BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Rendah
hati (tawadhu’) merupakan sifat yang sangat terpuji di sisi Allah dan bahkan
sangat didambakan oleh kita semua. Tawadhu’ akan melahirkan berbagai
sikap-sikap mulia, seperti menghargai pihak lain, tidak memotong suatu
pembicaraan, saling menjaga dan menghormati perasaan masing-masing, anak kecil
bersikap sopan santun kepada yang lebih berusia darinya, orang dewasa/tua pun
bersikap kasih sayang kepada yang dibawahnya, serta merasa bahwa diri ini tidak
ada yang sempurna, semua serba kurang dan tidak mungkin hidup sendiri-sendiri
tanpa bekerja sama dengan selainnya. Bila sikap tawadhu’ ini tercermin pada
diri kita niscaya akan terwujud sebuah kehidupan yang diliputi sakinah mawaddah
wa rahmah.
Hal
ini sesuai petuah Al-Imam As-Syafi’i :
التَّوَاضُعُ يُوْرِثُ الْمَحَبَّةَ
“Sifat tawadhu’ akan melahirkan
cinta kasih”
Seiring
dengan semakin tuanya zaman ini, terasa semakin sulit pula mencari dan
menikmati suasana yang sakinah (tentram dan nyaman). Oleh karena itu dalam
kajian ini akan dikupas secara ringkas tentang betapa urgennya (pentingnya)
sikap tawadhu’ dan betapa besar pula pengaruhnya terhadap kemashlahatan
(kebaikan) umat.
Perintah
Tawadhu’ Sifat tawadhu’ merupakan sifat yang sangat dianjurkan, Allah berfirman
yang artinya : “Janganlah kalian memuji diri kalian. Dia lah yang paling tahu
tentang orang yang bertaqwa.” (An Najm: 32)
Demikianlah,
Allah menutup pintu-pintu yang menjurus kepada takabbur (sombong) dengan
melarang dari memuji-muji diri sendiri karena dari sinilah benih takabbur
(sombong) datang.
1.2 Rumusan Masalah
Bertolak
dari latar belakang di atas, pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apa keterangan dari hadits tersebut?
1.2.2 Apa kandungan ajaran yang terdapat dalam hadits?
1.2.3 Bagaimana relevansi antara hadits yang satu dengan hadits
yang lain?
1.2.4 Bagaimana munasabah hadits dengan ayat?
1.2.5 Apa Asbab al-Wurud hadits tersebut?
1.2.6 Apa kata kunci yang terdapat dalam hadits?
1.2.7 Apa pembahasan yang terdapat dalam hadits?
1.2
Tujuan
Sesuai
dengan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
menginformasikan dan menjelaskan masalah keutamaan tawadhu’. Secara khusus
makalah ini akan menginformasikan dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut.
1.3.1 Mengetahui keterangan dalam hadits
1.3.2 Mengetahui kandungan ajaran yang terdapat dalam hadits
1.3.3 Mengetahui relevansi hadits dengan hadits yang lain
1.3.4 Mengetahui munasabah hadits dengan ayat
1.3.5 Mengetahui asbab al-wurud hadits
1.3.6 Mengetahui kata kunci dari hadits
1.3.7 Mengetahui pembahasan yang terdapat dalam hadits
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadits dan Terjemahannya
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ , وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ
عِزًّا , وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه المسلم)
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidaklah sedekah itu akan mengurangi dari harta seseorang dan tidaklah Allah menambahkan seseorang itu dengan pengampunan melainkan ditambah pula kemuliaannya dan tidaklah seseorang itu bertawadhu’ karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajat orang itu." (Riwayat Muslim)
2.2 Arti Mufrodat
مَا نَقَصَتْ
: Tidak berkurang
صَدَقَةٌ : Sedekah
مِنْ مَالٍ
: Dari harta
وَمَا زَادَ : Tidak menambahkan
اللهُ
: Allah
عَبْدًا : Seseorang
بِعَفْوٍ
: Dengan pengampunan
إِلاَّ عِزًّا : Melainkan kemuliaan
وَمَا تَوَاضَعَ
: Dan tidak bertawadhu’
أَحَدٌ : Seseorang
لِلهِ :
Karena Allah
إِلاَّ رَفَعَهُ : Kecuali akan mengangkat derajatnya
اللهُ : Allah
2.3 Keterangan Hadits
a. Perintah untuk bersedekah dan
bertawadhu’ semata-mata karena Allah SWT.
b. Orang yang bersedekah memperoleh
ampunan dan kemuliaan dari Allah dan orang yang bertawadhu’ (rendah hati) akan
diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
2.4 Kandungan Ajaran dalam Hadits
Tawadhu’ dan
rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh
Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu’ niscaya Allah SWT akan
mengangkat derajatnya di mata manusia di dunia dan di akhirat dalam surga. Di
dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di
tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di
akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat
tawadhu’nya di dunia. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua
kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan
orang yang tawadhu’ kepada-Nya.
Dan dalam hal
ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah
Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah kepada kaum mukminin.
Karenanya beliau senantiasa tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari
seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab
badui. Beliau duduk berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan
mereka agar juga bersifat tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah
beliau untuk melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah
tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk
mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.
Tawadhu’
juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan
rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua
orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Begitu juga dengan Nabi Daud ‘alaihis
salam, beliau makan dari hasil
kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat
tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا
شَقِيا
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak
menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32)
2.5 Relevansi Hadits dengan
Hadits
Iyad bin Himar menceritakan bahwa
Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا
حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan
kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan
diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR
Muslim no. 2588).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan
dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia
sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan
memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
Dalam hadits
yang lain, Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa merendah karena Allah satu
derajat, maka Allah akan mengangkatnya satu derajat, sehingga menjadikan
dirinya di Illiyyin. Barang siapa menyombongkan diri kepada Allah satu derajat,
Allah akan merendahkannya hingga direndahkan serendah-rendahnya.” (HR Ibnu
Majah, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Rasulullah
SAW bersabda yang artinya : "Tidaklah dari setiap keturunan Adam,
melainkan dikepalanya terdapat hakamah ditangan seorang Malaikat. Apabila ia
tawadhu', dikatakan kepada Malaikat tersebut : "Angkatlah
hakamahnya", sedangkan apabila ia sombong, dikatakan kepada Malaikat
tersebut : "Letakkan hakamahnya." [Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no
538]
2.6 Munasabah Hadits dengan
Ayat
Allah Ta'ala berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 88 :
.................وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِلۡمُؤۡمِنِينَ. (الحجر :
٨٨ )
"…………..Dan tundukkanlah sayapmu - yakni rendahkanlah dirimu
-kepada kaum mu'minin." (QS.
al-Hijr: 88)
Yang
dimaksud tawadhu ialah merendahkan diri dan berlaku lemah lembut. Dan ini
tidak akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji melainkan bila dibarengi
semata-mata karena Allah azza wa jalla.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: "Kalau sekiranya ada orang bersikap tawadhu agar Allah
Shubhanahu wa ta’alla mengangkat derajatnya dimata orang, maka ini belum
dikatakan telah merengkuh sifat tawadhu, karena maksud utama perilakunya itu
didasari agar mulia dimata orang, dan sikap seperti itu menghapus tawadhu yang
sebenarnya
Allah Ta'ala berfirman pula dalam surat al-Maidah 54:
يأيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتى الله بقوم يحبهم
ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون فى سبيل الله ولايخافون لومة
لآئم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم. (المائدة : 54)
"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang surut kembali
dari agamanya – yakni menjadi orang murtad, maka Allah nanti akan mendatangkan
kaum yang dicintai olehNya dan merekapun mencintai Allah. Mereka itu bersikap
merendahkan diri kepada kaum mu'minin dan bersikap keras terhadap orang-orang
kafir." (al-Maidah: 54)
Allah Ta'ala berfirman lagi dalam surat As-Syu’ara ayar 215:
وَاخْفِضْ
جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الَمُؤْمِنِيْنَ. (الشعراء:215 )
“Rendahkanlah hatimu terhadap orang yang
mengikutimu (yaitu) dari kalangan mu’minin.” (Asy Syu’ara’: 215)
Allah Ta'ala juga berfirman:
........... فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ
اتَّقى. (النجم : 32)
"Janganlah engkau semua
melagak-lagakkan dirimu sebagai orang suci. Allah adalah lebih
mengetahui kepada siapa yang sebenarnya bertaqwa." (an-Najm: 32)
Allah SWT berfirman pula dalam surat Al-A’raf ayat
48-49 yang artinya :"Dan orang-orang yang menempati a'raf -
tempat-tempat yang tinggi-tinggi - itu berseru kepada beberapa orang yang
dikenalnya karena tanda-tandanya, mereka mengatakan: "Apa yang telah engkau
semua kumpulkan dan apa yang telah engkau semua sombongkan itu tidaklah akan memberikan
pertolongan kepadamu. Inikah orang-orang yang telah engkau semua persumpahkan, bahwa
mereka tidak akan mendapatkan kerahmatan dari Allah? Kepada mereka itu
dikatakan: "Masuklah engkau semua dalam syurga, engkau semua tidak perlu
merasa ketakutan dan tidak pula bersedih hati."
2.7 Asbab Al-Wurud Hadits
Dalam hal ini,
kami tidak menemukan secara pasti asbab al-wurud yang berkaitan dengan hadits
ini. Namun Allah SWT memerintahkan
Rasul-Nya untuk berhias dengan akhlaq yang mulia ini, sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur’an :
“Rendahkanlah hatimu terhadap orang
yang mengikutimu (yaitu) dari kalangan mu’minin.” (Asy Syu’ara’: 215)
Begitu
juga Rasulullah , beliau senantiasa memerintahkan para sahabatnya untuk
bersikap tawadhu’. Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ
تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ
عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain”
2.8
Kata Kunci
..................وَمَا
تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه المسلم)
Artinya
: “………….dan tidaklah
seseorang itu bertawadhu’ karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah
akan mengangkat derajat orang itu." (HR. Muslim)
Sifat tawadhu’ bukanlah suatu kehinaan, justru dengan
ketawadhu’an dapat mengangkat derajat seseorang, karena pada dasarnya setiap
manusia menginginkan untuk dihormati, dan diperlakukan sama dengan pihak
lainnya. Sehingga bila ada seseorang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’,
menghormati orang lain, tidak meremehkannya, menghargai pendapatnya, tentu
pihak lainnya pun akan memperlakukan sama bahkan bisa lebih dari itu. Hal ini
merupakan suatu realita dan fakta yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini.
Seseorang yang memiliki sifat mulia ini akan menempati kedudukan yang tinggi di
hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya dan akan dicintai oleh mereka.
Berbeda dengan orang yang sombong, orang-orang akan menganggapnya rendah
sebagaimana dia menganggap orang lain rendah, tidak akan disebut-sebut
kebaikannya dan orang-orang pun membencinya.
2.9
Pembahasan Hadits
Pendidik atau peserta didik harus bersikap tawadhu’ (rendah
hati)
Dalam
pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sungguh
telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)
Dalam
hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu juga
perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang
yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang
tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.”
(Shahih, HR Muslim no. 2588).
Demikianlah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’
itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan
kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan
keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
Pendidik maupun peserta didik tidak boleh bersikap sombong
dan tinggi hati terhadap sesuatu yang dimilikinya, baik berupa ilmu dan
lainnya.
Allah
menjanjikan al jannah bagi orang-orang yang memiliki sikap tawadhu’ bukan
kepada orang-orang yang sombong, sebagaiamana dalam firman-Nya (artinya):
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Qashash: 83)
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Qashash: 83)
Rasulullah
bersabda:
لاَيَدْخُلُ الجنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ
ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk al jannah barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar semut.” (HR. Muslimin)
Harus menghormati orang lain dan menghargai kedudukannya
serta tidak menganggap remeh.
Tunduk dan patuh kepada kebenaran, dengan menerima sepenuh
hati kebenaran dan tidak ada keinginan didalam dirinya untuk menentang
kebenaran tersebut.
Merendahkan hati di hadapan sesamanya dan tidak menganggap
dirinya berada di atas orang lain dan tidak pula merasa bahwa orang lain yang
butuh kepadanya.
BAB III
KESIMPULAN
1) Hadits tentang keutamaan tawadhu’:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ , وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
, وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه المسلم)
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidaklah sedekah itu akan mengurangi dari harta seseorang dan tidaklah Allah menambahkan seseorang itu dengan pengampunan melainkan ditambah pula kemuliaannya dan tidaklah seseorang itu bertawadhu’ karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajat orang itu." (Riwayat Muslim)
2)
Hadits
tersebut menjelaskan tentang:
a. Perintah untuk bersedekah dan
bertawadhu’ semata-mata karena Allah SWT.
b. Orang yang bersedekah memperoleh
ampunan dan kemuliaan dari Allah dan orang yang bertawadhu’ (rendah hati) akan
diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
3) Kandungan
ajaran dalam hadits mengenai tawadhu’ dan rendah hati. Sifat tersebut merupakan
sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa
yang tawadhu’ niscaya Allah SWT akan mengangkat derajatnya di mata manusia di
dunia dan di akhirat, dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga
orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri
akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang
tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’ kepada-Nya.
4) Iyad bin Himar menceritakan bahwa
Rasulullah bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan
kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan
diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR
Muslim no. 2588).
5)
Allah
Ta'ala berfirman dalam surat al-Maidah 54 yang artinya : "Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa yang surut kembali dari agamanya – yakni menjadi
orang murtad, maka Allah nanti akan mendatangkan kaum yang dicintai olehNya dan
merekapun mencintai Allah. Mereka itu bersikap merendahkan diri kepada kaum
mu'minin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir."
6) Rasulullah , beliau senantiasa memerintahkan
para sahabatnya untuk bersikap tawadhu’. ‘Iyad bin Himar menceritakan bahwa
Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ
تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ
عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain.”
7)
Kata kunci dari hadits diatas yaitu :
..................وَمَا
تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه المسلم)
Artinya : “………….dan tidaklah seseorang itu bertawadhu’ karena mengharapkan
keridhaan Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajat orang itu." (HR.
Muslim)
8) Pembahasan:
Ø Pendidik atau peserta didik harus
bersikap tawadhu’ (rendah hati)
Ø
Pendidik maupun peserta didik tidak boleh bersikap sombong
dan tinggi hati terhadap sesuatu yang dimilikinya, baik berupa ilmu dan
lainnya.
Ø Harus menghormati orang lain dan
menghargai kedudukannya serta tidak menganggap remeh.
Ø Tunduk dan patuh kepada kebenaran, dengan
menerima sepenuh hati kebenaran dan tidak ada keinginan didalam dirinya untuk
menentang kebenaran tersebut.
Ø Merendahkan hati di hadapan
sesamanya dan tidak menganggap dirinya berada di atas orang lain dan tidak pula
merasa bahwa orang lain yang butuh kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Imam
An-Nawawi. Riyadhus Sholihin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar