Selasa, 28 Juli 2015

Pengertian Asbab An-Nuzul



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.[1]
Al- Qur’an bukanlah merupakan sebuah “buku” dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad SAW. Sejauh situasi-situasi menuntutnya. Al-Quran pun sangat menyadari kenyataan ini sebagai suatu yang akan menimbulkan keusilan dikalangan pembantahnya (QS. Al-Furqon {25}: 32). Seperti yang diyakini sampai sekarang , pewahyuan Al-Quran secara total dalam sekali waktu secara sekaligus adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena pada kenyataannya Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang timbul.
            Sebagaian tugas untuk memahami pesan dari Al-Quran sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dalam konteks latar belakangnya. Latar belakang yang paling dekat adalah kegiatan dan perjuangan nabi yang berlangsung selama 23 tahun dibawah bimbingan Al-Quran . tethadap perjuangan nabi yang secara keseluruhan sudah terpapar dalam sunnahnya, kita perlu memahaminya dalam konteks prespektif melieu Arab pada masa awal penyebaran islam, karena aktifitas nabi berada didalamnya, oleh karena itu , adat istiadat, lembaga-lembaga serta pandanangan hidup bangsa Arab pada umumnya menjadi esensial diketahui dalam rangka memahami konteks aktifitas nabi. Secara khusus, situasi mekah pra-islam perlu dipahami terlebih dahulu secara mendalam. Tanpa memahami masalah ini, pesan Al-Quran sebagai suatu kebutuhan tidak akan dipahami. Orang akan salah meangkap pesan-pesan Al-Quran secara utuh, jika hanya memahami bahasanya saja, tanpa memahami konteks historisnya. Agar dipahami secara utuh, Al-Quran harus dicerna dalam konteks perjuangan nabi dan latar belakang perjuanganya. Oleh sebab itu, hamper semua literature yang berkenaan dengan Al-Quran menekankan pentingnya asbab an-nuzul ( alasan pewahyuan).[2]

1.2  Rumusan Masalah
2.      Apakah pengertian Asbab An-Nuzul?
3.      Bagaimana cara mengetahui Asbab An-Nuzul?
4.      Apa saja macam-macam Asbab An-Nuzul?
5.      Apakah fungsi Asbab-An-Nuzul?
6.      Bagaimana pandangan para ulama tentang Asbab an-Nuzul?
1.3  Tujuan Penulisan
2.      Mengetahui pengertian Asbab An-Nuzul.
3.      Mengetahui Bagaimana cara mengetahui Asbab An-Nuzul.
4.      Mengetahui macam-macam Asbab An-Nuzul.
5.      Mengetahui fungsi Asbab-An-Nuzul.
6.      Mengetahui pandangan para ulama tentang Asbab an-Nuzul.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN ASBAB AL-NUZUL
            Asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “Asbab” dan “Nuzul”. Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya turunnya Al-Qur’an. Banyak pengertian termonologi yang dirumuskan oleh para ulama, di antaranya :
1.      Menurut az-zarqani :
“Asbab An-Nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”
2.      Ash- shabuni
“Asbab an-nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
3.      Shubhi Shalih
“Asbab an-Nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an(ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum di saat peristiwa itu terjadi.”[3]
      Kendatipun redaksi-redaksi pendefinisian diatas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan Asbab An-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Quran .ayat tersebut dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian-kejadian tersebut. Asbab An-Nuzul merupakan bahan-bahan sejarah yang dapat dipakai untuk memberikan keterangan-keterangan terhadap lembaran-lembaran dan memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahnya.Sudah tentu bahan-bahan sejarah ini hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pada masa Al-Quran masih turun (‘ashr at-tanzil).[4]
2.2  CARA MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Asbab An-Nuzul diketahui melalui riwayat yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad. tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya bisa dipegang. Riwayat yang dapat dipegang ialah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan kepada ahli hadis. Secara khusus dari riwayat  asbab al-Nuzul ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu diturunkan). Dengan demikian, seperti halnya periwayatan pada umumnya, diperlukan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan asbab al-Nuzul. Dalam kitab asbab al-Nuzul-nya, Al-Wahidi menyatakan:
لَا يَحِلُّ فِى أَسْبَابِ نُزُوْلِ الْكِتَابِ إِلَّا بِالرِّوَايَةِ وَالسَّمَاعِ مِمَّنْ شَاهَدُوْا التَّنْزِيْلَ وَوَقَفُوْا عَلَى الْاَسْبَابِ وَبَحَثُوْا عَنْ عِلْمِهَا وَجَدُّوْا فِى الطَّلَبِ.
Artinya: “Pembicaraan asbab an-nuzul harus berdasarkan riwayat dan mendengarnya dari mereka yang secara langsung menyaksikan peristiwa nuzul, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Dapat diketahui bahwa para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab an-nuzul. Ketaatan mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber riwayat (isnad), dan redaksi berita (matan).
Berkaitan dengan asbab an-nuzul, ucapan seorang tabi’ tidak dipandang sebagai hadis marfu’, kecuali bila diperkuat oleh hadis mursal lainnya, yang diriwayatkan oleh seorang imam tafsir yang dipastikan mendengar hadis itu dari Nabi. Para imam tafsir itu diantaranya Ikrimah, Mujahid, Sa’ad Ibn Jubair, Atha’, Hasan Bishri, Sa’id Ibn Musayyab, dan Adh-Dhahhak.
2.3  MACAM-MACAM ASBAB AN-NUZUL
1.    Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab an-nuzul, yaitu shorih (jelas) dan muhtamilah (kemungkinan). Redaksi shorih artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbab an-nuzul, dan tidak menunjukkan yang lainnya. Redaksi dikatakan shorih apabila perawi mengatakan:
سبب نزول هذه الأية هذا......
Artinya:
sebab turun ayat ini adalah………….”
Atau ia menggunakan kata “maka”  (fa taqibiyah) setelah ia mengatakan peristiwa tertentu. Umpamanya ia mengatakan:
حَدَ ثَ هَذَا.....فَنَزَ لَتِ الْا يَةِ
Artinya:
telah terjadi…..maka turunlah ayat…..”
Contoh riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah riwayat yang dibawakan oleh jabir yang mengatakan bahwa orang-orang yahudi berkata, “ apabia seorang suami mendatangi “ kubul “ istrina dari belakang anak yang lahir akan juling .” maka turun lah ayat :
 نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْ تُوْ حَرْ ثَكُمْ أَ نَّى شِئْتُمْ. { البقرة : 223 }
Artinya: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Al-Baqarah [2]: 223)

Adapun redaksi yang termasuk muhtamilah bila perawi mengatakan:
نزلت هذه الأية فى كذا.........
Artinya: “ Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….”
Umpanya riwayat Ibn Umar yang menyatakan:
نزلت فى إتيان النساء فى أدبارهن
Artinya: “Ayat istri-istri kalian adalah (ibarat) tanah tempat bercocok tanam, diturunkan berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi) istri dari belakang.” (HR. Bukhari)
Atau perawi mengatakan:
أحسب هذه الأية نزلت فى كذا......
Artinya: “Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan…..”
atau
ما أحسب نزلت هذه الأية إلا فى كذا......
Artinya: “Saya kira ayat ini tidak diturunkan, kecuali berkenaan dengan……”
2. Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk SAtu Ayat atau Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul.
a.       berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu Ayat ( ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid)
Pada kenyataanya, tidak setiap ayat memiliki riwayat sebab an-nuzul dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-nuzul. Tentu saja, hal itu tidak akan menjadi persoalan bila riwayat itu tidak mengandung kontradiksi. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang dalam kualitasnya.Untuk mengatasi variasi riwayat asbab an-nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengemukakan cara-cara berikut.
1.      Tidak mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat-riwayat asbabul nuzul ini menggunakan redaksi muhtamilah(tidak pasti). Missal satu versi menggunakan redaksi: “ayat ini duturunkan berdasarka dengan…..”.dan versi lain : “saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….”.
Variasi riwayat asbab an-nuzul diatas tidak perlu di permasalahkan, karena yang dimaksud oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsir belaka dan bukan sebagai asbab an-nuzul.Ini berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukan bahwa sala satunya memaksudkan asbab an-nuzul.
2.      Mengambil riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi shorih.Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab an-nuzul itu tidak menggunakan redaksi shorih (pasti).misalnya riwayat asbab an-nuzul yang menceritakan kasus seseorang lelaki yang menggauli isterinya dari bagian belakang .mengenai kasus itu, nafi berkata satu hari aku membaca ayat “ nisa’ukum hartsun lakum”. Ibnu umar kemudian berkata “ tahukah engkau mengenai ayai ini duturunkan? “ tidak “,jawabku. Ia melanjutkan” ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang”. Sementara ibnu umar menggunakan redaksi yang tidak shorih, dalan satu riwayat Jabir dikatakan : seorang Yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang menyetubuhu isterinya dari belakang , anak yang lahir akan juling. Maka diturunkan ayat :nisa’ukum hartsun lakum. Dalam kasus semacam diatas , lewat riwayat Jabir lah yang harus dipakai karena ia menggunakan redaksi shorih.
3.      Mengambil versi rewayat shohih.
Cara ini digunakan apabila semua riwayat itu menggunakan redaksi shorih, tetapi kwalitas salah satunya tidah shahih. Adapun terhadap variasi asbab an-nuzul dalam satu ayat , versi berkualitas para ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut .
(1)   Mengambil versi riwayat yang shahih .
Cara ini mengambil bila terdapat dua versi riwayat tentag asbab an-nuzul satu ayat , satu versi berkualitas shohih sedangkan yang lainyatidak .misalnya riwayat dua versi riwayat asbab an-nuzul, kontradiktif untuk surat ad-dhuha ayat 1-3 .

(2)   Melakukan studi slektif ( tarjih)   
Langkah ini diambil bila kedua versi asbab an-nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya.Sama-sama shohih seperti asbab an-nuzul yang berkaitan dengan turunya ayat tentang roh.
(3)   Melakukan studi kompromi ( jama’)
Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin dulakukan tarjih.[5]
b.      Variasi ayat untuk satu sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid)
Terkadang suatu kejadian dapat menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau lebih. Dalam Ulumul Qur’an dalam hal ini disebut dengan istilah Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid (terbilang ayat yang turun, sedangkan sebab turunnya satu).[6]  Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa.[7]
2.4  FUNGSI ASBAB AL-NUZUL
a.       Mengetahui hikmah dan rahasia suatu hukum dan perhatian syarat terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama. Jika dianalisa secara cermat, proses penetapan hokum berlangsung secara manusiawi, seperti penghapusan minuman keras, misalnya ayat-ayat Al-Qur’an turun dalam tiga kali tahapan, yaitu Q.s. al-Nahl/ 16:67, Q.s.al-Nisa’ /4:43, dan Q.s al- Ma’idah/ 5:90-91.
b.      Membantu kejelasan terhadap beberapa ayat. Misalnya urwah bin zubair mengalami kesulitan dalam memahami hokum fardhu sa’I antara shafa dan marwah, Q.s al-Baqarah/ 2:128:
اِنَّ الصَّفَاوَالْمَرْوَةَ من شعا ءرِالله، فمَن حَجَّ البيتَ اوِاعْتَمَرَ فلا جُنَا حَ عليه اَنْ يَطَّوَّفَ بهما، و من تَطَوَّ عَ خيرًا فاِنَّ الله شا كرٌ عليمٌ
“ Sesungguhnya shafa dan marwah adalah sebagian dari syiar-syiar Allah. Barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, sesunnguhnya Allah maha mensyukuri kebaikan lagi maha mengetahui.”
      Urwah ibn zubair kesulitan memahami “tidak ada dosa” (fala junaha) di dalam ayat ini.Ia lalu menanyakan kepada ‘Aisyah perihal ayat tersebut lalu ‘aisyah menjelaskan bahwa peniadaan dosa di situ bukan peniadaan hokum fardhupeniadaan di situ di maksudkan sebagai penolakan terhadap keyakinan yang telah mengakar di hati kaum muslimin ketika itu, bahwa melakukan sa’I di antar shafa dan marwah termasuk perbuatan jahiliyah. Keyakinan ini di dasarkan atas pandangan bahwa pada masa pra islam di bukit shafa terdapat sebuah patung yang disebut isaf dan di bukit marwah ada sebuah patung yang disebut na’ilah. Jika melakukan sa’I di antara dua bukit itu orang-orang jahiliyah sebelumnya mengusap kedua patung tersebut. Ketika islam lahir, patung-patung tersebut di hancurkan, dan sebagian umat islam enggan melakukan sa’I di tempat itu, maka turunlah ayat ini ( Q.s. al-baqarah/158).[8]
c.       Memudahkan untuk menghapal dan memehami ayat, serta untuk memantapkan wahyu kedalam hati orang yang mendengarnya. Sebab, hubungan sebab – akibat (musabbab), hokum, peristiwa, dan pelaku, masa, dan tempat merupakan satu jalinan yang bisa mengikat hati.
d.      Mengatasi keraguan yang diduga mengandung pengertian umum. Menurut asy-syafi’I, pesan ayat ini tidak bersifat umum. Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, asy – syfi’I menggunakan alat bantu asbab an- nuzul. Menurutnya, ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang yahudi, turunlah ayat di atas.[9]
e.       Apabila lafadz yang diturunkan itu laafadz yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususanya, maaka pengetahuan mengenai asbab an-nuzul membatasi penghususan itu hanya terhadap yang selaain bentuk sebab.
f.       Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dpat ditafsirka tanpa mengetahui seba nuzulnya.
g.      Menghususkan hukum yang duturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatkan dalam bentuk umum.[10]

2.5  PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG ASBAB AN_NUZUL
Para ulama tidak sepakat mengenai kedudukan asbab an-nuzul. Mayoritas ulama tidak memberikan keistimewaan khusus kepada ayat-ayat yang mempunyai riwayat asbab an-nuzul, karena yang terpenying bagi mereka ialah apa yang tertera didalam redaksi ayat. Jumhur ulama kemudian menetapkan suatu kaidah :
العبرة بعمور اللفظ لا يخصوص السبب
“ Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz. Bukan kekhususan sebab."
Sedangkan sebagian kecil ulama memandang penting keberadaan riwayat-riwayat asbab an-nuzul didalam memahami ayat. Golongan ini juga menetapkan suatu kaedah
العبرة بخصوص السبب لا بعمور اللفظ
“ yang dijadikan pegangan ialah kekhususun sebab, bukan keumuman lafadz”.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang di turunkan berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafadznya, maka yang dijadikan pegangan adalah lafadz umumnya.[11]
 BAB III
KESIMPULAN

3.1  KESIMPULAN
Asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “Asbab” dan “Nuzul”. Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya turunnya Al-Qur’an. Asbab An-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Quran .ayat tersebut dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian-kejadian tersebut.
 Cara mengetahui asbab an-nuzul. Asbab An-Nuzul diketahui melalui riwayat yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad. tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya bisa dipegang. Riwayat yang dapat dipegang ialah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan kepada ahli hadis. Secara khusus dari riwayat  asbab al-Nuzul ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu diturunkan).
Macam-macam asbab an-nuzul. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab an-nuzul, yaitu shorih (jelas) dan muhtamilah (kemungkinan). Redaksi shorih artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbab an-nuzul, dan tidak menunjukkan yang lainnya. Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk SAtu Ayat atau Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul.(a). Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu Ayat ( ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid),(b)Variasi ayat untuk satu sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid).
Fungsi asbab an-nuzul diantaranya adalah: Mengetahui hikmah dan rahasia suatu hukum dan perhatian syarat terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama.Membantu kejelasan terhadap beberapa ayat.dan dan terdapat juga perbedaan pendapat tentang asbab an-nuzul tersebut.

 DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Abdullah Syamsul. Studi Al-Quran.2011. Jember:pena Salsabila.
Anwar, Rosihon .2008. Ulumul Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia
Al-qattan, Manna khalil.2013. studi ilmu-ilmu qur’an. Bogor: litera antarnusa,
Khaidirsyafruddin, http://khaidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/asbabun-nuzul.html,2013, diakses tgl 6/06/2014, jam 9.28 WIB.



[1]Khaidirsyafruddin, http://khaidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/asbabun-nuzul.html,2013, diakses tgl 6/06/2014, jam 9.28 WIB.
[2] Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 59.
[3]Abdullah Syamsul Arifin, Studi Al-Quran, pena Salsabila, Jember, 2011,hal 38.
[4]Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 61.
[5]Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 69-74
.
[6] Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 79.
[7] Manna khalil al-qattan, studi ilmu-ilmu qur’an, litera antarnusa, Bogor, 2013, hal 132.
[8]Abdullah Syamsul Arifin, Studi Al-Quran, pena Salsabila, Jember, 2011,hal 40-41.
[9]Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal 64-65.
[10] Manna khalil al-qattan, studi ilmu-ilmu qur’an, litera antarnusa, Bogor, 2013, hal 111-112.
[11]Abdullah Syamsul Arifin, Studi Al-Quran, pena Salsabila, Jember, 2011,hal 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar