158)
Setelah ayat yang lalu melarang mengikuti orang-orang kafir dan munafik, serta menjelaskan kekeliruan ucapan-ucapan mereka tentang kematian, dan keengganan mereka berjihad karena takut menemui kematian, disini dan melalui ayat di atas, Allah menjelaskan ganjaran gugur dijalan Allah serta apa yang diraih setelah kematian. Dengan menggunakan kata yang mengandung makna penekanan tentang kebenaran apa yang akan diberitakan, yaitu sungguh, ayat ini menyatakan bahwa sungguh, demi Allah, wahai orang-orang yang benar-benar beriman, kalau kamu gugur dijalan Allah memperjuangkan nilai-nilai-Nya atau meninggal dengan cara apapun yang ditetapkan-Nya maka tentulah–demikian sekali Allah menekankan apa yang akan disampaikannya –ampunan Allah terhadap dosa dan kesalahan kamu dan rahmat-Nya akan di anugerahkan kepada kamu, dan tentu saja ampunan dan rahmat itu lebih baik bagimu dari apa yang mereka kumpulkan, baik yang dikumpulkan itu harta benda, termasuk harta rampasan perang, ataupun selainnya yang berkaitan dengan gemerlapan duniawi. Dan sungguh jika kamu meninggal baik dalam keadaan islam maupun tidak, atau gugur, baik demi karena Allah ataupun bukan, pasti kepada Allah saja, bukan kepada selainnya, kamu dikumpulkan, untuk kemudian diberi balasan sesuai dengan niat dan amal kamu.
Ayat 158 diakhiri dengan perintah menyerahkan diri kepada Allah SWT, yakni penyerahan diri yang sebelumnya telah didahului oleh aneka upaya manusia. Kebulatan tekad yang mendahului perintah bertawakal menuntut upaya maksimal manusia, menuntut penggunaan segala sebab atau sarana pencapaian tujuan. Dengan demikian, ia adalah kekuatan, sedang tawakal adalah kesadaran akan kelemahan diri di hadapan Allah dan habisnya upaya disertai kesadaran bahwa Allah adalah penyebab yang menentukan keberhasilan dan kegagalan manusia. Dengan demikian, upaya dan tawakal adalah gabungan sebab dan penyebab. Allah mensayaratkan melalui sunnatullah bahwa penyebab baru akan turun tangan jika sebab telah dilaksanakan. Karena itu, perintah bertawakal dalam al-Qur’an selalu didahului oleh perintah berupaya sekuat kemampuan. Hakikat yang diisyaratkan diatas di kemukakan secara lebih jelas dengan firman-nya:
إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
 “jika Allah hendak menolong kamu, maka tekad manusia atau jin atau makhluk apapun yang dapat mengalahkan kamu betapapun kebesaran kemampuannya, jika Allah membiarkan kamu, yakni tidak memberimu pertolongan, maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu sesudah-Nya, yakni selain Allah? Jelas tak ada! Kamu mengaku percaya kepada Allah, maka berupaya dan berserah dirilah kepada-Nya. Karena itu pula hendaklah kepada Allah saja, bukan kepada nabi, wali atau penguasa, atau kekuatan apapun orang-orang mukmin bertawakal. Karena itu pula mereka yang tidak berserah diri kepada Allah, pasti ada sesuatu yang kurang dalam imannya”.
Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. (QS. Ali-‘imron: 160)
D.    Asbabun Nuzul
Asbabul-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam Perang Badar, banyak kaum musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulallah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shidiq dan Umar bin Khattab. Rasulullah SAW meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan ke keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari, mereka tidak berani menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuataannya dimata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini, Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar Rasulallah SAW berbuat lemah lembut. Kalau bersikeras hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shidiq. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawarahan pendapatnya tidak diterima, hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah Sangat mencintai orang-orang yang bertawakal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.
E.     Tafsir Tekstual
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا.
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-nisa’: 59)
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-baqarah: 233).
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS.As-syura : 38).
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS: At-Taubah Ayat: 128)
F.     Tafsir Kontekstual
a.       Tafsir Al-Misbah
Ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi SAW. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima usulan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus.
Jika demikian, maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain sebagaimana dipahami dari huruf (ما)  maa yang digunakan disini dalam kontek penetapan rahmat-Nya–disebabkan karena rahmat Allah itu–engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar kata lagi berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan oleh antipati terhadapmu. Karena perangaimu tidak seperti itu maka maafkanlah kesalahan-kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan kepada Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan dalam urusan dunia, bukan urusan syari’at atau agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkan tekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah sambil bertawakal kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan membimbing mereka kearah apa yang mereka harapkan, dan menggantungkannya kepada Qodar Allah Swt.[1]
b.      Tafsir Al Azhar
Di dalam ayat ini bertemulah pujian tinggi dari Allah terhadap Rasul Nya, karena sikapnya lemah lembut, tidak lekas marah kepada umatnya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang yang meninggalkan tugasnya. Karena lupa akan harta itu, namun Rasulullah tidak terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Allah menegaskan sebagai pujian pada Rasulullah, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena kedalam dirinya telah dimasukan oleh Allah rahmat-Nya.
Dengan sanjungan Allah yang sangat tinggi kepada Rasul-Nya, karena lemah lembut-Nya itu, berarti bahwa Allah senang sekali jika sikap itu diteruskan. Pemimpin yang kasar dan berkeras hati atau kaku sikapnya, akan seganlah orang menghampiri. Orang akan menjauh satu per satu. Kepada beberapa diantaranya kita umat Muhammad yang diberi pula tugas dari Allah untuk mewarisi Nabi, melanjutkan kepemimpinan beliau, dengan ayat ini diberi pulalah tuntunan, bahwasannya seorang pemimpin yang selalu hanya bersikap kasar dan berkeras hati, tidaklah akan jaya dalam memimpin. Didalam ayat ini juga dijelaskan bahwa jika ada yang berbuat kesalahan maka kita wajib memaafkannya. Dan Inilah inti dari kepemimpinan itu.
c.       Tafsir Jalalain
Maka berkat rahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut hai Muhammad (kepada mereka) sehingga kamu hadapi pelanggaran mereka terhadap perintahmu itu dengan sikap lunak (dan sekiranya kamu bersikap keras) artinya akhlakmu jelek dan tidak terpuji (berhati kasar) hingga kamu mengambil tindakan keras terhadap mereka (tentulah mereka akan manjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka) atas kesalahan yang mereka perbuat (dan mintakanlah ampunan  bagi mereka) atas kesalahan-kesalahan itu hingga ku ampuni (serta berundinglah dengan mereka) artinya mintalah pendapat atau buah pikir mereka (mengenai urusan itu) yakni urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umatmu meniru sunah dan jejak langkahmu, maka Rasulallah SAW banyak bermusyawarah dengan mereka. (Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati) untuk melaksanakan apa yang kamu kehendaki setelah bermusyawarah itu (maka bertawakallah kepada Allah) artinya percayalah kepada-Nya. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal) kepada-Nya.
Dalam hal ini dapat di ambil sebuah garis besar, yaitu:
*      Seorang pemimpin harus mempunyai sifat lemah lembut terhadap rakyatnya, meskipun dalam kondisi emosi
*      Seorang pemimpin harus melakukan musyawarah mufakat dalam memutuskan suatu permasalahan dan bersedia mendengarkan argument rakyatnya
*      Seorang pemimpin harus berlapang dada untuk memaafkan kesalahan yang telah diperbuat oleh rakyat
*       Apabila telah mencapai suatu kesepakatan dalam musyawarah, maka semua pihak harus melaksanakan dan bertawakal kepada Allah SWT. Allah mencintai hamba-hambanya yang bertawakal.[2]
G.    Makna Pendidikan dalam Ayat
*      Seorang pemimpin atau pendidik harus berlaku lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras
*      Mudah dalam memberi maaf dan bersedia menerima argumen-argumen orang lain
*      Seorang pemimpin atau pendidik harus melakukan musyawarah kepada rakyat atau peserta didiknya ketika terdapat suatu permasalahan
*      Apabila telah dicapai suatu kesepakatan, maka semua pihak harus menerima dan bertawakal (menyerahkan diri dan segala urusan) kepada Allah SWT. karena Allah mencintai hamba-hambanya yang bertawakal.[3]

BAB III
KESIMPULAN
1.      Latar belakang atau asbabun nuzul dari surat ali-‘imron 159 adalah pada saat Nabi Muhammad SAW melakukan perang badar, kaum muslimin memperoleh kemenangan dan mendapat tawanan serta harta rampasan, kemudian nabi meminta pendapat Abu bakar dan Umar mengenai tawanan dan harta rampasan tersebut. Abu bakar berpendapat untuk mengembalikan tawanan kepada keluarganya sedangkan Umar berpendapat untuk membunuh tawanan tersebut. Kemudian nabi dihadapkan pada keputusan yang sulit untuk memilih antara kedua pendapat tersebut. Dan Allah menurunkan surat ali-‘imron ayat 159 untuk menjawab permasalah Nabi yang dalam arti menyetujui pendapat Abu bakar
2.      Tafsir tekstual dari surat ali-‘imron 159 adalah terdapat dalam surat al-Baqarah 233, as-Syuro 38, an-nisa’58, at-taubah 128. Yang dari semua ayat tersebut menjelaskan tentang pentingnya bermusyawarah
3.      Tafsir kontekstual dari surat ali-‘imron 159 adalah:
·         Seorang pemimpin harus mempunyai sifat lemah lembut terhadap rakyatnya, meskipun dalam kondisi emosi
·         Seorang pemimpin harus melakukan musyawarah mufakat dalam memutuskan suatu permasalahan dan bersedia mendengarkan argument rakyatnya
·         Seorang pemimpin harus berlapang dada untuk memaafkan kesalahan yang telah diperbuat oleh rakyat
4.      Makna pendidikan dari surat ali-‘imron 159 adalah:
·         Pemimpin atau pendidik harus berlaku lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras
·         Mudah dalam memberi maaf dan bersedia menerima argumen-argumen orang lain
·         Pemimpin atau pendidik harus melakukan musyawarah kepada rakyat atau peserta didik ketika terdapat suatu permasalahan
·         Apabila telah dicapai suatu kesepakatan, maka semua pihak harus menerima dan bertawakal (menyerahkan diri dan segala urusan) kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalli, Imam Jalaludin. 1995. Terjemahan Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Shihab, M. Quraish. 2011. Tafsir Al-Misbah Volume 2. Jakarta: Lentera Hati.
Quthb, Sayyid. 2001. Fi Zhilalil-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press.
Kamus-munjid-fillughahwala’lam, kamus 1992 darulmasyrik, bairudlibanon, cetakan. Ke-33.


[1]. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb Jilid 2 Hal 192 - 196
[2] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 2, (jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 229-230
[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 2, (jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 229-230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar