BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada
manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas
kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga
memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta
berita-berita yang akan datang.[1]
Al- Qur’an bukanlah merupakan sebuah “buku” dalam
pengertian umum, karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan
secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad SAW. Sejauh situasi-situasi
menuntutnya. Al-Quran pun sangat menyadari kenyataan ini sebagai suatu yang
akan menimbulkan keusilan dikalangan pembantahnya (QS. Al-Furqon {25}: 32).
Seperti yang diyakini sampai sekarang , pewahyuan Al-Quran secara total dalam
sekali waktu secara sekaligus adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena pada
kenyataannya Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara
berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang timbul.
Sebagaian tugas untuk memahami pesan
dari Al-Quran sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dalam konteks latar
belakangnya. Latar belakang yang paling dekat adalah kegiatan dan perjuangan
nabi yang berlangsung selama 23 tahun dibawah bimbingan Al-Quran . tethadap
perjuangan nabi yang secara keseluruhan sudah terpapar dalam sunnahnya, kita
perlu memahaminya dalam konteks prespektif melieu Arab pada masa awal
penyebaran islam, karena aktifitas nabi berada didalamnya, oleh karena itu ,
adat istiadat, lembaga-lembaga serta pandanangan hidup bangsa Arab pada umumnya
menjadi esensial diketahui dalam rangka memahami konteks aktifitas nabi. Secara
khusus, situasi mekah pra-islam perlu dipahami terlebih dahulu secara mendalam.
Tanpa memahami masalah ini, pesan Al-Quran sebagai suatu kebutuhan tidak akan
dipahami. Orang akan salah meangkap pesan-pesan Al-Quran secara utuh, jika
hanya memahami bahasanya saja, tanpa memahami konteks historisnya. Agar
dipahami secara utuh, Al-Quran harus dicerna dalam konteks perjuangan nabi dan
latar belakang perjuanganya. Oleh sebab itu, hamper semua literature yang
berkenaan dengan Al-Quran menekankan pentingnya asbab an-nuzul ( alasan
pewahyuan).[2]
1.2 Rumusan Masalah
2. Apakah
pengertian Asbab An-Nuzul?
3. Bagaimana
cara mengetahui Asbab An-Nuzul?
4. Apa
saja macam-macam Asbab An-Nuzul?
5. Apakah
fungsi Asbab-An-Nuzul?
6. Bagaimana
pandangan para ulama tentang Asbab an-Nuzul?
1.3 Tujuan Penulisan
2. Mengetahui
pengertian Asbab An-Nuzul.
3. Mengetahui
Bagaimana cara mengetahui Asbab An-Nuzul.
4. Mengetahui
macam-macam Asbab An-Nuzul.
5. Mengetahui
fungsi Asbab-An-Nuzul.
6. Mengetahui
pandangan para ulama tentang Asbab an-Nuzul.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN ASBAB AL-NUZUL
Asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah
dari kata “Asbab” dan “Nuzul”. Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah
sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya turunnya Al-Qur’an. Banyak
pengertian termonologi yang dirumuskan oleh para ulama, di antaranya :
1. Menurut
az-zarqani :
“Asbab An-Nuzul” adalah
khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat
Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”
2. Ash-
shabuni
“Asbab an-nuzul” adalah
peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia
yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan
yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
3. Shubhi
Shalih
“Asbab an-Nuzul” adalah
sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat
Al-Qur’an(ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons
atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum di saat peristiwa itu
terjadi.”[3]
Kendatipun redaksi-redaksi pendefinisian diatas sedikit
berbeda, semuanya menyimpulkan Asbab An-nuzul adalah kejadian atau peristiwa
yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Quran .ayat tersebut dalam rangka
menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari
kejadian-kejadian tersebut. Asbab An-Nuzul merupakan bahan-bahan sejarah yang
dapat dipakai untuk memberikan keterangan-keterangan terhadap lembaran-lembaran
dan memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahnya.Sudah tentu
bahan-bahan sejarah ini hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pada masa Al-Quran
masih turun (‘ashr at-tanzil).[4]
2.2 CARA MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Asbab An-Nuzul diketahui
melalui riwayat yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad. tidak semua riwayat
yang disandarkan kepadanya bisa dipegang. Riwayat yang dapat dipegang ialah
riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan kepada ahli
hadis. Secara khusus dari riwayat asbab
al-Nuzul ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang
diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu diturunkan). Dengan demikian, seperti
halnya periwayatan pada umumnya, diperlukan kehati-hatian dalam menerima riwayat
yang berkaitan dengan asbab al-Nuzul. Dalam kitab asbab al-Nuzul-nya, Al-Wahidi
menyatakan:
لَا
يَحِلُّ فِى أَسْبَابِ نُزُوْلِ الْكِتَابِ إِلَّا بِالرِّوَايَةِ وَالسَّمَاعِ
مِمَّنْ شَاهَدُوْا التَّنْزِيْلَ وَوَقَفُوْا عَلَى الْاَسْبَابِ وَبَحَثُوْا عَنْ
عِلْمِهَا وَجَدُّوْا فِى الطَّلَبِ.
Artinya: “Pembicaraan asbab an-nuzul harus berdasarkan riwayat
dan mendengarnya dari mereka yang secara langsung menyaksikan peristiwa nuzul,
dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Dapat diketahui
bahwa para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai
riwayat yang berkaitan dengan asbab an-nuzul. Ketaatan mereka itu
dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber
riwayat (isnad), dan redaksi berita (matan).
Berkaitan dengan
asbab an-nuzul, ucapan seorang tabi’ tidak dipandang sebagai hadis marfu’,
kecuali bila diperkuat oleh hadis mursal lainnya, yang diriwayatkan oleh
seorang imam tafsir yang dipastikan mendengar hadis itu dari Nabi. Para imam
tafsir itu diantaranya Ikrimah, Mujahid, Sa’ad Ibn Jubair, Atha’, Hasan Bishri,
Sa’id Ibn Musayyab, dan Adh-Dhahhak.
2.3
MACAM-MACAM ASBAB AN-NUZUL
1.
Dilihat
dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan
riwayat asbab an-nuzul, yaitu shorih (jelas) dan muhtamilah (kemungkinan).
Redaksi shorih artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbab an-nuzul, dan
tidak menunjukkan yang lainnya. Redaksi dikatakan shorih apabila perawi
mengatakan:
سبب نزول هذه
الأية هذا......
Artinya:
“sebab
turun ayat ini adalah………….”
Atau
ia menggunakan kata “maka” (fa
taqibiyah) setelah ia mengatakan peristiwa tertentu. Umpamanya ia mengatakan:
حَدَ ثَ
هَذَا.....فَنَزَ لَتِ الْا يَةِ
Artinya:
“telah
terjadi…..maka turunlah ayat…..”
Contoh
riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah riwayat yang
dibawakan oleh jabir yang mengatakan bahwa orang-orang yahudi berkata, “ apabia
seorang suami mendatangi “ kubul “ istrina dari belakang anak yang lahir akan
juling .” maka turun lah ayat :
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ
فَأْ تُوْ حَرْ ثَكُمْ أَ نَّى شِئْتُمْ. { البقرة : 223 }
Artinya: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki.” (Al-Baqarah [2]: 223)
Adapun redaksi yang termasuk muhtamilah bila perawi mengatakan:
نزلت هذه الأية
فى كذا.........
Artinya: “ Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….”
Umpanya riwayat Ibn Umar yang menyatakan:
نزلت فى إتيان النساء فى أدبارهن
Artinya: “Ayat istri-istri kalian adalah (ibarat) tanah tempat
bercocok tanam, diturunkan berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi) istri dari
belakang.” (HR. Bukhari)
Atau perawi mengatakan:
أحسب هذه الأية نزلت فى كذا......
Artinya: “Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan…..”
atau
ما أحسب نزلت هذه الأية إلا فى كذا......
Artinya: “Saya kira ayat ini tidak diturunkan, kecuali berkenaan
dengan……”
2.
Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab
An-Nuzul untuk SAtu Ayat atau Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul.
a. berbilangnya
Asbab An-Nuzul untuk satu Ayat ( ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid)
Pada
kenyataanya, tidak setiap ayat memiliki riwayat sebab an-nuzul dalam satu
versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-nuzul.
Tentu saja, hal itu tidak akan menjadi persoalan bila riwayat itu tidak
mengandung kontradiksi. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya dan
terkadang dalam kualitasnya.Untuk mengatasi variasi riwayat asbab an-nuzul
dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengemukakan cara-cara berikut.
1. Tidak
mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh
apabila variasi riwayat-riwayat asbabul nuzul ini menggunakan redaksi muhtamilah(tidak
pasti). Missal satu versi menggunakan redaksi: “ayat ini duturunkan berdasarka
dengan…..”.dan versi lain : “saya kira ayat ini diturunkan berkenaan
dengan…….”.
Variasi riwayat asbab
an-nuzul diatas tidak perlu di permasalahkan, karena yang dimaksud oleh setiap
variasi itu hanyalah sebagai tafsir belaka dan bukan sebagai asbab an-nuzul.Ini
berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukan bahwa sala satunya memaksudkan
asbab an-nuzul.
2. Mengambil
riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi shorih.Cara ini digunakan bila
salah satu versi riwayat asbab an-nuzul itu tidak menggunakan redaksi shorih
(pasti).misalnya riwayat asbab an-nuzul yang menceritakan kasus seseorang
lelaki yang menggauli isterinya dari bagian belakang .mengenai kasus itu, nafi
berkata satu hari aku membaca ayat “ nisa’ukum hartsun lakum”. Ibnu umar
kemudian berkata “ tahukah engkau mengenai ayai ini duturunkan? “ tidak
“,jawabku. Ia melanjutkan” ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi
wanita dari belakang”. Sementara ibnu umar menggunakan redaksi yang tidak
shorih, dalan satu riwayat Jabir dikatakan : seorang Yahudi mengatakan bahwa
apabila seseorang menyetubuhu isterinya dari belakang , anak yang lahir akan
juling. Maka diturunkan ayat :nisa’ukum
hartsun lakum. Dalam kasus semacam diatas , lewat riwayat Jabir lah yang harus
dipakai karena ia menggunakan redaksi shorih.
3. Mengambil
versi rewayat shohih.
Cara ini digunakan
apabila semua riwayat itu menggunakan redaksi shorih, tetapi kwalitas salah
satunya tidah shahih. Adapun terhadap variasi asbab an-nuzul dalam satu ayat ,
versi berkualitas para ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut .
(1) Mengambil
versi riwayat yang shahih .
Cara ini mengambil bila
terdapat dua versi riwayat tentag asbab an-nuzul satu ayat , satu versi
berkualitas shohih sedangkan yang lainyatidak .misalnya riwayat dua versi
riwayat asbab an-nuzul, kontradiktif untuk surat ad-dhuha ayat 1-3 .
(2) Melakukan
studi slektif ( tarjih)
Langkah ini diambil
bila kedua versi asbab an-nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya.Sama-sama
shohih seperti asbab an-nuzul yang berkaitan dengan turunya ayat tentang roh.
(3) Melakukan
studi kompromi ( jama’)
Langkah ini diambil
bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status kesahihan
hadis yang sederajat dan tidak mungkin dulakukan tarjih.[5]
b.
Variasi ayat untuk satu sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid)
Terkadang suatu kejadian dapat menjadi sebab bagi turunnya dua ayat
atau lebih. Dalam Ulumul Qur’an dalam hal ini disebut dengan istilah Ta’addud Nazil
wa As-Sabab Al-Wahid (terbilang ayat yang turun, sedangkan sebab turunnya
satu).[6] Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang
cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surat
berkenaan dengan satu peristiwa.[7]
2.4
FUNGSI
ASBAB AL-NUZUL
a. Mengetahui
hikmah dan rahasia suatu hukum dan perhatian syarat terhadap kepentingan umum
dalam menghadapi segala peristiwa, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan
agama. Jika dianalisa secara cermat, proses penetapan hokum berlangsung secara
manusiawi, seperti penghapusan minuman keras, misalnya ayat-ayat Al-Qur’an
turun dalam tiga kali tahapan, yaitu Q.s. al-Nahl/ 16:67, Q.s.al-Nisa’ /4:43,
dan Q.s al- Ma’idah/ 5:90-91.
b. Membantu
kejelasan terhadap beberapa ayat. Misalnya urwah bin zubair mengalami kesulitan
dalam memahami hokum fardhu sa’I antara shafa dan marwah, Q.s al-Baqarah/
2:128:
اِنَّ
الصَّفَاوَالْمَرْوَةَ من شعا ءرِالله، فمَن حَجَّ البيتَ اوِاعْتَمَرَ فلا جُنَا
حَ عليه اَنْ يَطَّوَّفَ بهما، و من تَطَوَّ عَ خيرًا فاِنَّ الله شا كرٌ عليمٌ
“ Sesungguhnya shafa dan marwah adalah
sebagian dari syiar-syiar Allah. Barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah
berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.Dan
barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati,
sesunnguhnya Allah maha mensyukuri kebaikan lagi maha mengetahui.”
Urwah ibn zubair kesulitan memahami “tidak ada dosa” (fala
junaha) di dalam ayat ini.Ia lalu menanyakan kepada ‘Aisyah perihal ayat
tersebut lalu ‘aisyah menjelaskan bahwa peniadaan dosa di situ bukan peniadaan
hokum fardhupeniadaan di situ di maksudkan sebagai penolakan terhadap keyakinan
yang telah mengakar di hati kaum muslimin ketika itu, bahwa melakukan sa’I di
antar shafa dan marwah termasuk perbuatan jahiliyah. Keyakinan ini di dasarkan
atas pandangan bahwa pada masa pra islam di bukit shafa terdapat sebuah patung
yang disebut isaf dan di bukit marwah ada sebuah patung yang disebut na’ilah.
Jika melakukan sa’I di antara dua bukit itu orang-orang jahiliyah sebelumnya
mengusap kedua patung tersebut. Ketika islam lahir, patung-patung tersebut di
hancurkan, dan sebagian umat islam enggan melakukan sa’I di tempat itu, maka
turunlah ayat ini ( Q.s. al-baqarah/158).[8]
c. Memudahkan
untuk menghapal dan memehami ayat, serta untuk memantapkan wahyu kedalam hati
orang yang mendengarnya. Sebab, hubungan sebab – akibat (musabbab), hokum,
peristiwa, dan pelaku, masa, dan tempat merupakan satu jalinan yang bisa
mengikat hati.
d. Mengatasi
keraguan yang diduga mengandung pengertian umum. Menurut asy-syafi’I, pesan
ayat ini tidak bersifat umum. Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam
memahami ayat di atas, asy – syfi’I menggunakan alat bantu asbab an- nuzul.
Menurutnya, ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak
mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Karena
mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah
diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang yahudi,
turunlah ayat di atas.[9]
e. Apabila
lafadz yang diturunkan itu laafadz yang umum dan terdapat dalil atas
pengkhususanya, maaka pengetahuan mengenai asbab an-nuzul membatasi penghususan
itu hanya terhadap yang selaain bentuk sebab.
f. Mengetahui
sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna qur’an dan menyingkap
kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dpat ditafsirka tanpa
mengetahui seba nuzulnya.
g. Menghususkan
hukum yang duturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatkan dalam
bentuk umum.[10]
2.5
PANDANGAN
PARA ULAMA TENTANG ASBAB AN_NUZUL
Para
ulama tidak sepakat mengenai kedudukan asbab an-nuzul. Mayoritas ulama tidak
memberikan keistimewaan khusus kepada ayat-ayat yang mempunyai riwayat asbab
an-nuzul, karena yang terpenying bagi mereka ialah apa yang tertera didalam
redaksi ayat. Jumhur ulama kemudian menetapkan suatu kaidah :
العبرة
بعمور اللفظ لا يخصوص السبب
“ Yang dijadikan
pegangan ialah keumuman lafadz. Bukan kekhususan sebab."
Sedangkan
sebagian kecil ulama memandang penting keberadaan riwayat-riwayat asbab an-nuzul
didalam memahami ayat. Golongan ini juga menetapkan suatu kaedah
العبرة
بخصوص السبب لا بعمور اللفظ
“
yang dijadikan pegangan ialah kekhususun sebab, bukan keumuman lafadz”.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang di turunkan berdasarkan sebab khusus
tetapi diungkapkan dalam bentuk lafadznya, maka yang dijadikan pegangan adalah
lafadz umumnya.[11]
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Asbab
an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “Asbab” dan “Nuzul”. Secara
etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya
turunnya Al-Qur’an. Asbab An-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar
belakangi turunnya ayat Al-Quran .ayat tersebut dalam rangka menjawab,
menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari
kejadian-kejadian tersebut.
Cara
mengetahui asbab an-nuzul. Asbab An-Nuzul
diketahui melalui riwayat yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad. tidak semua
riwayat yang disandarkan kepadanya bisa dipegang. Riwayat yang dapat dipegang
ialah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan
kepada ahli hadis. Secara khusus dari riwayat
asbab al-Nuzul ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami
peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu diturunkan).
Macam-macam
asbab an-nuzul. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam
riwayat asbab an-nuzul Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi dalam
mengungkapkan riwayat asbab an-nuzul, yaitu shorih (jelas) dan muhtamilah
(kemungkinan). Redaksi shorih artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan
asbab an-nuzul, dan tidak menunjukkan yang lainnya.
Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk SAtu Ayat atau
Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul.(a). Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk
satu Ayat ( ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid),(b)Variasi
ayat untuk satu sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid).
Fungsi asbab an-nuzul diantaranya adalah:
Mengetahui hikmah dan rahasia suatu hukum dan perhatian syarat terhadap
kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, tanpa membedakan etnik,
jenis kelamin dan agama.Membantu kejelasan terhadap beberapa ayat.dan dan
terdapat juga perbedaan pendapat tentang asbab an-nuzul tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Abdullah Syamsul. Studi
Al-Quran.2011. Jember:pena Salsabila.
Anwar, Rosihon .2008. Ulumul
Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia
Al-qattan, Manna
khalil.2013. studi ilmu-ilmu qur’an. Bogor: litera antarnusa,
Khaidirsyafruddin,
http://khaidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/asbabun-nuzul.html,2013,
diakses tgl 6/06/2014, jam 9.28 WIB.
[1]Khaidirsyafruddin, http://khaidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/asbabun-nuzul.html,2013,
diakses tgl 6/06/2014, jam 9.28 WIB.
[2] Rosihon Anwar, Ulumul
Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 59.
[3]Abdullah Syamsul Arifin, Studi
Al-Quran, pena Salsabila, Jember, 2011,hal 38.
[4]Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran,
Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 61.
[5]Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran,
Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 69-74
.
[6] Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran,
Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 79.
[7] Manna khalil
al-qattan, studi ilmu-ilmu qur’an, litera antarnusa, Bogor, 2013, hal
132.
[8]Abdullah Syamsul Arifin, Studi
Al-Quran, pena Salsabila, Jember, 2011,hal 40-41.
[9]Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran,
Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 64-65.
[10] Manna khalil
al-qattan, studi ilmu-ilmu qur’an, litera antarnusa, Bogor, 2013, hal
111-112.
[11]Abdullah Syamsul Arifin, Studi
Al-Quran, pena Salsabila, Jember, 2011,hal 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar