Rabu, 29 Juli 2015

Hadits tentang tawadlu'



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Rendah hati (tawadhu’) merupakan sifat yang sangat terpuji di sisi Allah dan bahkan sangat didambakan oleh kita semua. Tawadhu’ akan melahirkan berbagai sikap-sikap mulia, seperti menghargai pihak lain, tidak memotong suatu pembicaraan, saling menjaga dan menghormati perasaan masing-masing, anak kecil bersikap sopan santun kepada yang lebih berusia darinya, orang dewasa/tua pun bersikap kasih sayang kepada yang dibawahnya, serta merasa bahwa diri ini tidak ada yang sempurna, semua serba kurang dan tidak mungkin hidup sendiri-sendiri tanpa bekerja sama dengan selainnya. Bila sikap tawadhu’ ini tercermin pada diri kita niscaya akan terwujud sebuah kehidupan yang diliputi sakinah mawaddah wa rahmah.
Hal ini sesuai petuah Al-Imam As-Syafi’i :
التَّوَاضُعُ يُوْرِثُ الْمَحَبَّةَ
“Sifat tawadhu’ akan melahirkan cinta kasih”
Seiring dengan semakin tuanya zaman ini, terasa semakin sulit pula mencari dan menikmati suasana yang sakinah (tentram dan nyaman). Oleh karena itu dalam kajian ini akan dikupas secara ringkas tentang betapa urgennya (pentingnya) sikap tawadhu’ dan betapa besar pula pengaruhnya terhadap kemashlahatan (kebaikan) umat.
Perintah Tawadhu’ Sifat tawadhu’ merupakan sifat yang sangat dianjurkan, Allah berfirman yang artinya : “Janganlah kalian memuji diri kalian. Dia lah yang paling tahu tentang orang yang bertaqwa.” (An Najm: 32)
Demikianlah, Allah menutup pintu-pintu yang menjurus kepada takabbur (sombong) dengan melarang dari memuji-muji diri sendiri karena dari sinilah benih takabbur (sombong) datang.
1.2  Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apa keterangan dari hadits tersebut?
1.2.2 Apa kandungan ajaran yang terdapat dalam hadits?
1.2.3 Bagaimana relevansi antara hadits yang satu dengan hadits yang lain?
1.2.4 Bagaimana munasabah hadits dengan ayat?
1.2.5 Apa Asbab al-Wurud hadits tersebut?
1.2.6 Apa kata kunci yang terdapat dalam hadits?
1.2.7 Apa pembahasan yang terdapat dalam hadits?
1.2  Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk menginformasikan dan menjelaskan masalah keutamaan tawadhu’. Secara khusus makalah ini akan menginformasikan dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut.
1.3.1 Mengetahui keterangan dalam hadits
1.3.2 Mengetahui kandungan ajaran yang terdapat dalam hadits
1.3.3 Mengetahui relevansi hadits dengan hadits yang lain
1.3.4 Mengetahui munasabah hadits dengan ayat
1.3.5 Mengetahui asbab al-wurud hadits
1.3.6 Mengetahui kata kunci dari hadits
1.3.7 Mengetahui pembahasan yang terdapat dalam hadits
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadits dan Terjemahannya
 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ , وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا , وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه المسلم)

Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidaklah sedekah itu akan mengurangi dari harta seseorang dan tidaklah Allah menambahkan seseorang itu dengan pengampunan melainkan ditambah pula kemuliaannya dan tidaklah seseorang itu bertawadhu’ karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajat orang itu." (Riwayat Muslim)
2.2 Arti Mufrodat
مَا نَقَصَتْ       : Tidak berkurang
صَدَقَةٌ              : Sedekah
مِنْ مَالٍ          : Dari harta
وَمَا زَادَ          : Tidak menambahkan
اللهُ                : Allah
عَبْدًا              : Seseorang
بِعَفْوٍ              : Dengan pengampunan
 إِلاَّ عِزًّا         : Melainkan kemuliaan
وَمَا تَوَاضَعَ     : Dan tidak bertawadhu’
 أَحَدٌ              : Seseorang
لِلهِ                 : Karena Allah
 إِلاَّ رَفَعَهُ        : Kecuali akan mengangkat derajatnya
 اللهُ               : Allah
2.3 Keterangan Hadits
a.       Perintah untuk bersedekah dan bertawadhu’ semata-mata karena Allah SWT.
b.      Orang yang bersedekah memperoleh ampunan dan kemuliaan dari Allah dan orang yang bertawadhu’ (rendah hati) akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
2.4 Kandungan Ajaran dalam Hadits
Tawadhu’ dan rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu’ niscaya Allah SWT akan mengangkat derajatnya di mata manusia di dunia dan di akhirat dalam surga. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’ kepada-Nya.
Dan dalam hal ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.
Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Begitu juga dengan Nabi Daud ‘alaihis salam,  beliau makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيا
Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32)
2.5 Relevansi Hadits dengan Hadits
Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa merendah karena Allah satu derajat, maka Allah akan mengangkatnya satu derajat, sehingga menjadikan dirinya di Illiyyin. Barang siapa menyombongkan diri kepada Allah satu derajat, Allah akan merendahkannya hingga direndahkan serendah-rendahnya.” (HR Ibnu Majah, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : "Tidaklah dari setiap keturunan Adam, melainkan dikepalanya terdapat hakamah ditangan seorang Malaikat. Apabila ia tawadhu', dikatakan kepada Malaikat tersebut : "Angkatlah hakamahnya", sedangkan apabila ia sombong, dikatakan kepada Malaikat tersebut : "Letakkan hakamahnya." [Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no 538]
2.6 Munasabah Hadits dengan Ayat
Allah Ta'ala berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 88 :
.................وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِلۡمُؤۡمِنِينَ. (الحجر : ٨٨ )
"…………..Dan tundukkanlah sayapmu - yakni rendahkanlah dirimu -kepada kaum mu'minin." (QS. al-Hijr: 88)
Yang dimaksud tawadhu ialah merendahkan diri dan berlaku lemah lembut. Dan ini tidak  akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji melainkan bila dibarengi semata-mata karena Allah azza wa jalla.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Kalau sekiranya ada orang bersikap tawadhu agar Allah Shubhanahu wa ta’alla mengangkat derajatnya dimata orang, maka ini belum dikatakan telah merengkuh sifat tawadhu, karena maksud utama perilakunya itu didasari agar mulia dimata orang, dan sikap seperti itu menghapus tawadhu yang sebenarnya
Allah Ta'ala berfirman pula dalam surat al-Maidah 54:
يأيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتى الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون فى سبيل الله ولايخافون لومة لآئم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم. (المائدة : 54)
"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang surut kembali dari agamanya – yakni menjadi orang murtad, maka Allah nanti akan mendatangkan kaum yang dicintai olehNya dan merekapun mencintai Allah. Mereka itu bersikap merendahkan diri kepada kaum mu'minin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir." (al-Maidah: 54)
Allah Ta'ala berfirman lagi  dalam surat As-Syu’ara ayar 215:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الَمُؤْمِنِيْنَ. (الشعراء:215 )
“Rendahkanlah hatimu terhadap orang yang mengikutimu (yaitu) dari kalangan mu’minin.” (Asy Syu’ara’: 215)
Allah Ta'ala juga berfirman:
........... فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى. (النجم : 32)
"Janganlah engkau semua melagak-lagakkan dirimu sebagai orang suci. Allah adalah lebih
mengetahui kepada siapa yang sebenarnya bertaqwa." (an-Najm: 32)
Allah SWT berfirman pula  dalam surat Al-A’raf ayat 48-49 yang artinya :"Dan orang-orang yang menempati a'raf - tempat-tempat yang tinggi-tinggi - itu berseru kepada beberapa orang yang dikenalnya karena tanda-tandanya, mereka mengatakan: "Apa yang telah engkau semua kumpulkan dan apa yang telah engkau semua sombongkan itu tidaklah akan memberikan pertolongan kepadamu. Inikah orang-orang yang telah engkau semua persumpahkan, bahwa mereka tidak akan mendapatkan kerahmatan dari Allah? Kepada mereka itu dikatakan: "Masuklah engkau semua dalam syurga, engkau semua tidak perlu merasa ketakutan dan tidak pula bersedih hati."
2.7 Asbab Al-Wurud Hadits
Dalam hal ini, kami tidak menemukan secara pasti asbab al-wurud yang berkaitan dengan hadits ini. Namun Allah SWT memerintahkan Rasul-Nya untuk berhias dengan akhlaq yang mulia ini, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Rendahkanlah hatimu terhadap orang yang mengikutimu (yaitu) dari kalangan mu’minin.” (Asy Syu’ara’: 215)
Begitu juga Rasulullah , beliau senantiasa memerintahkan para sahabatnya untuk bersikap tawadhu’. Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain”
2.8 Kata Kunci
..................وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه المسلم)
Artinya : ………….dan tidaklah seseorang itu bertawadhu’ karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajat orang itu." (HR. Muslim)
Sifat tawadhu’ bukanlah suatu kehinaan, justru dengan ketawadhu’an dapat mengangkat derajat seseorang, karena pada dasarnya setiap manusia menginginkan untuk dihormati, dan diperlakukan sama dengan pihak lainnya. Sehingga bila ada seseorang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, menghormati orang lain, tidak meremehkannya, menghargai pendapatnya, tentu pihak lainnya pun akan memperlakukan sama bahkan bisa lebih dari itu. Hal ini merupakan suatu realita dan fakta yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang memiliki sifat mulia ini akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya dan akan dicintai oleh mereka. Berbeda dengan orang yang sombong, orang-orang akan menganggapnya rendah sebagaimana dia menganggap orang lain rendah, tidak akan disebut-sebut kebaikannya dan orang-orang pun membencinya.
2.9 Pembahasan Hadits
*      Pendidik atau peserta didik harus bersikap tawadhu’ (rendah hati)
Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)
Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
*      Pendidik maupun peserta didik tidak boleh bersikap sombong dan tinggi hati terhadap sesuatu yang dimilikinya, baik berupa ilmu dan lainnya.
Allah menjanjikan al jannah bagi orang-orang yang memiliki sikap tawadhu’ bukan kepada orang-orang yang sombong, sebagaiamana dalam firman-Nya (artinya):
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.”
(Al Qashash: 83)
Rasulullah bersabda:
 لاَيَدْخُلُ الجنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk al jannah barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar semut.” (HR. Muslimin)
*      Harus menghormati orang lain dan menghargai kedudukannya serta tidak menganggap remeh.
*      Tunduk dan patuh kepada kebenaran, dengan menerima sepenuh hati kebenaran dan tidak ada keinginan didalam dirinya untuk menentang kebenaran tersebut.
*      Merendahkan hati di hadapan sesamanya dan tidak menganggap dirinya berada di atas orang lain dan tidak pula merasa bahwa orang lain yang butuh kepadanya.
 BAB III
KESIMPULAN
1)      Hadits tentang keutamaan tawadhu’:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ , وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا , وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه المسلم)

Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidaklah sedekah itu akan mengurangi dari harta seseorang dan tidaklah Allah menambahkan seseorang itu dengan pengampunan melainkan ditambah pula kemuliaannya dan tidaklah seseorang itu bertawadhu’ karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajat orang itu." (Riwayat Muslim)
2)      Hadits tersebut menjelaskan tentang:
a.       Perintah untuk bersedekah dan bertawadhu’ semata-mata karena Allah SWT.
b.      Orang yang bersedekah memperoleh ampunan dan kemuliaan dari Allah dan orang yang bertawadhu’ (rendah hati) akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
3)      Kandungan ajaran dalam hadits mengenai tawadhu’ dan rendah hati. Sifat tersebut merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu’ niscaya Allah SWT akan mengangkat derajatnya di mata manusia di dunia dan di akhirat, dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’ kepada-Nya.
4)      Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah bersabda yang artinya: Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).
5)      Allah Ta'ala berfirman dalam surat al-Maidah 54 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang surut kembali dari agamanya – yakni menjadi orang murtad, maka Allah nanti akan mendatangkan kaum yang dicintai olehNya dan merekapun mencintai Allah. Mereka itu bersikap merendahkan diri kepada kaum mu'minin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir."
6)       Rasulullah , beliau senantiasa memerintahkan para sahabatnya untuk bersikap tawadhu’. ‘Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain.”
7)      Kata kunci dari hadits diatas yaitu :
..................وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه المسلم)
Artinya : ………….dan tidaklah seseorang itu bertawadhu’ karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajat orang itu." (HR. Muslim)
8)      Pembahasan:
Ø  Pendidik atau peserta didik harus bersikap tawadhu’ (rendah hati)
Ø  Pendidik maupun peserta didik tidak boleh bersikap sombong dan tinggi hati terhadap sesuatu yang dimilikinya, baik berupa ilmu dan lainnya.
Ø  Harus menghormati orang lain dan menghargai kedudukannya serta tidak menganggap remeh.
Ø  Tunduk dan patuh kepada kebenaran, dengan menerima sepenuh hati kebenaran dan tidak ada keinginan didalam dirinya untuk menentang kebenaran tersebut.
Ø  Merendahkan hati di hadapan sesamanya dan tidak menganggap dirinya berada di atas orang lain dan tidak pula merasa bahwa orang lain yang butuh kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA
Imam An-Nawawi. Riyadhus Sholihin

http://www.ddhongkong.org/keutamaan-sifat-tawadhu%E2%80%99-rendah-hati/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar