Senin, 27 Juli 2015

Peran KPK terhadap pemberantasan korupsi



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang.

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yeng terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak Pidana Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi data dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.

1.2.            Rumusan masalah
a)      Apa yang di maksud dengan KPK?
b)      Apa peran KPK terhadap pemberantasan korupsi?
1.3.            Tujuan Penulisan
a)      Menjelaskan pengertian dari KPK
b)      Menjelaskan peran KPK terhadap pemberantasan korupsi.
1.4        Manfaat Penulisan.
a)      Mengetahui pengertian dari KPK
b)      Mengetahui peran KPK terhadap pemberantasan korupsi

 BAB II
PEMBAHASAN


2.1.           PENGERTIAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
KPK atau singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebuah lembaga yang pendiriannya  oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Tujuan untuk mengawasi semua aspek/lembaga pemerintahan ataupun Lembaga non pemerintahan dari segala kemungkinan hal-hal yang berbau korupsi.
Komisi pemberantasan korupsi  adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi pemberantasan korupsi di bentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan Tugas Dan Wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
a.       Kepastian hukum;
b.      Keterbukaan;
c.       Akuntabilitas;
d.      Kepentingan Umum; dan
e.       Proposionalitas.[1]


2.2 . PERAN KPK DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Perang terhadap korupsi merupakan focus yang sangat signifikan dalam suatu Negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu Negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanent dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.
KPK sebagai lembaga independent, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. KPK juga sebagai control sososial dimana selama ini badan hukum kita masih mandul. Contohnya seperti terungkapnya kasus Nyonya Artalita, dimana aparat hukum kita yang seharusnya membongkar kasus korupsi justru bisa disuap oleh Nyonya Artalita dan yang akhirnya berhasil dibongkar oleh KPK.
Jika ada beberapa pejabat yang teriak-teriak karena ulah KPK, harus dipertanyakan kembali kepada para pejabat itu, berteriak karena takut ikut terseret ataukah konpensasi atas kesalahan sendiri?  Dan perlu kita pertanyakan kembali mengapa tidak berani teriak ketika kantong terisi uang haram?.
 KPK juga sebagai barometer Negara terhadap pandangan Negara lain. Mungkin korupsi di Indonesia sebagai fenomena gunung es dan mungkin hanya 0,5 persen saja yang terbongkar. Tapi justru membanggakan karena taring-taring keadilan mulai tumbuh. Kita melihatnya takut karena kita selama ini terbiasa dibius oleh rezim sebelumnya dan menganggap aneh apabila keadaan itu memerlukan konsekuensi yang berat. Berbagai upaya dilakukan untuk mengusik eksistensi KPK. Ada yang langsung meminta pembubaran ataupun mengamputasi peran KPK secara terselubung.
Peran KPK tidak hanya menindak koruptor di dalam negeri, tapi juga membantu negara internasional memerangi korupsi di antaranya membantu negara lain mengungkap skandal korupsi di negara tersebut. Peran KPK dalam pemberantasan penyuapan pejabat asing atau orang asing dalam bentuk mengungkap kasus yang ada di negaranya.
Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi ketika state capture type of corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara korupsi birokrasi juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini menyebabkan kita disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan kata lain, tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah sedemikian pelik.
Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih berkutat pada penanganan korupsi yang bertipologi petty administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat dalam dua pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa Indonesia dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak langsung pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan terhadap korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.
State capture bisa dilihat pada aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat politik, pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang menciptakan sebuah kondisi negara yang terus-menerus tersandera oleh ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.
Di samping karena kerugian negara dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan rupiah, state capture telah menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi sumber daya ekonomi publik. Melalui praktek komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan contact person di level tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik yang dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi state capture, kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.
Namun, sayangnya, hingga saat ini, pun setelah KPK lahir, aktor-aktor state capture masih tetap tidak tersentuh. KPK masih sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, pejabat eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap korupsi. Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian besar dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk dihantam.
Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena itu, seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada pertimbangan strategisnya. Terutama pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki hambatan politik untuk menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan menimbulkan naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.
Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.
Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan KPK, tapi hal itu tidak mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu, untuk mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian, KPK seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang sedemikian banyak.
Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya masa tugas pemimpin KPK periode 2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak hukum yang diproses, kecuali Suparman selaku penyidik KPK sendiri. Padahal mustahil mendorong program pemberantasan korupsi di tubuh kejaksaan dan kepolisian seandainya upaya-upaya pembersihan tidak segera dilakukan. Demikian juga halnya lingkup pengadilan, yang seharusnya menjadi prioritas mengingat semua proses hukum akan bermuara di tangan para hakim.
Karena itu, ke depan sudah seharusnya pemimpin KPK terpilih harus benar-benar memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus becermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekadar menjalankan tugas dan kewajiban memberantas korupsi sebagaimana mandat undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.
Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun. Seperti yang telah kita lihat pada akhir-akhir ini. Dalam kasus penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK dengan mencegat mobilnya di pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK terhadap tersangka kasus korupsi Al Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung kewenagan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi seseorang ini, menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi karena takut di tangkap oleh KPK yang datang seperti angin tanpa bisa diduga.[2]
  
A.    TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN  KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
1.      Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas sebagai berikut:
a.       Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b.      Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c.       Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi;
d.      Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.       Melakukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
2.      Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi
a.       Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.
b.      Menetapkan system pelaporan dalam kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c.       Meminta informasi tentang kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada instansi yang terkait.
d.      Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e.       Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (pasal 7 undang-undang nomor 30 tahun 2002)’
f.       Wewenang lain bisa dilihat dalam pasal 12, 13, dan 14 undang-undang nor 30 tahun 2002.
3.      Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan Wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Komisi pemberantasan korupsi terdiri dari:
a.       Pemimpin Komisi pemberantasan korupsi yang terdiri atas lima anggota Komisi pemberantasan korupsi;
b.      Tim penasihat terdiri dari atas empat anggota;
c.       Pegawai Komisi pemberantasan korupsi sebagai pelaksana tugas. (pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).
B.     Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, peyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi  (pasal 38 ayat (1)).
penyelidikan, peyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hokum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1.      Penyelidikan
Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi  yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi pemberantasan korupsi (pasal 43  ayat (1) Undang-Undang Nomor  30 Tahun 2002). Penyelidik melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Jika penyelidik dalam melaksanakan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidikan melaporkan kepada komisi pemberantasan korupsi. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, komisi pemberantasan korupsi melaksanakan penyelidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara  tersebut kepada penyidik atau kejaksaan.  
2.      Penyidikan
Penyidikan adalah penyidik pada komisi yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi pemberantasan korupsi pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Penyidik wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang memuat:
a.       Nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita;
b.      Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c.       Keterangan mengenai pemilik atau mengusai barang atau benda-benda lain;
d.      Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan;
e.       Tanda tangan dan identitas dari pemiik atau orang yang menguasai barang tersebut.
Selain berita acara, penyitaan disampaikan kepada tersangka atau keluarganya. 
3.      Penuntutan
Pununtut adalah penuntut umum pada komisi pemberantasan korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi pemberantasan korupsi. Penuntut adalah jaksa penuntut umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan negeri.
C.    Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh pengadilan tindak pidana korupsi dalam waktu 90 (Sembilan puluh) hari kerja sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim pengadilan negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Dalam hal putusan pengadilan tindak pidana korupsi dimohonkan banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak berkas perkara di terima oleh pengadilan tinggi.
Dalam hal putusan pengadilan tinggi tindak pidana korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut di periksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.[3]

BAB III
PENUTUP

3.1  Keseimpulan.
KPK atau singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi pemberantasan korupsi di bentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas sebagai berikut:
a.       Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.      Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.       Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi;
d.      Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.       Melakukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

 3.2 Rekomendasi.
Pendidikan anti korupsi adalah pendidikan bagaimana cara kita membrantas perilaku korupsi yang mendarah daging di dalam tubuh kita, dan  mata kuliah ini diadakan agar para mahasisawa mengetahui tentang korupsi dan dapat menjauhi perbuatan korupsi.
Oleh karena itu diharapkan semua mahasiswa/mahasisiwi memiliki akhlaq yang mulia dan kelak menjadi seorang pemimpin yang adil dan jujur, sehingga menjadi seorang pemimpin yang tauladan.
Kami yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, saran dan kritikan dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan tulisan/tugas makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Adji, indriyanto seno. 2002. Korupsi dan hukum pidana. Jakarta: kantor pengacara & konsultan hukum ’’Prof. Oemar Seno Adji & Rekan’’
2.      Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,( Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
3.      www.blogagushutabarat.com.(peran kpk terhadap pemberantasan korupsi).









[1] Adji, indriyanto seno. 2002. Korupsi dan hukum pidana. Jakarta: kantor pengacara & konsultan hukum ’’Prof. Oemar Seno Adji & Rekan’’

[2] blogagushutabarat,(peran kpk terhadap pemberantasan korupsi).

[3] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,( Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

2 komentar:

  1. Terima kasih mbak Mega apresiasi dan atensinya bagi saya sangat bermanfaat untuk referensi tugas routinitas. Dan sukses selalu buat mbak Mega

    BalasHapus