BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Isra’illiyyat yang dikemukakan
al-Qaththan menegaskan bahwa berita tersebut diberitahukan oleh ahli kitab,
pemeluk agama yahudi dan nasrani, yang
telah masuk islam. Akan tetapi di dalamnya tidak menegaskan keberadaan berita
tersebut yakni pada tafsir al-Qur’an, tetapi dia tidak menegaskan keberadaan
orang yahudi dan nasrani tersebut, oleh karena itu kedua engertian tersebut
perlu digabungkan menjadi satu, sehingga terbentuk pengertian bulatmengenai
issra’illiyyat, yaitu ‘’berita-berita yang diberitahukan oleh orang yahudi dan
nasrani yang telah masuk islam dan kebudayaannya yang berpengaruh dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an’’.
B.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa yang di maksud dengan israilliyat?
b.
Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan
israilliyat?
c.
Bagaimana sikap terhadap israilliyat?
d.
Bagaimana pengaruh cerita israilliyat dalam
tafsir?
e.
Apa saja sumber-sumber israilliyat?
C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui maksud israilliyat.
b. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan israilliyat.
c. Untuk mengetahui sikap terhadap israilliyat.
d. Untuk mengetahui pengaruh cerita israilliyat
dalam tafsir.
e. Untuk mengetahui sumber-sumber israilliyat.
D. MANFAAT
Dengan di buatnya makalah ini, di harapkan
agar kita bisa memahami maksud, pengertian, pertumbuhan, perkembangan, sikap,
pengaruh cerita, dan sumber-sumber dari israilliyat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ISRO’ILIYYAT
1.
Menurut
Manna’ al-Qaththan [1]
“Issra’illiyyat
adalah berita-berita yang telah diceritakan oleh ahli kitab yang telah masuk
agama islam”.
2.
Menurut
al-Dzahabi
“Issra’illiyyat adalah segala
sesuatu yang mencakup perihal orang-orang yahudi dan nasrani serta
kebudayaannya yang berpengaruh pada tafsir al-Qur’an”
Pengertian Issa’illiyyat yang
dikemukakan al-Qaththan menegaskan bahwa berita tersebut diberitahukan oleh
ahli kitab, pemeluk agama yahudi dan
nasrani, yang telah masuk islam. Akan tetapi di dalamnya tidak menegaskan
keberadaan berita tersebut yakni pada tafsir al-Qur’an, tetapi dia tidak
menegaskan keberadaan orang yahudi dan nasrani tersebut, oleh karena itu kedua
engertian tersebut perlu digabungkan menjadi satu, sehingga terbentuk
pengertian bulatmengenai issra’illiyyat, yaitu ‘’berita-berita yang
diberitahukan oleh orang yahudi dan nasrani yang telah masuk islam dan
kebudayaannya yang berpengaruh dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an’’.
Penyebutan issra’illiyyat pada
mulanya hanya mengarah pada berita-beita yang berasal dari orang-orang yahudi,
karena ia nerasal dari kata isra’il.
Sedangkan isara’il merupakan nama lain dari nabi Ya’qub. Akan tetapi dalam
membahas issra’illiyyat kata tersebut memasukkan juga orang-orang
nasrani.debgan demikian pernyataan tersebut tergolong istilah taghlib,
memenagkan penyabutan yahudi atas nasrani. Hal ini dapat dimaklumi, sebab
orang-orang yahudi lebih dulu bergaul dengan orang islam, yakni sejak agama
islam muncul di arab[2].
B.
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ISSRA’ILLIYYAT
Pergaulan orang-orang yahudi dan
nasrani dengan orang islam sangat memberikan corak terhadap penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini terjadi sejak permulaan munculnya islam. Disamping
itu, sebelum islam datang ditanah arab, mereka memeluk agama yahudi dan
nasrani, kemudian setelah islam lahir mereka memeluk agama islam[3].
Nabi Muhammad merupakan penafsir
al-Qur’an sebab beliau bertugas untuk menyamaikan ayat-ayat kitab suci tersebut
kepada umat, baik yang berkaitan dengan hukum maupun cerita-cerita umat-umat
terdahulu seperti para nabi dan pengikutnya. Serta orang-orang yang menentang
ajaknnya. Dalam hal ini para sahabat yang kurang memahami makna dari suatu ayat
langsung bertanya kepada nabi, akibatnya pada masa itu cerita-cerita
issra’illiyat belum digunakan sebagai sumber oleh mufassir[4].
Setelah nabi wafat dan banyak dari
orang-orang yahudi dan nasrani yang beragam islam, para sahabat sewaktu membaca
cerita-cerita yang terdapat dalam al-Qur’an, sering menggunakan penjelasan dari
kitab-kitab terdahulu (taurat dan injil). Akan tetapi, dalam menghadapi
permasalahan tersebut mereka tidak mengambilnya sebagai dasar begitu saja,
yakni tidak membenarkan dan tidak mendustakan jika tidak diketahui dengan pati
keberadaannya. Sedangkan jika diketahui kebohongannaya mereka meninggalkannya[5].
Mereka tidak meriwayatkan cerita isra’iliyyat
yang berkaitan dengan akidah dan hukum. Dengan demikian pada masa sahabat
cerita isro’iliyyat sangat sedikit
sekali.
Pada masa tabi’in, orang yahudi dan
nasrani lebih banyak lagi yang memeluk agama islam.Dalam hal ini banyak
mempengaruhiperiwayatan cerita-cerita isro’iliyyat,
karena mereka banyak bertanya pada ahli kitab jika mereka membutuhkan
penjelasan tentang uumat terdaulu. Demikian pula mereka tidak memegangi
persyaratan yang telah ditetapkan dalam menerima cerita isro;iliyyat.Akibatnya pada masa tabi’in ini, cerita isro’iliyyat semakin banyak.
Dalam perkembangan berikutnya,
cerita-cerita isro’iliyyat banyak
terdapat dalam kitab-kitab tafsir dan ada juga tang membukukannya dalam satu
kitab, seperti Abu Shaibah dalam kitabnya, Kitab
Al- Isro’iliyyat[6].
Disamping itu ada juga pengarang yang tida menyebutkan nama perawi dan kwalitas
ceritanya, seperti Ahmad bin Muhammad Al Tsa’labi dalam kitabnya Al Rais al-Mujalis. Bahkan, lebih dari
itu ada yang mencampuradukkan antara
yang shohih dan dho’if, bahkan maudlu’. Akibatnya dalam perkembangan
selanjutnya, cerita-cerita Isro’iliyyat
ini ikut mewarnai kemerosotan nilai Tafsir
bi al al-ma’tsur.
C.
SIKAP TERHADAP ISRA’ILIYYAT
Jika dipahami secara cermat, maka
cerita-cerita isro’iliyyat terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Cerita isro’iliyyat yang diketahui keshahihannya. Artinya, ia tidak
bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. secara
shohih. Misalnya, penentuan nama seorang yang menjadi teman nabi Musa As.yaitu
khidir As. Dalam hal ini nama tersebut telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad
sebagaimana termaktub dalam shohih Al-Bukhori. Juga dianggap shohih jika cerita
isro’iliyyat yang model ini dianggap
shahih dan dapat diterima (shahih maqbul).[7]
2) Cerita isro’iliyyat yang diketahui kebohongannya. Artinya, ia berentangan
dengan shara’ atau tidak dapat diterima oleh akal sehat. Cerita isro’iliyyat model ini tidak dapat
diterima dan tidak boleh diriwayatkan. Artinya, jika diriwayatkan, maka harus
ditunjukkan bahwa cerita tersebut bertentangan dengan syara’.[8]
3) Cerita isro’liyyat yang tidak diketahui kebenaran dan kebohongannya.[9]
Cerita isro’iliyyat yang termaktub dalam poin (tiga) merupakan cerita yang
dimaukufkan. Artinya tidak diyakini kebenarannya dan tidak didustakannya. Akan
tetapi, boleh diceritakannya sebagaimana hadist nabi “ sampaikan dariku
walaupun satu ayat dan ceritakan tentang Bani
israil, dan tiada dosa darinya. Pada bagian (3) ini pada umumnya termasuk
sesuatu yang tidak memberikan kegunaan dalam urusan agama, bahkan para ulama’
Ahli kitab dalam bagian ini berbeda antara satu dengan lainya. Akibatnya, para
ahli tafsir dalam menjelaskan tentang cerita-cerita isra’iliyyat berbeda pula.[10]
Menyikapi cerita isra’iliyyat tersebut, sebaiknya
seseorang ahli tafsir menjauhinya, terutama yang bertentangan dengan syara’ dan
mencari yang sesuai dengan jiwa al-Qur’an,
akal sehat, dan membiarkan yang global dalam al-Qur’antetap global
sesuai dengan hadist Nabi Muhammad. Jika terpaksa meriwayatkannya, maka harus
menunjukkan yang sebenarnya shahih atau tidak.[11]
D.
PENGARUH CERITA ISRA’ILIYYAT DALAM TAFSIR
Cerita
isra’iliyyat merupakan cerita yang
diriwayatkan oleh orang yahudi atau nasrani, baik yang sudah masuk islam atau
yang belum, yang selanjutnya yang diterima orang islam. Selanjutnya, cerita
tersebut diriwayatkan kepada orang-orang sesudahnya atau ditulis dalam kitab tafsir.
Dalam hal ini jika dilihat dari nilai perawinya, cerita isra’iliyyat itu sebagaimana hadist, yaitu ada yang shahih dan
dho’if, bahkan ada yang maudlu’. Begitu juga, jika dilihat dari segi matanya
maka ada yang bertentangan dengan syara’ ada yang tidak disinggung oleh syara’
dan ada yang sesuai dengan syara’.
Berdasarkan atas hal tersebut,
sangat disayangkan jika dalam periwayatan cerita isra’iliyyat tidak dijelaskan tentang sanad dan kualitasnya. Hal
ini banyak dilakukan dalam penafsiran beberapa ayat al-Qur’an. Akibatnya, dapat
melemahkan nilai dan kualitas tafsir bi al-riwayah sebagaimana dikemukakan
al-Dzahabi dalam al-tafsir wa
al-Mufassirun, bahwa kelemahan Tafsir bi al-Riwayah adalah disebabkan oleh
tiga faktor, yaitu:
1) Banyak memasukan hadist Maudu’ dalam tafsir.
2) Masuknya beberapa Isra’iliyyat dalam tafsir, dan
3) Pembuangan penyebutan sanad (Nama
rentetan perawi hadist).[12]
Al-suyuti mengatakan bahwa penyebab
kelemahan Tafsir bi al-Riwayah adalah:
1) Penganut suatu aliran atau madhhab yang
menambah cerita-cerita dengan kebatilan,
2) Bercampur aduknya berita yang benar dan
yang salah, dan
3) Dipenuhi dengan cerita-cerita isra’iliyyat yang diantaranya
jelas-jelas batal.[13]
Dengan
penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya cerita-cerita issra’illiyat, khususnya yang tidak
menyebutkan perawi dan kualitas sanadnya, menyebabkan turunnya nilai tafsir bi
al-riwayah. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam memahami
cerita-cerita sra’illiyat yang banyak
bertebaran dalam kitab tafsir al-Qur’an.
E.
SUMBER-SUMBER
ISRA’ILLIYAT
Di
antara tokoh-tokoh yang menjadi sumber isra’illiyat dan yang paling banyak
meriwayatkannya adalah Abd Allah bin Salam, Ka’ab al-Akhbar dan Wahab bin Munabbih.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam
menilai kesahihannya.[14]
1.
Abd. Allah bin Salam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abd Allah bin Salam
bin al_harith al Israiliy al-ansari. Ia masuk islam sewaktu Nabi Muhammad datang
di Madinah. Dia termasuk salah seorang sahabat yang di janjikan masuk surga yang
wafat di Madinah pada tahun 43 Hijriyah.[15]
Dalam hal keilmuan, Abd Allah bin Salam termasuk orang
yang paling pandai dikalangan orang yahudi. Artinya di mengerti betul kitab Taurat.
Oleh karena itu setelah masuk islam, Abd Allah bin Salam menguasai ilmu Taurat
dan al-Qur’an. Bahkan Ibn Jarir Al-Tabari banyak menukil darinya
mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan al-Tarikhiyah al-Diniyah
(sejarah yang berhubungan dengan masalah keagamaan).[16]
Menyikapi riwayat Abd Allah bin Salam, al-Dhahabi
mengatakan bahwa kami tidak menolak apa yang di katakan olehnya dan tidak
menerima apa yang di katakannya. Akan tetapi, kita wajib mengukur keabsahan apa
yang di katakan dengan ukuran yang benar. Artinya riwayat yang shohih kami
terima dan yang tidak shohih kami buang.[17]
2.
Ka’ab al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab bin Nani
al-Himairi dan selanjutnya di kenal dengan sebutan Ka’ab al-Akhbar, berasal
dari keturunan Dzira’in. Dia berasal dari Yahudi Yamman dan termasuk orang yang
menemui masa jahiliyah. Kaab al-Akhbar masuk islam pada masa Abu Bakr, dan wafat
pada tahun ke 32 Hijriyah, di Himsya.[18]
Ka’ab al-Akhbar meriwayatkan termasuk orang yang pandai
sehingga mendapat julukan Ka’ab al-Khibr atau al-Akhbar, yang
bermakna tinta sebagai gambaran atas keagungan ilmunya , bahkan dalam tafsir
banyak di temukan riwayat yang menegaskan bahwa Ka’ab al-Akhbar adalah orang
yang pandai tentang kebudayaan yahudi dan isra’illiyat. Akan tetapi dia
tidak mempunyai karya ilmiah sebagaimana Wahab bin Munabbah, yakni dia hanya
menyampaikan ilmunya lewat percakapan (Syafawiyah).[19]
Setelah masuk islam Ka’ab tetap membaca kitab taurat
sebagaiman di riwayatkan dalam suatu cerita bahwa seorang lelaki masuk ke masjid
tiba-tiba dia bertemu Amir bin Abd Allah bin Qays yang sedng duduk dengan
beberapa kitab, di antara kitab tersebut ada selembar Taurat. Sementara itu,
Ka’ab bin al-Akhbar sedang membacanya.[20]
Dengan demikian dapat di ketahui walaupun telah masuk islam , Ka’ab tetap
memegangi Taurat dan ajaran-ajaran isra’illiyat.
Namun demikian jika ada orang yang mengatakan bahwa
orang yang mengikuti Ka’ab adalah sesat (ghairu shalih), maka al-Dzahabi
menjelaskan bahwa sesungguhnya apa yang di riwayatkan Ka’ab atau yang lainnya
(dari ahli kitab) pada hakikatnya mereka tidak menyandarkan kepada rasulullah
dan tidak mendustakannya kepada salah satu umat islam. Akan tetapai, mereka
meriwayatkan bahwa ariwayat tersebut berasal dari cerita isra’illiyat
yang termaktub dalam kitab mereka. Kita tidak di haruskan untuk membenarkan
atau mendustakannya. Dengan demikian tuduhan tersebut harus di waspadai dengan
cermat. Adapun pribadi Ka’ab sebagaimana di lukiskan al-Dzahabi maka ia adalah
orang yang adil dan taat.[21]
3.
Wahab bin Munabbih
Nama lengkapanya adalah Abd Allah Wahab bin Munabbih
bin sayj bin dzi kanaz. Dia tergolong tabi’in pilihan, di lahrkan pada tahun 34
hijriyah dan wafat pada tahun 110 hijriyah. Dia meriwayatkan hadits dari Abu
Hurairah, Abu Said al-Khudri, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan lainnya. Sedangkan orang
yang meriwayatkan darinya adalah Abd Allah dan Abd al-Rahman (kedua putarnya),
Umar bin Dinar dan lainnya.[22]
Wahab banyak menguasai kitab-kitab terdahulu akan
tetapi, jika dia sudah mengetahui yang benar menurut islam, maka dia
meninggalkannya. Namun demikian banyak orang yang menganggapnya sebagai
pendusta, tadlis, dan merusak aqidah umat islam.[23]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
“Issra’illiyyat
adalah segala sesuatu yang mencakup perihal orang-orang yahudi dan nasrani
serta kebudayaannya yang berpengaruh pada tafsir al-Qur’an”.
Cerita
isro’iliyyat yang diketahui
keshahihannya. Artinya, ia tidak bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan
dari Nabi Muhammad SAW. secara shohih. Misalnya, penentuan nama seorang yang
menjadi teman nabi Musa As.yaitu khidir As. Dalam hal ini nama tersebut telah
dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagaimana termaktub dalam shohih Al-Bukhori.
Juga dianggap shohih jika cerita isro’iliyyat
yang model ini dianggap shahih dan dapat diterima (shahih maqbul).
Cerita
isro’iliyyat yang diketahui
kebohongannya. Artinya, ia berentangan dengan shara’ atau tidak dapat diterima
oleh akal sehat. Cerita isro’iliyyat
model ini tidak dapat diterima dan tidak boleh diriwayatkan. Artinya, jika
diriwayatkan, maka harus ditunjukkan bahwa cerita tersebut bertentangan dengan
syara’.
Cerita
isro’liyyat yang tidak diketahui
kebenaran dan kebohongannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-shalih,
Subhi. Mahabits Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-Qalam Fi Al-Malayyin, 1998.
Al-Dzahaby,
Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Kairo : Maktabah Wahbah. 2000.
Al-Qathan
Manna. Mahabbith fi Ulum Al-Quran. T.t : Manshurat al-asr al-hadith, t.t.
Mahmud
Shahatah, Abd Allah Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi al-Tafsir al-Quran
al-Karim. T.t:Nasr al-Rasa’I al-Ilmiyah,t.t,162.
Al-Namir,
Abd al-mun’im, ‘Ilm al-Tafsir. T.t: Dar al-Kutub al-islamiyyah,1992.
Abu
shahbah, Muhammad bin Muhammad, al-madkal li dirasat al-qur’an al-karim (Beirut
: darl al-jil, 1992), 19_israilliyat.
Al-‘ak,
khalid abd al-rahman. Ushul al-tafsir wa qawa’iduh. Beirut : dar
al=ta’annuth,1986.
Ibn
al-taimiyyah, muqaddimah fi ‘ilm al-tafsir. Kuwait : dar al-quran al-karim.
Al-suyuti,
jalal al-din. Asrar tartib al-quran. Kairo : dar al-I’tisham, t.t.
[1] Manna’ al-Qaththan, mabahits fi
ulum al-Qur’an (t.t.: Manshurat al-Asr al-Hadith, t.t),354
[2] Ibid
[3] Manna’ al-Qaththan, Mabahits,354
[4]Ibid
[5] Ibid
[6] Abd al-mun’im al-namir imlu attafsir (dar al kutub al islamiyyah,
1985)
[7] Ibid
[8] Khalid abd al-Rahman al-ak, ushul al tafsir wa qowa’iduhu
[9] Ibid
[10] Ibid
[12] Al-Dzahabi , al-tafsir.
[13]Al-suyuti, al-dzur al-mantsur fi al-tasrif bi al-ma’tsur (berikut:
dar al-kutub al ilmiyah,1990).13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar