BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang.
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas
dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari jumlah kasus yeng terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari
segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya
yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak
terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Tindak Pidana Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua
maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi data dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi
yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui
pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta
bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional
serta berkesinambungan.
1.2.
Rumusan masalah
a)
Apa
yang di maksud dengan KPK?
b)
Apa
peran KPK terhadap pemberantasan korupsi?
1.3.
Tujuan Penulisan
a)
Menjelaskan
pengertian
dari KPK
b)
Menjelaskan peran KPK terhadap pemberantasan korupsi.
1.4 Manfaat Penulisan.
a)
Mengetahui pengertian dari KPK
b)
Mengetahui peran KPK terhadap pemberantasan korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
PENGERTIAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
KPK atau
singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebuah lembaga yang
pendiriannya oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Tujuan untuk
mengawasi semua aspek/lembaga pemerintahan ataupun Lembaga non pemerintahan
dari segala kemungkinan hal-hal yang berbau korupsi.
Komisi pemberantasan korupsi
adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi pemberantasan korupsi di bentuk dengan tujuan meningkatkan
daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan Tugas Dan Wewenangnya, Komisi Pemberantasan
Korupsi berasaskan pada:
a.
Kepastian
hukum;
b.
Keterbukaan;
c.
Akuntabilitas;
d.
Kepentingan
Umum; dan
e.
Proposionalitas.[1]
2.2 . PERAN KPK
DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Perang terhadap
korupsi merupakan focus yang sangat signifikan dalam suatu Negara berdasarkan
hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu
unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu Negara adalah perang
terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas,
permanent dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk
perekonomian serta penataan ruang wilayah.
KPK sebagai lembaga
independent, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak lain dalam
penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. KPK juga sebagai control
sososial dimana selama ini badan hukum kita masih mandul. Contohnya seperti
terungkapnya kasus Nyonya Artalita, dimana aparat hukum kita yang seharusnya
membongkar kasus korupsi justru bisa disuap oleh Nyonya Artalita dan yang
akhirnya berhasil dibongkar oleh KPK.
Jika ada beberapa
pejabat yang teriak-teriak karena ulah KPK, harus dipertanyakan kembali kepada
para pejabat itu, berteriak karena takut ikut terseret ataukah konpensasi atas
kesalahan sendiri? Dan perlu kita
pertanyakan kembali mengapa tidak berani teriak ketika kantong terisi uang haram?.
KPK juga sebagai barometer Negara terhadap
pandangan Negara lain. Mungkin korupsi di Indonesia sebagai fenomena gunung es
dan mungkin hanya 0,5 persen saja yang terbongkar. Tapi justru membanggakan
karena taring-taring keadilan mulai tumbuh. Kita melihatnya takut karena kita
selama ini terbiasa dibius oleh rezim sebelumnya dan menganggap aneh apabila
keadaan itu memerlukan konsekuensi yang berat. Berbagai upaya dilakukan untuk
mengusik eksistensi KPK. Ada yang langsung meminta pembubaran ataupun mengamputasi
peran KPK secara terselubung.
Peran KPK tidak hanya menindak koruptor di
dalam negeri, tapi juga membantu negara internasional memerangi korupsi di
antaranya membantu negara lain mengungkap skandal korupsi di negara tersebut.
Peran KPK dalam pemberantasan penyuapan pejabat asing atau orang asing dalam
bentuk mengungkap kasus yang ada di negaranya.
Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat
ini berada pada tipologi korupsi ketika state capture type of corruption telah
mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara korupsi birokrasi juga
berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini menyebabkan kita
disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan kata lain,
tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah sedemikian pelik.
Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih
berkutat pada penanganan korupsi yang bertipologi petty administrative
corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus korupsi yang ditangani
KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai strategis dari
sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat dalam dua
pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa Indonesia
dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak langsung
pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan terhadap
korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.
State capture bisa dilihat pada aktor utama
pelaku korupsinya, yakni pejabat politik, pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha
yang berkolusi menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor
inilah yang menciptakan sebuah kondisi negara yang terus-menerus tersandera
oleh ketidakberdayaan
sosial-ekonomi dan politik.
Di samping karena kerugian negara dan masyarakat
yang dapat mencapai triliunan rupiah, state capture telah menciptakan monopoli
dalam penguasaan dan alokasi sumber daya ekonomi publik. Melalui praktek
komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan contact person di level
tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik yang dapat
menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi state
capture, kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.
Namun, sayangnya, hingga saat ini, pun setelah
KPK lahir, aktor-aktor state capture masih tetap tidak tersentuh. KPK masih
sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, pejabat
eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di sektor
pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap korupsi.
Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian besar
dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan
yang strategis untuk dihantam.
Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan
hukum korupsi di semua lini. Karena itu, seharusnya pilihan dalam membidik
sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada pertimbangan strategisnya. Terutama
pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki hambatan politik untuk
menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas
perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan menimbulkan
naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.
Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus
korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak
terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan
koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang
ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara
serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan
kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan
dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan
tidak koruptif.
Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa
terdapat penambahan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian
setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan KPK, tapi hal itu tidak
mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu, untuk
mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian, KPK
seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan
pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian
akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang
sedemikian banyak.
Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya
masa tugas pemimpin KPK periode 2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak
hukum yang diproses, kecuali Suparman selaku penyidik KPK sendiri. Padahal
mustahil mendorong program pemberantasan korupsi di tubuh kejaksaan dan
kepolisian seandainya upaya-upaya pembersihan tidak segera dilakukan. Demikian
juga halnya lingkup pengadilan, yang seharusnya menjadi prioritas mengingat
semua proses hukum akan bermuara di
tangan para hakim.
Karena itu, ke depan sudah seharusnya pemimpin
KPK terpilih harus benar-benar memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat
melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari merajalelanya korupsi. Sudah
seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus becermin
pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekadar menjalankan tugas dan
kewajiban memberantas korupsi sebagaimana mandat undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.
Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan
penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat
kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para
pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku
korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun. Seperti yang telah kita
lihat pada akhir-akhir ini. Dalam kasus penangkapan terhadap jaksa Urip Tri
Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK dengan mencegat mobilnya di pinggir
jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK terhadap tersangka kasus korupsi Al
Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan
tepat itu, mungkin menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara
tidak langsung kewenagan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi
seseorang ini, menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir
ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi karena takut di tangkap oleh KPK
yang datang seperti angin tanpa bisa diduga.[2]
A.
TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
1.
Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas sebagai berikut:
a.
Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b.
Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c.
Melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pemberantasan tindak pidana
korupsi;
d.
Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.
Melakukan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
2.
Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi
a.
Mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.
b.
Menetapkan
system pelaporan dalam kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c.
Meminta
informasi tentang kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada instansi
yang terkait.
d.
Melaksanakan
dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e.
Meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (pasal 7
undang-undang nomor 30 tahun 2002)’
f.
Wewenang
lain bisa dilihat dalam pasal 12, 13, dan 14 undang-undang nor 30 tahun 2002.
3.
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan di ibukota Negara
Republik Indonesia dan Wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di
daerah provinsi.
Komisi pemberantasan korupsi terdiri dari:
a.
Pemimpin
Komisi pemberantasan korupsi yang terdiri atas lima anggota Komisi
pemberantasan korupsi;
b.
Tim
penasihat terdiri dari atas empat anggota;
c.
Pegawai
Komisi pemberantasan korupsi sebagai pelaksana tugas. (pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).
B.
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, peyidikan,
dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi (pasal 38
ayat (1)).
penyelidikan, peyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hokum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1.
Penyelidikan
Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi
pemberantasan korupsi (pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).
Penyelidik melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Jika
penyelidik dalam melaksanakan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja
terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidikan
melaporkan kepada komisi pemberantasan korupsi. Dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, komisi pemberantasan
korupsi melaksanakan penyelidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik atau kejaksaan.
2.
Penyidikan
Penyidikan adalah penyidik pada komisi yang diangkat dan
diberhentikan oleh komisi pemberantasan korupsi pasal 45 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002). Penyidik wajib membuat berita acara penyitaan pada hari
penyitaan yang memuat:
a.
Nama,
jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita;
b.
Keterangan
tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c.
Keterangan
mengenai pemilik atau mengusai barang atau benda-benda lain;
d.
Tanda
tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan;
e.
Tanda
tangan dan identitas dari pemiik atau orang yang menguasai barang tersebut.
Selain berita acara, penyitaan disampaikan kepada tersangka atau
keluarganya.
3.
Penuntutan
Pununtut adalah penuntut umum pada komisi pemberantasan korupsi
yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi pemberantasan korupsi. Penuntut
adalah jaksa penuntut umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik,
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja wajib melimpahkan berkas perkara
tersebut kepada Pengadilan negeri.
C.
Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh pengadilan
tindak pidana korupsi dalam waktu 90 (Sembilan puluh) hari kerja sejak perkara
dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Pemeriksaan perkara dilakukan
oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang
hakim pengadilan negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Dalam hal putusan pengadilan tindak pidana korupsi dimohonkan
banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak berkas perkara di
terima oleh pengadilan tinggi.
Dalam hal putusan pengadilan tinggi tindak pidana korupsi
dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut di periksa dan
diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.[3]
BAB
III
PENUTUP
3.1
Keseimpulan.
KPK
atau singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi pemberantasan korupsi di bentuk dengan tujuan meningkatkan
daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas sebagai berikut:
a.
Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
Melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pemberantasan tindak pidana
korupsi;
d.
Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.
Melakukan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
3.2 Rekomendasi.
Pendidikan anti korupsi adalah pendidikan bagaimana cara kita
membrantas perilaku korupsi yang mendarah daging di dalam tubuh kita, dan mata kuliah ini diadakan agar para mahasisawa
mengetahui tentang korupsi dan dapat menjauhi perbuatan korupsi.
Oleh karena itu diharapkan semua mahasiswa/mahasisiwi memiliki
akhlaq yang mulia dan kelak menjadi seorang pemimpin yang adil dan jujur,
sehingga menjadi seorang pemimpin yang tauladan.
Kami yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh
dari kata sempurna. Untuk itu, saran dan kritikan dari pembaca sangat kami harapkan demi
penyempurnaan tulisan/tugas makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Adji, indriyanto seno. 2002. Korupsi dan
hukum pidana. Jakarta: kantor pengacara & konsultan hukum ’’Prof. Oemar
Seno Adji & Rekan’’
2.
Evi Hartanti, Tindak Pidana
Korupsi,( Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Terima kasih mbak Mega apresiasi dan atensinya bagi saya sangat bermanfaat untuk referensi tugas routinitas. Dan sukses selalu buat mbak Mega
BalasHapusTerima kasih
BalasHapus