Selasa, 28 Juli 2015

Munasabah Al-Qur’an



 BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang Masalah
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat, salah satunya adalah bahwa Al-Quran adalah kitab yang keotentikannya di jamin oleh Allah, Dan dia adalah kitab yang selalu dipelihara. (Qs. Al-Hijr-9)
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
Atinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Perbedaan pangkal tolak dalam menelaah Al-Quran oleh sarjana muslim dan bukan  muslim (orientalis) menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Sarjana muslim dalam melakukan usahanya didasari oleh titik tolak imani disertai dengan nuansa yang tersendiri. Sedangkan para orientalis, tidak mempunyai ikatan batin sama sekali dengan Al-Quran. Mereka menerapkan kebiasaan ilmiah yang bertolak belakang dari ”keraguan” untuk menemukan sebuah “kebenaran” ilmiah. Almarhum ‘Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar berkata : “Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan ke otentikannya.
Seorang muslim, tidak dapat menghindarkan diri dari keterikatannya dengan Al-Quran. Seorang muslim mempelajari Al-Quran tidak hanya mencari “kebenaran” ilmiah, tetapi juga mencari isi dan kandungan Al-Quran. Begitu juga dengan telaah tentang munasabah yang merupakan bagian dari telaah Al-Quran. Seluruh usaha  membeberkan berbagai bentuk hubungan dan kemirip-miripan dalam Al-Quran adalah tidak terlepas dari usaha membuktikan bahwa Al-Quran sebagai “sesuatu yang luar biasa”.

B. Rumusan Masalah
            a. Apa Latar Belakang Lahirnya Munasabah Al-Qur’an ?
b.  Apa Pengertian Munasabah Al-Qur’an ?
c. Bagaimana Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an ?
d. Apa Saja Macam-macam Munasabah Al-Qur’an?
e. Apa Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah Al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
            a. Menjelaskan Latar Belakang Lahirnya Munasabah Al-Qur’an.
            b. Menjelaskan Pengertian Munasabah Al-Qur’an.
            c. Menjelaskan Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an.
            d. Menjelaskan Apa Saja Macam-macam Munasabah Al-Qur’an.
            e. Menjelaskan  Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah Al-Qur’an.
D. Manfa’at  Penulisan
            a. Mengetahui Latar Belakang Lahirnya Munasabah Al-Qur’an.
            b. Mengetahui Pengertian Munasabah Al-Qur’an.
            c. Mengetahui Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an.
            d. Mengetahui Apa Saja Macam-macam Munasabah Al-Qur’an.
            e. Mengetahui Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah Al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Lahirnya Munasabah Al-Qur’an
Lahirnya pengetahuan tentang teori korelasi (munasabah) ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama’ salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu berdasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal[8] dan Bara’ah[9] yang dipandang bersifat ijtihad.
Pendapat pertama di atas didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris, sedangkan pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalm urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra’, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunyya (makki kemudian madani). Adapun mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan surat Al-Baqarah kemudian [2], An-Nisa’ [4], lalu surat Ali ‘Imron [3].
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul beberapa ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar Al-Qur’an, Syekh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan bukunya Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar Al-Tartib Al-Qur’an. Di antara ulama lain yang menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Al-Zubair Al-Andalusi (w.807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur’an. Dalam konteks ini, Tafsir Al-Kabir yang ditulis oleh Fakr Ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir yang banyak mengemukakan sisi munasabah dalam Al-Qur’an.

B.     Pengertian Munasabah Al-Qur’an
Munasabah berasal dari kata  ناسب يناسب مناسبةyang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. المناسبة sama artinya dengan المقاربة yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya.; النسيبartinya  القريب المتصل(dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[1]
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi)  bahwa munasabah adalah ada-nya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan[2]. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna antara ayat dan macam-macam hubungan, atau kemestian dalam fikiran (nalar).
Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat dicari penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat secara parsial (pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus dipahami secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami secara utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan akan datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia. Jadi, tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang Ulumul Quran tema munasabah hampir tak pernah terlewatkan.[3]
Secara terminologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.
Menurut istilah, ilmu munasabah atau ilmu tanasubil ayati was suwari ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian Al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat Al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus / antara abstrak dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lulnya, ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dalam menjangkau sinar petunjuknya.

C.    Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Dalam hal ini, Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd As-Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antarkalam imensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang berbeda, keterkaitan salah satunya dangan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1.      Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.      Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.      Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungan atau tidak.
4.      Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.

D.    Macam-macam Munasabah
Jika di tinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam[4];
Ø Persesuaian yang nyata (zahir al-Irtibat) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu yang persambungan atau persesuaian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika di pisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama.
Ø Persambungan yang tidak jelas (khaafiyyu al-Irtibath) atau samarnya persesuaian antara bagian al-Qur’an dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Contoh: seperti hubungan antara ayat 189 surah al-Baqarah dengat ayat 190 surah al-Baqarah.
        Jika ditinjau dari segi materinya dalam al-Qur’an sekurang-kurangngya terdapat tujuh macam munasabah, yaitu:
Ø  Munasabah antara surat dengan surat sebelumnya.[5] Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, contoh, di dalam Q.S. Al-Fatihah ayat 6 :
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ (6)
            tunjukilah kami kejalan yang lurus”
   Lalu dijelsakan di surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-Qur’an.
Ø  Munasabah antara nama surat dengan isi atau tujuan surah.Nama-nama surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok di dalam satu surah,misalnya Q.S.an-Nisa’ (perempuan) karena di dalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.
Ø  Hubungan antara fawatih as-suwar (ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf) dengan isi surah. Hubungan fawatih as-suwar dengan isi surahnya bisa dilacak dari jumlah huruf-huruf yang dijadikan sebagai fawatih as-suwar. Misalnya jumlah huruf alif, lam, dan mimi pada surah-surah yang dimulai dengan alif-lam-mim semuanya dapat dibagi 19 (Sembilan belas).[6]
Ø  Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah.
   Misalnya Q.S Al-Mu’minun: 1 imulai dengan:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُون (1) 
“sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”
   kemudian di bagian akhir surat ayat 117 ditemukan kalimat;
وَ مَنْ يَدْعُ مَعَ اللهِ إِلٰهاً لاآخَرَبُرْهانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّما حِسابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ لاإِنَّهُ يُفلِحُ الْكافِرُون (117)
 Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung”
Ø  Hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surah. Misalnya kata “Muttaqin” di dalam surah al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang yang bertaqwa.
Ø  Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya, misalnya akhir Q.S. Al-Waqi’ah: 96 :
فَسَبِّحْ بِآسْمِ رَبِّكَ آلْعَظِيمِ (96)
maka bertasbihlah dengan menyebut nama TuhanMu Yang Maha Besar”
Lalu surah berikutnya yakni Q.S. Al-hadid: 1;
سَبَّحَ لِلهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَاْلاَرْضِ ۨ وَهُوَالْ زُعَزِيْ الْ حَكِيْ مُ (1)
 semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu”
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan berdasarkan petunjuk Nabi (tawqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal di dalam kitab al-Qur’an.[7]


E. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah
            Sebagaimana asbab an-nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya.[8]
            Di samping itu, para ulama’ bersepakat bahwa Al-Qur’an ini, yang diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengantung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbab An-Nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah.
            Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari Ilmu Munsabah dapat dijelaskan sebagai berikut:[9]
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam Surat Al-Baqorah ayat 189:
يسئلونك عن الاهلة   هي مواقيت للناس والحج  وليس البر بان تا توا البيوت من ظهورها ولكن ابر من تقى  واتواالبيوت من ابوابها واتقواالله لعلكم تفلحون (البقرة:١٨٩)
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:”bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi, kebajikan itu adalah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah kerumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

2.      Mengetahui atau persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.      Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
 BAB III
KESIMPULAN

1.      Latar Belakang Lahirnya Munasabah
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul beberapa ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar Al-Qur’an, Syekh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan bukunya Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar Al-Tartib Al-Qur’an. Di antara ulama lain yang menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Al-Zubair Al-Andalusi (w.807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur’an. Dalam konteks ini, Tafsir Al-Kabir yang ditulis oleh Fakr Ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir yang banyak mengemukakan sisi munasabah dalam Al-Qur’an.
2.      Pengertian Munasabah
a.       Secara etimologi: Munasabah adalah Al-Musyakalah (keserupaan) dan Al-Muqarabah (kedekatan).
b.      Secara terminologi: Munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
3.      Cara Mengetahui Munasabah
Ø  Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
Ø  Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
Ø  Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungan atau tidak.
Ø  Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
4.      Macam-macam Munasabah
Ø  hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya,
Ø  hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah,
Ø  hubungan antara fawatih al-Suwar dengan isi surah,
Ø  hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah,
Ø  hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dengan satu surah,
Ø  hubungan antara kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat,
Ø  hubungan antara fashilah dengan isi ayat.
5.      Urgensi dan Kegunaan Munasabah
Ø  Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya.
Ø  Mengetahui atau persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
Ø  Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
Ø  Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
 DAFTAR PUSTAKA
Ad-Darraz, Abdullah. 1974, An-Naba’ Al-‘Azhim,Mesir: Dar Al-‘Urubah.
Anwar, Abu. 2005, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Amzah.
Djalal, Abdul. 2000, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu.
Shihab, Quraish. 1994, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan.
Syafe’i, Rachmat. 2006,  Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia.




[1] Prof.Dr.H.Rahmat Syafe’I MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, hlm. 37.
[2] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung, Mizan, 1996, hlm. 319
[3] Drs. Abu Anwar M., Ulumul Quran Sebuah Pengantar, Amza, hlm 61
[4]Abdul jalal , ‘ulum al-Qur’an. 155-157
[5] M.Qurash Shihab, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, (Jakata Pustaka Firdaus, 1999), 75
[6] M.Qurash Shihab, Kemukjizatan al-Qur’an., 15
[7] M.Qurash Shihab dkk, Sejarah., 77
[8] ‘Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’ Al-Azhim, Dar Al-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm.159.
[9] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hlm. 164-165.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar