BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat,
salah satunya adalah bahwa Al-Quran adalah kitab yang keotentikannya di jamin
oleh Allah, Dan dia adalah kitab yang selalu dipelihara. (Qs. Al-Hijr-9)
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ (٩)
Atinya : Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.
Perbedaan pangkal tolak dalam menelaah Al-Quran oleh sarjana muslim dan
bukan muslim (orientalis) menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Sarjana muslim dalam melakukan usahanya didasari oleh titik tolak imani
disertai dengan nuansa yang tersendiri. Sedangkan para orientalis, tidak
mempunyai ikatan batin sama sekali dengan Al-Quran. Mereka menerapkan kebiasaan
ilmiah yang bertolak belakang dari ”keraguan” untuk menemukan sebuah
“kebenaran” ilmiah. Almarhum ‘Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar
berkata : “Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan
kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan ke otentikannya.
Seorang muslim, tidak dapat menghindarkan diri dari keterikatannya dengan
Al-Quran. Seorang muslim mempelajari Al-Quran tidak hanya mencari “kebenaran”
ilmiah, tetapi juga mencari isi dan kandungan Al-Quran. Begitu juga dengan
telaah tentang munasabah yang merupakan bagian dari telaah
Al-Quran. Seluruh usaha membeberkan berbagai bentuk hubungan dan
kemirip-miripan dalam Al-Quran adalah tidak terlepas dari usaha membuktikan
bahwa Al-Quran sebagai “sesuatu yang luar biasa”.
B. Rumusan Masalah
a. Apa Latar Belakang Lahirnya Munasabah Al-Qur’an ?
b. Apa Pengertian
Munasabah Al-Qur’an ?
c. Bagaimana Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an ?
d. Apa Saja Macam-macam Munasabah Al-Qur’an?
e. Apa Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah Al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
a. Menjelaskan Latar Belakang Lahirnya Munasabah Al-Qur’an.
b. Menjelaskan
Pengertian Munasabah Al-Qur’an.
c. Menjelaskan
Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an.
d. Menjelaskan Apa
Saja Macam-macam Munasabah Al-Qur’an.
e.
Menjelaskan Urgensi dan Kegunaan
Mempelajari Munasabah Al-Qur’an.
D. Manfa’at Penulisan
a. Mengetahui Latar Belakang Lahirnya Munasabah Al-Qur’an.
b. Mengetahui
Pengertian Munasabah Al-Qur’an.
c. Mengetahui Cara
Mengetahui Munasabah Al-Qur’an.
d. Mengetahui Apa
Saja Macam-macam Munasabah Al-Qur’an.
e. Mengetahui
Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Lahirnya Munasabah Al-Qur’an
Lahirnya
pengetahuan tentang teori korelasi (munasabah) ini tampaknya berawal dari
kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani
sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini,
ulama’ salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an.
Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari
Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu berdasarkan atas ijtihad para
sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah
tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali
surat Al-Anfal[8] dan Bara’ah[9] yang dipandang bersifat ijtihad.
Pendapat
pertama di atas didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu
pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat
kedua didukung oleh malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan
Ibn Al-Faris, sedangkan pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu
penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang
bervariasi dalm urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis
turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra’, kemudian sisanya
disusun berdasarkan tempat turunyya (makki kemudian madani). Adapun mushaf Ibn
Mas’ud dimulai dengan surat Al-Baqarah kemudian [2], An-Nisa’ [4], lalu surat
Ali ‘Imron [3].
Atas dasar
perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori
korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni
‘Ulum Al-Qur’an. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini,
menurut As-Suyuthi, adalah syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian
menyusul beberapa ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya
Tartib As-Suwar Al-Qur’an, Syekh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan bukunya Nazhm
Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar
Al-Tartib Al-Qur’an. Di antara ulama lain yang menulis dalam bidang ini adalah
Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Al-Zubair Al-Andalusi (w.807 H) dalam karyanya
Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur’an. Dalam konteks ini, Tafsir
Al-Kabir yang ditulis oleh Fakr Ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir yang
banyak mengemukakan sisi munasabah dalam Al-Qur’an.
B.
Pengertian Munasabah Al-Qur’an
Munasabah berasal dari kata ناسب يناسب
مناسبةyang berarti dekat,
serupa, mirip, dan rapat. المناسبة
sama
artinya dengan المقاربة
yakni
mendekatkannya dan menyesuaikannya.; النسيبartinya القريب المتصل(dekat dan
berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud apabila
kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara
kedua-duanya. An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni ikatan,
pertalian, hubungan.[1]
Selanjutnya
Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi) bahwa munasabah
adalah ada-nya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai
ayat, surah, dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan[2].
Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna antara ayat dan macam-macam
hubungan, atau kemestian dalam fikiran (nalar).
Makna
tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap
maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat
dicari penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau
kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat
secara parsial (pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin
terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin
memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus dipahami
secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami
secara utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa
sekarang dan akan datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi
kebutuhan manusia. Jadi, tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang
Ulumul Quran tema munasabah hampir tak pernah terlewatkan.[3]
Secara
terminologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada
hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang
menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan
atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu
dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya. Ilmu munasabah
berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan
ayat atau surat yang lainnya.
Menurut istilah, ilmu munasabah atau ilmu tanasubil
ayati was suwari ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban
dari bagian-bagian Al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan
segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat Al-Qur’an. Apakah
hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus / antara abstrak
dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lulnya,
ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang
kontradiksi. Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti
yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah,
seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab
ayat-ayat Al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish
(pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan
yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu
akibat seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat
itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali
antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun
dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah
terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama
sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah
atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu
yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an
dalam menjangkau sinar petunjuknya.
C. Cara Mengetahui
Munasabah Al-Qur’an
Para ulama menjelaskan
bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan
tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik
dari Nabi maupun para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari
munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh
karena itu, terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan
yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia
tidak diperkenankan memaksakan diri. Dalam hal ini, Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd
As-Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan
antarkalam imensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan
bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang
berbeda, keterkaitan salah satunya dangan lainnya tidak menjadi syarat. Orang
yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya.
Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang
pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik.
Untuk meneliti
keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur’an diperlukan
ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1. Harus diperhatikan
tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2. Memperhatikan uraian
ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan tingkatan
uraian-uraian itu, apakah ada hubungan atau tidak.
4. Dalam mengambil
kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar
dan tidak berlebihan.
D.
Macam-macam Munasabah
Jika di tinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian
dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam[4];
Ø Persesuaian
yang nyata (zahir al-Irtibat) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu yang
persambungan atau persesuaian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan yang
lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain
erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika
di pisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang
menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu berupa penguat,
penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang
lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama.
Ø Persambungan
yang tidak jelas (khaafiyyu al-Irtibath) atau samarnya persesuaian antara
bagian al-Qur’an dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk
keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri
sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain,
atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Contoh: seperti hubungan
antara ayat 189 surah al-Baqarah dengat ayat 190 surah al-Baqarah.
Jika
ditinjau dari segi materinya dalam al-Qur’an sekurang-kurangngya terdapat tujuh
macam munasabah, yaitu:
Ø Munasabah
antara surat dengan surat sebelumnya.[5]
Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, contoh, di dalam Q.S.
Al-Fatihah ayat 6 :
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ (6)
“tunjukilah
kami kejalan yang lurus”
Lalu
dijelsakan di surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti
petunjuk al-Qur’an.
Ø Munasabah
antara nama surat dengan isi atau tujuan surah.Nama-nama surah biasanya diambil
dari suatu masalah pokok di dalam satu surah,misalnya Q.S.an-Nisa’ (perempuan)
karena di dalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.
Ø Hubungan antara
fawatih as-suwar (ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf) dengan isi
surah. Hubungan fawatih as-suwar dengan isi surahnya bisa dilacak dari jumlah
huruf-huruf yang dijadikan sebagai fawatih as-suwar. Misalnya jumlah huruf
alif, lam, dan mimi pada surah-surah yang dimulai dengan alif-lam-mim semuanya
dapat dibagi 19 (Sembilan belas).[6]
Ø Hubungan antara
ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah.
Misalnya
Q.S Al-Mu’minun: 1 imulai dengan:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُون (1)
“sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”
kemudian
di bagian akhir surat ayat 117 ditemukan kalimat;
وَ مَنْ يَدْعُ مَعَ اللهِ إِلٰهاً لاآخَرَبُرْهانَ لَهُ بِهِ
فَإِنَّما حِسابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ لاإِنَّهُ يُفلِحُ الْكافِرُون (117)
“Dan
barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu
dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung”
Ø Hubungan antara
satu ayat dengan ayat lain dalam satu surah. Misalnya kata “Muttaqin” di dalam
surah al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri
orang yang bertaqwa.
Ø Hubungan antara
penutup surah dengan awal surah berikutnya, misalnya akhir Q.S. Al-Waqi’ah: 96 :
فَسَبِّحْ بِآسْمِ رَبِّكَ آلْعَظِيمِ (96)
“maka bertasbihlah dengan menyebut nama
TuhanMu Yang Maha Besar”
Lalu
surah berikutnya yakni Q.S. Al-hadid: 1;
سَبَّحَ لِلهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَاْلاَرْضِ ۨ وَهُوَالْ زُعَزِيْ
الْ حَكِيْ مُ (1)
“semua
yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran
Allah). Dan dialah Maha Kuasa Atas
Segala Sesuatu”
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan
berdasarkan petunjuk Nabi (tawqifi). Setiap orang bisa saja
menghubung-hubungkan antara berbagai hal di dalam kitab al-Qur’an.[7]
E. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah
Sebagaimana asbab
an-nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad
‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapan
oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang
awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami
sistematika surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana
juga memerhatikan segala permasalahannya.[8]
Di samping itu,
para ulama’ bersepakat bahwa Al-Qur’an ini, yang diturunkan dalam tempo 20
tahun lebih dan mengantung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda,
sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak
perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat
lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi
mengatakan bahwa jika tidak ada asbab An-Nuzul, yang lebih utama adalah
mengemukakan munasabah.
Lebih jauh lagi,
kegunaan mempelajari Ilmu Munsabah dapat dijelaskan sebagai berikut:[9]
1.
Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an
kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya. Contohnya terhadap
firman Allah dalam Surat Al-Baqorah ayat 189:
يسئلونك عن الاهلة هي مواقيت
للناس والحج وليس البر بان تا توا البيوت
من ظهورها ولكن ابر من تقى واتواالبيوت من
ابوابها واتقواالله لعلكم تفلحون (البقرة:١٨٩)
Artinya:
“ Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah:”bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadah haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi, kebajikan itu adalah kebajikan orang yang bertakwa.
Dan masuklah kerumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada
Allah agar kamu beruntung”
2.
Mengetahui atau persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an,
baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.
Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an
dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian
ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.
Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah
diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Latar Belakang Lahirnya Munasabah
Atas dasar
perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori
korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni
‘Ulum Al-Qur’an. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini,
menurut As-Suyuthi, adalah syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian
menyusul beberapa ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam
kitabnya Tartib As-Suwar Al-Qur’an, Syekh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan bukunya
Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya
Asrar Al-Tartib Al-Qur’an. Di antara ulama lain yang menulis dalam bidang ini
adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Al-Zubair Al-Andalusi (w.807 H) dalam
karyanya Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur’an. Dalam konteks ini,
Tafsir Al-Kabir yang ditulis oleh Fakr Ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir
yang banyak mengemukakan sisi munasabah dalam Al-Qur’an.
2.
Pengertian Munasabah
a.
Secara etimologi: Munasabah adalah Al-Musyakalah
(keserupaan) dan Al-Muqarabah (kedekatan).
b.
Secara terminologi: Munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada
hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang
menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
3.
Cara Mengetahui
Munasabah
Ø
Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek
pencarian.
Ø
Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam
surat.
Ø
Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungan atau tidak.
Ø
Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan
bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
4. Macam-macam Munasabah
Ø hubungan antara satu surah dengan surah
sebelumnya,
Ø hubungan antara nama surah dengan isi
atau tujuan surah,
Ø hubungan antara fawatih al-Suwar dengan
isi surah,
Ø hubungan antara ayat pertama dengan ayat
terakhir dalam satu surah,
Ø hubungan antara satu ayat dengan ayat
yang lain dengan satu surah,
Ø hubungan antara kalimat dengan kalimat
lain dalam satu ayat,
Ø hubungan antara fashilah dengan isi ayat.
5. Urgensi dan Kegunaan Munasabah
Ø Dapat
mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan
relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya.
Ø Mengetahui atau
persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau
antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan
pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan
dan kemukjizatannya.
Ø Dapat diketahui
mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya
yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari
yang lain.
Ø Dapat membantu
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat
atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Darraz,
Abdullah. 1974, An-Naba’ Al-‘Azhim,Mesir: Dar Al-‘Urubah.
Anwar,
Abu. 2005, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Amzah.
Djalal,
Abdul. 2000, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu.
Shihab,
Quraish. 1994, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan.
Syafe’i,
Rachmat. 2006, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia.
[4]Abdul jalal , ‘ulum al-Qur’an. 155-157
[5] M.Qurash Shihab, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, (Jakata Pustaka Firdaus,
1999), 75
[6] M.Qurash Shihab, Kemukjizatan al-Qur’an., 15
[7] M.Qurash Shihab dkk, Sejarah., 77
[8] ‘Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’ Al-Azhim, Dar Al-‘Urubah, Mesir, 1974,
hlm.159.
[9] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hlm. 164-165.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar